PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODE PENELITIAN

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi

PENGENALAN KUCING CONGKOK (Prionailurus bengalensis) BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA di TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (TNWK)

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Camera Trap Theory, Methods, and Demonstration

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB III METODE PENELITIAN

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 DATA DAN ANALISA

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

IV. METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEBERADAAN HARIMAU SUMATERA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

C. Model-model Konseptual

MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

Transkripsi:

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK EVINE KEMALA OLVIANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

RINGKASAN Evine Kemala Olviana. E34062086. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak. Pembimbing : Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka yang kritis (critically endangared) berdasarkan kategori IUCN. Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera menekankan pada perjumpaan tidak langsung. Namun dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan kerancuan dan bias yang tinggi. Saat ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak dengan metode kamera jebakan dan mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera. Pengambilan data dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan Juli hingga Oktober 2010 bertempat di Taman Nasional Berbak, Jambi. Peralatan yang digunakan antara lain : kamera jebakan tipe DLC Covert II dan DeerCam, baterai, kartu memori, rol film, kamera digital, dan GPS (Global Positioning System) receiver. Metode penelitian yang digunakan adalah metode tangkap tandai (capture-recapture) menggunakan kamera jebakan yang diletakkan pada lokasi-lokasi yang berpotensi ditemukan keberadaan harimau. Kamera dipasang di 32 lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 2-2,5 km. Individu harimau diidentifikasi berdasarkan pola garis loreng, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pendugaan kepadatan harimau dianalisis melalui program CAPTURE dan luas area contoh efektif. Jumlah foto dan video yang berhasil terkumpul sebanyak 1031 gambar diantaranya sebanyak 262 gambar (25,41%) dapat merekam secara jelas gambar objek satwa. Dari 262 gambar terdapat 15 gambar harimau sumatera yang berhasil terekam kamera. Jumlah individu harimau sumatera yang berhasil tertangkap kamera sebanyak tujuh individu. Lokasi yang berhasil merekam gambar harimau paling banyak adalah di Parit 14 dengan jumlah gambar yang berhasil terkumpul sebanyak tujuh gambar. Parit 14 merupakan lokasi yang memiliki kelimpahan satwa mangsa yang tinggi dimana berkolerasi dengan tingkat perjumpaan harimau melalui kamera jebakan. Luas area contoh efektif adalah 139,43 km 2 dengan kepadatan harimau sumatera sebesar 4,39 harimau/100 km 2. Perbandingan jenis kelamin adalah 4 jantan dan 2 betina serta memiliki kelas umur yang sama yaitu dewasa. Peluang kemungkinan tertangkap individu harimau pada seluruh ulangan yaitu 98% sehingga tidak sulit untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Satwa mangsa utama harimau sumatera di lokasi studi adalah babi jenggot Sus barbatus, napu Tragulus napu, beruk Macaca nemestrina dan tapir Tapirus indicus. Faktor cuaca seperti panas dan hujan mempengaruhi kinerja dari kamera jebakan. Kepadatan harimau sumatera tergolong tinggi namun berbagai ancaman terhadap harimau dan satwa mangsa juga tinggi. Perlunya studi mendalam mengenai pemilihan lokasi pemasangan kamera jebakan untuk mendapatkan tangkapan foto harimau yang lebih tinggi Kata kunci: harimau sumatera, pendugaan populasi, kamera jebakan, mangsa

SUMMARY Evine Kemala Olviana. E34062086. Estimation of Sumatran Tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Population Using Camera Trap in Berbak National Park. Under Supervisor: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. The sumatran tiger Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 is one of top predator species with their status as critically endangered species based on IUCN category. Most of sumatran tiger population monitoring techniqes is emphasized on the indirect count. However, the output of population assessing almost appear confussion and more higher biased. And now, monitoring method has developed by camera trap. The objectives of this research is to estimation of sumatran tiger population using camera trap in Berbak National Park and to identification of sumatran tiger potential prey. This research was conducted from July until October 2010 in Berbak National Park, Jambi. The equipments were used in this study are DLC Covert II and DeerCam camera trap units, dry cell battery, memory card, film roll, digital camera, and GPS receiver. The research methods is capture recapture method using camera trap which placed at potential locations of tiger presence in study area. Camera was spread at 32 location with the distance each others about 2-2,5 km. Tigers were identified as individual based on their stripes pattern, different characteristic like their morphology and basic body dimension. Estimation of tiger density was analysed by program CAPTURE and effective sampling area wide. A total of collected photo and video is 1031 frame that consist of 262 frame capture the wildlife photograhs (25,41%). From 262 wildlife photographs, there is 15 tiger photographs were obtained. A total of identified tiger based on camera trap in study area is seven tigers. The location where recording most of tiger photographs is Parit 14 with seven photographs. Parit 14 is a location with high prey abundant which related to tiger encountered rate by camera trap. The effective sampling area wide is 139,43 km 2 with estimating approximately of tiger density based CAPTURE program is 4,39 tiger per 100 km 2. The tiger s sex ratio in this studi is 4 male and 2 female with the same age class (i.e. adult). There is no a cub was recorded by camera trap. Tiger capture probability in all of occasion is 98% that means to not difficult to find of tiger s signs in study area. The tiger s principal preys species in study area are breaded pig (Sus barbatus), greater mouse deer (Tragulus napu), pig tailed macaque (Macaca nemestrina), asian tapir (Tapirus indicus). A weather factor such as warm and rain is influencing the camera trap performance. Sumatran tiger density is high but the threath of sumatran tiger and their prey is high too. Needed strongly study about location selection of camera trap to obtain higher sumatran tiger photographs. Keywords: sumatran tiger, population estimate, camera trap, prey

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK EVINE KEMALA OLVIANA Skripsi sebagai salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Evine Kemala Olviana NRP 34062086

Judul Nama NIM Departemen Fakultas : Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan Di Taman Nasional Berbak : Evine Kemala Olviana : E34062086 : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata : Kehutanan Menyetujui, Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. NIP. 19482081 198001 1 001 NIP. 19660221 199103 1 001 Mengetahui, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Ketua, Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP. 19580915 198403 1 003 Tanggal:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ketiau tanggal 1 Maret 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Heru Winarto dan Ibu Cicik Masriyam. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1993 di TK PG Cinta Manis dan tahun 1994 melanjutkan ke SD PG Cinta Manis, Ketiau, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Tanjung Raja dan kemudian pada tahun 2003 dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi Ikatan Mahasiswa Sumatera Selatan (IKAMUSI), Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumber Daya Hutan (HIMAKOVA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM-UKF). Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Jalur Sancang-Kamojang, Jawa Barat dan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Jambi. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktik Lapang Mahasiswa Pascasarjana Program Tropical and International Forestry Goettingen University Germany di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak dibawah bimbingan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr.Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si.

UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara atas doa, perhatian, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama pengambilan data dan penyusuanan skripsi. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberi nasihat, masukan, semangat, dan bimbingannya selama ini. 2. Bapak Soni Trison, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk skripsi ini dan Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku ketua sidang yang telah memberi nasihat untuk penulis. 3. The Zoological Society of London (ZSL-IP) atas bantuan dana, sarana dan prasarana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. 4. Balai Taman Nasional Berbak atas izin dan bantuan yang diberikan selama penelitian. 5. Pak Dolly Priatna (Direktur ZSL) yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian bersama, Tim Survei harimau sumatera Berbak: Mbak Citra N. Panjaitan (Tiger Officer) yang telah memberikan saran dan masukan selama penelitian, Mas Doyok, Mas Edi, Pak Dedi, Bang Unga, Bang Ajie, Bang Ali, Bang Zainal yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang luar biasa selama pengambilan data di lapang, Pak Purwanto, Pak Mulya dan Mbak Ike yang telah memberi bantuan selama di kantor Jambi serta Pak Agus dan Mbak Erna atas bantuannya selama di kantor Bogor. 6. K Anti sekeluarga, K Na sekeluarga, Mas Edi sekeluarga dan Mas Doyok sekeluarga yang bersedia direpotkan penulis selama penelitian. Terima kasih banyak untuk semuanya. 7. Teman-teman Pondok Surya : Uins, Dhila, Emil, Dea, Ane atas dukungan dan kebersamaannya selama studi hingga lulus. We are always be best friend. ありがとうございます 8. Teman-teman seperjuangan (semua anggota UKF) atas ilmu dan pengalaman, kebersamaan, keceriaan serta dukungan. You are the secondly families for me. 9. Seluruh Keluarga Besar KSHE 43 yang beragam dan menyenangkan (like a

candy with so much tasty). Kita telah menjadi kakak (panutan) dan adik yang baik. We are the best. 14. Bapak, Ibu Dosen dan seluruh staf di lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. 15. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya hingga terselesaikannya skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Penulis

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala Rahmat dan BerkahNya penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah dilakukan berjudul Pendugaan Populasi Harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 Menggunakan Metode Kamera Jebakan di Taman Nasional Berbak. Harimau sumatera merupakan salah satu spesies yang sebarannya terbatas hanya di Sumatera. Pendugaan populasi harimau sumatera telah banyak dilakukan melalui berbagai metode, namun penggunaan kamera jebakan belum banyak dilakukan. Penggunaan metode ini diharapkan dapat menghasilkan dugaan populasi yang lebih baik serta menghemat waktu, tenaga dan biaya dalam pengumpulan data populasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material demi kelancaran penyusunan skripsi ini. Semoga dengan skripsi ini dapat membantu upaya kegiatan konservasi populasi dan habitat harimau sumatera di Taman Nasional Berbak. Bogor, Evine Kemala Olviana E34062086

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 2 1.3 Manfaat Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Taksonomi... 3 2.2 Morfologi... 3 2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera... 5 2.4 Populasi dan Distribusi... 6 2.5 Satwa Mangsa... 7 2.6 Habitat... 8 2.7 Wilayah Jelajah dan Teritori... 9 2.8 Perilaku... 10 2.8.1 Perilaku Berburu... 11 2.8.2 Perilaku Reproduksi... 11 2.9 Teknik Pendugaan Populasi... 12 2.10 Kamera Jebakan (Camera Trap)... 13 2.11 Program CAPTURE... 15 III. METODE PENELITIAN... 17 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 17 3.2 Alat dan Bahan... 17 3.3 Jenis Data... 17 3.4 Teknik Pengambilan Data... 18 3.4.1 Populasi dan Potensi Mangsa Harimau... 18 3.4.2 Karakteristik Habitat Harimau... 20 3.5 Analisis Data... 21 3.5.1 Populasi Harimau dan Potensi Satwa Mangsa... 21 3.5.1.1 Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa... 21 3.5.1.2 Kepadatan Absolut Harimau... 23 3.5.1.3 Tingkat Perjumpaan Harimau dan Mangsa... 24 3.5.2 Karakteristik Habitat Harimau... 24 IV. KONDISI UMUM LOKASI... 26 4.1 Sejarah dan Status... 26 4.2 Letak dan Luas... 26 4.3 Kondisi Fisik Kawasan... 27 4.3.1 Topografi... 27 (i)

4.3.2 Iklim... 27 4.3.3 Aksesbilitas... 27 4.4 Kondisi Biologi Kawasan... 28 4.4.1 Flora... 28 4.4.2 Fauna... 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30 5.1 Kondisi Habitat... 30 5.2 Hasil Pemasangan Kamera Jebakan (Camera Trap)... 36 5.3 Populasi Harimau Sumatera... 39 5.3.1 Kepadatan Harimau Sumatera... 39 5.3.2 Perbandingan Jenis Kelamin... 44 5.3.3 Struktur Umur... 45 5.4 Pola Waktu Aktivitas Harimau dan Satwa Mangsa... 46 5.5 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate) Harimau Sumatera... 49 5.6 Spesies Satwa yang Ditemukan di Setiap Titik Kamera... 51 5.7 Karakteristik Habitat... 55 5.7.1 Ketersediaan Sumber Air... 55 5.7.2 Satwa Mangsa... 56 5.8 Ganggguan/ Ancaman terhadap Harimau Sumatera... 61 5.8.1 Penebangan Liar (Illegal Loging)... 61 5.8.2 Perburuan Ilegal Satwa... 62 VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 63 6.1 Kesimpulan... 63 6.2 Saran... 63 DAFTAR PUSTAKA... 64 LAMPIRAN... 73 (ii)

DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan lindung utama... 7 2. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Dalam.. 31 3. Hasil analisis vegetasi dengan nilai INP tiga teratas di Air Hitam Laut... 32 4. Data analisis vegetasi dengan jenis-jenis tiga teratas di sekitar Pos Simpang Malaka... 36 5. Hasil pengambilan gambar harimau sumatera dan identifikasi individu harimau pada periode 1 dan 2... 38 6. Hasil penghitungan pada program CAPTURE menggunakan model Mo dan Mh... 40 7. Populasi dugaan harimau sumatera berdasarkan analisis program CAPTURE... 41 8. Perbandingan jenis kelamin harimau sumatera... 44 9. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode pertama. 52 10. Jumlah gambar satwa yang tertangkap oleh kamera pada periode kedua... 54 11. Jenis satwa mangsa potensial harimau sumatera... 57 (iii)

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng... 5 2. (a) Pemasangan baterai dan kartu memori; (b) Pengaturan kamera melalui remote control; (c) Pemasangan kamera jebakan model DLC Covert II... 18 3. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Berbak.... 19 4. Bentuk jalur analisis vegetasi... 20 5. Contoh identifikasi pada dua individu harimau... 22 6. (a) Kondisi lantai hutan di lokasi pemasangan kamera; (b) Kondisi tajuk pohon... 33 7. Pelindung (cover) harimau di Simpang Kubu... 34 8. Peta sebaran titik kamera jebakan (camera trap)... 37 9. Grafik jumlah gambar yang diperoleh per hari kamera aktif... 39 10. Peta sebaran individu harimau sumatera di lokasi penelitian... 42 11. Perjumpaan jejak kaki harimau sumatera (a) jejak kaki di lokasi Simpang Bantang; (b) jejak kaki di lokasi Simpang Aur... 44 12. Individu harimau sumatera jantan (a) King Arthur; (b) Pandawa... 45 13. Individu harimau dengan kelas umur dewasa (adult)... 46 14. Grafik persentase waktu aktivitas satwa berdasarkan hasil foto kamera jebakan... 48 15. Grafik tingkat perjumpaan (encounter rate) harimau sumatera di berbagai lokasi... 50 16. Sumber air di habitat hutan rawa gambut (a) kubangan; (b) sungai... 56 17. (a) Babi jenggot (Sus barbatus); (b) Beruk (Macaca nemestrina)... 58 18. Jejak kaki tapir (Tapirus indicus) yang ditemukan di Parit 14... 59 19. Grafik tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan hasil kamera jebakan... 61 20. (a) Log kayu yang siap angkut; (b) Rel kayu yang digunakan untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan... 62 21. (a) Pondok pemburu burung yang terdapat di dalam hutan; (b) Sarang burung yang digunakan untuk mengumpulkan burung; (c) Jerat satwa mangsa harimau sumatera... 64 (iv)

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 merupakan salah satu jenis satwa top predator yang statusnya saat ini adalah satwa langka yang kritis (critically endangered) berdasarkan kategori IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Oleh karena itu harimau sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi untuk dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 2018. Sumatera diperkirakan masih menyisakan areal seluas 130.000 km 2 sebagai habitat harimau sumatera (Wikramanayake et al. 1998). Populasi harimau sumatera menempati kawasan konservasi dan perbukitan hutan, serta areal-areal di luar kawasan konservasi seperti hutan produksi. Populasi harimau sumatera di luar kawasan konservasi diduga relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan tingginya ancaman terhadap populasi harimau sumatera oleh perburuan liar dan perusakan habitat. Kelangkaan populasi harimau sumatera juga dipicu akibat semakin berkurangnya populasi satwa mangsa di alam. Ancaman terhadap populasi harimau sumatera semakin meningkat sehingga jumlah populasinya kian berkurang. Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai tahun 1994 jumlah populasi harimau sumatera yang masih hidup di alam diperkirakan hanya berkisar 300 400 ekor. Sejak tahun 1978 hingga 2007, populasi harimau sumatera cenderung semakin menurun dan diduga populasi harimau sumatera pada tahun 2007 tidak lebih dari 300 individu. Sebagian besar teknik pengamatan populasi harimau sumatera yang dilakukan hingga saat ini menekankan pada perjumpaan tidak langsung yaitu melalui jejak tapak kaki, kotoran, atau cakaran, baik di tanah maupun di pohon (scratch dan scrape). Metode ini termasuk konvensional dan telah banyak diterapkan karena relatif murah, sederhana, dan tidak membahayakan pengamat. Namun demikian dugaan populasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan kerancuan dan bias yang tinggi, terutama akibat sulitnya menemukan jejak tapak kaki pada tanah kering, permukaan tanah ditutupi serasah, atau tanah terlalu

2 lembek. Kelemahan teknik tersebut terus diupayakan perbaikannya dan sekarang ini telah dikembangkan metode pengamatan melalui kamera jebakan (camera trap). Prinsip dasar yang diterapkan dalam pendugaan populasi melalui kamera jebakan adalah teknik tangkap tangkap kembali (capture recapture). Penggunaan kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan efektivitas metode survei dan pemantauan sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols 2002). Penerapan metode ini juga telah banyak dilakukan pada satwa yang memiliki perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera. Taman Nasional Berbak merupakan salah satu lanskap hutan alam yang masih menyediakan habitat substansial bagi pelestarian dan penyelamatan populasi harimau sumatera. Namun demikian, informasi tentang keberadaan dan populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak tergolong kurang tersedia akibat sedikitnya penelitian yang dilakukan guna mengkaji harimau sumatera. Oleh karena itu penelitian pendugaan populasi harimau sumatera menggunakan kamera jebakan perlu dilakukan untuk mengetahui prosedur pemasangan kamera jebakan guna menduga populasi harimau sumatera. 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: a) Menduga populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak menggunakan kamera jebakan. b) Mengidentifikasi jenis satwa potensi mangsa harimau sumatera. 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a) Menyediakan informasi tentang prosedur pemasangan kamera jebakan untuk pendugaan populasi harimau sumatera. b) Sebagai sumber data dan informasi terbaru mengenai populasi harimau sumatera di Taman Nasional Berbak. c) Sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan tindakan dan upaya pelestarian populasi harimau sumatera.

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Berdasarkan pengklasifikasian oleh Slater & Alexander (1986), taksonomi harimau sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo Carnivora, Family Felidae, Sub Family Pantherinae, Genus Panthera, Spesies Panthera tigris, dan Subspesies Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929). Menurut Hoogerwerf (1970) genus Panthera terbagi menjadi empat spesies yaitu P. pardus macan tutul, P. leo (singa), P. onca jaguar dan P. tigris harimau. Selanjutnya Grzimek (1975) menyatakan terdapat delapan subspesies harimau Panthera tigris di dunia tetapi tiga diantaranya telah dinyatakan punah. Subspesies tersebut antara lain: 1. Panthera tigris altaica; Harimau Siberia, disebut juga harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara. 2. Panthera tigris amoyensis; Harimau Cina, terdapat di Cina 3. Panthera tigris corbetti; Harimau Indo Cina, terdapat di Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia. 4. Panthera tigris tigris; Harimau Bengala, terdapat di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar. 5. Panthera tigris sumatrae; Harimau Sumatera, terdapat di Pulau sumatera. 6. Panthera tigris sondaica; Harimau Jawa, terdapat di Pulau Jawa, dinyatakan punah sekitar tahun 1980. 7. Panthera tigris balica; Harimau Bali, terdapat di Pulau Bali, dinyatakan punah pada tahun 1937. 8. Panthera tigris virgata; Harimau Kaspia, terdapat di Iran, Afganistan, Turki dan Rusia, dinyatakan punah sekitar tahun 1950. 2.2 Morfologi Harimau sumatera memiliki ukuran tubuh antara 140 280 cm dengan panjang ekor antara 60 110 cm. Umumnya bobot badan harimau sumatera jantan lebih berat dibanding betina dengan kisaran antara 100 140 kg untuk jantan dan antara 75 110 kg untuk betina (IUCN 1996). Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk

4 rata-rata adalah 80 90 cm. Ukuran harimau jantan lebih besar dibandingkan dengan harimau betina sehingga memiliki perbedaan bentuk (dimorphic). Pada umumnya ukuran tubuh harimau sangat bervariasi baik panjang tubuh, tinggi pundak, maupun beratnya, yang bergantung pada subspesiesnya. Subspesies yang hidup di daerah yang lebih jauh dari garis khatulistiwa memiliki ukuran tubuh relatif lebih besar (Subagyo 1996). Harimau mempunyai corak loreng di bagian tubuh yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, serta antara sisi kanan dan kiri tubuhnya. Corak loreng ini dapat dianalogikan dengan sidik jari pada manusia. Corak loreng bervariasi dalam jumlah loreng, ketebalan loreng, kepadatan loreng serta kecenderungan untuk terpecah atau menjadi totol-totol. Warna loreng pada kebanyakan harimau bervariasi dari coklat hingga hitam (Franklin et al. 1999). Warna dasar tubuh harimau adalah cokelat kekuningan dengan berbagai corak loreng di bagian punggung dan samping tubuhnya. Garis hitam di atas mata cenderung simetrik, tetapi bentuknya dari sisi muka dapat berbeda. Jantan biasanya mempunyai kerut lebih mencolok, khususnya pada harimau sumatera. Pada bagian dada, perut dan kaki sebelah dalam berwarna agak keputihan. Telinga sebelah luar berwarna hitam dengan noda putih di tengahnya. Ekor harimau relatif panjang, bercincin warna hitam di atas warna jingga, kuning atau kuning tua (Franklin et al. 1999). Kunci keberhasilan identifikasi harimau terletak pada penyusunan serangkaian foto untuk setiap individu harimau, yang terdiri atas gambar-gambar tajam yang diambil dari sisi kanan, kiri, depan dan belakang satwa tersebut (Franklin et al. 1999). Dalam mengidentifikasi individu harimau berdasarkan loreng, beberapa ilmuwan menggunakan metode model tiga dimensi yang dikembangkan oleh Lex Hiby (Hiby et al. 2009) (Gambar 1). Model tiga dimensi ini dicocokan dengan foto harimau dari hasil kamera jebakan. Titik kuning yang terdapat di gambar mengindikasikan sebagai posisi poin dasar bahu, pinggul dan ekor sedangkan titik merah dan biru mengindikasikan garis terluar bagian atas dan bawah harimau di gambar. Titik-titik tersebut merupakan koordinat dari model gambar yang didapat.

5 Gambar 1 Model harimau dalam identifikasi individu berdasarkan loreng Jejak kaki harimau bervariasi tergantung pada umur, tetapi tidak akurat untuk memperkirakan jumlah pada inventarisasi populasi harimau berdasarkan ukuran jejak. Kaki belakang harimau lebih panjang dibanding kaki depannya sehingga memudahkan harimau melompat tinggi dan jauh. Kaki depan dan bahu lebih besar dan berotot dibanding kaki belakang. Terdapat lima jari pada kaki depan sedangkan kaki belakang hanya empat jari. Cakar pada kaki depan dilengkapi dengan kuku yang panjang, runcing dan tajam yang panjangnya 80 100 mm dan digunakan untuk menangkap dan menggenggam mangsanya. Kukukuku ini dapat disembunyikan atau ditarik (retractable) bila tidak digunakan. 2.3 Spesies Kunci, Pemangsa Utama dan Spesies Bendera Didalam komunitas biologi, spesies tertentu atau kelompok spesies dengan ciri-ciri ekologi yang sama (guilds) dapat menentukan kemampuan sejumlah besar spesies lain untuk bertahan di dalam komunitas tersebut, sehingga mereka disebut spesies kunci (keystone species) (Indrawan et al. 2007). Spesies kunci memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari habitat atau ekosistem. Jika hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang signifikan atau fungsi yang salah yang bisa berefek pada skala yang lebih besar. Melindungi spesies kunci adalah prioritas bagi usaha konservasi, karena jika spesies ini hilang dari daerah konservasi maka spesies lain akan ikut hilang juga. Predator utama adalah salah satu spesies kunci karena ikut mengontrol jumlah populasi herbivora (Redford 1992). Memusnahkan sejumlah kecil saja predator, yang hanya sebagian kecil dari komunitas biomasa, secara potensial

6 akan menimbulkan perubahan yang dramatis pada vegetasi dan kehilangan besar kenanekaragaman hayati (McLaren & Peterson 1994 dalam Indrawan et al. 2007). Spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik melalui aktivitasnya, sering disebut sebagai insinyur ekosistem yang juga dapat digolongkan sebagai spesies kunci. Spesies bendera merupakan spesies yang dipilih sebagai duta besar, ikon atau simbol untuk mendefinisikan suatu habitat, isu, kampanye atau dampak lingkungan. Dengan memfokuskan dan mengusahakan konservasi jenis ini, status dari jenis lain yang menempati habitat yang sama atau rawan menjadi ancaman yang sama. Spesies bendera biasanya relatif berukuran besar dan kharismatik, contohnya panda. Spesies bendera bisa merupakan spesies kunci atau spesies indikator maupun tidak sama sekali. Beberapa contoh spesies bendera di Indonesia adalah orangutan, harimau sumatera, badak, gajah sumatera, dan elang jawa. Dalam rantai makanan, terdapat beberapa tingkatan yang memiliki peran dari masing-masing tingkat trofik diantaranya produsen, konsumen dan dekomposer. Karnivora yang juga dikenal sebagai konsumen sekunder atau pemangsa, membunuh dan memangsa hewan lainnya yang menjadikannya digolongkan ke dalam tingkat ketiga. Harimau sumatera merupakan salah satu satwa karnivora yang dapat memangsa satwa herbivora maupun sesama satwa karnivora. Kebutuhan akan daging yang banyak menjadikan satwa tersebut menempati tingkat trofik teratas dalam suatu ekosistem. Satwa pemangsa utama berperan mengendalikan populasi satwa yang berada dibawahnya dalam siklus rantai makanan. Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan di hutan tropis. Peranannya sebagai pemangsa utama, menjadikan harimau salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Kepunahan akan terjadi pada harimau sumatera apabila ancaman terhadap kehidupan satwa ini terus berlangsung. 2.4 Populasi dan Distribusi Menurut Siswomartono et al. (1994), sampai tahun 1994 perkiraan jumlah harimau sumatera yang masih hidup alami di dalam kawasan hutan sumatera

adalah hanya tersisa sekitar 400-500 ekor. Populasi harimau tersebut sebagian besar tersebar di kawasan hutan konservasi seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perkiraan populasi dan habitat tersedia bagi harimau sumatera di kawasan lindung utama Kawasan Lindung Luas Total Habitat tersedia Perkiraan (Ha) (Ha) populasi (ekor) TN Gunung Leuser 900.000 360.000 110 TN Kerinci Seblat 1.500.000 600.000 76 TN Bukit Barisan Selatan 357.000 282.000 68 TN Berbak 163.000 14.000 50 TN Way Kambas 130.000 97.000 20 SM Kerumutan 120.000 78.000 30 SM Rimbang 16.000 122.000 43 Sumber: PHPA (1994) Menurut Wikramanayake et al. (1998), Sumatera diperkirakan masih mempunyai areal seluas 130.000 km 2 untuk menjadi habitat harimau sumatera, dan hanya sepertiganya atau sekitar 42.000 km 2 yang masuk ke dalam kawasan bebas pembangunan dan logging. Dua belas (12) lansekap pelestarian harimau atau Tiger Conservation Landscapes (TCLs) yang masih menawarkan substansial habitat untuk menyelamatkan populasi harimau sumatera adalah Tesso Nilo, Bukit Barisan Selatan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Kuala Kerumutan, Bukit Balai Rejang-Selatan, Bukit Rimbang Baling, Rimbo Panti-Batang Timur, Rimbo Panti-Batang Barat, Leuser, Berbak and Sibolga. 2.5 Satwa Mangsa Kepadatan populasi harimau di suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan ketersediaan satwa mangsa harimau tersebut. Kepadatan satwa mangsa merupakan faktor yang sangat signifikan dalam menentukan ukuran teritori harimau betina, dan kondisi selanjutnya akan menentukan kepadatan populasi harimau secara keseluruhan (Sherpa & Maskey 1998). Hewan mangsa harimau sumatera belum dikaji secara mendalam. Diduga jenis-jenis hewan mangsa mempengaruhi dinamika dan ekologi harimau sumatera di area yang bersangkutan. Kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat menggantikan pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pecernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson 1990 dalam Sriyanto 2003). Satwa ini termasuk 7

8 satwa oportunis dalam pemilihan pakan di alam. Dalam habitat tertentu, daging merupakan suplai pakan yang terbatas. Schaller 1967 dalam Endri 2005 mengatakan total jumlah pakan yang dimakan kurang lebih seperlima dari berat tubuhnya. Dalam memangsa satwa mangsa, biasanya harimau tidak menghabiskan satwa buruannya secara keseluruhan namun hanya sekitar 70% saja dimakan (Seidensticker et al. 1999), sedangkan yang 30% lagi tidak dimakan. Untuk satwa mangsa yang berukuran besar biasanya dimakan beberapa kali. Sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan binatang lain (Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977). Harimau mulai berburu pada awal petang dan akan berburu semua jenis hewan apapun yang dapat ditangkapnya. Hewan mangsa utama harimau di India adalah berbagai jenis rusa, gaur, babi hutan, landak, marmut, monyet dan hewan ternak (Karanth & Sunquist 1995). Berdasarkan laporan Griffith (1994) hewan mangsa potensial yang disukai oleh harimau di Taman Nasional Gunung Leuser adalah rusa sambar, babi hutan, muntjak dan landak. Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari kebutuhan harimau tersebut mencari pakan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi pakan anaknya (MacDonald 1986, Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005). 2.6 Habitat Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Tipe habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al. 1992). Harimau sumatera lebih menyukai tempat-tempat yang memiliki biomasa mangsa yang masih tinggi dan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti sungai. Oleh karena itu biasanya harimau sumatera mendiami habitat yang terutama berhubungan dengan hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput namun sangat susah ditemukan pada daerah bervegetasi semak belukar yang terlalu rapat (Santiapillai

9 & Ramono 1985 dalam Endri 2005). Menurut Van Der Zon (1979) dalam Nasution (1985), habitat harimau sumatera adalah hutan terbuka, hutan sekunder dan savana. Prijono et al. (1978) mengatakan hutan yang merupakan habitat harimau adalah hutan sekunder dan hutan primer dataran rendah sampai pegunungan dan sering juga terdapat di padang alang-alang serta hutan terbuka. Menurut Siswomartono et al. (1994) habitat yang optimal bagi harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Lokasi ini sangat mendukung kelangsungan hidup harimau sumatera karena terdapat kepadatan populasi mangsa yang cukup tinggi seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera jarang menjelajah sampai ke hutan mangrove. Satwa ini lebih memilih daerah yang tidak selalu tergenang dan terdapat areal yang kering. Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner 1992). 2.7 Wilayah Jelajah dan Teritori Harimau sumatera memiliki daerah jelajah yang cukup luas. Ini disebabkan karena harimau memiliki perilaku hidup yang soliter. Wilayah jelajah merupakan keseluruhan wilayah dimana satwa menjelajah untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya pada suatu waktu tertentu sedangkan daerah teritori merupakan suatu wilayah yang dipertahankan dimana ukurannya tergantung ukuran tubuh dan ketersediaan pakan (Anonim 2004). Umumnya harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas dibandingkan harimau betina. Wilayah jelajah untuk harimau jantan diperkirakan seluas 60-100 km 2 sedangkan harimau betina sekitar 20 km 2. Sebagian harimau betina remaja dan anakan adalah philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya (Smith 1993). Sriyanto dan Rustiadi (1997) menyatakan luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan satwa mangsa, pada tingkat kepadatan satwa mangsa rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. Diketahui jelajah harian babi hutan yang merupakan satwa mangsa utama harimau adalah 5 16 km dan biasanya melewati jalur jalan yang tetap. Daerah teritori akan ditempati oleh individu yang berbeda sehingga untuk penandaan wilayah jelajah tersebut harimau sumatera meningggalkan tanda-tanda

10 seperti cakaran di pohon (scratch), urin, kotoran (scat) untuk menandakan daerah teritori. Penandaan ini diulangi secara rutin oleh harimau jantan maupun betina dengan frekuensi pengulangan meningkat pada zona dimana kontak dengan harimau lain lebih sering terjadi. Biasanya harimau akan mempertahankan daerah teritorinya hinggga terjadi konflik dengan individu lain. Harimau jantan memiliki daerah teritori 3-4 kali lebih luas dari harimau betina. Harimau jantan menggunakan daerah teritorinya biasanya untuk kawin sedangkan harimau betina biasa menggunakan daerah teritorinya untuk kawin dan mengasuh anak. Ukuran teritori untuk sekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (MacDonald 1986). Di Taman Nasional Way Kambas dalam 100 km 2 dihuni oleh 3-5 ekor harimau (Sinaga 2004). Menurut McDougal (1979) luas teritorial harimau jantan lebih kurang 50-150 km 2 dan harimau betina 15-50 km 2. Harimau jantan memiliki teritori yang paling kuat di dalam areal habitat utama yang mencakup beberapa teritori harimau betina dengan rasio 1 jantan: 3 betina (Sherpa & Maskey 1998). Selanjutnya Jackson (1990) dalam Sriyanto (2003) menambahkan bahwa harimau jantan teritorinya tiga kali lebih sering daripada betina. Harimau jantan cenderung merupakan penghuni teritori yang lebih sering berubah, sedangkan betina menguasai teritori untuk periode yang lebih lama. Hal ini dapat dilihat bahwa jantan memiliki teritori yang berpotongan dengan teritori dari satu atau lebih betina (Singh 1999). 2.8 Perilaku Harimau mempunyai indera penciuman yang kuat dan seringkali meninggalkan tanda berupa urin dengan bau yang khas. Tanda tersebut berfungsi sebagai penanda wilayah kekuasaan atau sebagai alat komunikasi yang lebih spesifik seperti identitas individu, periode waktu individu harimau lewat pada area tertentu dan penanda estrus pada harimau betina (Lekagul & McNeely 1977). Harimau dianggap sebagai satwa nokturnal, yaitu satwa yang aktif pada malam hari. Namun hal tersebut tidak mutlak terjadi. Harimau cenderung menghindari panas pada siang hari dan sering berendam di dalam air agar tetap sejuk. Harimau juga diketahui merupakan perenang yang handal.

11 2.8.1 Perilaku Berburu Umumnya harimau berburu antara sore dan pagi hari (fajar), tetapi dalam beberapa kondisi harimau berburu siang hari. Hewan mangsa harimau adalah seluruh satwa yang ada di habitat mereka, yang terdiri dari berbagai jenis rusa, babi, kerbau dan banteng. Harimau juga memangsa anak gajah dan badak, serta jenis lainnya yang lebih kecil, termasuk monyet, burung, reptil dan ikan. Harimau memiliki teknik berburu untuk mendapatkan mangsa yang mengandalkan taktik. Pada jarak yang sangat dekat, yaitu kurang dari 50 meter, dengan cepat mangsa diterkam pada bagian leher atau tengkuk dengan cakar depan. Mangsa yang lebih kecil, diserang dengan lompatan dari depan. Dengan tungkai depan, ia memegang tengkuk mangsa dan mendorongnya ke tanah. Untuk mangsa yang lebih besar, terkadang harimau terlebih dahulu menggigit putus urat lututnya dari belakang, kemudian melompat ke atas punggungnya, memegang tengkuk dengan cakar tungkai depan dan melemparkan satwa mangsa ke bawah. Sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan oleh satwa lainnya (Mountfort 1973 dalam Hutabarat 2005, Soeseno 1977). Harimau dapat makan 18-40 kg daging mangsanya dalam sekali makan. Jika tidak hancur, ia kembali ke tempat tersebut untuk makan sisa-sisa kecil. Mangsa yang besar ditangkap satu kali seminggu. Diperkirakan frekuensi pembunuhan oleh betina tanpa anak adalah sekali setiap 8-8,5 hari. Walaupun mempunyai keahlian berburu yang tinggi, harimau sering tidak berhasil. Berburu mangsa biasanya dilakukan secara individu tapi pernah juga kelihatan harimau berburu secara berkelompok. Grzimek (1975) menyebutkan bahwa harimau biasanya cenderung menarik mangsanya yang telah mati mendekati sumber air dan memakannya di sana. 2.8.2 Perilaku Reproduksi Pada umur 3 tahun, harimau telah dewasa dan selama 11 tahun berikutnya, harimau betina akan beranak setiap 2-2,5 tahun. Waktu diantaranya diisi dengan membesarkan dan mendidik anaknya. Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak bahkan hingga empat ekor. Lama masa kehamilan harimau

12 sumatera adalah 100-108 hari dan perkembangbiakan hanya terjadi setiap dua atau tiga tahun sekali (Suwelo dan Somantri 1978 dalam Lestari 2006). Harimau betina mengasuh sendiri anaknya dan memisahkannya jika terluka atau sakit. Pada umur 8 minggu, anak harimau keluar dari tempat tidurnya dan mereka disusui hampir setengah tahun. Selama masa birahi harimau betina memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan sedikit istirahat. 2.9 Teknik Pendugaan Populasi Dalam teknik inventarisasi satwaliar dan pendugaan populasi satwa terdapat beberapa teknik pengamatan antara lain melalui pengamatan tidak langsung seperti menghitung jejak kaki, kotoran, sisa makanan, dan suara. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pendugaan kepadatan satwa antara lain transek garis (line transect), penangkapan atau pengumpulan (removal traping or collecting) serta observasi visual (visual observation). Transek garis (line transect) merupakan metode yang biasa digunakan oleh biologis untuk menduga kepadatan populasi. Metode dasar transek garis (line transect) adalah pengamat berjalan pada kecepatan konstan melewati sebuah habitat dan mencatat jumlah satwa yang ditemui. Jumlah ini akan menjadi refleksi untuk kepadatan satwa, kecepatan berpindah, jarak pengamat dengan objek dan kecepatan bergerak pengamat (Southwood 1966). Sedangkan prinsip metode penangkapan atau pengumpulan (removal trapping or collecting) adalah untuk mengetahui jumlah satwa yang bergerak di suatu habitat pada setiap pengulangan penangkapan. Laju tangkapan akan berhubungan secara langsung dengan ukuran populasi total (yang belum diketahui) dengan jumlah yang diperoleh (yang diketahui). Selain itu, terdapat teknik pengamatan secara langsung dengan mengamati satwa yang dijumpai secara langsung di lokasi pengamatan (visual observation). Metode ini merupakan pendekatan yang paling sederhana, dimana pengamat menghitung semua satwa yang dilihat pada suatu area atau waktu tertentu. Namun untuk satwa seperti harimau yang memiliki perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic) cukup sulit ditemukan secara langsung. Metode yang sering digunakan dan merupakan teknik tertua dalam mengamati satwa jenis ini adalah pengamatan melalui jejak yang ditinggalkan

13 oleh harimau. Teknik pengamatan dengan mempelajari jejak atau tanda yang ditinggalkan harimau tersebut cenderung memiliki eror/ kesalahan yang cukup tinggi karena sulit untuk membedakan jejak kaki dari individu yang berbeda. Pencatatan jejak kaki dilakukan hanya untuk menentukan apakah suatu jenis tertentu mendiami suatu areal dan atau menentukan tingkat perjumpaan yang dikategorikan jarang atau umum dijumpai pada area survei (Povey & Spaulding 2009). Selain metode konvensional, teknik pengamatan satwaliar dapat juga dilakukan dengan teknik tangkap dan tangkap kembali (capture recapture) menggunakan kamera jebakan. Metode kamera jebakan merupakan metode yang dapat dipercaya yang dipakai oleh para ahli untuk dapat memperkirakan populasi suatu jenis satwa dalam suatu wilayah (Povey & Spaulding 2009) karena dapat dilakukan pada satwa yang memiliki tanda atau ciri khusus ditubuhnya sehingga dapat diidentifikasi secara individu. Berdasarkan asumsi metode Peterson, terdapat beberapa asumsi yang mendasari analisis metode tangkap dan tangkap kembali (capture recapture) yaitu (1) populasi merupakan populasi tertutup, sehingga N adalah konstan, (2) semua satwa memiliki peluang yang sama untuk tertangkap pada periode pertama, (3) penandaan individu tidak mempengaruhi penangkapannya, (4) satwa tidak kehilangan tanda antara dua periode sampling, dan (5) semua tanda dilaporkan pada penemuan di periode kedua. 2.10 Kamera Jebakan (Camera Trap) Dewasa ini, teknik pengamatan satwaliar di alam telah berkembang dengan ditemukannya metode tangkap dan tandai yang digunakan untuk mengamati satwa yang sulit untuk dijumpai seperti perilaku menghindar (elusive) dari manusia dan menyamar (cryptic). Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera jebakan merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols 2002). Generasi kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan keefektifan dalam metode survei dan monitoring untuk sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols 2002). Dengan adanya sistem kamera jebakan dapat digunakan untuk memantau populasi satwaliar yang terancam punah keberadaannya di alam liar.

14 Penggunaan metode kamera jebakan untuk memantau populasi karnivora besar pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India. Di Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara (Griffith & Schaik 1993), di Way Kambas dengan jumlah individu harimau sumatera yang berhasil diidentifikasi sebanyak enam ekor (Franklin et al. 1999), di Bukit Barisan Selatan dengan estimasi jumlah populasi harimau sumatera sebanyak 40-43 ekor (O Brien et al. 2003), di Kerinci Seblat (Linkie 2006) dan di Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh dengan estimasi jumlah individu sebanyak lima ekor (Hutajalu 2007). Selain harimau sumatera, penggunaan kamera jebakan dalam teknik survei satwaliar juga diterapkan pada satwa lain, beberapa diantaranya antara lain tapir asia Tapirus indicus di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional Kerinci Seblat (Holden et al. 2003); Galliformes di hutan dataran rendah, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Winarni et al. 2004); badak jawa Rhinocerus sondaicus di hutan dataran rendah, Taman Nasional Ujung Kulon (Griffith & Schaik 1993); macan tutul jawa Panthera pardus melas di habitat hutan pegunungan, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kamera jebakan bekerja menggunakan sistem infra merah yang dapat mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Sensor merupakan suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan energi seperti energi listrik, fisika, kimia, biologi, mekanik dan sebagainya. Sensor panas berfungsi untuk mendeteksi gejala perubahan panas/temperatur/suhu pada suatu dimensi benda atau dimensi ruang tertentu. Pada kamera jebakan terdapat bagian berupa fotosensor sehingga otomatis melakukan proses jepretan. Setiap satwa yang melintas akan terekam gambarnya oleh kamera melalui fotosensor yang disambungkan ke kamera. Gambar-gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan ditransformasikan ke dalam perangkat lunak komputer. Keberadaan set kamera tidak mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas di depan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada saat harimau melintasi kamera jebakan akan

15 mengaktifkan secara otomatis dan menangkap gambar individu yang melintas dengan jelas (Karanth & Nichols 2002). 2.11 Program CAPTURE Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa perangkat lunak komputer yang dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth & Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera jebakan tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data capture-recapture populasi tertutup (closed population) secara demografi. Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera jebakan atau periode penangkapan tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut dikategorikan terbuka dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al. 1978 dalam Rexstad & Burnham 1991). Linkie et al. (2006) selanjutnya menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup yang perlu diperhatikan sebagai berikut : a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen. b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan kanan harimau terlihat berbeda). c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling, kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah individu untuk kemungkinan menghindari bias. Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang cocok untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Otis et al. 1978 dalam Rexstad & Burnham 1991) yaitu :