BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang penting bagi individu, masyarakat dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. semua kebutuhan dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun yang. menginginkan hidup berkekurangan. Oleh karena itu, setiap individu

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan aspek-aspek dalam dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut maka terjadi banyak perubahan di segala bidang termasuk di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam rangka menyongsong era persaingan bebas antar bangsa yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menyiasati persaingan global, Indonesia berusaha membenahi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman sekarang ini kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah

BAB I PENDAHULUAN menjadi kurikulum KKNI (kerangka kualifikasi nasional Indonesia) (Dinas

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Undang undang Pemerintahan Negara Republik Indonesia tahun 2003 pasal

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Dari anak kecil sampai orang dewasa mempunyai kegiatan atau aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. manusia, supaya anak didik menjadi manusia yang berkualitas, profesional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anissa Dwi Ratna Aulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini kehidupan manusia, termasuk Indonesia telah memasuki era

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional pada Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003, Triana, 2015:

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 MOJOLABAN TAHUN PELAJARAN 2009/2010

I. PENDAHULUAN. dalam lingkungan yang lebih luas, harus dapat ditumbuh kembangkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Hal tersebut dapat terlihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dengan ilmu,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan yang cukup, bahkan bercita-cita untuk lebih dari cukup untuk memenuhi semua

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

I. PENDAHULUAN. menghadapi kehidupan nyata sehari-hari di lingkungan keluarga dan

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN PEMODELAN TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, serta orang tua. Menurut Dimyati dan Mujiono (2006: 7),

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam. Indonesia. Di samping itu, pendidikan dapat mewujudkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan potensi peserta didik melalui kegiatan belajar (dalam

BAB I PENDAHULUAN. Ilham Taufik Effendi, 2015 PENGARUH MINAT BELAJAR, LINGKUNGAN BELAJAR, DAN MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP HASIL BELAJAR

LAMPIRAN 1. Metode Successice Internal (MSI) Kuesioner Self-Efficacy. Metode Successice Internal (MSI) Kuesioner Sumber-sumber Self-Efficacy

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB 1 PENDAHULUAN. Keputusan No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, salah satu isinya

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan orang terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatkan martabat manusia yang memungkinkan potensi diri dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. warga negara yang domokratis serta bertanggung jawab. sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. di masa depan, karena dengan pendidikan manusia dididik, dibina dan dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menyiapkan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas

Judul BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis. matematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan

BAB I PENDAHULUAN. terutama perguruan tinggi mulai sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan

I. PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting bagi individu, masyarakat dan bangsa. Departemen Pendidikan Nasional Indonesia mengeluarkan Undangundang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undangundang tersebut dijelaskan mengenai dasar dan fungsi pendidikan nasional, antara lain adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab. (www.ktsp.diknas.go.id) Menurut Koran Republika 08 Oktober 2004, terdapat sekitar 20% siswa SD dan SLTP yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa namun berisiko tinggal kelas. Herry Widyastono dalam seminar Program Percepatan Belajar bagi Pengawas dan Kepala SMP Negeri dan Swasta di Jakarta, menyatakan bahwa pada umumnya, sekolah masih memberikan perlakuan yang standar atau rata-rata, atau yang bersifat klasikal dan massal terhadap semua siswa, baik siswa di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-rata. 1

2 Akibatnya, siswa di bawah rata-rata yang memiliki kecepatan belajar di bawah rata-rata akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, sedangkan siswa di atas rata-rata yang ada dikelas itu akan jenuh karena harus menyesuaikan diri dengan kecepatan belajar siswa-siswa lainnya. Herry Widyastono lalu mengungkapkan akibat lanjutannya, yaitu ada 30% siswa SMA di Jakarta yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berprestasi di bawah potensinya (underachiever). Herry juga menemukan ada 20% siswa SLTP dan SD di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa namun berisiko tinggal kelas karena nilai rata-rata rapornya untuk semua mata pelajaran caturwulan satu dan dua adalah kurang dari enam. Bagi siswa dalam kategori ini (siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata), menurut Herry, perlu ada pelayanan pendidikan khusus. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan menyelenggarakan kelas akselerasi atau program percepatan belajar. (Republika: 08/10/04, www.sampoernafoundation.org. Yaumil, 1991) Salah satu cara agar pendidikan dapat berfungsi dengan baik adalah melalui penyediaan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Herry Widyastono mencoba mengelompokkan kecerdasan dan kemampuan siswa dalam tiga strata, yaitu siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas ratarata, rata-rata, dan di bawah rata-rata. Siswa di bawah rata-rata memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa umumnya. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata memiliki kecepatan

3 belajar di atas kecepatan belajar siswa-siswa lainnya (www.sampoernafoundation.org) SMA X adalah salah satu sekolah swasta di kota Bandung yang menerapkan program kelas akselerasi. Adapun visi dari institusi ini adalah menjadi lembaga pendidikan Kristen yang unggul dalam Iman, Ilmu, dan Pelayanan. Misinya adalah untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan nilai-nilai kristiani. SMA X sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang ingin terus meningkatkan kualitas layanannya, salah satunya dengan turut serta berpartisipasi menyediakan layanan pendidikan khusus yang sesuai dengan potensi anak bangsa, seperti menyediakan kelas akselerasi bagi anak-anak yang memiliki potensi di atas ratarata. Dengan ujian saringan masuk yang sangat ketat dan pembinaan yang sangat intensif, anak-anak istimewa ini diharapkan dapat mewakili Indonesia di forumforum internasional dan turut mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional (http://www.bpkpenabur.or.id). Kelas akselerasi merupakan kelas percepatan yaitu proses pembelajaran yang dipercepat dengan cara memadatkan materi pembelajaran sehingga siswa akselerasi dapat menyelesaikan sekolahnya satu tahun lebih cepat dibandingkan program regular. Siswa yang masuk ke dalam kelas akselerasi adalah siswa dengan hasil tes inteligensi di atas 125, lolos rangkaian seleksi berupa tes akademik yaitu tes mata pelajaran matematika dan bahasa indonesia serta mempunyai nilai rata-rata untuk tiap semester minimal 8 (delapan). Sedangkan untuk siswa dari luar sekolah X, siswa diwajibkan untuk mengikuti tes

4 psikologi, tes kesehatan dan tes akademik. (http://www.bpkpenabur.or.id/id/node/4951). Adanya perbedaan pada proses pembelajaran antara kelas reguler dengan kelas akselerasi, seperti jika pada kelas regular, satu semester berlangsung selama enam bulan maka di kelas akselerasi, satu semester berlangsung selama empat bulan dengan materi pelajaran yang dipadatkan, dalam pengertian, hanya materi yang penting saja yang diterangkan secara menyeluruh, ungkap salah satu guru di SMA X. Akibatnya, tugas yang diberikan kepada siswa kelas akselerasi lebih banyak bila dibanding dengan tugas siswa kelas regular, contohnya persoalan untuk ulangan. Bila di kelas reguler, persoalan untuk ulangan berupa 40 pilihan ganda dan lima essai, maka di kelas akselerasi persoalan untuk ulangan menjadi 20 pilihan ganda dan 10 essai, tutur Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum SMAN X Bandung. Konsekuensinya, siswa akselerasi tidak memiliki waktu luang sebanyak siswa reguler. Tidur paling lama itu empat jam, tutur salah satu siswi kelas akselerasi tingkat VII. Selama di kelas akselerasi, nilai siswa-siswa pun dipantau. Jika nilainya turun, maka guru akan memberikan remedial. Bila setelah mengikuti remedial, nilai siswa tetap menurun maka siswa tersebut akan dikembalikan ke kelas regular (Waras Kamdi, 09 Januari 2008). Berdasarkan penelitian Nuraida (Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) diketahui bahwa akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMA misalnya, ada 13 mata pelajaran yaitu Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Bahasa Inggris,

5 Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, Olah raga dan Seni rupa, ditambah dengan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler. Alasan pemilihan jenis ini adalah agar siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional dalam jangka waktu yang lebih cepat. Namun pada kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan ini memiliki jumlah mata pelajaran yang sangat banyak tetapi belum ada layanan individual yang sesuai dengan bakat dan minat siswa. Akibatnya siswa dapat merasa sangat berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat singkat. (http://www.republika.co.id). Adanya perubahan dalam kegiatan pembelajaran, waktu pembelajaran, materi pembelajaran yang lebih berat, tingkat persaingan yang lebih ketat, dan tuntutan yang mengharuskan siswa kelas akselerasi untuk lebih mandiri dibanding di kelas regular maka diperlukan kembali suatu perubahan dan penyesuaian diri dalam hal keyakinan. Self-efficacy ialah keyakinan tentang kemampuan seseorang dalam mengatur dan melaksanakan sumber-sumber dari tindakan yang dibutuhkan untuk mengatur situasi-situasi yang berhubungan dengan masa yang akan datang (Bandura, 2002). Self-efficacy yang tinggi merupakan penentu keberhasilan siswa dalam menjalankan tugasnya di kelas akselerasi karena self-efficacy mempengaruhi keyakinan diri siswa untuk memprioritaskan tugas yang dipilih untuk dikerjakan, besarnya usaha yang dikerahkan, lamanya siswa dapat bertekun dan bertahan mengerjakan tugasnya walaupun sedang menghadapi masalah dan kegagalan, keyakinan bahwa ia mampu mengatasi stres atau depresi melalui coping stres yang dimilikinya saat menghadapi kegiatan pembelajaran dan

6 hambatan yang ada dalam kelas, serta sejauhmana keberhasilan yang telah siswa capai (Bandura 2002). Siswa dengan self-efficacy yang tinggi walaupun menemui tugas-tugas yang sulit, ia akan tetap bertahan menyelesaikannya, sedangkan siswa dengan self-efficacy yang rendah cenderung memilih menyelesaikan tugas-tugas yang mudah, dan bila ia menemui kesulitan maka akan lebih tidak dapat bertahan karena kesulitan-kesulitan yang ada dirasa sebagai suatu sumber hambatan sehingga dapat saja kemudian menghentikan usahanya untuk menyelesaikan tugas tersebut atau menundanya. Apabila individu ini berhasil untuk menyelesaikan tugasnya, ia akan memandang keberhasilan tersebut sebagai suatu keberuntungan dan bukan karena hasil usahanya sendiri Bandura menyatakan bahwa seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan membangun lebih banyak kemampuan-kemampuan melalui usahausaha mereka secara terus-menerus, sedangkan self-efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang. Selain itu, seseorang dengan self-efficacy yang rendah cenderung percaya bahwa segala sesuatu sangat sulit dibandingkan keadaan yang sesungguhnya sedangkan orang yang memiliki perasaan self-efficacy yang tinggi lebih mengembangkan perhatian dan usahanya terhadap tuntutan situasi dan merasa terpacu oleh adanya rintangan sehingga orang tersebut akan berusaha lebih keras (Bandura 2002).

7 Self-efficacy dipengaruhi oleh empat sumber, yaitu mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological and affective states. Mastery experience (pengalaman pribadi) merujuk pada segala segala pengalaman yang dialami oleh siswa, baik itu pengalaman keberhasilan maupun pengalaman kegagalan, kedua pengalaman tersebut sama-sama membangun efficacy belief siswa. Pengalaman keberhasilan meningkatkan efficacy belief siswa dan pengalaman kegagalan memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar mengubah kegagalan tersebut menjadi keberhasilan melalui usaha yang dilakukan terus-menerus. Mastery experience ini diyakini merupakan sumber yang paling kuat karena pengalaman individu merupakan bukti nyata. Kedua adalah vicarious experience, siswa mengamati atau menghayati pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan siswa, misalnya kakak senior siswa kelas akselerasi. Bila senior tersebut mengalami keberhasilan, maka self-efficacy siswa yang mengamati akan mengalami peningkatan, sedangkan bila senior tersebut mengalami kegagalan maka selfefficacy siswa yang mengamati akan mengalami penurunan. Dalam hal ini, terjadi juga proses modeling yaitu ketika siswa mengamati atau menghayati pengalaman orang lain yang dirasa mirip dengannya. Ketiga adalah verbal persuasion yaitu ada tidaknya dukungan verbal dari lingkungan sekitar siswa. Ketika siswa berhasil dan bila ia mendapatkan dukungan verbal maka self-efficacy siswa tersebut akan meningkat dan sebaliknya. Sumber yang keempat adalah physiological states yaitu keadaan-keadaan fisik seperti lelah, capai, tegang, cemas, bila keadaankeadaan fisik tersebut dirasakan sebagai tantangan maka akan memperkuat self-

8 efficacy siswa. Namun bila physiological states atau keadaan-keadaan fisik tersebut dihayati sebagai ancaman atau beban maka hal ini akan menurunkan selfefficacy siswa. Keempat sumber self-efficacy tersebut mempunyai kontribusi terhadap self-efficacy siswa. Hanya saja, kontribusi dari masing-masing sumber akan berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan kondisi dan situasi siswa. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk mengetahui sumber manakah yang dihayati oleh siswa kelas akselerasi memberikan kontribusi terhadap self-efficacy-nya. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: Seberapa besar kontribusi keempat sumber self-efficacy terhadap selfefficacy siswa kelas akselerasi di SMA X, Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memperoleh gambaran mengenai sumber-sumber self-efficacy.

9 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini ini bertujuan untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai besarnya kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap selfefficacy pendidikan siswa yang mengikuti proses pembelajaran kelas akselerasi di SMA X, Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Untuk memberikan tambahan informasi mengenai sumber-sumber selfefficacy yang dihayati berkontribusi terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi kepada peneliti lain, khususnya dalam bidang psikologi pendidikan dan perkembangan yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi mengenai kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi kepada pihak sekolah, yaitu guru SMA X Bandung, dalam usaha membantu meningkatkan selfefficacy siswa.

10 2. Memberikan informasi mengenai kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap self-efficacy terutama kepada siswa kelas akselerasi di SMA X Bandung agar siswa dapat lebih mengembangkan sumber-sumber yang ada. 3. Sebagai bahan masukan kepada orangtua siswa untuk memberikan perhatian dan memberikan dukungan kepada kegiatan pembelajaran dan kepada siswa sendiri. 1.5 Kerangka Pikir Kelas akselerasi adalah kelas yang dirancang untuk anak-anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata (Paulus Mujiran, Suara Merdeka 2006). Perbedaan antara kelas akselerasi dan kelas reguler terletak pada kegiatan pembelajaran, diantaranya waktu pembelajaran yang lebih singkat dengan materi pembelajaran yang dipadatkan, metode pembelajaran yang lebih mandiri dan individual, bobot ujian dan tugas yang lebih berat, persaingan yang lebih ketat, serta tuntutan dan harapan dari lingkungan yang lebih besar kepada siswa kelas akselerasi. Untuk dapat berhasil di kelas akselerasi, siswa peserta kelas akselerasi memerlukan adanya suatu keyakinan diri bahwa ia mampu untuk dapat berhasil atau sukses di kelas akselerasi. Bila pada awal pembelajaran, siswa sudah merasakan berat atau merasa tidak yakin bahwa ia akan berhasil dalam kelas akselerasi maka ketika siswa tersebut mengalami hambatan atau kendala dalam proses pembelajaran, seperti tugas sekolah yang terlalu banyak atau waktu

11 istirahat yang berkurang, maka siswa yang merasa bahwa ia tidak yakin ia bisa berhasil dalam kelas akselerasi ini, tidak akan dapat mengatasi tantangantantangan yang ada dalam proses pembelajaran di kelas akselerasi. Perubahan proses pembelajaran, bobot materi pembelajaran, lamanya proses pembelajara, tingkat persaingan yang lebih ketat, dan tuntutan yang tinggi dalam kelas akselerasi dapat menimbulkan ketidakyakinan diri dalam diri siswa. Ketidakyakinan diri ini dapat menurunkan semangat belajar siswa serta menurunkan kepercayaan diri bahwa siswa mampu untuk berhasil di kelas akselerasi yang kemudian menghambat proses kegiatan pembelajaran yang baik di kelas dan berakibat pada pencapaian prestasi siswa di kelas akselerasi. Demikianlah keyakinan diri siswa bahwa ia mampu berhasil di kelas akselerasi ini mempunyai peranan penting dalam pencapaian prestasi yang baik. Self-efficacy merujuk pada keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan sumber-sumber dari tindakan yang dibutuhkan untuk mengatur situasi-situasi yang berhubungan dengan masa yang akan datang (Bandura, 2002). Self-efficacy yang tinggi merupakan penentu keberhasilan siswa dalam menjalankan tugasnya di kelas akselerasi. Siswa dengan self-efficacy tinggi akan lebih mempunyai kesiapan mental untuk belajar, lebih mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar lebih giat, lebih tekun dan memiliki daya tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, 2002), sedangkan siswa dengan self-efficacy yang rendah, cenderung mempunyai kesiapan mental yang kurang untuk belajar sehingga lebih memilih menyelesaikan tugas-tugas yang mudah. Bila siswa ini menemui

12 kesulitan maka ia akan lebih tidak dapat bertahan karena kesulitan-kesulitan yang ada dirasakannya sebagai sumber hambatan sehingga memutuskan untuk menghentikan usahanya dalam menyelesaikan tugasnya tersebut atau menundanya. Apabila siswa ini berhasil untuk menyelesaikan tugasnya maka keberhasilannya tersebut akan dipandang sebagai suatu keberuntungan dan bukan hasil usahanya sendiri. Tinggi rendahnya self-efficacy siswa dapat dilihat dari lima indikator, yaitu keyakinan untuk memprioritaskan tugas yang dipilih untuk dikerjakan, seberapa besar usaha yang dikerahkan, berapa lama siswa akan bertekun dan bertahan mengerjakan tugasnya walaupun sedang menghadapi masalah dan kegagalan, seberapa besar siswa yakin bahwa ia mampu mengatasi tekanan-tekanan melalui coping stres yang dimiliki saat menghadapi kegiatan pembelajaran dan hambatan yang ada dalam kelas, dan sejauh mana keberhasilan yang telah siswa capai (Exercise of Control, Bandura 2002). Siswa kelas akselerasi yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memperlihatkan keyakinan dan kesiapan mental yang lebih matang bahwa ia mampu mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas akselerasi. Hal ini kemudian akan memantapkan siswa tersebut untuk memilih kelas akselerasi dibanding kelas reguler. Keyakinan dan kesiapan mental yang dimiliki siswa tersebut akan membuat siswa merasa lebih yakin dan siap untuk menghadapi tugas-tugas, pelajaran, pekerjaan rumah dan kegiatan pembelajaran yang jauh lebih sulit dan berat dibanding kelas regular, sehingga ketika siswa ini menemui tugas yang banyak dan sulit, ia akan mampu mengerahkan usaha yang lebih besar seperti

13 mencari bahan lain di toko buku atau perpustakaan, memperpanjang jam belajar pribadi, les tambahan, diskusi dengan teman atau mencari bahan tambahan di internet, serta akan lebih memilih untuk mengerjakan tugasnya tersebut dibanding bermain atau bersantai dengan teman. Disamping mengerahkan usaha yang lebih besar, siswa kelas akselerasi yang memiliki self-efficacy yang tinggi juga akan terlihat lebih tekun dan tahan dalam menghadapi perbedaan kegiatan belajar-mengajar yang lebih individual, bahan pelajaran yang lebih sulit dan banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang singkat, tingkat persaingan yang lebih tinggi, jam belajar yang panjang, tugas yang banyak dan sulit, ketegangan karena harus menghadapi ulangan setiap hari dan rasa lelah akibat waktu beristirahat yang lebih sedikit. Bila pada awal proses pembelajaran siswa tidak mempunyai keyakinan atau kesiapan mental untuk melaksanakan proses pembelajaran di kelas akselerasi maka siswa ini tidak akan siap menghadapi tantangan dan hambatan yang ada dalam kelas akselerasi sehingga siswa tersebut tidak akan dapat menunjukkan hasil prestasi yang baik di kelas akselerasi. Keyakinan mengacu pada sejauhmana siswa memiliki keyakinan untuk menetapkan pilihan, memprioritaskan pilihannya tersebut, mengerjakan serta berjuang dalam usaha memenuhi pilihannya tersebut. Apabila siswa memiliki keyakinan untuk melaksanakan proses pembelajaran di kelas akselerasi, maka siswa tersebut memiliki keyakinan diri (kesiapan mental) yang tinggi untuk belajar di kelas akselerasi sehingga ia akan lebih yakin dan mantap dalam menetapkan pilihan untuk belajar di kelas akselerasi daripada di kelas reguler.

14 Namun bila siswa tersebut tidak memiliki keyakinan untuk menjalani proses pembelajaran di kelas akselerasi maka siswa tersebut tidak akan memilih belajar di kelas akselerasi. Seberapa besar usaha yang dikerahkan mengacu pada keyakinan siswa kelas akselerasi bahwa ia mampu untuk mengerahkan usaha yang besar dalam menghadapi kegiatan pembelajaran, hambatan dan kesulitan yang ditemui di kelas akselerasi. Siswa kelas akselerasi dengan self-efficacy yang tinggi akan lebih yakin bahwa ia mampu untuk mengerahkan usahanya dalam menghadapi proses pembelajaran, hambatan, dan kesulitan-kesulitan yang dijumpai di kelas akselerasi. Sedangkan siswa kelas akselerasi dengan self-efficacy yang rendah, cenderung akan kurang yakin bahwa ia dapat mengerahkan usahanya dalam menghadapi kegiatan pembelajaran, hambatan, dan kesulitan-kesulitan yang ada dalam kelas akselerasi. Indikator ketiga adalah ketekunan dan daya tahan. Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, akan menunjukkan ketekunan dan daya tahan yang lebih besar ketika menghadapi hambatan dan rintangan. Sehingga walaupun proses pembelajaran di kelas akselerasi sulit dan banyak hambatan, siswa dengan selfefficacy yang tinggi ini akan tetap berusaha menyelesaikan tugasnya. Sebaliknya, siswa dengan self-efficacy yang rendah memperlihatkan kurangnya daya tahan, ketidaktekunan dalam mengerjakan tugas, kurangnya motivasi serta lebih cepat merasa gagal dalam menghadapi hambatan dan rintangan bila dibandingkan dengan siswa dengan self-efficacy yang tinggi. Dalam menghadapi kegagalan pun, siswa dengan self-efficacy yang tinggi akan lebih cepat pulih, sedangkan siswa

15 dengan self-efficacy yang rendah akan merasa lebih mudah dan cepat merasa gagal serta membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih. Indikator keempat adalah stres dan depresi. Hal ini mengacu pada bagaimana siswa kelas akselerasi memandang hambatan dan rintangan yang ada. Bila hambatan, rintangan dan tantangan tersebut diyakini sebagai stressor maka ini akan menurunkan self-efficacy siswa sedangkan bila hambatan dan rintangan ini diyakini sebagai tantangan atau motivator, maka hal itu akan meningkatkan self-efficacy siswa kelas akselerasi. Oleh karena itu, siswa dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih mudah mengalami stres atau lebih cepat merasa depresi bila dibanding dengan siswa dengan self-efficacy yang tinggi. Terakhir, indikator kelima adalah seberapa banyak keberhasilan atau prestasi yang direalisasikan oleh siswa mengacu pada keyakinan siswa bahwa keberhasilan dan prestasi yang direalisasikannya tersebut merupakan hasil dari usahanya sendiri dan bukan merupakan keberhasilan atau prestasi yang didapat dari faktor keberuntungan. Semakin banyak keberhasilan dan prestasi yang diyakini sebagai hasil dari usaha siswa, maka semakin tinggi self-efficacy siswa kelas akselerasi tersebut dan sebaliknya. Keseluruh indikator self-efficacy di atas dipengaruhi oleh empat sumber self-efficacy. Pertama adalah mastery experience. Ini adalah sumber self-efficacy yang paling kuat karena mastery experience menyediakan bukti konkrit bagi individu untuk sukses. Kesuksesan yang terjadi membangun self-efficacy belief dalam diri individu tersebut, sedangkan kegagalan menurunkan self-efficacy

16 belief. Terutama bila kegagalan muncul sebelum sense efficacy terbentuk secara mantap. Jika individu mengalami kesuksesan yang dicapai dengan mudah maka individu cenderung mencari hasil yang cepat dan lebih mudah merasa tertekan dengan kegagalan. Jadi semakin banyak pengalaman keberhasilan yang dialami oleh individu serta semakin banyak usaha yang dikerahkan untuk mencapai keberhasilan tersebut maka keberhasilan yang dirasakan tersebut akan menjadi sumber untuk meningkatkan self-efficacy individu. Mastery experience terbentuk melalui empat proses utama, salah satunya adalah proses kognitif. Proses kognitif adalah proses yang akan menciptakan anticipatory scenario dari sumber-sumber yang dimiliki. Mereka akan membayangkan skenario keberhasilan yang mendukung siswa dalam menghadapi tuntutan kurikulum kelas akselerasi atau skenario kegagalan yang akan menurunkan efficacy siswa. Sumber yang kedua adalah vicarious experience. Efficacy yang ada dalam diri siswa dipengaruhi juga oleh vicarious experience yang dimediasikan melalui modelling (pengamatan). Siswa mengamati pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain yang memiliki karakteristik serupa dengan individu, misalnya kakak senior atau kakak kelas. Pengalaman keberhasilan orang yang diamati tersebut akan meningkatkan self-efficacy siswa, sedangkan pengalaman kegagalan orang yang diamati (misalnya, kakak senior) akan menurunkan selfefficacy siswa. Dengan mengamati pengalaman keberhasilan tersebut, siswa yang mengamati akan merasa lebih mampu atau yakin bahwa ia juga mampu untuk mencapai keberhasilan seperti individu yang diamati tersebut (Bandura, 1982a;

17 Schunk, Hanson, & Cox, 1987). Demikian juga sebaliknya, pengalaman kegagalan orang yang diamati (modelling) akan mempengaruhi penilaian siswa akan diri mereka sendiri dan akhirnya menurunkan usaha yang dikerahkan (Brown & Inouye, 1987). Semakin serupa individu yang diamati maka akan semakin berpengaruh pengalaman keberhasilan atau kegagalan tersebut kepada individu yang mengamati, namun jika individu melihat bahwa model yang diamati tersebut tidak terlalu serupa dengan dirinya maka pengalaman keberhasilan atau kegagalan yang dialami oleh model tersebut tidak akan terlalu berpengaruh. Vicarious experiences terbentuk melalui empat proses utama. Salah satunya adalah proses kognitif. Siswa mengamati temannya atau kakak senior di kelas akselerasi yang memiliki karakteristik yang serupa atau mirip dengan dirinya. Apabila teman atau kakak senior tersebut berhasil menghadapi tugas dan materi yang diberikan dengan usaha yang dilakukan maka siswa yang mengamati akan yakin bahwa ia juga dapat melakukan hal tersebut dan membayangkan skenario keberhasilan dirinya. Akan tetapi, jika siswa melihat bahwa teman atau kakak seniornya tidak berhasil menyelesaikan tugas dan gagal mengikuti materi pelajaran dengan baik walaupun sudah mengerahkan usaha dan kerja keras secara terus-menerus maka siswa yang mengamati tersebut akan menjadi ragu dalam menghadapi tugas-tugas dan materi belajar di kelas akselerasi serta yang terbayangkan oleh siswa yang mengamati adalah skenario kegagalan. Sumber yang ketiga adalah verbal persuasion. Persuasi sosial berperan untuk meningkatkan kepercayaan (belief) siswa bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang mereka ingin capai. Lebih mudah bagi

18 siswa untuk memperoleh self-efficacy, terutama bila siswa tersebut sedang bergulat dengan hambatan, rintangan atau kesulitan. Jika orang yang signifikan bagi siswa, misalnya orangtua, pacar, teman, guru atau kakak senior menyampaikan keyakinan mereka bahwa siswa kelas akselerasi mampu menghadapi dan sukses di kelas akselerasi maka hal ini akan meningkatkan selfefficacy siswa daripada bila mereka (orang-orang yang dipersepsi secara signifikan oleh siswa) menyampaikan keragu-raguan mereka terhadap kemampuan siswa. Verbal persuasion ini berupa dukungan sosial dalam bentuk kata-kata atau ucapan dari lingkungan sekitar kepada siswa yang menyatakan bahwa siswa mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran, yang kemudian akan meningkatkan self-efficacy siswa tersebut daripada bila siswa yang bersangkutan tidak mendapat dukungan verbal dari lingkungan sekitarnya. Social persuasion/verbal persuasion terbentuk melalui empat proses. Salah satunya adalah melalui proses kognitif. Siswa yang memperoleh persuasi positif secara verbal, misalnya kata-kata dukungan bahwa dirinya mampu menghadapi tuntutan belajar kelas akselerasi akan membayangkan skenario keberhasilan bahwa mereka mampu menghadapi kegiatan pembelajaran di kelas akselerasi. Sedangkan siswa yang tidak memperoleh persuasi secara positif bahwa ia mampu menghadapi tugas dan sistem belajar kelas akselerasi akan membayangkan skenario kegagalan dan berakibat meragukan kemampuan dirinya. Sumber yang terakhir adalah physiological dan affective states. Individu sering menginterpretasikan ketegangan fisik dalam keadaan stres sebagai tanda

19 ketidaktahanan terhadap disfungsi. Karena ketegangan tinggi dapat menurunkan performance, maka individu cenderung mengharapkan keberhasilan/kesuksesan ketika mereka tidak dalam keadaan dikelilingi oleh aversive arousal daripada jika mereka sedang dalam keadaan tegang atau gelisah. Reaksi stres menghasilkan ketidakmampuan untuk mengontrol yang akhirnya akan menghasilkan stres yang lebih lanjut melalui anticipatory self-arousal. Dengan membayangkan pikiranpikiran yang aversif (aversive thoughts) mengenai tingkah laku dan reaksi terhadap stres, individu membangkitkan diri mereka untuk menaikkan tingkat kesukaran yang menghasilkan disfungsi yang mereka takutkan. Semakin individu menganggap kepenatan, kelelahan, keletihan, rasa sakit, ketegangan dan kecemasan dalam menyelesaikan pekerjaan sebagai hal yang membuat stres maka hal tersebut akan menurunkan self-efficacy individu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut sedangkan jika individu menganggap bahwa kepenatan, kelelahan, keletihan, rasa sakit, ketegangan dan kecemasan yang ada dalam menyelesaikan pekerjaan sebagai suatu tantangan atau bagian dari pekerjaan maka self-efficacy individu tersebut akan meningkat. Physiological dan affectives states terbentuk melalui empat proses. Salah satunya adalah proses kognitif. Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan menghayati rasa sakit, nyeri, cemas, tegang dan lelah yang dialaminya di kelas akselerasi bukan sebagai suatu hambatan. Siswa tersebut membayangkan skenario keberhasilan dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam kelas akselerasi. Sedangkan siswa yang menghayati bahwa rasa sakit, nyeri, cemas, tegang dan

20 lelah yang dialaminya sebagai suatu hambatan akan menurunkan self-efficacy siswa dan akan membayangkan skenario kegagalan. Setiap keempat sumber self-efficacy di atas memberikan pengaruh yang berbeda-beda kepada individu. Dengan situasi dan kondisi yang hampir serupa di kelas akselerasi, peneliti tertarik untuk mengetahui sumber self-efficacy manakah yang peranannya lebih kuat terhadap siswa kelas akselerasi SMU X, Bandung. Untuk lebih jelasnya, paparan di atas akan digambarkan dalam bentuk skema di bawah ini. (Lihat bagan 1.5)

21

22 1.6 Asumsi Berdasarkan kerangka pikir di atas, asumsi dari penelitian antara lain: 1. Siswa kelas akselerasi dengan tuntutan akademik yang berfokus pada kemandirian belajar, menuntut adanya keyakinan diri siswa untuk mampu memenuhi tuntutan tersebut. 2. Keyakinan bahwa siswa akan mampu memenuhi tuntutan akademik tersebut, tercermin melalui seberapa kuat self-efficacy yang dimiliki. 3. Siswa yang yakin dalam menentukan pilihan, yakin mampu bertahan, yakin memiliki daya juang tinggi, yakin mampu untuk mengatasi tekanan, dan yakin mampu memperlihatkan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan ditentukan oleh kekuatan sumber-sumber self-efficacy yang dihayatinya. 4. Keempat sumber self-efficacy, memiliki kekuatan kontribusi yang variatif pada setiap siswa. 1.7 Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas, maka diturunkan hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh mastery experience terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi SMA X, Bandung.

23 2. Terdapat pengaruh vicarious experience terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi SMA X, Bandung. 3. Terdapat pengaruh verbal persuasion terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi SMA X, Bandung. 4. Terdapat pengaruh physiological and affective states terhadap self-efficacy siswa kelas akselerasi SMA X, Bandung.