PERBEDAAN KONSEP DIRI NEGATIF ANTARA REMAJA YANG SEKOLAH DAN REMAJA YANG PUTUS SEKOLAH. Nurul Uliyah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan

dokumen-dokumen yang mirip
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI AKUNTANSI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENGENDALIAN DIRI DENGAN PERILAKU MEMBOLOS PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 PAKEL TAHUN PELAJARAN 2015/2016

BAB I PENDAHULUAN. dan juga dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. hlm Eva Latipah, Pengantar Psikologi Pendidikan, PT Pustaka Insani Madani, Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PENGEDALIAN PERILAKU AGRESIF PESERTA DIDIK KELAS X SMK PGRI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

Gambar 4.1 : Struktur Kepemimpinan wilayah RT 23 RW 2.80

OLEH : DINA OFTAVIANA NPM :

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 4 KOTA JAMBI

ARTIKEL ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 10 KOTA JAMBI. Oleh: HENNI MANIK NIM:ERA1D009123

HUBUNGAN ANTARA KEDISIPLINAN DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI SISWA SMA NEGERI 1 TERAS, BOYOLALI

PENGARUH DISIPLIN BELAJAR SISWA KELAS VIII-B SMP NEGERI I STABAT TERHADAP PEMBENTUKAN PERILAKU

-.- BABI PENDAHULUAN

JURNAL HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN KETERAMPILAN INTERPERSONAL SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2016/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. 2 Hasan Basri, Landasan Pendidikan, CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm Ibid., hlm. 15.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN DISIPLIN BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA DENGAN PERILAKUNYA DALAM MEMELIHARA KEBERSIHAN LINGKUNGAN KAMPUS

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Bimbingan dan Penyuluhan (Guideance and Conseling), merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

Hubungan antara Parental Discipline dan Intensitas Komunikasi Peer Group dengan Minat Belajar Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

I. PENDAHULUAN. lalu lintas, dan lain sebagainya (Soekanto, 2007: 101). undang-undang yang berlaku secara sah, sedangkan pelaksananya adalah

HUBUNGAN PERHATIAN ORANG TUA DENGAN KEDISIPLINAN BELAJAR DI RUMAH PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KEBONAGUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN DIRI DENGAN SIKAP PEDULI SOSIAL SISWA DI SMPN 1 SANGGAR KAB. BIMA TAHUN PELAJARAN 2013/2014

PERAN KELUARGA INTI DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

PENGARUH MANAJEMEN KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU (Penelitian di MTs. Nurulhuda Cibojong, Cisurupan, Kabupaten Garut)

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Guna. Memperoleh GelarSarjana Pendidikan (S.Pd.) Program Studi Bimbingan dan Konseling OLEH :

PERANAN KELUARGA DALAM PROSES PENANAMAN KEDISIPLINAN TERHADAP REMAJA DI DUSUN KRAJAN, DESA GEMBONG, KECAMATAN ARJOSARI, KABUPATEN PACITAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi untuk mengukur kualitas keberhasilan dari proses pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. mengajar yang diciptakan oleh hubungan antara guru dengan peserta didik.

[ISSN VOLUME 3 NOMOR 2, OKTOBER] 2016

HUBUNGAN DISIPLIN BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR NEGERI 18 BANDA ACEH. Zainidar Aslianda, Israwati, Nurhaidah

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

FAKTOR PENYEBAB PELANGGARAN DISIPLIN PADA SISWA SMP NEGERI 19 KOTA JAMBI

BAB V KESIMPULAN, EMPLIKASI DAN SARAN. layanan bimbingan sebesar 33,2%, sedangkan sisanya sebesar 76,8% ditentukan

I. PENDAHULUAN. nasional yaitu membangun kualitas manusia yang beriman dan bertaqwa

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

HUBUNGAN ASPIRASI MELANJUTKAN KE PERGURUAN TINGGI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XII

KORELASI KEDISIPLINAN BELAJAR DI RUMAH DENGAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SD NEGERI 19 BANDA ACEH. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. bawaan dari lahir tetapi berkembang dari beribu-ribu pengalaman secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap aspek kehidupan selalu berkaitan erat dengan masalah belajar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN PARENTING SKILL DALAM MELATIH DISIPLIN ANAK TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA di SD YIMA Bondowoso. Kalsum, Festa Yumpi & Iin Ervina

BAB III METODE PENELITIAN. dapat diukur dengan angka atau istilahnya quantifiabel, berupa pemahaman terhadap

HUBUNGAN KEDISIPLINAN DI SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS X SMK KARTANEGARA KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN NUMERIK, VERBAL DAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA FISIKA DENGAN PRESTASI BELAJAR FISIKA

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN SEKOLAH DENGAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 DONOROJO TAHUN PEMBELAJARAN 2014/2015

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEDISIPLINAN DI SEKOLAH SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KANDAT TAHUN PELAJARAN 2014/2015

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN MENGAJAR GURU DENGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

MENINGKATKAN KEMANDIRIAN MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK ABA 010 CABANG KUOK KABUPATEN KAMPAR

BABV PENUTUP. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang

ANALISIS PERILAKU SISWA SMP DALAM MENERAPKAN NILAI-NILAI PANCASILA SILA KELIMA DI LINGKUNGAN SEKOLAH (Studi Kasus Di SMP Negeri 3 Sawit Boyolali)

BAB 1V KONSEP DIRI REMAJA DELINQUEN DI DESA LOBANG KECAMATAN LIMPUNG KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KEMATANGAN EMOSIONAL SISWA KELAS XI SMA NEGERI PUNUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

BAB 1 PENDAHULUAN. berguna kelak di kemudian hari.sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan yang

PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL DAN DISIPLIN BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

Marina Tri Handhani. Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pengaruh Persepsi Siswa Pada Kompetensi Mata Pelajaran Adaptif Terhadap Kompetensi Mata Pelajaran Teknik Pengelasan Siswa

BAB I PENDAHULUAN. masa estetik. Pada masa vital anak menggunakan fungsi-fungsi biologisnya untuk

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN KEPUASAN KERJA PEGAWAI DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA BUKITTINGGI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ahli (expert judgment), inventori dinyatakan layak digunakan dan dapat diuji

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 1 WERU SUKOHARJO TAHUN PELAJARAN 2014/2015

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif dengan pendekatan lapangan (field research). Penelitian kuantitatif

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kemudian dalam

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA KARAKTER SISWA, KEDISIPLINAN SISWA, DAN KELENGKAPAN SARANA PRASARANA SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR FISIKA

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KOMPETENSI DOSEN DENGAN MINAT BELAJAR MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan itu juga telah dipelajari secara mendalam. terjadi pada manusia, dan pada fase-fase perkembangan itu fase yang

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL TEMAN SEBAYA DENGAN IDENTITAS DIRI PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH KOTA KEDIRI TAHUN AJARAN 2014/2015

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu aspek yang menentukan dalam pembinaan manusia Indonesia

PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG IDENTITAS DIRI REMAJA PADA SISWA SMA KARTIKA I-2 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa ini menimbulkan perubahan-perubahan baik itu secara fisik maupun

Transkripsi:

Jurnal Psikologi September 2014, Vol. II, No. 2, hal 80-88 PERBEDAAN KONSEP DIRI NEGATIF ANTARA REMAJA YANG SEKOLAH DAN REMAJA YANG PUTUS SEKOLAH Nurul Uliyah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan Abdul Amin Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan konsep diri negatif antara remaja yang sekolah dan remaja yang putus sekolah. Metode survei digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan skala konsep diri negatif. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja sekolah (N=30) dan remaja yang putus sekolah (N=30) di desa Bayeman. Hasil korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan signifikan bahwa remaja putus sekolah memiliki konsep diri negatif. Hasil analisis uji t-antar kelompok menunjukkan bahwa remaja yang sekolah memiliki konsep diri lebih positif, sedangkan konsep diri negatif dimiliki oleh remaja yang putus sekolah. Kata kunci: Konsep Diri Negatif, Remaja yang sekolah, Remaja yang Putus Sekolah Pendahuluan Kenakalan remaja pada dasarnya terjadi pada remaja yang putus sekolah, yang tidak memilki kesibukan apa-apa, sehingga dia dapat melakukan dan memiliki kesempatan yang banyak untuk melakukan hal-hal yang lain, baik hal yang bersifat positif maupun hal yang bersifat negatif. Akan tetapi, pada kenyataannya kenakalan remaja tidak hanya terjadi pada remaja yang putus sekolah, remaja yang masih duduk di bangku sekolah juga mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang negatif pula. Misalnya, berita yang sering kita dengar dari radio, koran, atau di televisi yang sangat marak tawuran antar remaja yang sekolah, kebutkebutan, minum-minuman keras dan lain sebagainya. Tidak hanya itu peredaran narkoba yang terjadi di Jakarta atau kota metropolitan yang lain yang dilakukan oleh anak-anak yang masih terbilang remaja, dan kebanyakan remaja tersebut masih duduk di bangku sekolah. Fenomena tersebut menunjukan bahwa kenakalan remaja tidak hanya terjadi pada remaja yang putus sekolah saja, melainkan terjadi juga pada remaja yang masih duduk di bangku 80

sekolah, yang masih mempunyai status pelajar. Terdapat banyak masalah atau hambatan yang terjadi ketika seseorang mulai membentuk konsep dirinya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri. Rakhmat (1994) membaginya menjadi beberapa faktor, sebelum seseorang berteman dengan orang lain yang ada di sekitarnya, orang tersebut harus mengenali siapa yang ada di sampingnya atau mengenali teman yang dekat dengannya yang disebut significant others. Selain itu seseorang harus dilihat dari dalam perkembangannya, meliputi semua orang yang ada disekitar remaja dapat mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaannya. Mereka mengarahkan tindakan remaja, membentuk pikiran dan menyentuh hati dan fikiran remaja secara emosional. Yang selanjutnya affective others, tentang orang lain yang ada di sekitar remaja mempunyai ikatan emosional dengan remaja tersebut. Dari merekalah secara perlahanlahan remaja membentuk konsep dirinya. Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan mereka, menyebabkan diri remaja dapat menilai dirinya secara positif. Sebaliknya ejekan, cemoohan, dan hardikan membuat remaja memandang dirinya sendiri secara negatif. Dalam kehidupan disekitar masyarakat pasti terdapat berbagai kelompokkelompok, setiap orang pasti mempunyai kelompok dalam pergaulannya di masyarakat dan tidak menutup kemungkinan seseorang menjadi anggota di dalam kelompok tersebut. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu, ada kelompok yang secara emosional mengikat remaja, dan berpengaruh pada konsep diri setiap remaja. Ciri khas individu yang mempunyai konsep diri negatif biasanya dapat disebabkan karena ketidakakuratan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Harapan-harapan yang tidak masuk akal akan dapat memunculkan konsep diri yang rendah, contoh lain pada remaja penyandang tunanetra terkadang dengan keterbatasan yang remaja miliki tersebut, maka remaja itu dapat mempunyai harga diri yang rendah kadangkadang menyebabkan remaja tunanetra kurang percaya diri akan kemampuannya. Konsep diri individu yang duduk di bangku sekolah menurut Rogers (2000) adalah individu 81

memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi. Penggambaran pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Remaja yang sekolah menurut Rogers (1999) memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi. Penggambaran pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dirinya dihargai, dicintai karena nilai adanya pada diri sendiri sebagai pribadi sehingga ia tidak bersifat defensif namun sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri. Bagi remaja yang pendidikannya kurang atau dalam arti putus sekolah, remaja tersebut merasa mempunyai keterbatasan mereka akan merasa dirinya rendah atau dapat menyebabkan remaja yang memiliki konsep diri negatif, evaluasi diri yang dimilikinya juga meliputi penilaian yang negatif terhadap dirinya, merasa tidak pernah cukup, baik dengan apa yang dirasakannya dan selalu membandingkan apa yang akan dicapai dengan yang dicapai orang lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri negatif cenderung membuat individu bersikap tidak efektif, hal ini akan terlihat dari kemampuan interpersonal dan penguasaan lingkungan dalam masyarakat. Seharusnya setiap orang atau remaja dalam perkembangan yang baik, harus mampu mengenali dirinya sendiri, dan memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, menentukan hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi. Penggambaran pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Remaja yang seperti itu berarti merasa dirinya dihargai, dicintai karena adanya nilai positif pada diri sendiri sebagai pribadi sehingga remaja tidak bersifat defensif namun sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan penuh kepercayaan terhadap diri sendiri. Seseorang dengan konsep diri yang positif prilakunya akan terlihat lebih memiliki harga diri, dan cenderung melakukan hal-hal yang 82

positif, dibandingkan yang memiliki konsep diri negatif hal ini yang membuat remaja tersebut memiliki konsep diri yang positif. Sebaliknya seseorang yang mempunyai konsep diri negatif berarti memiliki harga diri yang negatif pula. Sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Damon, 1991; Santrock, 2003). Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak kecenderungan negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul, kurang bisa menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya, kurang memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak berlaku adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada dirinya dan lain sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari pergaulannya dengan lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat remaja lebih cenderung memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep diri yang negatif (Sobur, 2003). Untuk terhindar dari konsep diri negatif setiap remaja membutuhkan orang lain disampingnya yaitu orang tua, guru, dan teman artinya dengan adanya orang tua dan guru yang bisa memberikan dorongan dan masukan-masukan, remaja bisa memperbaiki perilaku remaja sebelumnya yang kurang bagus atau kurang baik dan bisa diarahkan ke arah yang lebih baik lagi. Terbentuknya konsep diri yang baik juga tidak terlepas dari kualitas bagaimana orang tersebut berprilaku. Dari fenomena diatas penulis mengambil judul Perbedaan Konsep Diri Negatif Antara Remaja Yang Sekolah Dan Remaja Yang Putus Sekolah. Konsep Diri Remaja Sekolah Dalam kehidupan sehari-hari orang yang sekolah atau yang berpendidikan kemungkinan mempunyai konsep diri yang baik dan mempunyai tuntutan yang telah di berikan oleh pihak sekolah terutama dalam kedisiplinan. Remaja yang sekolah menurut Mulyadi (2007), memiliki harga diri selain itu juga memiliki kemampuan atau kom- 83

petensi. Remaja yang sekolah lebih tanggung jawab karena guru memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat keputusan sendiri atas perilakunya hal itu dapat menunjukkan konsep diri remaja cenderung positif. Konsep Diri Remaja Putus Sekolah Remaja putus sekolah adalah seorang anak usia sekolah antara 7 sdd 21 tahun yang tidak sekolah sebagian besar menjadi pekerja anak, termasuk anak jalanan dan sebagian lagi pengangguran (Mulyadi, 2007). Dalam kehidupan sehari-hari seseorang mendapat cobaan, sama sekali tidak diduganya. Tentu saja hal itu akan menimbulkan keterguncangan. Perasaan kedukaan pada tingkat awal dan perilaku yang mengiringinya sering membuat seseorang menjadi lupa diri dan sangat khas ditandai dengan konsep diri negatif tentang diri sendiri (Rogers, 2001). Remaja putus sekolah biasanya lebih malas untuk untuk mengeksplorasi dirinya karena merasa minder. Metode Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah konsep diri negatif, sedangkan remaja yang sekolah dan remaja yang putus sekolah adalah variable bebas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Purporsive Non Random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Hadi, 2000). Data yang diperoleh kemudian di analisis dengan teknik Uji-t Antar Kelompok. Hasil Dari hasil uji t-antar kelompok, di peroleh t-antar sebesar -2,6053 dengan db sebesar 58, di peroleh t-tabel 1% sebesar 2,207, sehingga t-antar 2,6053 > t- tabel 1% = 2,207, dinyatakan sangat signifikan. Artinya ada perbedaan konsep diri negatif (X), antara remaja yang sekolah dan remaja yang putus sekolah (Y) di Desa Bayeman Kecamatan Gondang Wetan Kabupaten Pasuruan. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi Ada Perbedaan Konsep Diri Negatif Antara Remaja Yang Sekolah Dan Remaja Yang Putus Sekolah Di Desa Bayeman di terima. 84

Pembahasan Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja Yang Sekolah Dan Remaja Yang Putus Sekolah menunjukkan hasil yang signifikan. Ini membuktikan bahwa peran dan manfaat sekolah selama ini yang dianggap sederhana oleh sebagian orang tua, ternyata berperan sangat penting dalam membangun konsep diri yang baik bagi remaja. Remaja yang sekolah dan remaja yang putus sekolah dalam penelitian ini sangat berbeda, konsep diri remaja yang sekolah cenderung positif dibanding konsep diri remaja yang putus sekolah. Konsep diri remaja yang sekolah dalam penelitian ini dinyatakan positif, dan lebih memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi masalahnya. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Kaufman, dan Whitener. Remaja yang sekolah mempunyai konsep diri yang baik dan mempunyai tuntutan yang telah diberikan oleh pihak sekolah terutama dalam kedisiplinan. Oleh karena itu pendidikan disekolah sangat berperan penting dalam pembentukkan konsep diri remaja. Remaja yang sekolah biasanya lebih memiliki disiplin tinggi dan membentuk konsep diri yang lebih positif, biasanya remaja yang berada di lingkungan sekolah selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan normanorma yang berlaku, dan lain sebagainya, hal itu yang mendukung remaja dapat membentuk konsep diri yang baik. Remaja yang putus sekolah lebih memiliki konsep diri yang negatif atau tidak dapat disiplin. Sebutan remaja yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada remaja yang kurang atau tidak dapat menaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal). Peraturan tesebut jika dibiasakan dan dilakukan di kehidupan sehari-hari, remaja akan terlihat memiliki konsep diri yang baik. Menurut Nursisto (1986), banyak individu yang yang duduk di bangku pendidikan lebih disiplin dari pada individu yang putus sekolah. Disiplin disekolah merupakan suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk 85

melalui proses dan serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Perilaku seperti diatas adalah perilaku yang mencerminkan remaja yang memiliki konsep diri yang positif. Sementara itu, Mulyasa (2003) mengemukakan strategi umum merancang disiplin remaja di sekolah, yaitu dengan menumbuhkan kebiasaan remaja untuk melakukan hal yang positif, hal itu untuk menumbuhkan konsep diri yang baik sehingga siswa atau remaja dapat berperilaku disiplin. Remaja menurut Piaget, 1999 juga mengalami masa operasional formal (formal operational stage), pada masa ini pendidikan dari sekolah atau guru (orang dapat mengarahkan) sangat perlu, karena remaja melampaui pengalamanpengalaman konkrit dan harus bisa berfikir abstrak dan logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih abstrak, remaja mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang ideal itu dan membandingkan orang tua yang ideal. Remaja mulai mempersiapkan kemungkinan di masa depan dan terkagum-kagum terhadap hal-hal yang dapat mereka lakukan. Jika mereka tidak didasari dengan pendidikan yang kuat atau maksimal maka dikhawatirkan mereka akan mengalami kebingungan pada saat menghadapi masalah yang seperti itu. Jika dilihat dari beberapa paparan yang ada konsep diri yang positif bisa diperoleh atau ditunjang dari pendidikan yang kita peroleh, pada masa remaja juga ada tahapan yang harus di jalankan dengan baik dan hati-hati. Identitas versus kebingungan identitas (identitas versus identity confusion) merupakan tahap selanjutnya dari perkembangan remaja menurut Erikson. Di masa ini, seseorang dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam masa hidupnya. Remaja dihadapkan dengan banyak peran-peran yang baru dan status orang dewasa, pekerjaan dan romantika. Dalam hal ini orang tua sebaiknya mengizinkan mereka untuk menjajaki berbagai peran yang berbeda, maupun berbagai jalur yang terdapat dalam suatu peran tertentu. Jika menghadapi 86

peran semacam itu dengan cara yang sehat dan sampai pada jalur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan, maka perilaku yang positif akan dicapai. Apabila dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa depannya remaja kurang berhasil maka remaja tersebut akan mengalami kebingungan. Hal inilah kenapa pendidikan perlu di tempuh dengan baik. Begitu pula sebaliknya dalam kehidupan pada masyarakat luas, tidak sedikit pula remaja yang putus sekolah, untuk itu pendidikan di sekolah sangat berperan penting untuk membentuk konsep diri remaja yang lebih positif. Fenomena di atas konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Remaja tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu. Ketika remaja lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apa pun terhadap diri remaja sendiri. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap dan respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif. Dari fenomena tersebut diatas, peneliti dapat melihat atau mengetahui bahwa konsep diri remaja yang sekolah cenderung positif dibandingkan konsep diri remaja yang putus sekolah. Remaja yang sekolah bisa lebih berusaha lebih baik dalam pemecahan masalah yang ada pada dirinya. Sedangkan remaja yang putus sekolah lebih cenderung mudah depresi atau stres, dan lebih cenderung putus asa ketika remaja yang putus sekolah tersebut 87

mengalami kegagalan atau mengalami hambatan dalam pencapaian cita-cita dan harapannya. Seperti yang dikemukakan oleh Damon, bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat memiliki harga diri yang positif. Daftar Pustaka Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik (Ed. Rev. VI). Jakarta : PT. Rineka Cipta Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik (Ed. Rev. VI). Jakarta : PT. Rineka Cipta Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Azwar, S. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2009. B. Tes Prestasi, Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar (Ed. 2). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta Chaplin, J.P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hadi, S.1976 Metodologi Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGN Yogyakarta Hurlock, E. 2001. Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga. Kelly, F, K. 2007. Psikologi Kepribadian 1. Tidak diterbitkan. Universitas Yudharta Pasuruan. Kelly, F, K. 2007. Statistik I. Tidak diterbitlan. Universitas Yudharta Pasuruan. Muhammad, A & Muhammad, A. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : Bumi Aksara Ngalim, P. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Poerwadarminta, WJ.S.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Riduwan. 2002. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: PT. Alfabeta. Risnawita & Ghufron. 2010. Teori- Teori Psikologi. J0gjakarta : Ar-Ruzz Media Sunarto & Hartono, A. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka Cipta Santrock, J, W. 2007. Remaja. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama 88