Migrasi Aktivis ke Kekuasaan Politik. Oleh Tata Mustasya

dokumen-dokumen yang mirip
Publik Sangat Kecewa Kiprah Politisi Muda

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA

I. PENDAHULUAN. pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407).

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

JK: Tradisi Golkar di Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

SBY-Megawati bersalaman di Istana,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

Pemilu 2014, Partai Islam Bakal 'Keok'

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

2015 MODEL REKRUTMEN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (STUDI KASUS DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI NASDEM KOTA BANDUNG)

BAB I PENDAHULUAN. DPR atau MPR. Karena pergantian sistem pemerintahan, banyak wajah wajah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan dan demokrasi sekarang ini dalam pemilihan umum

BAB I PENDAHULUAN. di berbagai media massa baik elektronik maupun cetak semua menyajikan

BAB I PENDAHULUAN. negara di masa yang akan datang, sebab kebijakan di masa depan akan sangat

MEDIA SURVEI NASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

KRISIS CAPRES DAN CAWAPRES PARTAI ISLAM : SIAPAKAH PASANGAN CAPRES- CAWAPRES TERKUAT PEMILU 2014? Lingkaran Survei Indonesia Maret 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif tapi telah

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Hasil Riset Media Monitoring Parpol dan Capres April-Juni 2013

BAB I PENDAHULUAN. daerah (pemilukada) diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tiara Ayudia Virgiawati, 2014

PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

Ini Alasan Partai Islam Terseok-Seok

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perpolitikan di Indonesia mengalami perkembangan pesat bila ditinjau dari segi

HASIL SURVEI NASIONAL PROGRAM PARTAI POLITIK DAN KOMPETENSI CALON PRESIDEN 2014 SURVEI DAN POLING INDONESIA

2014 : PEMERINTAHAN GOLKAR ATAU PEMERINTAHAN PDIP? Lingkaran Survei Indonesia Februari 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era demokrasi ini, khususnya di Inodonsia, musik tidak hanya sebagai

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. A. Daerah Pilihan Daerah Istimewa Yogyakarta 5

BAB I PENDAHULUAN. wakil presiden dipilih oleh MPR dan anggota-anggotanya dipilih melalui

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dudih Sutrisman, 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekalahan jepang oleh sekutu memberikan kesempatan bagi kita untuk

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

BEREBUT DUKUNGAN DI 5 KANTONG SUARA TERBESAR. Lingkaran Survei Indonesia Mei 2014

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan dukungan teknik-teknik marketing, dalam pasar politik pun diperlukan

KAMPANYE NEGATIF DAN PREDIKSI HASIL PILEG Lingkaran Survei Indonesia April 2014

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran

Mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal mengaku terhina andai calon presiden Indonesia wajib mendapatkan restu dari Amerika Serikat.

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan demokrasi di Indonesia. Berbagai kegiatan politik menarik

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat berperan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

RILIS SURVEI NASIONAL 24 MARET 6 APRIL 2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

I. PENDAHULUAN. pola perilaku yang berkenaan dengan proses internal individu atau kelompok

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

2015 STRATEGI PARTAI ISLAM D ALAM PANGGUNG PEMILIHAN PRESID EN DI INDONESIA TAHUN

MAKIN SURAMNYA PARTAI & CAPRES ISLAM DI PEMILU Lingkaran Survei Indonesia Oktober 2012

Bab I. Pendahuluan. proses pengambilan keputusan antara lain dengan melalui kampanye politik sebagai

EFEKTIVITAS STRATEGI OPOSISI DALAM PEMENANGAN PEMILU SERENTAK 2019 Nona Evita

I. PENDAHULUAN. sebuah tujuan bersama dan cita-cita bersama yang telah disepakati oleh

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. yang kemudian akan berkecimpung dalam dunia politik. 2 Peranan figur

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang tetap eksis selama bertahun-tahun hingga saat ini. Pada harian

I. PENDAHULUAN. Setelah memasuki masa reformasi, partai politik telah menjadi instrumen

TUGAS FINAL PEMILU INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB V PENUTUP. masyarakat yang diberikan pada kandidat-kandidat partai politik.

Korupsi di parlemen bentuknya banyak mulai dari budgeting hingga legislasi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

BAB I PENDAHULUAN. tak terkecuali sektor ekonomi. Berbagai sektor dalam perekonomian ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Selanjutnya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kota Jambi merupakan

MENYIMAK PEMBERITAAN PARTAI POLITIK DI MASA KAMPANYE TERBUKA (16 Maret 1 April 2014)

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses. partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya dan dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budiarjo (2008) mengatakan, salah satu perwujudan demokrasi yang menunjukkan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Lima Rapor Merah Satu Rapor Biru

BAB I PENDAHULUAN. dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD. sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana

KETUA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN HADIRI PERTEMUAN PIMPINAN LEMBAGA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan capres dan cawapres dalam meraih suara tak lepas dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perkembangan teknologi dan informasi yang lajunya begitu cepat saat ini

PT. Universal Broker Indonesia 1 MARKET OUTLOOK MEI: PILPRES. Oleh: Satrio Utomo PT. Universal Broker Indonesia. 26 April 2014

HASIL JAJAK PENDAPAT PUBLIK SEPUTAR PEMILUKADA DKI JAKARTA 2012

KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS. (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

KONVENSI PARTAI DEMOKRAT DI PERSIMPANGAN: DI ANTARA REALITAS DAN HARAPAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

Transkripsi:

Migrasi Aktivis ke Kekuasaan Politik Oleh Tata Mustasya Peralihan peran aktivis menjadi elite politik sebenarnya bukan merupakan hal baru. Paling tidak, hal ini terlihat jelas pascaproklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Beberapa aktivis seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Amir Sjarifuddin memegang posisi penting di pemerintahan. Secara umum, cikal bakal aktivisme secara meluas di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 dengan berdirinya Sarekat Islam. Hal yang sama terjadi dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1966. Para aktivis mahasiswa -terutama yang pada tahun 1960-an beroposisi terhadap Presiden Sukarno- masuk ke politik praktis dan kekuasaan. Pola ini kemudian berlangsung selama Pemerintahan Soeharto, misalnya masuknya pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke kekuasaan legislatif dan eksekutif baik di tingkat nasional maupun daerah. Reformasi politik pada tahun 1998 telah memperluas migrasi aktivis ke kekuasaan politik. Hal ini, terutama, didorong oleh beberapa faktor yang terkait erat dengan pelaksanaan demokratisasi, paling tidak secara prosedural, dan desentralisasi. Pertama, berdirinya partaipartai politik (parpol) baru yang dinilai mampu menampung aspirasi para aktivis. Pada awal reformasi, hal ini dapat dilihat pada kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang digagas Abdurrahman Wahid, Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan Amien Rais dan Partai Keadilan (PK) yang dibentuk para aktivis dakwah kampus. Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan (PDI-P) menjadi parpol lain yang menjadi tujuan migrasi para aktivis dan memperoleh suara terbanyak pada Pemilihan Umum 1999. Kedua, pelaksanaan desentralisasi mulai tahun 2001 yang memberikan otonomi kepada daerah, terutama kabupaten/kota, untuk mengelola kewenangan dan anggaran. Hal ini menjadi daya tarik bagi aktivis karena memberikan kesempatan yang lebih luas untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan dan proses perubahan. Ketiga, liberalisasi politik dalam bentuk pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dilaksanakan mulai tahun 2004. Bersamaan dengan itu, pers memiliki kebebasan dalam pemberitaan, termasuk dalam isu-isu politik. Para aktivis -dibandingkan dengan politisi berlatar belakang lainmemiliki keunggulan komparatif dalam mengelola relasi yang setara dengan media massa dan komunitas serta bermain di wacana publik. Dalam berbagai kontestasi politik baik di tingkat 1

nasional maupun daerah, peran aktivis tidak hanya terbatas sebagai kandidat tetapi juga pemegang peran kunci di tim sukses. Keempat, demokratisasi telah mempersempit jalur perjuangan non-kooperatif yang sebelumnya ditempuh aktivis. Dalam banyak hal, perubahan menjadi lebih efektif dilakukan sebagai pemegang kekuasaan atau bagian dari pengambilan kebijakan daripada berteriak dari luar. Dukungan publik dan komunitas terhadap perjuangan non-kooperatif juga melemah, kecuali untuk beberapa konteks khusus seperti perampasan tanah di daerah-daerah perkebunan. Para aktivis dakwah kampus juga kehilangan relevansi dalam semangat perlawanan mereka ketika Islam politik dan politik aliran tak lagi mengalami diskriminasi pascareformasi. Layu sebelum berkembang Salah satu perubahan yang dihasilkan oleh Reformasi Politik 1998 dan proses politik yang mengikutinya adalah terbukanya kesempatan bagi aktivis untuk menjadi elite berkuasa (ruling elite). Sesuatu yang tidak terjadi selama puluhan tahun. Pada Pemerintahan Soeharto, elite berkuasa dari tingkat nasional hingga daerah didominasi kelompok militer sebagai inti. Aktivis lebih berperan di level/lingkar kedua. Segera setelah Pemilu 1999, aktivis menjadi elite berkuasa. Abdurrahman Wahid, misalnya, terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Amien Rais menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebaliknya, kelompok militer yang sebelumnya menjadi elite berkuasa tergeser. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Pada tingkat makro, para elite politik berlatar belakang aktivis dinilai gagal memulihkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Karena politik utamanya merupakan persoalan persepsi, publik menghukum mereka pada Pemilu 2004. Hasilnya, politisi berlatar belakang aktivis tampak kehilangan momentum dalam memperoleh dukungan publik untuk terus menjadi elite berkuasa. Dibandingkan di awal reformasi, kiprah aktivis dalam arena kekuasaan saat itu lebih terbatas dan banyak di antaranya, terutama politisi muda, yang layu sebelum berkembang. Ada beberapa penyebab situasi tersebut. Pertama, paradoks demokrasi di Indonesia di mana politik mengalami liberalisasi tetapi demokrasi internal parpol tidak berjalan. Peran ketua dewan pembina dan ketua umum yang sangat dominan menjadi ciri khas demokrasi internal parpol. Hal ini terlihat, misalnya, dalam peran Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat 2

(PD), Megawati Sukarnoputri di PDI-P, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, dan Amien Rais di PAN. Dampaknya, aktivis memiliki dua pilihan sulit: mengikuti arus dengan risiko akan kehilangan identitas sebagai pejuang kepentingan publik atau kehilangan akses penting di parpol, misalnya untuk menjadi calon kepala daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, terjadi kegagalan aktivis-aktivis generasi kedua reformasi seperti Anas Urbaningrum di PD dan Budiman Sudjatmiko di PDI-P untuk meneruskan kepemimpinan dari generasi pertama seperti Yuhoyono dan Megawati. Kultur patron-klien dalam politik Indonesia mengharuskan yang muda mematuhi yang tua atau dengan kata lain, pemimpin muda harus mendapatkan restu dari senior. Pengecualian terjadi dalam situasi khusus seperti revolusi kemerdekaan, seperti dijelaskan di dalam Anderson (1974) di mana anak-anak muda yang dididik Militer Jepang menjadi pasukan pemberani yang kerap bertentangan dengan figur senior. Kedua, secara umum aktivis bukan merupakan pemilik modal yang memiliki peran strategis dalam liberalisasi politik. Ongkos demokrasi yang mahal, baik di tingkat nasional maupun daerah, kerap membuat politisi berlatar belakang aktivis tidak berdaya dalam kontestasi demokrasi. Di beberapa parpol, pemilik modal berhasil meraih kepemimpinan puncak, misalnya Aburizal Bakrie di Partai Golkar, Hatta Rajasa di PAN, dan Prabowo Subianto di Partai Gerindra. Ketiga, aktivis secara umum juga mengalami kesulitan untuk menjadi penggalang suara (vote getters). Dalam liberalisasi politik saat ini, daya tarik individual menjadi sangat penting. Ke depan, politisi tanpa daya tarik individu akan semakin sulit bersaing, terutama saat berpacu merebut kekuasaan eksekutif yang jumlahnya jauh lebih terbatas dibandingkan kursi legislatif. Faktor lainnya adalah kegagalan para aktivis untuk menunjukkan ciri khasnya sebagai pejuang kepentingan publik. Persoalan Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum PB HMI) yang telah berhasil menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD) sebagai parpol berkuasa (ruling party) merupakan satu contoh. Di sini, politisi berlatar belakang aktivis gagal menunjukkan keunggulan komparatifnya dalam soal integritas. Muhaimin Iskandar (Mantan Ketua Umum PB PMII) juga sejauh ini tidak berhasil menjadi tokoh nasional dengan gagasan yang jelas. PKB yang dipimpinnya terlihat malah mengalami disorientasi dalam wacana publik. 3

Jiwa aktivis, tidak mesti aktivis Apakah peran aktivis masih penting dalam perebutan kekuasaan politik ke depan? Hal ini akan sangat tergantung kepada kualitas individual aktivis yang terjun di politik. Yang menarik, jiwa aktivis politisi ternyata menjadi daya tarik utama bagi pemilih dalam beberapa survei politik terakhir. Survei elektabilitas yang dilakukan Litbang Kompas, misalnya, menunjukkan hal tersebut. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang berlatar belakang pengusaha menduduki urutan pertama dengan elektabilitas 32 persen, jauh di atas kandidat potensial lain. Joko Widodo dikenal sebagai pemimpin yang memiliki jiwa aktivis: egaliter, rajin turun ke lapangan, berintegritas baik, dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan publik. Di urutan kedua dan ketiga adalah Prabowo Subianto dan Megawati yang juga dipersepsikan publik sebagai figur yang berjiwa kerakyatan. Jadi kecenderungan politik ke depan, jiwa aktivis atau dengan kata lain politisi yang cenderung ke kiri justru akan memperoleh sambutan yang baik dari pemilih. Dikotomi aktivis dan non-aktivis, dengan demikian, menjadi kurang relevan. Politisi berlatar belakang pengusaha, misalnya, bisa berjiwa aktivis. Sebaliknya, aktivis yang menjadi politisi dapat saja kehilangan jiwa aktivisnya. Namun, dalam menyelesaikan persoalan-persoalan secara konkret, harus diakui bahwa pengusaha -terutama yang tumbuh secara mandiri tanpa terkait dengan kekuasaan- memiliki pengalaman yang lebih relevan dibandingkan aktivis. Sekolah aktivis memiliki masa kejayaan di era pergerakan kemerdekaan yang dimulai pada awal abad ke-20 hingga tahun 1930-an dengan kebutuhan menghindari represi tekanan Pemerintahan Kolonial dan menyadarkan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Sama halnya dengan pertumbuhan politisi militer dari tahun 1960-an sampai tahun 1980-an yang disemai dan ditempa oleh revolusi kemerdekaan antara tahun 1942--1949. Saat ini, politisi yang berlatar belakang pengusahalah yang lebih banyak mendapatkan pelatihan kepemimpinan untuk mengambil keputusan dengan cepat dan akurat, memiliki visi sekaligus perhatian pada detil dan menggalang konsensus. Lagi-lagi, latar belakang tidak selalu relevan. Yang diperlukan adalah jiwa aktivis dengan kompetensi pengusaha yang inovatif. Di sini, terdapat beberapa implikasi pilihan bagi aktivis jika ingin terjun ke perebutan kekuasaan politik. Di antaranya adalah, pertama, 4

mematangkan diri terlebih dahulu dengan fokus mengembangkan social enterpreneurship yang akan menempa aktivis untuk merumuskan gagasan yang sesuai dengan aspirasi dan konteks konstituen, sekaligus menumbuhkan kewirausahaan yang inovatif. Kedua, memulai dari daerah, dengan berkontestasi memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif di tingkat kabupaten/kota. Dengan pilihan-pilihan seperti itu, aktivis akan siap jika pada saatnya harus mewarnai dalam melakukan perubahan dalam skala yang lebih besar, misalnya di tingkat nasional dengan menjadi pemimpin yang mengutip Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer: Berhati brahmana, berlaku kesatria. Tata Mustasya merupakan anggota tim formulasi Visi Indonesia 2033, pendiri dan coordinator Semai Hidup dan sejak 2012 bergabung menjadi Anggota Perkumpulan INISIATIF. Latar belakang pendidikannya adalah studi ekonomi dan pembangunan, Universitas Indonesia (S1) dan manajemen pembangunan, Universitas Turin - Italia (S2) dan International Training Centre International Labour Organization (ITC ILO). Spesialisasi utamanya adalah pengembangan ekonomi, kebijakan public dan ekonomi politik. Banyak menulis di beberapa media massa, antara lain Kepemimpinan Politik Pasca-Yudhoyono (Kompas), Why did We Elect These Politicians (The Jakarta Post), Migrasi Menjadi Elite Parpol (Kompas) dan yang terakhir menulis The Prospect of Dems Convention di The Jakarta Post. 5