BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Pajak Bumi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENERIMAAN DAERAH DAN PENGALIHAN PBB-P2

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

DANA BAGI HASIL YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 3 GAMBARAN UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH, PAJAK DAERAH DAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN SIDOARJO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chaizi dalam Susanti, 2010 :

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BUPATI MALUKU TENGGARA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21/PMK.07/2009 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 04/PMK.07/2008 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN,

KEPUTUSAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG URAIAN TUGAS UNIT DINAS PENDAPATAN BUPATI TASIKMALAYA B U P A T I TASIKMALAY A

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN BUPATI INDRAGIRI HULU NOMOR 571 TAHUN 2011 BUPATI INDRAGIRI HULU,

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BUPATI LAMONGAN PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI DINAS PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang mana untuk selanjutnya

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI MANGGARAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan nasional, Indonesia menganut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang utama, karena itu peranan sektor pajak sangat besar, terutama untuk menunjang keberhasilan pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak pusat, akan tetapi PBB akan menjadi penerimaan daerah, karena sebagian besar dana bagi hasilnya (90%) diserahkan kembali kepada daerah yang memungutnya dan 10% diserahkan ke Pemerintah Pusat (Kas Negara). Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2000 yang menggantikan PP No. 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah terlihat bahwa persentase untuk Daerah Kabupaten/Kota lebih besar dibandingkan daerah provinsi. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya kemauan politik dari Pemerintah untuk merealisasikan terwujudnya otonomi daerah. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dijelaskan bahwa sumber penerimaan daerah otonom, terdiri atas: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2) Dana Perimbangan. 3) Lain-lain pendapatan yang sah. Sedangkan yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah Dana yang bersumber dari pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)

yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah, sedangkan dana perimbangan yang berperan dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya. Sebagai pelaksana pembangunan di daerah yang berdasar atas asas desentralisasi, Pemerintah Kota Medan berkewajiban mengurus rumah tangganya sendiri. Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, dana perimbangan terdiri atas, sebagai berikut: 1) Dana Bagi Hasil (DBH) dari pajak, yakni; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam yakni; kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. 2) Dana Alokasi Umum (DAU). Besarnya DAU didasarkan atas formula. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. 3) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 UU No. 33 Tahun 2004, pengalokasian dana bagi hasil dari PBB adalah sebagai berikut:

1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut: a. 16,20% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Umum Daerah Provinsi, b. 64,80% untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan c. 9% untuk biaya pemungutan. 2) Sebesar 10% bagian pemerintah pusat, dari penerimaan PBB tersebut dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a. 65% dibagikan secara merata kepada seluruh Daerah Kabupaten/Kota. b. 35% dibagikan secara insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Adapun alur penerimaan PBB dan alokasi Dana Bagi Hasil PBB dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1.1. Alur penerimaan dan alokasi DBH PBB Menurut Guritno Mangkusubroto (1989) menyatakan bahwa penerimaan PBB di Indonesia bersumber dari 5 (lima) klasifikasi, yaitu: 1) Sektor perdesaan, yang meliputi tanah untuk pekarangan, tanah untuk ladang, tanah untuk sawah, tanah tambak, tanah untuk ladang garam dan lain-lain yang ada di perdesaan. 2) Sektor perkotaan, yang meliputi tanah dan bangunan di kota-kota besar maupun kecil yang dapat dipandang sebagai kota, seperti ibukota negara, ibukota provinsi, ibukota kabupaten, ibukota kecamatan dan sebagainya. 3) Sektor perkebunan, yang meliputi tanah beserta bangunan yang dipergunakan untuk keperluan perkebunan, seperti tanah dan bangunan untuk pabrik serta untuk tanaman perkebunan. 4) Sektor perhutanan, yang meliputi tanah dan bangunan yang digunakan untuk usaha perhutanan, seperti tanah dan bangunan yang dipergunakan untuk menimbun kayu, dan tanah hutan yang belum menghasilkan. 5) Sektor pertambangan, yang meliputi tanah dan bangunan yang dipergunakan untuk pertambangan, misalnya tanah yang dibor untuk mendapatkan minyak, gas bumi, biji besi serta bangunan yang dibangun di sekitar tempat pemboran yang dipergunakan untuk keperluan usaha pertambangan tersebut.

Sumber penerimaan PBB pada penelitian ini adalah pada sektor Perdesaan dan Perkotaan, yang mana obyeknya adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak gerak oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya sehingga keadaan dan status orang atau badan yang dijadikan subyek pajak tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak, oleh karena itu pajak ini disebut pajak yang obyektif. Walaupun disebut pajak yang obyektif tetapi dipungut dengan surat penetapan pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak. Namun kenyataannya Pemerintah menetapkan standar ganda, NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) ditetapkan sebesar 20% dan 40%. Persentase 40% berlaku untuk obyek pajak perumahan dan bagi wajib pajak perorangan yang NJOP (tanah dan bangunan) lebih besar atau sama dengan 1 (satu) milyar rupiah. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku untuk obyek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh PNS, anggota ABRI atau pensiunan (termasuk janda/dua) yang penghasilannya semata-mata dari gaji atau pensiunan. Bagi wajib pajak ini berlaku persentase NJKP sebesar 20%. Berarti masih ada unsur subyektif karena pemerintah bukan hanya melihat obyeknya tapi juga subyeknya. Tingkat pelayanan sebagai upaya peningkatan dan pengamanan penerimaan kas negara khususnya pada sektor Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan

Perkotaan (PBB P2) di Kota Medan, maka KPP Pratama se-kota Medan memberikan pelayanan-pelayanan, yaitu: 1) Layanan cetak salinan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB). 2) Layanan mutasi Pajak Bumi dan Bangunan seluruhnya. 3) Layanan mutasi Pajak Bumi dan Bangunan sebagian, meliputi; a. Balik Nama SPPT PBB. b. Pemecahan SPPT PBB. c. Penimbulan/data baru SPPT PBB. d. Pembetulan SPPT PBB (Nama dan Alamat Wajib Pajak). 4) Layanan pengurangan besarnya PBB terhutang. 5) Layanan pengajuan keberatan atas PBB terhutang. Berdasarkan data perkembangan realisasi penerimaan PBB P2 terhadap target penerimaan PBB P2 Kota Medan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, menunjukkan kecenderungan mengalami peningkatan. Namun dilihat dari realisasi penerimaan PBB P2 masih ada yang di bawah target yaitu tahun 2001 dan tahun 2007. Sedangkan penerimaan PBB P2 yang paling besar terjadi pada tahun 2004, yaitu realisasi penerimaan sebesar 123% atau 23% melebihi target yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Medan. Untuk perkembangan realisasi penerimaan PBB P2 terhadap target penerimaan PBB P2 Kota Medan tersebut, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

140 120 118,97 123,37 100 100,71 95,81 102,66 102,49 101,8 94,6 107,14 100,59 101,45 80 60 40 20 0 2000 2001 2002 2003 Penerimaan 2004 2005 PBB P22006 2007 Target 2008 2009 2010 Gambar 1.2. Perkembangan persentase realisasi penerimaan PBB P2 terhadap target penerimaan PBB P2 Kota Medan tahun 2000-2010 Sumber data: Dipenda Kota Medan, tahun 2011. Guna meningkatkan penerimaan PBB P2 tersebut perlu menganalisa faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan PBB P2, sehingga dengan mengetahui hal tersebut dapat disusun stategi yang tepat agar peningkatan penerimaan PBB P2 dapat dicapai dengan efektif. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa penerimaan PBB P2 di Pemerintah Kota Medan perlu diteliti. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB P2, yaitu jumlah wajib pajak, PDRB perkapita atas dasar harga berlaku (ADHB), inflasi, tingkat suku bunga dan investasi.

Wajib pajak/subyek pajak PBB P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, antara lain: pemilik, penghuni, pengontrak, penggarap, pemakai, penyewa. Jumlah wajib pajak dalam penelitian ini adalah jumlah subyek pajak yang terdaftar dalam Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) yang ada dalam basis data di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) dan KPP Pratama se-kota Medan, bahwa perkembangan jumlah wajib pajak yang meningkat berpotensi akan meningkatkan penerimaan pajak. Oleh sebab itu perlu adanya dukungan dari pihak masyarakat, baik jumlah dan tingkat kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita merupakan cermin dari pendapatan masyarakat, semakin tinggi PDRB perkapita, kemampuan masyarakat untuk membayar PBB semakin meningkat, sehingga dapat meningkatkan penerimaan PBB. PDRB perkapita ADHB untuk wilayah Kota Medan menunjukkan perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Hal ini mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Naiknya inflasi akan meningkatkan nilai harga tanah, sehingga nilai jual obyek pajak juga akan meningkat. Naiknya nilai jual obyek pajak akan meningkatkan penerimaan PBB. Tingkat suku bunga Bank Indonesia adalah suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia melalui rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Perubahan dari tingkat suku bunga Bank Indonesia akan sangat mempengaruhi

pencapaian stabilitas inflasi. Naik turunnya tingkat suku bunga akan mempengaruhi penerimaan pajak, khususnya terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Naiknya tingkat suku bunga akan menurunkan keinginan meminjam dana dalam membayar kredit perumahan sehingga dapat menurunkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan sebaliknya. Investasi merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pada perekonomian tertutup, sumber dana investasi semata-mata berasal dari tabungan domestik. Sedangkan pada perekonomian terbuka sumber dana dapat diperoleh melalui dana dari luar wilayah. Kota Medan merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia setelah kota Jakarta dan Surabaya, dilihat dari luasnya wilayah, jumlah penduduk, aktivitas industri dan perdagangan barang dan jasa. Saat ini Pemerintah Kota Medan sedang berusaha pula untuk memperbesar luas wilayahnya. Melihat kondisi ini peluang bisnis di berbagai bidang seperti bidang industri, pariwisata, perbankan dan lain-lain akan semakin menjanjikan keuntungan bagi para investor lokal maupun asing. Sejak tahun 2000 penanaman modal (investasi) di Kota Medan secara berangsur-angsur mulai menunjukkan pertumbuhan yang cukup berarti. Hal ini tidak saja didukung oleh faktor-faktor ekonomi yang dimiliki, tetapi didukung juga oleh faktor-faktor non ekonomi, sehingga menciptakan iklim dan lingkungan penanaman modal yang semakin kondusif dari waktu ke waktu. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna penyusunan tesis ini, maka disusun tesis ini

dengan judul: Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kota Medan. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan ini sebagai berikut: Apakah jumlah wajib pajak, PDRB perkapita ADHB, inflasi, tingkat suku bunga dan investasi berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kota Medan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk menganalisis pengaruh secara parsial dan simultan jumlah wajib pajak, PDRB perkapita ADHB, inflasi, tingkat suku bunga dan investasi terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kota Medan. 1.4. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan akan memperoleh manfaat sebagai berikut: 1) Sebagai bahan informasi kepada Pemerintah Daerah Kota Medan dalam pengambilan kebijakan perpajakan di masa yang akan datang untuk peningkatan penerimaan PBB P2 sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah di Kota Medan.

2) Dapat meningkatkan wawasan keilmuan tentang PBB P2 di Kota Medan. 3) Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan kepustakaan dan menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin meneliti kembali atas masalah-masalah yang releven dengan penelitian ini. 4) Dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti-peneliti yang akan datang. 1.5. Originalitas Penelitian Penelitian-penelitian ini adalah penelitian replikasi dari peneliti terdahulu yang dilakukan oleh Sitanggang (2001), dengan judul faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah jumlah surat penagihan, jumlah wajib pajak, dana pembangunan prasarana dan pendapatan perkapita secara keseluruhan maupun secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PBB di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada variabel penelitian. Penelitian ini menggunakan variabel bebas (independen) yaitu jumlah wajib pajak, PDRB perkapita ADHB, inflasi, tingkat suku bunga dan investasi, sedangkan variabel terikat (dependen) adalah penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Medan. Perbedaan penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 1.1 di bawah ini:

Tabel 1.1. Perbedaan penelitian No. Kriteria Peneliti terdahulu Peneliti sekarang 1. Judul Penelitian Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Daerah Istimewa Yogyakarta Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kota Medan 2. Variabel Penelitian Variabel Terikat: Penerimaan PBB Variabel Bebas: - Jumlah surat penagihan, Jumlah wajib Pajak, Dana Prasarana Pembangunan dan PDRB perkapita Variabel Terikat: Penerimaan PBB P2 Variabel Bebas: Jumlah wajib Pajak, PDRB perkapita ADHB, Inflasi, Tingkat Suku Bunga dan Investasi 3. Tempat Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta Pemerintah Kota Medan