BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Sampah

dokumen-dokumen yang mirip
BAGIAN 7 PENGANGKUTAN SAMPAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

Jurusan Teknik Planologi Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung 2013 Jl. Dr Setiabudhi No 193 Tlp (022) Bandung

Sampah manusia: hasil-hasil dari pencernaan manusia, seperti feses dan urin.

TUGAS AKHIR ANALISIS RUTE JALAN PENGANGKUTAN SAMPAH DI KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS: KECAMATAN TAMALANREA) OLEH: RIZKY HADIJAH FAHMI D

Metoda Pemindahan dan Pengangkutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi

BAB III STUDI LITERATUR

Kata Kunci : sampah, angkutan sampah, sistem angkut sampah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

EVALUASI PENGANGKUTAN SAMPAH DAN PENGEMBANGAN SARANA PERSAMPAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. investasi pembangunan. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di kota.

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

PROPOSAL PROYEK AKHIR. Yayuk Tri Wahyuni NRP Dosen Pembimbing Endang Sri Sukaptini, ST. MT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata kunci : manajemen sampah, sistem pengangkutan, Kecamatan Tabanan dan Kecamtan Kediri, kebutuhan armada pengangkut sampah

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini kemacetan dan tundaan di daerah sering terjadi, terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANSERTA PEMERINTAH, SWASTA, DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SEMARANG DINAS KEBERSIHAN & PERTAMANAN KOTA SEMARANG TAHUN 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB III LANDASAN TEORI

Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

Gambar 2.1 organik dan anorganik

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM LABORATORIUM LINGKUNGAN BERAT JENIS DAN KOMPOSISI SAMPAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

BAB VII ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UPS MUTU ELOK. Jumlah Timbulan Sampah dan Kapasitas Pengelolaan Sampah

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

EVALUASI SISTEM PENGANGKUTAN SAMPAH DI KOTA MALANG

KAJIAN PENGANGKUTAN SAMPAH DI KECAMATAN MATARAM

BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK. menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian

PENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS)

STUDI PENGELOLAAN SAMPAH BANDARA HASANUDDIN. Yemima Agnes Leoni 1 D Mary Selintung 2 Irwan Ridwan Rahim 3 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 14 tahun 2006,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

II. TINJAUAN PUSTAKA. berupa jalan aspal hotmix dengan panjang 1490 m. Dengan pangkal ruas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI

Klasifikasi Sampah (Limbah) (1/2)

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB II TINJAUAN TEORI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. kapasitas atau jumlah tonnasenya. Plastik adalah bahan non-biodegradable atau tidak

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 3 Tahun 2002 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi darat memiliki fungsi sangat mendasar yaitu : 1. membantu pertumbuhan ekonomi nasional,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Serta peraturan di indonesia memang agak rumit, dan tidak benar-benar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelumnya, maka dengan ini penulis mengambil referensi dari beberapa buku dan

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Sampah Dalam membicarakan sampah tidak akan terlepas dari satu kata yang sifatnya hampir serupa dengan sampah, yaitu limbah. Namun limbah dan sampah memiliki perbedaan, melalui beberapa definisi mengenai limbah dan sampah berikut diharapkan dapat diketahui perbedaan diantara keduanya. Limbah adalah semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair, maupun gas yang dibuang kerena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang-kadang masih dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku ( Enri & Tri Damanhuri, 2006). Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Secara harfiah, pengertian sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari pengelolaan gaya hidup masyarakat. Sampah menurut SNI 19-2454-1991 [3] tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas zatorganik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya dalam bentuk sisa makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting, kertas/karton, plastik, kain bekas, debu sisa penyapuan, dan sebagainya. Atau sampah dapat juga didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses alam yang berbentuk padat. Menurut Kamus Istilah Lingkungan 1994, sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. 9

Tiwow mengemukakan definisi yang bernilai ekonomis tentang sampah, yaitu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. 2.1.1 Jenis Sampah Secara umum, sampah dapat dibagi 3 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah), sampah anorganik (sampah kering) dan sampah berbahaya. Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami. Sedangkan contoh sampah berbahaya adalah baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas dll Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat. Misalnya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuang di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi. Bila dilihat dari sumbernya, maka sampah perkotaan yang dikelola oleh Pemerintah Kota di Indonesia sering dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu: a Sampah dari rumah tinggal, merupakan sampah yang dihasilkan dari kegiatan atau lingkungan rumah tangga atau sering disebut dengan istilah sampah domestik. Dari kelompok sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa sisa makanan, plastik, kertas, karton/dos, kain, kaca, daun, logam, dan kadang-kadanga sampah 10

berukuran besar seperti dahan pohon. Praktis tidak terdapat sampah yang biasa dijumpai di negara industri, seperti mebel, TV bekas, kasur, dan lain-lain. Kelompok ini dapat meliputi rumah tinggal yang ditempati oleh sebuah keluarga, atau sekelompok rumah yang berada dalam suatu kawasan permukiman, maupun unit rumah tinggal yang berupa rumah susun. Dari rumah tinggal juga dapat dihasilkan sampah golongan B3 (bahan berbahaya dan racun), seperti baterai, lampu TL, oli bekas, dan lain-lain. b Sampah dari daerah komersial, sumber sampah dari kelompok ini berasal dari pertokoan, pusat perdagangan, pasar, hotel, perkantoran, dan lain-lain. Dari sumber ini umumnya dihasilkan sampah berupa kertas, plastik, kayu, kaca, logam, dan juga sisa makanan. Khusus dari pasar tradisional, banyak dihasilkan sisa sayur, buah, makanan yang mudah membusuk. Secara umum sampah dari sumber ini mirip dengan sampah domestik tetapi dengan komposisi yang berbeda. c Sampah dari perkantoran/institusi, sumber sampah dari kelompok ini meliputi perkantoran, sekolah, rumah sakit, lembaga permasyarakatan, dan lain-lain. Dari sumber ini dihasilkan sampah seperti halnya dari daerah komersial non pasar. d Sampah dari jalan/taman dan tempat umum, sumber sampah ini dapat berupa jalan kota, taman, tempat parkir, tempat rekreasi, saluran drainase kota, dan lain-lain. Dari daerah ini umumnya dihasilkan sampah berupa daun/dahan pohon, pasir/lumpur, sampah umum seperti plastik, kertas, dan lain-lain. e Sampah dari industri dan rumah sakit sejenis sampah kota, kegiatan umum dalam lingkungan dan rumah sakit tetap menghasilkan sampah sejenis sampah domestik, seperti sisa makanan, kertas, plastik, dan lain-lain. Yang perlu mendapat perhatian adalah, bagaimana agar sampah yang tidak sejenis dengan sampah kota tersebut tidak masuk dalam sistem pengelolaan sampah kota. 2.1.2 Alternatif Pengelolaan Sampah Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Sebalilnya alternatifalternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal 11

tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaurulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan. Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. 2.1.3 Pengangkutan Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan atau dari sumber sampah secara langsung menuju tempat pemerosesan akhir atau TPA. Pengangkutan sampah merupakan salah satu komponen penting dan membutuhkan perhitungan yang cukup teliti, dengan sasaran mengoptimalkan waktu angkut yang diperlukan dalam sistem tersebut, khususnya bila: a Terdapat sarana pemindahan sampah dalam skala cukup besar yang harus menangani sampah; b Lokasi titik tujuan sampah relatif jauh; 12

c Sarana pemindahan merupakan titik pertemuan masuknya sampah dari berbagai area; d Ritasi perlu diperhitungkan secara teliti; dan e Masalah lalu-lintas jalur menuju titik sasaran tujuan sampah. Dengan optimasi sub-sistem ini diharapkan pengangkutan sampah menjadi mudah, cepat, dan biaya relatif murah. Di negara maju, pengangkutan sampah menuju titik tujuan banak menggunakan alat angkut dengan kapasitas besar, yang digabung dengan pemadatan sampah, seperti yang terdapat di Cilincing-Jakarta. Persyaratan alat pengangkutan sampah antara lain adalah : a Alat pengangkut sampah harus dilengkapi dengan penutup sampah, minimal dengan jaring; b Tinggi bak maksimum 1,6 m; c Sebaiknya ada alat ungkit; d Kapasitas disesuaikan dengan kondisi/kelas jalan yang akan dilalui; dan e Bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengoperasian sarana angkutan sampah kemungkinan penggunaan stasiun atau depo kontainer layak diterapkan. Dari pusat kontainer ini truk klapasitas besar dapat mengangkut kontainer ke lokasi pemerosesan atau TPA, sedangkan truk kapasitas kecil (kota) tidak semuanya perlu sampai ke lokasi tersebut. Dengan demikian jumlah ritasi truk sampah dapat ditingkatkan. Usia pakai minimal 5-7 tahun. Volume muat sampah 6-8m 3, atau 3-5 ton. Ritasi truk angkutan per hari dapat mencapai 4-5 kali untuk jarak tempuh di bawah 20 km, dan 2-4 rit untuk jarak tempuh 20-30 km, yang pada dasarnya akan tergantung waktu per ritasi sesuai kelancaran lalu lintas, waktu pemuatan dan pembongkaran sampah. Di negara maju terdapat dua metode pengangkutan sampah, yaitu : a Hauled Container System (HCS), adalah sistem pengumpulan sampah yang wadahnya dapat dipindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pemerosesan atau TPA. HCS ini merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersial. b Stationary Container System (SCS), adalah sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah. Wadah pengumpulan ini berupa wadah yang dapat diangkat maupun yang tidak dapat diangkat. SCS merupakan sistem wadah tinggal ditujukan untuk melayani daerah pemukiman. 13

Beberapa prosedur sebaiknya diikuti dalam operasional pengangkutan sampah untuk mendapatkan sistem pengangkutan sampah yang efektif dan efisien : a Menggunakan rute pengangkutan yang sependek mungkin dan dengan hambatan yang sekecil mungkin; b Menggunakan kendaraan angkut dengan kapasitas/daya angkut yang semaksimal mungkin; c Menggunakan kendaraan angkut yang hemat bahan bakar; dan d Dapat memanfaatkan waktu kerja semaksimal mungkin dengan meningkatkan jumlah beban kerja/ritasi pengangkutan semaksimal mungkin. Beberapa jenis kendaraan angkut yang biasa digunakan dalam sistem pengelolaan sampah adalah sebagai berikut : a Truk terbuka, hanya sebagai pengangkut sampah. Perlu penutup agar sampah di truk tidak berterbangan. Tidak dianjurkan, kecuali dana terbatas. b Dump truck, truk pengangkut sampah yang dilengkapi dengan penutup kontainer. Dianjurkan, karena lebih mudah dalam pembongkaran sampah di tujuan. c Arm-roll truck, Roll-on truck, Multi-loader truck, truk pengangkut sampah yang dilengkapi mesin pengangkat kontainer. Dinajurkan, untuk daerah pasar dan sumber sampah besar lainnya. d Compactor truck, truk pengangkut sampah yang dapat mengkompaksi sampah sehingga dapat menampung lebih banyak sampah. Sesuai untuk kota-kota besar dan metropolitan. 2.2 Jaringan Jalan Jalan direncanakan dan dirancang sedemikian rupa sehingga ada hirearki yang membentuk sistem pelayanan yang tek terpisahkan dengan pola tata ruang kegiatan. Watak jalan yang mampu berperan sebagai pemicu dan pemacu pembangunan adalah fakta nyata. Ruas jalan yang dibangun sebagai penghubung antara satu kawasan dengan kawasan lain, dengan serta merta mengubah nilai lahan pada jalur yang bersangkutan sebagai akibat dari akses yang meningkat. Akibatnya, tak terelakkan lagi, kegiatan di sepanjang jalan tersebut berkembang. Dalam penataan jaringan jalan, agar tersusun sistem jaringan yang baik, harus diperhatikan hirearki jaringan. Hirearki jaringan jalan akan menuntun pada susunan sistem 14

sirkulasi lalu lintas di jalan. Tidak kurang pentingnya adalah lingkungan di sepanjang jalur jalan, karena hal ini cuikup besar pengaruhnya dalam perlalulintasan. Lingkungan yang tertata dengan baik selain dapat menambah kenyamanan bagi para pengguna jalan, juga mempunyai peranan penting dalam keamanan berkendaraan sehingga dapat meningkatkan keamanan berlalu lintas. Rambu-rambu, isyarat, lampu, marka jalan, pagar pengaman, pilihan jenis tanaman pelindung adalah berbagai elemen lingkungan yang harus menjadi perhatian dalam mengelola perlalulintasan. 2.2.1 Kondisi Fisik Jaringan Jalan Menurut Guide to Trafic Engineering Practice Part I, Austroda 1988 kinerja arus lalu lintas dan kapasitas jalan dipengaruhi oleh kondisi fisik jaringan jalan, seperti : a Lebar jalur jalan; b Alignment vertikal dan horizontal jalan; c Rancangan geometrik jalan; d Kondisi dan jenis perkerasan jalan; e Lebar dan banyaknya lajur; f Gradien; g Jarak pandang; h Frekuensi dan bentuk persimpangan; i Kelengkapan jalan; j Hampiran (terrain); dan k Daya tarik lintas Apabila persyaratan teknis semua elemen tersebut di atas terpenuhi, baik kualitas maupun kuantitas, maka kelancaran lalu lintas dapat terjamin. Guna memperlancar arus lalu lintas kendaraan, jalur jalan dapat ditetapkan menjadi jalur searah atau jalur dua arah yang masing-masing dapat dibagi dalam beberapa lajur sesuai dengan lebar badan jalan. Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk 15

TABEL II.1 Jenis Peralatan Konstruksi/bahan Kelebihan Kelemahan Catatan Truk Biasa - Bak konstruksi kayu - Harga relatif murah - Kurang sehat - Banyak dipakai di Terbuka - Bak konstruksi plat besi - Perawatan relatif lebih mudah/murah - Memerlukan waktu pengoperasian lebih lama Indonesia - Diperlukan tenaga lebih banyak Dump/Tipper Truck Arm Roll Truck Compactor Truck Mulit Loader Truck With Crane Mobil Penyapu Jalan (Street Sweeper) - Bak plat baja - Tidak diperlukan banyak - Dump truck dengan tenaga kerja pada saat peninggian bak pembongkaran pengangkutnya - Pengoperasian lebih efektif dan efisien - Truk untuk mengangkut/membaw a kontainer-kontainer hidrolis - Truk dilengkapi dengan alat pemadat sampah - Truk untuk mengangkut/membaw a kontainer-kontainer hidrolis - Truk dilengkapi dengan alat pengangkat sampah - Truk dilengkapi dengan alat penghisap sampah - Praktis dan cepat dalam pengoperasian - Tidak diperlukan tenaga kerja yang banyak - Lebih bersih dan sehat - Estetika baik - Penempatan lebih fleksibel - Volume sampah terangkut lebih banyak - Lebih bersih dan hygienis - Estetika baik - Praktis dalam pengoperasian - Tidak diperlukan banyak tenaga kerja - Praktis dalam pengoperasian - Tidak diperlukan banyak tenaga kerja - Penempatan lebih fleksibel - Tidak memerlukan banyak tenaga kerja untuk menaikkan sampah ke truk - Cocok untuk mengangkut sampah yang besar (bulky waste) - Pengoperasian lebih cepat - Sesuai untuk jalan-jalan protokol yang memerlukan pekerjaan cepat - Estetis dan hygienis - Tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak - Estetika kurang - Perawatan lebih sulit - Kurang sehat - Kurang estetis - Relatif lebih mudah berkarat - Sulit untuk pemuatan - Hidrolis sering rusak - Harga relatif mahal - Biaya perawatan lebih mahal - Diperlukan lokasi (areal) untuk penempatan dan pengangkatan - Harga relatif mahal - Biaya investasi dan pemeliharaan lebih mahal - Waktu pengumpulan lama bila untuk sistem door to door - Perlu modifikasi bak - Cocok pada lokasi-lokasi dengan produksi sampah yang relatif banyak - Cocok untuk pengumpulan dan angkutan secara komunal - Hidrolis sering rusak - Cocok pada - Diperlukan lokasi lokasi-lokasi (areal) untuk dengan produksi penempatan dan sampah yang pengangkatan relatif banyak - Pernah digunakan - Hidrolis sering rusak - Sulit untuk digunakan di daerah yang jalannya sempit dan tidak teratur - Harga lebih mahal - Perawatan lebih mahal - Belum memungkinkan untuk kondisi jalan di Indonesia umumnya PERALATAN SUBSISTEM PENGANGKUTAN di Makasar - Telah digunakan di DKI Jakarta - Baik untuk jalanjalan protokol : yang rata, tidak berbatu, dan dengan batas jalan yang baik 16

lalu lintas kendaraan. Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk laju satu kendaraan bermotor, selain sepeda motor (PP No.43 tahun 1993). Membangun median jalan untuk membuat satu jalur menjadi dua jalur yang berbeda arah dan tiap jalur terdiri atas beberapa lajur adalah upaya untuk memperlancar arus lalu lintas. Hal ini menuntut lebar jalan tertentu agar teknik tersebut dapat diterapkan. Lebar minimal satu lajur bervariasi disesuaikan dengan fungsi jalan yang bersangkutan. Untuk lalu lintas lambat di daerah perkotaan, lebar minimal lajur + 2,7 meter, lebar ideal bagi ruas jalan yang pendek karena lebar jalur (2 lajur) tersebut hanya cukup untuk dua kendaraan besar berpapasan dalam kecepatan yang sangat rendah. Pada jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas cepat, standard lebar minimal setiap jalur adalah 3,5 meter yang ditandai dengan marka jalan. Lebar yang berlebihan akan merangsang pengemudi untuk bertingkah laku kurang displin yang justru akan mengganggu laju kendaraan dan mengurangi kapasitas jaringan jalan. 2.2.2 Jenis-jenis Jaringan Jalan Sesuai dengan daya dukungnya, jalan diatur dalam berbagai kelas yaitu : a Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukurab panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton; b Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton; c Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; d Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton; dan 17

e Jalan kelas III C, yaitu jalan lokasi yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan, dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton. Berdasarkaan fungsinya, jalan terbagi menjadi : a Arteri primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota hirearki kesatu yang terletak berdampingan, atau menghubungkan kota hirearki kesatu dengan kota hirearki kedua; b Arteri sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder hirearki kesatu, atau menghubungkan kawasan kawasan sekunder hirearki kesatu dengan kawasan sekunder hirearki kesatu lainnya, atau kawasan sekunder hirearki kesatu dengan kawasan sekunder hirearki kedua; c Kolektor primer, yaitu jalan yang menghubungkan kota hirearki kedua dengan kota hirearki kedua lainnya, atau kota hirearki kedua dengan kota hirearki ketiga; d Kolektor sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan antara pusat hirearki kedua, atau antara pusat hirearki kedua dengan ketiga; e Lokal primer, yaitu jalan yang menghubungkan persil dengan kota pada semua hirearki; dan f Lokal sekunder, yaitu jalan yang menghubungkan pemukiman dengan semua kawasan sekunder. Berdasarkan pengelolaannya, jalan dibedakan menjadi : a Jalan negara, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Pusat; b Jalan propinsi, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Daerah Propinsi; c Jalan kabupaten, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota: dan d Jalan desa, yaitu jalan yang dibina oleh Pemerintah Desa. 2.3 Pemilihan Rute 18

Prosedur pemilihan rute bertujuan memodelkan prilaku pelaku pergerakan dalam memilih rute yang menurut mereka merupakan rute terbaiknya. Dengan kata lain, dalam proses pemilihan rute, pergerakan antara dua zona untuk moda tertentu dibebankan ke rute tertentu yang terdiri dari ruas jaringan jalan tertentu. Jadi, dalam pemodelan pemilihan rute dapat diidentifikasikan rute yang akan digunakan oleh setiap pengendara sehingga akhirnya didapat jumlah pergerakan pada setiap ruas jalan. Dengan mengasumsikan bahwa setiap pengendara memilih rute yang meminimumkan biaya perjalanan (bisa juga meminimumkan waktu dan jarak perjalanan), maka adanya penggunaan ruas yang lain mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi pribadi tentang biaya atau mungkin juga disebabkan oleh keinginan untuk menghindari kemacetan. Hal utama dalam proses pembebanan rute adalah memperkirakan asumsi pengguna jalan mengenai pilihannya yang terbaik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan rute pada saat seseorang melakukan perjalanan. Beberapa diantaranya adalah waktu tempuh, jarak, biaya (bahan bakar dan yang lainnya), kemacetan dan antrian, jenis manuver yang dibutuhkan, jenis jalan (jalan arteri, tol, atau lainnya), pemandangan, kelengkapan rambu dan marka jalan, serta kebiasaan. Sangatlah sukar menghasilkan persamaan biaya gabungan yang menggabungkan semua faktor tersebut. Selain itu, tidak praktis memodelkan semua faktor tersebut sehingga harus digunakan beberapa asumsi atau pendekatan. Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah mempertimbangkan dua faktor utama dalam pemilihan rute, yaitu nilai waktu dan biaya pergerakan biaya pergerakan dianggap proporsional dengan jarak tempuh. Dalam beberapa model pemilihan rute dimungkinkan penggunaan bobot yang berbeda bagi faktor waktu tempuh dan faktor jarak tempuh untuk menggambarkan presepsi pengendara dalam kedua faktor tersebut. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa bobot lebih dominan dimiliki oleh waktu tempuh dibandingkan dengan jarak tempuh pada pergerakan di dalam kota. Permintaan transportasi tidak pernah tetap, sementara infrastruktur transportasi (jaringan jalan) memiliki kapasitas yang terbatas. Keterbatasan kapasitas ini menyebabkan jaringan jalan tidak dapat menampung tambahan permintaan baru. Limitasi pada kapasitas jaringan jalan menghasilkan suatu gangguan berupa kemacetan lalu lintas, dimana kecepatan kendaraan yang melalui jaringan jalan tersebut mengalami penurunan akibat kepadatan lalu lintas. Selain mempengaruhi waktu tempuh perjalanan, kemacetan lalu 19

lintas juga berpengaruh pada biaya operasional perjalanan. Semakin tinggi kecepatan kendaraan maka biaya operasional perjalanan akan semakin rendah. Oleh karena itu, penurunan kecepatan kendaraan pada suatu jaringan jalan akibat kemacetan lalu lintas akan berdampak pada peningkatan biaya operasional perjalanan. Penurunan kecepatan kendaraan yang terjadi menyebabkan penurunan pada tingkat pelayanan jalan (Level of Service/LOS). Tingkat pelayanan ini berupa rasio antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan (Volume Capacity Ratio/VCR). LOS yang menurun berarti pelayanan jalan tidak lagi optimal. Tingkat pelayanan suatu ruas jalan adalah istilah yang dipergunakan dalam menyatakan kualitas pelayanan yang disediakan oleh suatu jalan dalam kondisi tertentu. TABEL II.2 HUBUNGAN LOS, KECEPATAN RATA-RATA, DAN VCR LOS Kecepatan Rata-rata (km.jam) VCR A >50 <0,4 B 40-50 <0,58 C 32-40 <0,8 D 27-32 <0,9 E 24-27 <1 F <24 >1 Sumber: Maulana Akbar & D. Prabowo, 2000 20