Rindu Sang Pemimpi Rina Widowati
Rindu Sang Pemimpi Copyright 2015 by Rina Widowati Desain Sampul: Yoyok Prasetyo Tata letak : Rina Widowati 2
Tak bisa lagi tergantikan letak tertinggi rasa syukurku kepada Tuhan yang Maha Mengerti dan Memberi. Terima kasih paling berarti untuk Mukti Ardi Wibowo, yang selalu tersenyum setiap melihatku menulis. Terima kasih sahabat segala cuaca, Desy Prihatin, yang juga merelakan lekukan wajahnya tergores tegas di sampul depan. Terima kasih Bulan Narasi 2014, yang menggelitikku untuk menulis novel. Terima kasih kepada keberanian. 3
Surga Kecil..5 Kafe Nuit..14 Secangkir Teh Hangat..36 Mencari Lubang Kunci..55 Kembali Bermimpi..81 Annemijn..87 Kejutan Blueberry Smoothie..127 Klervoyan..142 Energi Secangkir Caffe Latte..151 Bima..160 Theta, Alpha Dan Sepotong Lemon..167 Yang Nyata Hanya Sahabat..189 Akhir Meja Romantis..199 Jodoh Tak Bisa Dijangkau Nalar..210 Sang Pemimpi..227 4
Surga Kecil Ada-ada saja suara yang menandakan hari sudah pagi, bukan jam beker yang menjerit atau kokokan ayam jantan. Suara itu, suara gesekan sekelompok lidi menggaruk-garuk tanah berumput demi menyatukan daun-daun kering. Srek... srek... srek, suara itu segera disusul suara derik pintu dan sibakan gorden. Pagi, Non, suara gesekan sapu lidi terhenti sejenak menyapa seseorang yang baru membuka lebar pintu kamarnya. Pagi, mbak Sih, suara itu masih parau. Menguap sambil meregangkan kedua tangannya ke atas, ia menikmati kenyamanan meregangkan tubuh setelah bangun dari tidurnya yang panjang. Semalam, jam delapan, Daisy sudah memeluk guling dan tak berkutik. Daisy masih mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari kursi di teras depan kamar. 5
Mungkin benar kata orang, terlalu lama tidur badan malah jadi malas. Atau, mungkin bukan perkara tidur terlalu panjang, lihat saja letak kamar itu. Seperti surga mungil yang selalu siap membuai manusia dalam kenyamanan. Kamar Daisy ada di bagian rumah belakang, langsung berhadapan dengan taman hijau dengan pohon mangga rindang. Di beberapa dahannya menancap mesra tanaman simbar menjangan, belum lagi pot-pot bunga mawar klasik yang tertata rapi di bawah lampu taman. Aroma melati melengkapi buaian mesra surga mungil itu. Mbak Sih dan sapu lidinya sudah selesai menunaikan tugas, itu tandanya Daisy juga harus bangkit, berjalan ke ruang keluarga dan menyapa tante Wina. Tak pernah bosan ia melalui ritual ini setiap pagi. Seperti biasa, tante Wina sudah menyiapkan teh hijau dan empat mangkuk bubur havermut. Satu untuk tante Wina sendiri, satu untuk om Bas, satu 6
untuk Daryl, anak tunggal tante Wina dan om Bas, dan satu lagi untuk Daisy tentunya. Tapi hari itu, Daryl sedang camping bersama temantemannya. Mungkin tante Wina lupa. Atau, bisa jadi ia terlalu fokus dengan rutinitas paginya. Daisy terpaksa menghabiskan dua mangkuk pagi itu. Sorry, sayang. Tante lupa kalau nggak ada Daryl. Nggak apa-apa, tante. Lagian aku laper banget, kok, Daisy berkata jujur, tak sekedar ingin menghibur tantenya. Lho, kok pagi-pagi udah laper banget? Pasti kamu begadang lagi, ya? Daisy cuma tersenyum sambil menjulurkan sedikit ujung lidahnya. Daisy malu kalau sampai tante Wina tahu ia tidur lebih awal dan bangun paling siang. Meskipun tante Wina memperlakukannya seperti anaknya sendiri, Daisy tetap tak bisa menghilangkan rasa sungkan. Dia merasa harus tahu diri. 7
Jarang sekali Daisy mengambil peran meskipun sekedar membantu tante Wina di dapur atau mencuci mobil om Bas. Sesekali pernah, dia ikut mengiris-iris tempe, tapi tante Wina justru tampak terganggu dengan kehadirannya di dapur. Kalau mencuci mobil om Bas, pernah beberapa kali, itu juga cuma membantu mengolor selang dan menyemprot mobil karena diminta om Bas. Ah, paling tidak aku membersihkan kamarku dan mencuci bajuku sendiri. Aku sama sekali tak keberatan dengan tugas kecilku. Semua itu tak seberapa dibandingkan penerimaan mereka kepadaku. Awal-awal Daisy tinggal di rumah tante dan omnya, dia tak mau keluar kamar. Bukan karena sedih merindukan papi-maminya yang jauh, tapi karena dia malu. Iya malu, karena Daisy merasa tak bisa mengerjakan pekerjaanpekerjaan rumah. Apalagi melihat Daryl yang masih SMA, dengan cekatan memperbaiki atap 8
bocor tanpa diminta tante Wina. Sepupunya itu seorang remaja SMA yang jarang berada di rumah. Cukup sering Daisy mendengar tante Wina mengomeli Daryl yang suka menginap di rumah temannya, tanpa ijin. Tante Wina juga sering mengeluh hobi Daryl memboroskan uang demi mendandani mobilnya. Tapi, Daisy tak melihat hal yang salah pada remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun itu, ia remaja sempurna. Ia tak pernah mengeluh mencuci seragamnya ketika mbak Sih libur, ia juga selalu mencuci mobil ayahnya setelah ia mencuci mobilnya sendiri. Betapa Daisy menginginkan masa remaja seperti sepupunya itu. Kalau semalam Daisy tidur panjang dan nyaman, sebenarnya ia hanya melampiaskan kerinduannya kepada dekapan selimut dan pelukan guling. Sudah beberapa hari tubuhnya enggan menepati jam biologis untuk beristirahat. Ia paksakan pandangannya 9
mencermati layar monitor, hanya memandang layar tanpa menyentuh keyboard. Dia membaca lagi skripsinya yang sudah sempurna. Hard copy sudah ditandatangani oleh kedua dosen pembimbingnya. Mestinya, dia bisa tertidur lelap sepanjang tiga bulan ke depan sambil menunggu kepastian tanggal sidang. Dia tak bisa tidur bukan karena skripsi, bukan karena ia tegang menanti tanggal sidang, lalu ia tak mampu memejamkan mata. Itu bukan momen istimewa, semua mahasiswa semester akhir juga akan mengalami momen mendebarkan ketika memasuki sebuah ruangan dan berhadapan dengan dosen penguji. Dan, pada akhirnya sudah bisa ditebak, rasa lega akan datang bertubi-tubi. Ini lebih menegangkan dari suasana sidang skripsi. Ini hanya persoalan mimpi, yang tak bisa ditebak kapan dan mengapa mendatangi tidur lelap Daisy, kemudian membuatnya terjaga sampai pagi. 10