1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dewasa ini, permasalahan menyangkut dekadensi moral semakin marak terjadi di seluruh dunia dan sudah berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Banyaknya kasus pelanggaran terhadap orang lain, tindak kekerasan, ketidakpedulian, dan mulai berkurangnya nilai-nilai moral yang baik di dalam masyarakat akan mengancam masa depan generasi penerus bangsa. Semakin banyak permasalahan yang diselesaikan dengan kekerasan dan masyarakat mulai meninggalkan musyawarah serta pertimbangan-pertimbangan moral dalam memecahkan suatu masalah. Berbagai hal tersebut mengakibatkan anak seringkali menjadi korban dari tindak kekerasan dan kriminalitas orang dewasa. Di lain pihak, pola kehidupan yang mengutamakan kekerasan ini akan menyebabkan anak-anak menjadi pelaku tindak kekerasan. Anak-anak menjadi lebih mudah untuk menyelesaikan masalah dengan jalan yang tidak terpuji, seperti berbohong, mencuri, adu kekuatan fisik, dan kekerasan yang melanggar hak orang lain. Sejauh ini kekhawatiran terbesar adalah pelaku pelanggaran ini semakin lama berusia semakin muda (Borba, 2001). Tidak dapat dipungkiri bahwa masa anak-anak merupakan masa yang penting untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang baik, sehingga anak dapat mengembangkan pemahaman dan perilaku yang positif saat dewasa kelak. Akan tetapi, banyaknya pelanggaran yang menunjukkan kualitas moral yang rendah 1
2 dapat membahayakan masa depan anak-anak. Ditambah lagi derasnya arus informasi dan perkembangan teknologi saat ini cenderung menampilkan berbagai macam tayangan kekerasan yang dapat dengan mudah dilihat dan diakses oleh anak-anak dan remaja. Sebagian besar anak dan remaja dapat dengan bebas mengakses segala informasi, termasuk informasi yang mengarah pada pornografi dan pornoaksi. Maraknya jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan jejaring sosial lain mulai disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang mengarah pada kriminalitas. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2010 yang dikutip Mason (2012), telah terjadi kasus penculikan sejumlah 27 anak yang terjadi setelah bertemu dengan penculiknya di facebook. Beberapa anak korban penculikan tersebut juga menjadi korban pelecehan seksual, perdagangan anak, bahkan salah satu korban tersebut telah ditemukan tewas. Sejalan dengan hal tersebut, Pujazon-Zazik dan Park (2010) mengemukakan bahwa dampak potensial negatif lain dari penggunaan jejaring sosial diantaranya adalah cyberbullying, pelecehan seksual, dan perilaku berisiko (misalnya kekerasan, perilaku seksual, dan penggunaan obat-obatan). Dampak negatif lain dari perkembangan teknologi adalah munculnya beranekaragam permainan modern berupa video games, seperti Playstation, X- Box, Nintendo, ataupun permainan yang dapat diakses melalui internet (game online). Permainan modern tersebut memiliki banyak efek negatif diantaranya berdampak buruk bagi aspek fisik berupa penurunan aktivitas fisik yang berdampak bagi kesehatannya (Straker, Abbott, Piek, Pollock, Davies, & Smith
3 2009); aspek emosi dan sosial anak berupa munculnya agresivitas pada anak (Wilson, 2008); dan aspek kognitif serta moral anak (Funk, Buchman, Jenks, & Bechtoldt, 2003). Penelitian Funk dkk. (2003) menunjukkan bahwa anak yang terbiasa memainkan video games kekerasan dalam waktu yang lama cenderung mengalami pelemahan evaluasi moral dan memiliki tingkat empati yang rendah, sehingga anak tersebut akan membenarkan penggunaan kekerasan di dalam dunia nyata. Fenomena-fenomena lain terkait dengan menjamurnya video games dan game online menyebabkan efek kecanduan terhadap anak-anak dan remaja yang memainkan permainan modern tersebut. Efek kecanduan ini ternyata juga menyebabkan serentetan permasalahan lain yang mengarah pada tindak kekerasan dan kriminalitas, seperti anak SD di Ciracas yang membunuh temannya karena pengaruh game (Kurniawan, 2012) dan tujuh orang remaja di Bandung yang melakukan pencurian di sebuah rumah dan menjual barang curian tersebut untuk dipergunakan bermain game online (Yulianti, 2013). Ketujuh remaja tersebut diketahui mengalami kecanduan terhadap game online dan telah bermain game online sejak duduk di Sekolah Dasar (SD). Selain itu, game online juga dapat menyebabkan munculnya kasus pemalakan dan bullying yang dilakukan oleh anak SD terhadap teman sebayanya (Kurniawan, 2012). Perilaku bullying sering ditemui baik di lingkungan sekolah, maupun di luar sekolah, bahkan frekuensinya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perilaku bullying di sekolah, atau sering disebut dengan school bullying, merupakan bentuk agresi dari satu atau lebih siswa secara fisik, psikologis, atau
4 seksual kepada siswa lain secara berulang-ulang selama jangka waktu lama (Smith, dalam Wong, Lok, Lo, & Ma, 2008). Menurut Carlisle dan Rofes (2007), perilaku bullying ini dapat berupa agresi secara verbal (seperti mengancam, mengejek, menggoda, mengintimidasi, menghina, dan menertawakan), agresi fisik (memukul, mendorong, menendang, mencubit, pengekangan fisik, dan pelecehan seksual), dan agresi relasional (seperti menyebarkan gosip, mengeluarkan dari sosial, dan mengucilkan). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wong dkk. (2008) pada anak sekolah dasar di Cina, ditemukan bahwa perilaku bullying yang biasa ditemui di sekolah antara lain menghina secara verbal, mengejek, memanggil nama dengan julukan, dan memukul. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Andayani, Yusuf, dan Hardjajani (2010-2011) yang dilakukan pada beberapa sekolah dasar di Surakarta, yang menemukan bahwa perilaku bullying yang dilakukan oleh anakanak antara lain mengejek, meminta makanan dengan paksa, memukul, memanggil nama dengan julukan berdasarkan nama orangtua, kondisi fisik, atau sifat-sifat yang dimiliki anak. Efek yang dialami korban bullying antara lain susah tidur, membolos, kurang dapat berkonsentrasi, merasa cemas, harga diri rendah, bermasalah dalam akademik, depresi, bahkan melakukan tindakan bunuh diri ataupun melakukan tindak kekerasan, seperti penembakan di sekolah di Amerika (Wong dkk., 2008). Efek tersebut tidak hanya dialami oleh korban saja, tetapi juga oleh pelaku bullying yang berisiko mengalami gangguan perilaku, melakukan penyimpangan
5 perilaku pada saat remaja, menjadi pelaku kriminal, dan berperilaku antisosial pada saat dewasa (Olweus dalam Wong dkk., 2008). Seiring dengan berkembangnya teknologi, perilaku bullying juga berkembang menjadi perilaku bullying yang dilakukan di dunia maya atau yang sekarang dikenal dengan cyberbullying. Definisi cyberbullying adalah sebuah tindakan agresif dan disengaja yang dilakukan oleh suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dan dilakukan dalam waktu yang lama pada korban yang tidak dapat melawan pelaku (Smith, Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippet, 2008). Rivers, Chesney, dan Coyne (2011) menyebutkan bahwa cyberbullying ini dapat dilakukan melalui telepon, pesan teks atau gambar/video, email, chatting, media pesan singkat (instant messaging), komentar yang menghina pada jejaring sosial atau blog, maupun pelecehan melalui permainan online. Penelitian Monks, Ortega, Robinson, dan Worlidge (2009) di Inggris telah menemukan bahwa 72% anak usia 7 sampai 11 tahun memiliki telpon seluler dan 87% diantaranya memiliki akses internet di rumah. Dari beberapa anak tersebut ditemukan 5% menjadi pelaku cyberbullying dan 23% menjadi korban cyberbullying. Hal serupa ditemukan oleh Sakellariou, Carroll, dan Houghton (2012) yang meneliti anak usia 9 sampai 11 tahun di Australia. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa cyberbullying telah dilakukan dan dialami oleh anak usia 9 sampai 11 tahun di Australia. Penelitian Monks, Robinson, dan Worlidge (2012) yang dilakukan di Inggris pada anak usia 7 11 tahun sebanyak 220 anak juga menemukan bahwa 20,5% mengidentifikasi dirinya sebagai korban
6 dari cyberbullying dan 49,1% menjadi korban dari bullying di sekolah. Selain itu, didapatkan hasil 18,2% menjadi pelaku bullying di sekolah dan 5% menjadi pelaku cyberbullying. Fakta-fakta mengenai kekerasan, pelanggaran, atau bullying yang dilakukan oleh anak-anak yang telah dipaparkan di atas tentu saja menimbulkan keprihatinan. Fenomena-fenomena tersebut akan semakin meningkat jika perkembangan teknologi yang sangat pesat ini tidak diikuti dengan pengelolaan dan penggunaan teknologi secara baik dan tepat. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi tersebut tidak diikuti dengan upaya-upaya penanaman dan pembinaan moral pada generasi penerus bangsa, sehingga nilai-nilai moral yang ada di dalam masyarakat menjadi semakin luntur. Individu-individu saat ini menjadi lebih cerdas secara kognitif, tetapi kurang menunjukkan penghargaan kepada individu lain dan mulai melupakan etika-etika yang sebelumnya dijunjung tinggi. Tindak kekerasan yang banyak ditemui ini dapat terjadi karena adanya pengabaian terhadap perkembangan moral dalam kehidupan anak. Menurut Drawati (2005), faktor pemicu anak melakukan pelanggaran adalah masalah pendidikan moral, kurangnya perhatian orangtua serta perkembangan zaman. Secara lebih mendalam, Borba (2001) menambahkan bahwa moralitas dapat menurun karena runtuhnya faktor sosial kritis, seperti pengawasan orangtua, teladan berperilaku moral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan akrab dengan orang dewasa, sekolah, norma sosial yang jelas, dukungan masyarakat, stabilitas, dan pola asuh yang benar. Tidak mengherankan apabila karakter anak
7 menjadi keras atau liar, sebab mereka tidak diberikan pengetahuan soal etika dan moral, pemahaman benar dan salah, mana yang baik dan mana yang kurang baik. Berns (2007) mengemukakan bahwa moral mencakup penilaian individu mengenai hal yang benar dan salah, melibatkan penerimaan terhadap suatu aturan, dan menentukan perilaku seseorang terhadap orang lain. Moral ini berubah seiring dengan perkembangan anak dan berkembangnya moral merupakan proses yang panjang selama kehidupan. Pada masa anak usia sekolah, mengembangkan kata hati dan nilai-nilai moral adalah salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh setiap anak. Anak diharapkan dapat berpikir secara moral, mengembangkan perasaan moral, dan selanjutnya berperilaku sesuai konsepkonsep moral. Menurut Santrock (2007), penalaran, perasaan, dan perilaku moral merupakan domain dari perkembangan moral. Penalaran moral merupakan cara seseorang berpikir mengenai benar dan salah. Perasaan moral meliputi empati, nurani, dan rasa bersalah. Selanjutnya, perilaku moral merupakan perilakuperilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral sesuai dengan norma atau standar sosial. Penelitian Gini, Pozzoli, dan Hauser (2011) menemukan bahwa pelaku bullying menunjukkan bahwa sebenarnya para pelaku menunjukkan pemahaman yang matang mengenai kompetensi moral (kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk), tetapi memiliki kekurangan dalam perasaan moral. Dijelaskan lebih lanjut bahwa buruknya hati nurani moral akan memfasilitasi penggunaan dan pembenaran kekerasan oleh pelaku untuk memuaskan keegoisan mereka. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa bullying terjadi karena
8 adanya pengabaian terhadap salah satu domain perkembangan moral, yaitu perasaan moral. Berdasarkan ketiga domain moral, Borba (2001) merangkum ketiganya menjadi konstruk kecerdasan moral, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk berpikir serta berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kecerdasan moral tersebut dirumuskan dalam tujuh kebajikan, yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Kecerdasan moral sangat penting untuk dikembangkan sejak dini, karena kecerdasan moral menjadi landasan penting yang akan mengajarkan anak bagaimana melakukan hal yang baik dan benar (Borba, 2001). Selain itu, kecerdasan moral dapat digunakan menanggulangi krisis moral yang terjadi akhirakhir ini. Apabila anak mampu untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak secara baik dan benar untuk kepentingan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, maka dapat dikatakan bahwa anak tersebut memiliki kecerdasan moral. Kecerdasan moral yang tinggi diperlukan anak sebagai pegangan nilai-nilai kehidupan yang baik untuk masa depannya kelak dan membentengi dirinya dari pengaruh buruk dari luar. Di samping itu, kecerdasan moral yang tinggi juga diperlukan oleh anak untuk berpikir sebelum bertindak, sehingga perilaku anak dapat diarahkan kepada hal-hal sesuai dengan kaidah moral. Beberapa ahli psikologi moral meyakini bahwa kode moral anak-anak berkembang melalui interaksi sosial (Berns, 2007). Sehubungan dengan hal tersebut, nilai-nilai moral ini harus diajarkan kepada anak melalui interaksi
9 dengan lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, media massa, dan masyarakat. Seluruh pihak memiliki peran masing-masing dan memiliki tanggungjawab untuk bekerjasama dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Penanaman nilai moral di lingkungan keluarga dapat diajarkan oleh orangtua. Penanaman nilai-nilai moral di sekolah perlu diberikan menggunakan metode dan materi pembelajaran dengan menyesuaikan perkembangan dan kemampuan anak. Penerapan metode pengajaran yang tepat akan membantu anakanak merasa lebih kompeten, membuat keputusan, dan belajar menurut mereka sendiri (Febriani, 2010). Nilai-nilai kecerdasan moral ini dapat diajarkan melalui media-media permainan, karena bagi anak-anak bermain adalah belajar, sehingga belajar akan terasa menyenangkan. Permainan tersebut hendaknya dirancang dengan memasukkan unsur-unsur edukatif yang dapat membantu anak-anak belajar ketrampilan serta membantu meningkatkan pola berpikir, kreativitas, dan kemampuan untuk mendapatkan informasi (Najdi & El-Sheikh, 2012). Permainan yang ditujukan untuk pembelajaran biasanya disebut dengan permainan edukatif. Reid (2001a) mengemukakan bahwa permainan edukatif dapat berupa permainan yang menggunakan kartu (card games), permainan menggunakan papan (board games), dan permainan yang menggunakan komputer (computerized games). Berdasarkan ketiga jenis permainan edukatif tersebut, permainan yang menggunakan kartu (card games) merupakan permainan sederhana yang dapat dimainkan oleh anak-anak dari semua usia dan dengan tingkat inteligensi yang berbeda-beda (Reid, 2001b). Permainan kartu ini telah banyak digunakan untuk
10 kepentingan pembelajaran, baik pembelajaran dalam aspek kognitif, sosial, maupun moral. Permainan kartu yang digunakan untuk meningkatkan aspek kognitif dapat dilihat pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rastegarpour dan Marashi (2012). Penelitian tersebut menemukan bahwa permainan edukatif yang menggunakan kartu dan komputer yang dibuat oleh guru dapat menunjang pembelajaran pada bidang kimia. Beberapa penelitian sebelumnya (dalam Rastegarpour & Marashi, 2012) juga menemukan bahwa permainan kartu dapat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa, matematika, dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Selanjutnya, Reese dan Wells (2007) juga mengembangkan permainan berupa kartu bermain yang digunakan untuk membantu siswa dalam belajar percakapan dalam bahasa Inggris. Penelitian ini menemukan bahwa para siswa merasa senang dan menjadi mudah dalam mempraktekkan percakapan bahasa Inggris. Penggunaan media-media permainan edukatif sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan moral, khususnya nilai toleransi, telah dilakukan oleh Andayani dkk. (2010-2011). Model pembelajaran yang digunakan antara lain permainan papan, seperti ular tangga dan cognito, dan permainan kartu kuartet. Di samping itu, Andayani dkk. (2010-2011) juga mengembangkan metode mendongeng untuk meningkatkan nilai toleransi pada anak usia sekolah dasar. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa model pembelajaran yang menggunakan media permainan dan metode mendongeng dapat secara efektif meningkatkan toleransi pada anak usia sekolah dasar.
11 Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengembangkan permainan kartu kuartet sebagai media untuk mengajarkan nilainilai kebajikan dalam kecerdasan moral pada anak usia sekolah. Permainan kartu kuartet yang digunakan dalam penelitian ini berisi nilai-nilai moral dalam kecerdasan moral dikemukakan oleh Borba (2001), antara lain empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Pembuatan kartu kuartet ini dilakukan dengan memasukkan pengertian, contoh perilaku, dan hal lain yang terkait dengan tujuh kebajikan moral dengan menyertakan gambar sebagai ilustrasi dari muatan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam kartu. Pemilihan permainan kartu kuartet ini didasarkan pada usia perkembangan kognitif anak sekolah dasar, yang merupakan tahap perkembangan operasional konkret. Operasi konkret adalah aktivitas mental yang difokuskan pada objekobjek atau peristiwa-peristiwa nyata atau konkret dapat diukur (Piaget dalam Santrock, 2007). Melalui media permainan kartu kuartet ini, anak dapat bermain sekaligus belajar, terutama pada saat ingatan anak mampu menyerap banyak informasi yang beragam dan ingatan tersebut mampu menetap dalam jangka waktu yang lama. Di samping itu, adanya diskusi yang dipandu oleh fasilitator membuat anak berpartisipasi aktif dalam mendiskusikan dan merefleksikan pengalaman-pengalamannya terkait dengan tujuh kebajikan kecerdasan moral. Adanya kompetisi dan aturan dalam permainan juga dapat melatih anak untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang mencerminkan kecerdasan moral, seperti sportif, adil, jujur, empati, dan lain-lain.
12 Berdasarkan uraian di atas, diharapkan bahwa pemberian permainan kartu kuartetyang berisi kecerdasan moral ini dapat membantu anak untuk meningkatkan kecerdasan moralnya, sehingga dapat dijadikan dasar pijakan membentuk kepribadian untuk masa dewasanya kelak. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Efektivitas Permainan Edukatif Kartu Kuartet untuk Meningkatkan Kecerdasan Moral pada Anak Usia Sekolah. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah permainan edukatif kartu kuartet efektif untuk meningkatkan kecerdasan moral pada anak usia sekolah? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas permainan edukatif kartu kuartet untuk meningkatkan kecerdasan moral pada anak usia sekolah. 2. Manfaat a. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu psikologi perkembangan, khususnya mengenai kecerdasan moral pada anak usia sekolah. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan terkait dengan pengembangan media pembelajaran menggunakan alat permainan edukatif berupa kartu kuartet
13 yang dapat digunakan untuk meningkatkan kecerdasan moral pada anak usia sekolah. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru dan orangtua terkait dengan permainan edukatif kartu kuartet yang dapat menjadi salah satu media alternatif untuk membantu meningkatkan kecerdasan moral pada anak usia sekolah. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian di Indonesia maupun di luar Indonesia dengan variabel kecerdasan moral sangat terbatas, sehingga tidak banyak ditemukan penelitian tentang kecerdasan moral untuk anak usia sekolah. Penelitian tentang kecerdasan moral yang ditemukan dan yang sudah dilakukan di Indonesia, antara lain: 1. Andayani dkk. (2010-2011) mengembangkan model pembelajaran toleransi (tepa sarira) melalui metode mendongeng dan metode bermain (ular tangga, kartu kuartet, dan cognito) yang dilakukan untuk anak SD di SD Al Firdaus Surakarta dan SDN Cemara Dua No.13 Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mendongeng dan bermain dapat efektif meningkatkan toleransi anak usia sekolah dasar. 2. Pratiwi (2010) melakukan penelitian mengenai Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah Etnis Cina ditinjau dari Gaya Pengasuhan Orangtua. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan moral anak usia prasekolah etnis Cina berdasarkan gaya pengasuhan orangtua. Kecerdasan
14 moral anak yang mendapat gaya pengasuhan authoritative lebih tinggi dibanding dengan gaya pengasuhan authoritarian, permissive, dan uninvolved atau neglectful. Berdasarkan hasil penelitian, juga ditemukan ada perbedaan kecerdasan moral anak usia prasekolah etnis Cina berdasarkan jenis kelamin anak dan berdasarkan interaksi antara gaya pengasuhan orangtua dan jenis kelamin. 3. Febriani (2010) melakukan penelitian mengenai Efektivitas Metode Bermain Peran untuk Meningkatkan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah. Penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan kecerdasan moral yang signifikan pada kelompok eksperimen, dengan skor kecerdasan moral yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa sejauh ini penelitian mengenai kecerdasan moral pada anak usia sekolah belum banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak dan belum ada yang khusus meneliti kecerdasan moral pada anak usia sekolah. Penelitian ini mencoba untuk mengambil konsep metode permainan kartu kuartet yang telah dilakukan Andayani dkk. (2010-2011), tetapi penelitian ini akan memfokuskan pada variabel kecerdasan moral, sehingga dapat dikatakan bahwa keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.