JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI KERAPATAN ADAT NAGARI KECAMATAN LUBUK BEGALUNG KOTA PADANG. Oleh: P R I M A Z O L A NPM:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

PENYELESAIAN SENGKETA PEMANFAATAN TANAH ULAYAT KAUM DI KENAGARIAN LUBUK BASUNG. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. pangan dalam kehidupannya, yaitu dengan mengolah dan mengusahakan

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. terdahulu, dan harta ini berada dibawah pengelolahan mamak kepala waris (lelaki

BAB I PENDAHULUAN. dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI

PERANAN KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI MINANGKABAU (STUDI KASUS DI NAGARI SULIT AIR-KABUPATEN SOLOK)

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan prasarana untuk kepentingan umum yang salah satunya adalah

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 16 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan. Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 16 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA

PERANAN KERAPATAN ADAT NAGARI ( KAN ) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH HARTA PUSAKO TINGGI DI KENAGARIAN TALANG MAUR PAYAKUMBUH

BAB I PENDAHULUAN. Tanah di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting karena Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan

BAB I PENDAHULUAN. satu penjelmaan dari jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad 1.Setiap

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Akan tetapi ahli hukum adat

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I. Pendahuluan. dapat dikembangkan dengan lebih cepat serta mempunyai daya saing yang kuat.

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN. kenegerian Rumbio Kociok Banamo Kamaruzzaman Godang Bagolau Datuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB IV PRAKTEK PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI TIDAK BERGERAK DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU DI NAGARI PARIANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB II. ASAS- ASAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT dan MASYARAKAT ADAT

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. kaum ditentukan oleh luasnya tanah yang dimiliki.1. Minangkabau sampai saat ini adalah manggadai. Di Minangkabau sendiri

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2000 TENTANG

Registration Of The Ulayat Kaum Land Based On Personal Name Of Mamak Kepala Waris And Legal Consequences In Payakumbuh.

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

ADOPSI HUKUM ADAT MATRILINEAL AKIBAT HUKUM ADOPSI 15/03/2018

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

PEMERINTAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/ SIJUNJUNG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN IZIN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang secara tegas dinyatakan pada Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010

HUKUM ADAT (Pasca Mid Semester)

BAB I PENDAHULUAN. Masalah pertanahan di Indonesia telah muncul dengan beragam wujud

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

SANKSI ADAT TERHADAP PERKAWINAN SESUKU DALAM KENAGARIAN SUNGAI ASAM KABUPATEN PADANG PARIAMAN SKRIPSI

Pengertian Damang diatur dalam Pasal 1 angka (24) Peraturan. Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2008 adalah:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

Tujuan Umum Pembelajaran Mampu berkomunikasi dengan menerapkan prinsip budaya setempat (Minangkabau)

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

PENDAFTARAN TANAH ADAT Oleh : Indah Mahniasari, SH. Abstraksi

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. sebut tanah, selain memberikan manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral

Transkripsi:

JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI KERAPATAN ADAT NAGARI KECAMATAN LUBUK BEGALUNG KOTA PADANG Oleh: P R I M A Z O L A NPM: 0910005600047 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMANSISWA PADANG 2015 1

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI KERAPATAN ADAT NAGARI KECAMATAN LUBUK BEGALUNG KOTA PADANG (Primazola, 0910005600047, Fakultas Hukum Tamansiswa Padang, ABSTRAK Tanah merupakan elemen terpenting dalam kehidupan manusia, di Indonesia aturan yang mengatur tentang tanah adalah UU No. 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di Kecamatan Lubuk Begalung Nan XX Kota Padang sebagian besar tanahnya yang ada merupakan tanah hak ulayat, Di dalam masyarakat hukum adat tidak jarang menimbulkan berbagai permasalahan yang berakhir dengan sengketa tanah. Upaya penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan dengan melalui Litigasi dan Non Litigasi. Secara Non litigasi diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kepastian hak atas tanah ulayat dan hak yang ada di atas tanah yang berlaku secara turun temurun adalah berpegang pada ranji (silsilah keturunan). Penelitian dilakukan menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, teknik pengumpulan datanya dengan menggunakan data primer dan data skunder, kemudian penulis melakukan analis secara kualitatif yaitu dengan menilai data yang terkumpul dengan tidak menggunakan angka-angka tapi menggunakan peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar hukum dan logika I.Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan elemen terpenting dalam kehidupan manusia, Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang hidup dalam ikatan yang kuat serta hidup bersama dalam suatu gemeenschaft, masyarakat hukum adat juga mempunyai ikatan dengan tanah sehingga status tanah melekat dengan masyarakat Indonesia. 1 Masyarakat adat di Minangkabau adalah persekutuan yang bersifat geneologis, territorial dan matrilineal. Kehidupan berkaum, bersuku dan bernagari masyarakat adat Minangkabau terikat pada alam pikiran komunal yang berkesinambungan di semua lapangan kehidupan, seperti diantaranya di bidang pertanahan yaitu tanah ulayat. Dalam masyarakat adat Minangkabau tanah atau tanah ulayat merupakan lambang kehidupan sebagai masyarakat hukum adat, yaitu suatu kelompok yang teratur, bersifat tetap dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda kelihatan dan tidak kelihatan mata. 2 Keberadaan masyarakat hukum adat diakui di dalam UUD 1945 sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut kenyataannya yang ada tanah ulayat di Sumatera 1 Bashar Harsono, Azas-Azas Hukum Adat, Pradnya Pramita, Jakarta, 1981, Hlm 36 2 Ter Haar, Bzn. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat Pradnya Paramita, 1960, Hlm 16 1

Barat dapat dikategorikan atas 3 (tiga) golongan : 3 Tanah ulayat kaum, Tanah ulayat suku, Tanah ulayat nagari Bila terjadi sengketa tanah ulayat kaum, tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari di Minangkabau diselesaikan secara adat melalui musyawarah yang dalam pepatah adat disebut bajanjang naiak batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun) yang artinya untuk menyelesaikan persengketaan itu dilakukan melalui suatu proses yang bertingkat-tingkat. Sengketa tanah ulayat penyelesaiannya pertama-tama adalah melalui lembaga adat yang kemudian dilanjutkan ke lembaga adat tertinggi atau dibawah ke Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah dan mufakat, Pasal 12 Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya berbunyi : sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, dengan bajanjang naiak batanggo turun. UU yang menengahi tentang penyelesaian sengketa ditemui dalam UU No.30 tahun 1999 tentang Arbiterase dan alternatif penyelesaian sengketa. Kerapatan Adat Nagari Nan XX Lubuk Begalung berada dan berkedudukan di Kecamatan Lubuk Begalung adalah suatu lembaga tertinggi, yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat dan berkembang di tengah-tengah masyarakat nagari. Lembaga ini merupakan suatu lembaga permusyawaratan dan pemufakatan sepanjang adat.kerapatan Adat Nagari terdiri dari unsur-unsur penghulu adat yang berlaku menurut sepanjang adat dalam masing-masing nagari sesuai dengan sistem penerapannya antara lain Pucuk Adat/ atau Ketua.Datuk- Datuk Kaampek Suku.Penghulu-Penghulu Andiko.Urang Ampek Jinnih. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang? 2. Apakah kendala/ hambatan dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang dan bagaimana solusinya? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang. 2Untuk mengetahui kendala dan hambatan dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah ulayat di Kerapatan Adat Nagari Kecamatan Lubuk Begalung Kota Padang dan bagaimana solusinya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis : Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memilih sumbangan pemikiran pada pengetahuan hukum yakni arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Manfaat Praktis : Manfaat secara praktis memberikan masukan-masukan pada masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Lubuk Begalung dan KAN Kecamatan Lubuk Begalung. 3 Syahmunir AM, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas University Press, Padang, 2006, Hlm 150 2

II. Metode Penelitian 2.1 Pendekatan masalah Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis sosiologis (sosial legal research) yaitu pendekatan masalah melalui penelitian hukum dengan melihat norma-norma hukum yang berlaku dan menghubungkannya dengan fakta-fakta yang ada dalam masyarakat sehubungan dengan permasalahan yang ditemui penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana implementasi dari suatu aturan perundang-undangan tersebut dalam kehidupan sosial 2.2 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya menggambarkan secara lengkap suatu keadaan sehingga akan dapat dihasilkan suatu pembahasan, keadaan yang digambarkan dalam penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa tanah ulayat dan kendala-kendala dalam pelaksanaan penyelesaiannya. 2.3 Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data Ada dua data yang dibutuhkan : 1. Data Primer yaitu data yang diperoleh di lapangan, dimana penulis akan langsung turun ke lapangan untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari pihak-pihak terkait nantinya dalam hal ini lembaga-lembaga adat yang ada di lingkungan Kecamatan Lubuk Begalung Padang. 2. Data Sekunder Yaitu data yang akan diperoleh melalui studi pustaka. sarjana 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedi. 2.4 Alat dan Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui : a. Wawancara (interview) Wawancara dilakukan melalui Tanya jawab terhadap pihak-pihak terkait, teknik wawancara yang digunakan yaitu dengan tatap muka terhadap responden yang telah ditentukan. Wawancara pada proposal penelitian ini akan dilakukan secara semi terstruktur yang dipersiapkan terlebih dahulu dan tidak menutup kemungkinan muncul pertanyaan berdasarkan penyelesaian yang diberikan. b. Studi pustaka membaca semua literatur yang ada kaitannya dengan tulisan ini 2.5 Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan dengan melalui proses editing dan coding. Editing yaitu data yang telah tersusun, penulis koreksi lagi, baru penulis menyusun data itu dalam pembahasan klasifikasi berdasarkan kategori. Sedangkan coding, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan rumusan masalah b. Analisis Data Setelah data diolah selanjutnya di analisis secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan tidak menggunakan angka-angka atau rumus-rumus sebagaimana halnya penelitian kuantitatif, melainkan berupa rangkaian kalimat yang akhirnya menjadi kesimpulan. 3

III Tinjauan Kepustakaan A. Tinjauan Umum Tentang Tanah Ulayat 1. Pengertian Tanah Ulayat Tanah ulayat adalah tanah bersama masyarakat hukum adat. Tanah ulayat juga diartikan sebagai sebidang tanah dengan kekayaan, baik yang ada diatas maupun yang terkandung di dalamnya. Atau dengan kata lain tanah ulayat menurut hukum adat di Minangkabau merupakan tanah milik seluruh anggota persekutuan yang berada di dalam wilayah kekuasaan kerapatan adat para penghulu suku yang batas-batasnya telah diketahui secara turun temurun dan berfungsi sebagai berikut 4 a. Penghargaan atas jerih payah nenek moyang, b. Tanda ikatan persaudaraan anggota persekutuan c. Jaminan kehidupan generasi penerus. Menurut H. Narullah Dt. Pepati Nan Tuo Tanah Ulayat adalah segala sesuatu yang terdapat atau yang ada atas tanah termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang yang diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh, tidak terbagi dan tidak boleh dibagi. 5 Dari pengertian yang diuraikan di atas ditemukan ciri-ciri mengenai tanah ulayat : 1. Memiliki objek berupa tanah, 2. Subjek yang berhak atas tanah tersebut adalah masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat, 3. Pewarisan secara turun temurun. Hak Ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut tanah ulayat. Hak Ulayat masyarakat hukum adat mempunyai unsur : 1. Mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata. 2. Mengandung unsur kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk dalam hukum publik. Dari uraian tentang pengertian hak ulayat dari para ahli dan ketentuan undangundang di atas dapat disimpulkan : Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 4 S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, Pustaka Bangsa Press, Medan, Hlm 88 5 Narullah, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, Singgalang Press, Padang, 1999, Hlm 7 4

Subjek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat/ persekutuan masyarakat hukum adat. Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat (persekutuan hukum) adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota untuk mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selamanya 6 Menurut Azwar Anas, struktur pemilikan dan penguasaan tanah menurut hukum adat di Sumatera Barat adalah: 7 1. Tanah Ulayat Nagari, yaitu hutan ataupun tanah yang berada dalam pengelolaan nagari. 2. Tanah Ulayat Suku yaitu tanah-tanah yang dikelola dan hanya anggota suku inilah yang dapat memperoleh dan menggunakan tanah tersebut. 3. Tanah Pusaka Tinggi, yaitu merupakan milik bersama dari seluruh anggota kaum dan diperoleh secara turun temurun, yang pengawasannya berada di tangan mamak kepala waris. 4. Tanah Pusaka Rendah, yaitu harta diperoleh seseorang atau suatu/ sebuah paruik berdasarkan pemberian atau hibah maupun dipunyai oleh suatu keluarga berdasarkan pencariannya, pembelian, taruko dan sebagainya. 2. Macam-macam Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau Tanah ulayat yang terdapat di Sumatera Barat berdasarkan adat Minangkabau, dapat dibedakan ke dalam tiga golongan besar dari macammacam status, Jenis Hak Ulayat, Sifat dan Status pengemban atau pemilik hak pengurusan. a. Tanah Ulayat Nagari, Penguasaan/ Publik HGU, Hak Pakai, Hak Pengelolaan Secara adat dimiliki oleh anak nagari Pengurusan oleh Ninik mamak KAN (Kerapatan Adat Nagari ). Pengaturan pemanfaatan oleh Pemerintah Nagari. b. Tanah Ulayat Suku, Kepemilikan/ perdata Hak Milik kolektif anggota suatu suku Pengaturan dan pemanfaatan oleh penghulu penghulu suku. c. Tanah Ulayat Kaum, Kepemilikan/ perdata, Hak Milik kolektif anggota suatu kaum. Pengaturan dan pemanfaatan oleh mamak jurai / mamak kepala waris. d. Tanah Ulayat Rajo, Kepemilikan/ perdata Hak Pakai dan Hak Kelola Laki - laki tertua dari garis keturunan ibu. Hal diatas merumuskan bahwa tanah ulayat nagari memiliki aspek publik yang penguasaan dan pengurusannnya dilakukan oleh ninik mamak KAN. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum merupakan hak milik kolektif anggota suatu suku atau kaum. Sedangkan tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu. Tanah ulayat nagari dalam suatu 6 Busar Muhammad, op.cit, Hal 30 7 Dalam Saayuti Thalib Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, 1985, Hlm 4 5

nagari dijumpai sedikitnya empat buah suku. Sebuah nagari dipimpin oleh seorang Kepala Nagari. Penggunaan tanah ulayat nagari, digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti pembangunan mesjid, pembuatan balai adat, dan untuk pasar atau kepentingan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kepemilikan tanah ulayat nagari tidak dapat diubah, kecuali atas kesepakatan seluruh wakil suku atau kaum yang ada dalam nagari itu. Karena berkembangnya anak kemenakan, kebiasaan tanah ulayat nagari itu diturunkan derajatnya menjadi tanah ulayat suku atau tanah ulayat kaum. Seluruh suku dan kaum mendapat bagian yang sama. Kesepakatan pembagian tanah ulayat nagari menjadi ulayat suku atau kaum itu dituangkan dalam suatu surat kesepakatan yang ada pada zaman dahulu ditulis dalam bahasa Melayu dan ditandatangani bersama. Dapat juga status pemakaian tanah ulayat nagari diubah atas kesepakatan bersama. Tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku, dan dikelola anggota suku. Suku adalah gabungan dari beberapa kaum, dimana pertalian darah yang mengikat suku adalah pertalian darah menurut garis ibu. Suku sama sekali tidak terikat pada suatu daerah tertentu. Dimana anggota suku itu berada mereka akan tetap merasakan pertalian darah dengan segenap rasa persaudaraan sesuku. Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu suku. Untuk menggunakan tanah ulayat suku para anggota suku dalam pelaksanaannya diawasi oleh kepala penghulu suku dan ia juga membawahi beberapa rumah gadang milik kaum atau jurai. Mengingat begitu pentingnya tugas seorang penghulu sebagai pemimpin dalam suatu suku, maka tidak semua laki-laki dalam sukunya yang dapat diangkat menjadi penghulu suku melainkan seorang laki-laki dewasa berilmu yang luas, baik dalam pengetahuan adat maupun pengetahuan umum, adil, arif dan bijaksana serta sabar. Pada mulanya suku di Minangkabau berjumlah empat suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman dan bertambahnya penduduk maka suku-suku di Minangkabau berjumlah lebih kurang 96 suku diantaranya suku Tanjung, Jambak, Koto, Sikumbang, Guci, Panyalai, Melayu, Banu Hampu, Kampai, Pitopang, Mandaliku, Sako dan lain-lain. Setiap orang Minangkabau mempunyai suku dan seorang yang memiliki keturunan darah yang sama dianggap satu suku. Dalam adat Minangkabau orang yang satu suku umumnya dilarang untuk menikah karena dianggap mempunyai satu keturunan genelogis yang sama yaitu matrilineal menurut garis keturunan ibu. Setiap kaum, suku dan nagari di Minangkabau memiliki harta pusaka yang dipelihara secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Harta pusaka ini merupakan tanggung jawab dari mamak waris untuk memeliharanya. Harta pusaka ada yang berujud matrial disebut sako yaitu berupa tanah, rumah dan barang-barang berharga lainnya. 6

Disamping itu juga ada harta pusaka yang bersifat immaterial yang berupa gelar kebesaran suku yang diturunkan dari mamak (saudara lakilaki dari ibu) ke kemenakan (anak laki-laki dari saudara perempuan). Harta pusaka terutama tanah yang merupakan milik komunal dalam suku bukan milik perorangan. Tanah merupakan syarat yang pokok bagi orang Minangkabau. Dalam pepatah adat dikatakan, bahwa orang yang tidak punya tanah di bumi Minangkabau orang itu bukanlah asli daerah tersebut. Tanah ulayat kaum adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. Kaum adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari satu nenek. Tanah ulayat kaum merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan, terutama untuk memenuhi ekonominya. Tanah ulayat kaum yang dimiliki secara komunal itu merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota kaum untuk memungut hasilnya, sedangkan hak milik atas nama kaum tersebut. Harta ini jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan seluruh anggota kaum lainnya. Pengawasan tanah ulayat kaum atau harta pusaka tinggi ini, merupakan tugas dari kepala kaum yang disebut tungganai (mamak rumah yang dituakan) dalam jurai dan dihormati seperti yang diungkapkan dalam pepatah adat didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang (didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting) oleh anggota kaumnya. Disamping dibebani dengan kewajiban-kewajiban terhadap anak kemenakannya, maka penghulu (mamak adat) juga diberi hak untuk memperoleh sawah kegadangan (sawah kebesaran) milik kaumnya. Disamping mempergunakan tanah ulayat kaum, ada juga masyarakat menggunakan tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari. Apabila pemakaiannya bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya maka di sini berlaku ketentuan adat yaitu : karimbo babunggo kayu, kasawah babunggo ampiang, kalauik babunggo karang (ke rimba berbunga kayu, ke sawah berbunga amping, ke laut berbunga karang). Dengan arti kata harus dikeluarkan sebagian hasilnya untuk kepentingan suku atau nagari. Tetapi tanah ulayat kaum bisa saja dimiliki oleh nagari apabila diperlukan untuk kepentingan suku atau nagari. Sesuai dengan perkembangan zaman dan bertambahnya jumlah penduduk serta kaum kerabat. Sehingga hidup dengan mengandalkan hasil ulayat tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat kaum adat karena tanah yang dimiliki tidak mengalami peningkatan, sedangkan jumlah kerabat semakin berkembang. Hal ini menyebabkan adanya keinginan yang bertolak belakang dari anggota kaum yaitu sebagian sekelompok menginginkan tetap berpegang teguh pada adat dengan tidak membagibagi tanah ulayat tapi mencari alternatif lain dalam pemecahannya seperti pergi merantau atau berdagang. Sebahagian lagi menginginkan pembagian terhadap tanah ulayat yang ada dan akhirnya tanah ulayat itu bisa habis atau hilang. Sedangkan tanah ulayat yang belum dibagi diperuntukkan dinyatakan sebagai tanah cadangan bagi anak kemenakan di kemudian hari. Tanah ulayat suku dan 7

tanah ulayat nagari memiliki hubungan berjenjang dan pencadangan. Bila tanah ulayat suatu kaum habis, maka tanah ulayatnya menjadi tanah ulayat suku. Bila suatu tanah ulayat suku habis maka tanah ulayatnya beralih menjadi tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa tanah ulayat itu bersifat samporono (sempurna) habis. Sementara tanah ulayat rajo, sudah tidak diketemukan lagi pada saat ini, karena sudah menjadi tanah cagar budaya yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. 3. Asas-asas Tanah Ulayat Pasal 3 UUPA merupakan pengakuan adanya hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional, merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama warganya. Tanah sekaligus merupakan wilayah daerah kekuasaan masyarakat hukum yang bersangkutan. Pengakuan tersebut disertai dua syarat, 8 yaitu : 1. Mengenai eksistensinya, hak ulayat diakui eksistensi bilamana menurut kenyataan di lingkungan kelompok warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. 2. Mengenai pelaksanaannya, jika ternyata memang masih ada pelaksanaan harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hukum tanah dikenal dua macam asas yang mengatur tentang tanah 9 yaitu: a. Asas terpisah horizontal (horizontal splitzing) Yang dimaksud dengan asas terpisah horizontal ialah terpisah antara tanah dengan ulayat. Masyarakat adat hanya dapat menikmati hasil ulayat dan hak mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, apabila pemilik bangunan ingin menjual bangunannya tidak serta dengan tanah ulayat, dalam arti kata tidak dapat menjual tanah perumahan tersebut. b. Asas yang melekat disebut asas vertikal Yang dimaksud asas melekat ialah antara tanah dengan tumbuhtumbuhan yang ada di atasnya merupakan suatu kesatuan artinya apabila pemilik bangunan ingin menjual bangunannya dia dapat juga langsung menjual tanah sekalian. Selain asas di atas ada pula asas bentuk lainnya seperti : 10 a. Asas komunal 8 Ibid Hlm 14 9 Adrtian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hlm 51 10. Ibid, Hlm 50 8

Dalam asas komunal ini tanah ulayat bersama secara bersama anggota kaum, pengelolaan atau permanfaatannya diserahkan kepada masingmasing pemegang ganggam untuak. b. Asas keutamaan Bahwa kemenakan bertali darah memperoleh prioritas utama dalam mewarisi tanah ulayat dibandingkan dengan kemenakan bertali adat. c. Asas unilateral Ialah pewarisan tanah ulayat hanya berlaku menurut satu garis keturunan yaitu garis keturunan ibu atau matrilineal. 4. Fungsi Tanah Ulayat Tanah Ulayat/ Hak Ulayat atas tanah memiliki dua fungsi yaitu: 11 a. Fungsi ke dalam daerah persekutuan adat 1. Anggota persekutuan memiliki hak atas objek hak ulayatnya, yaitu Hak atas tanah, seperti hak membuka tanah, hak memungut hasil, mendirikan tempat tinggal dan lain-lain. 2. Hak atas air, seperti memakai air, menangkap ikan dan lain-lain. 3. Hak atas hutan ; hak berburu, hak-hak mengambil hasil hutan dan sebagainya. 4. Kembalinya hak ulayat atas tanah-tanah dalam hal pemiliknya pergi tak tentu rimbanya, meninggal tanpa waris atau tanda-tanda membuka tanah telah punah. Persekutuan menyediakan tanah untuk ke perumpamaanya tanah. 5. Bantuan kepada persekutuan dalam hal transaksi-transaksi tanah dalam hal ini dapat dilakukan kepala persekutuan bertindak sebagai pengatur. b. Fungsi Keluar daerah-daerah persekutuan hukum adat tampak penjelmaannya antara lain : 1. Melarang untuk membeli atau menerima gadai tanah (terutama dimana tanah ulayat itu masih kuat). 2. Membayar retribusi. 3. Tanggung jawab persekutuan atas reaksi adat, dalam hal-hal terjadi suatu detik dalam wilayahnya yang sipembuatnya tidak diketahui. B. Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa 1. Pengertian Penyelesaian Sengketa Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, perkara merupakan masalah, persoalan atau urusan (yang perlu diselesaikan atau dibereskan). Secara garis besar dibedakan macam-macam perkara. Dengan demikian perkara voluntair tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain dengan kata lain perkara tersebut tidak mengandung sengketa. Contentiosa atau contentious berasal dari bahasa latin yang pengertiannya erat berkaitan dengan penyelesaian perkara yang penuh semangat dan berpolemik. 12 Oleh karena itu terdapat sengketa diantara 11 Evo Fauzan, Pengadaan Tanah Ulayat Nagari Dalam Sistem Kembali Kepemerintahan Nagari, http/undip ic.id Hlm 49 12 Ibid, Hal. 42. 9

para pihak yang berperkara tersebut, yang mana proses penyelesaiannya diajukan kepada pengadilan. 2. Dasar Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mendefinisikan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli 13 Asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa sebagai berikut : 1. Asas Itikad baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi. 2. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa. 3. Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk memenuhi apa yang telah disepakati. 4. Asas kebebasan, berkontrak yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentang dengan undang-undang dan kesusilaan.hal ini berarti pula kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih. 5. Asas kerahasiaan, yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu perkara. Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Proses penyelesaian sengketa non litigasi diantaranya: 14 3. Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa a. Negosiasi Negosiasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda. b. Mediasi Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable) artinya para pihak 13 Jimmy Joses Sembiring, Cara Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Visimedia, Jakarta 2011, Hlm10-12 14 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, Hlm 39 10

yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para pihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Meskipun demikian septabilitas tidak berarti para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. c. Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai litigasi swasta dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah klausula arbitrase di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau Perjanjian Arbitrase dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada diluar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Sengketa Tanah Ulayat adalah perselisihan hukum atas tanah ulayat antara dua pihak yang bersengketa yaitu penguasaan dan atau pemilik tanah ulayat dengan pihak lain. Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983 membebankan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk menyelesaikan sengketa atau perkara yang terjadi antara sesama anak nagari, baik mengenai sako maupun pusako. 1) Sako adalah gelar yang diturunkan dari mamak kepada anak kemenakannya menurut garis keturunan Ibu. Disamping sako dikenal pula sansako. Kalau sako diwarisi turun-temurun dari garis matrilineal, sedangkan sangsako tidak digariskan seperti itu. 15 2) Pusako adalah warisan pusaka tinggi yang diterima secara turuntemurun oleh kaum yang bertali darah menurut garis keturunan ibu, pusako berupa sawah, ladang, emas, perak peninggalan dari orang tua nenek moyang di Minangkabau. Dan yang merupakan pusako yaitu pusako tinggi dan pusako randah. 4. Proses Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi Penyelesaian sengketa secara mediasi ada 4 tahap yaitu : 16 15 Dalam Lokakarya, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Tahun 2002 16 Rahmadi Usman dalam Gary Goodpaster, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, 2002, Hlm 10 11

a) Tahap Pertama: Menciptakan Forum Dalam tahap pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mediator: 1) Mengadakan pertemuan bersama 2) Pernyataan pembukaan mediator 3) Membimbing para pihak 4) Menetapkan aturan dasar perundingan 5) Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak 6) Pernyataan-pernyataan para pihak 7) Para pihak mengadakan atau melakukan dalam hearing dengan mediator 8) Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi informasi 9) Menciptakan interaksi model dan disiplin. b) Tahap Kedua: Pengumpulan dan Pembagian Informasi Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuanpertemuan secara terpisah atau dinamakan dengan caucus-caucus terpisah guna : 1) Mengembangkan informasi lanjutan 2) Melakukan eksplorasi yang mendalami keinginan atau kepentingan para pihak 3) Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan 4) Membimbing para pihak dalam tawar menawar penyelesaian masalah c) Tahap ketiga : Penyelesaian Masalah Dalam tahap ketiga ini mediator dapat mengadakan pertemuan bersama atau caucus-caucus terpisah sebagai tambahan atau kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk : 1) Menyusun dan menetapkan agenda 2) Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah 3) Meningkatkan kerja sama 4) Melakukan identifikasi dan klarifikasi masalah 5) Mengadakan pilihan penyelesaian masalah 6) Membantu melakukan pilihan penaksiran 7) Membantu para pihak dalam menaksir, menilai dan membuat prioritas kepentingan-kepentingan mereka. d) Tahap keempat: Pengambilan Keputusan Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan: 1) Mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan sama 2) Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pihak mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah 3) Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan 4) Mengkofirmasi dan mengklarifikasi perjanjian 5) Membantu para pihak untuk membandingkan proposal penyelesaian masalah dengan pilihan diluar perjanjian 12

6) Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan menerima pemecahan masalah 7) Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win dan tidak hilang muka 8) Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa mereka 9) Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian 5. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum mengenai penyelesaian sengketa hukum atas tanah, yaitu Pasal 30 PP No.24 / 1997, Pasal 12 dan Pasal 14 Permenag Agraria/ Kepala BPN No. 3/1999, serta dasar operasional dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No: 72 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/ Kota, khususnya Pasal 35 Mengenai Pembentukan Seksi Bimbingan Teknis dan Penyelesaian Hukum yang bertugas memberikan bimbingan teknis di bidang pengurusan hak-hak tanah dan menyelesaikan sengketa hukum yang berhubungan dengan hak-hak tanah. Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum atas tanah belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah (Permendagri No.5/ 1973), oleh karena itu penyelesaian kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa pengalaman, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar. C. Kerapatan Adat Nagari Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga adat tertinggi di nagari, tempat berhimpunnya penghulu di nagari yang disebut Ninik Mamak. Lembaga adat ini keberadaannya seiring dengan berdirinya suatu nagari dengan nama yang berbeda-beda di masing-masing nagari. Keberadaan Kerapatan Adat Nagari sangat penting artinya, karena selain mengurus, memelihara, dan mengatur pemanfaatannya tanah ulayat nagari, disamping itu Kerapatan Adat Nagari berperan untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat suku atau kaum. Kerapatan Adat Nagari (KAN) ialah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat. 17 Sebagai bukti Kerapatan itu sudah ada juga sebelum terbentuknya Kerapatan Adat Nagari, terlihat di Nagari-nagari di Minangkabau adanya Rumah Gadang Pasukuan dan Balai Adat atau Balai Ruang milik Nagari. Masalah-masalah saling sengketa antar kaum, pelanggaran adat istiadat dibicarakan oleh Penghulu di Balai Adat. Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda No 2 Tahun 2007 yang berbunyi adalah Penyelesaian sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut ketentuan yang berlaku 17 Hakimi, D. Dt. Penghulu Pedoman Ninik Mamak Pemangku Adat. Penerbit Biro Pembinaan Adat dan Syarak, LKAAM Provinsi Sumatera Barat. hlm. 90 13

sepanjang adat upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan secara berjenjang naik bertangga turun, yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari Berdasarkan Perda tersebut diatas dapat diketahui peranan KAN adalah: 1) Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan sako dan pusako. 2) Menyelesaikan perkara-perkara adat dan istiadat. 3) Mengusahakan perdamaian dan memberikan kekuatan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat yang bersengketa serta memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat. 4) Mengembangkan kebudayaan masyarakat Nagari dalam upaya melestarikan kebudayaan dalam rangka memperkaya khazanah kebudayaan nasional. 5) Menginventarisasi, memelihara, menjaga dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan Nagari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari. 6) Membina dan mengkoordinir masyarakat hukum adat mulai dari kaum menurut sepanjang adat yang berlaku pada tiap nagari. Berjenjang naik bertangga turun yang berpucuk kepada kerapatan adat nagari serta memupuk rasa kekeluargaan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat nagari dalam rangka meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotong royongan. 7) Mewakili nagari dan bertindak atas nama dan untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala perbuatan hukum di dalam dan diluar peradilan untuk kepentingan dan atau hal-hal yang menyangkut dengan hak dan harta kekayaan milik nagari keputusan kerapatan adat nagari menjadi pedoman bagi kepala desa dalam rangka menjalankan pemerintahan desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat dan aparat pemerintah berkewajiban membantu menegakkannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian bahwa keberadaan kerapatan adat nagari di tengahtengah masyarakat sangat didambakan, baik dalam mempertahankan kelestarian adat, adat nan indak lapuak dek hujan, nan indak lakang dek paneh, (adat yang tidak rusak karena hujan, tidak lekang karena panas) atau dalam menunjang kelanjutan dan kesinambungan pembangunan sehingga nampaklah kerjasama dan keselarasan serta bahu membahu antara pemerintah dan masyarakat. Penyelesaian sengketa tanah ulayat oleh Kerapatan Adat Nagari berdasarkan Pasal 12 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya : 1. Sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh KAN menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian. 14

2. Apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh pihak yang bersengketa maka pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. 3. Keputusan KAN dapat menjadi bahan pertimbangan hukum atau pedoman bagi hakim dalam mengambil keputusan. Pasal 13 ditegaskan lebih lanjut : 1. Sengketa tanah ulayat antar nagari, diselesaikan oleh KAN antar nagari yang bersengketa, menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara musyawarah dan mufakat dalam bentuk perdamaian. 2. Apabila tidak tercapai penyelesaian maka pemerintah Kabupaten/ Kota maupun Propinsi dapat diminta untuk menjadi mediator. 3. Apabila tidak tercapai penyelesaian dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001 S. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah, Pustaka Bangsa Press, Medan Syahmunir AM, Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat, Andalas University Press, Padang, 2006 Narullah, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, PT Singgalang Press, Padang, 1999 Jimmy Joses Sembiring, Cara Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Visimedia, Jakarta 2011 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, B. Perundang-Undangan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perda Provinsi Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Penanaman Modal. 15