PENDAHULUAN. Berkembangnya Islam di Nusantara telah menciptakan. warisan budaya klasik yang beragam, baik yang bersumber pada

dokumen-dokumen yang mirip
KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

de Bruyne, Edgar, 1948, Philosophic van de Kunst, Antwerpen: Standaard Boekhandel. Dharsono, 2007, Budaya Nusantara: Kajian Konsep Mandala dan Konsep

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seni adalah karya cipta manusia yang memiliki nilai estetika dan artistik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam teks mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ESTETIKA BENTUK Pengertian. Estetika adalah suatu kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB III KONSEP PERANCANGAN A.

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB V PENUTUP. itu dituangkan ke dalam rancangan-rancangan karya seni dalam jumlah yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

Kawruh warnining udheng-udhengan (suatu tinjauan filologis) Budi Kristiono C UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

BAB I PENDAHULUAN. rahmat Allah SWT karena leluhur kita telah mewariskan khazanah kebudayaan

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II DESKRIPSI TEORETIS DAN FOKUS PENELITIAN

BAB VI KESIMPULAN. kesenian yang khas. Konsep akan yang indah (beauty) itu sendiri seiring waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

, 2015 KOMPLEKS MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA DALAM SITUS MASYARAKAT KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh

2014 SAJARAH CIJULANG

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

INTERAKSI KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1

TINJAUAN BUKU. * Peneliti Islamic Manuscripts Unit (ILMU) PPIM UIN Syarif Hidayatullah

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

Pengertian Seni Rupa. Prinsip - prinsip Seni

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

PERWUJUDAN TEKSTIL TRADISIONAL DI INDONESIA: Kajian Makna Simbolik Ragam Hias Batik yang Bernafaskan Islam pada Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

RAGAM HIAS FLORA Ragam hias flora

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

FAKTOR-FAKTOR STRATEGIK DALAM PENINGKATAN BELAJAR UKIR KAYU (Studi Kasus: Pada Sanggar Ukir Di Jepara)

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari berbagai suku, bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang mengiringi kebudayaan dari zaman ke zaman.akibat perkembangan itu

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA DAN PRAKARYA SEKOLAH DASAR KELAS I - VI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

SENI KRIYA. Oleh: B Muria Zuhdi

Unsur-unsur dan Prinsip-prinsip dasar Seni Rupa

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat di mana penulisnya hadir, tetapi ia juga ikut terlibat dalam pergolakanpergolakan

[PENGANTAR DESAIN GRAFIS T.I D3-UDINUS

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama.

Penerapan Ragam Hias pada Bahan Tekstil

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR ILMU SEJARAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara memiliki beberapa Kesultanan pada masanya, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, sejarah, budi pekerti, piwulang, dll. (Nindya 2010:1). Manfaat dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENERAPAN TEKNIK TPS (THINK, PAIR, AND SHARE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENENTUKAN KALIMAT UTAMA PARAGRAF DESKRIPSI

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari faktor kemunduran

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

GAMBAR ORNAMEN. Dwi Retno SA., M.Sn

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya Islam di Nusantara telah menciptakan warisan budaya klasik yang beragam, baik yang bersumber pada Islam maupun yang berakar pada kebudayaan Nusantara pra- Islam. 1 Salah satu bentuk warisan budaya Nusantara masa Islam adalah naskah-naskah sastra bernafaskan Islam, yang diperkirakan mulai berkembang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII, sebagai masa penting dalam penyusunan literatur Islam. 2 Naskah-naskah 3 sastra Nusantara senantiasa berkembang dan mengalami perubahan dari masa ke masa. Meskipun terjadi pergantian masa dari masa Hindu-Budha ke masa Islam yang menyebabkan terjadinya perubahan orientasi keagamaan, namun karya sastra dari masa pra-islam masih berpengaruh atau tetap dibawa serta sebagai warisan budaya di masa Islam. Hal ini 1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 76. 2 Ann Kumar & John H. McGlynn, Illuminations: The Writing Traditions Of Indonesia (Jakarta: Lontar Foundation, 1996), 34. 3 Istilah naskah atau manuskrip lebih umum dipakai oleh para ahli filologi. Pigeud dan Nancy Florida menggunakan istilah literature untuk menyebut koleksi manuskrip Jawa yang terdapat di Belanda dan Surakarta, sedangkan T.E. Behrend menggunakan istilah naskah untuk menyebut manuskrip Jawa yang tersimpan di Museum Sonobudoyo, Keraton Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, dan Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Henri Chambert Loir menyebut naskah untuk koleksi naskah dari seluruh dunia. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 27-28.

2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan karya sastra memiliki kesinambungan atau pertalian yang kuat dari masa ke masa. Begitu pula dengan sastra Jawa, banyak karya sastra Jawa Kuna yang diwariskan dan diteruskan pada masa Islam, baik di lingkungan kerajaan atau di pusat-pusat keagamaan. 4 Beberapa karya sastra yang berbahasa Jawa disadur dari karya sastra berbahasa Jawa Kuna, seperti Serat Rama yang disadur dari Kakawin Ramayana, Serat Bratayuda dari Bharatayuddha, Serat Mintaraga dari Arjunawiwaha, dan Serat Arjuna Sasrabau atau Lokapala dari Arjunawijaya. Cerita-cerita dari Persia dan Arab juga banyak berpengaruh pada naskah Jawa, seperti Menak Amir Hamza, kisah Yusuf, Ahmad Hanapi, dan naskah-naskah lainnya. 5 Salah satu karya sastra Jawa masa Islam yang paling banyak disalin oleh para intelektual Jawa, serta paling populer dan banyak versinya adalah Serat Ambiya. 6 Naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Surakarta. Namun masuknya Naskah Serat Ambiya ke Jawa diperkirakan bersamaan dengan masuknya cerita Menak, atau cerita-cerita Arab lainnya pada Zaman Mataram, atau lebih dahulu sebelum Zaman Kartasura. 7 Naskah Serat Ambiya termasuk dalam periode renaisans sastra Jawa Klasik (abad XVIII-XIX), dengan pusatnya di keraton 4 Edi Sedyawati dan Ninie Susanti, Peralihan Sastra Jawa Kuna ke Sastra Jawa Lama, dalam Edi Sedyawati (ed), Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 12. 5 Ann Kumar & John H. McGlynn, Illuminations: The Writing Traditions Of Indonesia (Jakarta: Lontar Foundation, 1996), 173. 6 T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Yogyakarta: Penerbit Djambatan, 1990), 206. 7 Poerbatjaraka, Kapustakaan Jawi (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1954), 124.

3 Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta. Karya sastra dari periode ini umumnya ditulis oleh pujangga keraton dalam bahasa Jawa Baru. 8 Periode ini juga ditandai dengan masuknya pengaruh budaya Barat yang dibawa oleh orang-orang Belanda yang datang ke Jawa untuk belajar bahasa dan sastra Jawa. Tradisi tulis Jawa pada masa ini mulai berbenturan dengan dunia akademis kolonial, yang berpengaruh pada dunia pemikiran intelektual Jawa. 9 Naskah Serat Ambiya yang berasal dari Keraton Yogyakarta, khususnya naskah Serat Ambiya skriptorium Sultan Hamengku Buwana V (selanjutnya disebut HB V) merupakan naskah yang diiluminasi sangat indah. Iluminasi memiliki bentuk yang kompleks dan berbeda pada setiap halaman, dengan motif dan warna yang beragam (polikromatis), serta corak atau gaya menyerupai gaya wayang kulit. Iluminasi yang khas pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V menjadi elemen visual menarik, yang membedakan dengan iluminasi pada naskah-naskah Jawa masa Islam lainnya. 8 Dijelaskan oleh Sri Sukesi Adiwimarta bahwa Pigeaud membagi perkembangan sastra Jawa dalam empat era, yaitu: era pertama (era pra-islam) tahun 900-1500 M, era kedua (era sastra Jawa-Bali) mulai tahun 1500 M, era ketiga (era Jawa pesisir) mulai abad ke-15, dan era keempat (era renaisans sastra Jawa Klasik) pada abad ke-18 dan ke-19. Ada perbedaan pendapat dalam periodisasi sastra ini. Sri Sukesi, Periodisasi dalam Edi Sedyawati (ed.), 2001, 5. 9 S. Margana, 2004, vii.

4 Bagaimana pun, iluminasi atau seni sungging yang berakar dari tradisi seni hias Islam, 10 maka penerapannya pada naskah Serat Ambiya, baik bentuk, corak, fungsi, maupun maknanya, tentunya dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya atau pemikiran Jawa dari masa pra-islam. Ketika Islam mulai berpengaruh di Jawa, terjadi proses peningkatan kualitas spiritualitas keislaman pada masyarakat Jawa yang telah memeluk Islam. Hal tersebut dapat diamati dari perkembangan pemikiran transformatifnya, yang terefleksikan dalam naskah sastra Jawa-Islam. Pemikiran sufistik dan mistik Islam berakulturasi dengan dunia mistik lokal yang berakar kuat pada masyarakat Jawa tradisional. 11 Hal yang menarik pada iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V adalah adanya motif-motif manusia dan binatang atau motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup. Hal ini merupakan aspek kontroversial karena bertentangan dengan pandangan Islam. Penggambaran makhluk hidup dilarang dalam Islam sehingga gambar atau motif manusia atau binatang tidak lazim atau sangat jarang terdapat pada naskah Jawi-Melayu. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka jarang ada penulis atau juru sungging yang melanggarnya, dan tetap bertahan dengan menggunakan ragam hias bangun berulang yang alamiah, 10 Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia (Jakarta: Yayasan Lontar, 1991), 59. 11 Ricklefs, 2011, 81.

5 atau menciptakan bentuk hiasan bermotif flora (daun dan dahan) dalam pola geometris. 12 Penggunaan motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup yang berasal dari tradisi hias pra-islam menunjukkan adanya pengaruh unsur-unsur pra-islam pada iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V. Dengan demikian, iluminasi merupakan perpaduan antara tradisi budaya Jawa dengan Islam. Seperti ditegaskan oleh Yudoseputro bahwa seni di Indonesia masa Islam sebagai ekspresi estetik merupakan bentuk sintesis antara seni Islam dan tradisi seni rupa pra-islam. 13 Munculnya motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup pada naskah-naskah Jawa terjadi karena adanya tradisi penggambaran makhluk hidup yang telah ada sejak masa pra- Islam. Menurut Ian Proudfoot dan Virginia Hooker, adanya penggambaran makhluk hidup dimungkinkan karena adanya pengaruh tradisi naskah Jawa yang lebih menganjurkan kebebasan mutlak. 14 Namun, munculnya motif-motif yang menggambarkan makhluk hidup sangat mungkin tidak karena adanya kebebasan mutlak, tetapi karena adanya sikap toleransi. Seperti yang dinyatakan oleh Abay Subarna bahwa adanya 12 Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, 1991, 59. 13 Yudoseputro, Karya Seni Rupa Indonesia Jaman Kerajaan Islam (Jakarta: Lembaga Pendidikan Kesenian, 1993). 14 Ian Proudfoot dan Virginia Hooker, Tradisi Tulis Melayu (Jakarta, 2002, 23).

6 toleransi Islam terhadap kebudayaan lokal yang kemudian dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, menyebabkan kebudayaan lokal berupa karya seni yang tidak bertentangan dengan Islam terus hidup atau dipertahankan. 15 Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah pandai memilih dan memilah unsur-unsur budaya asing untuk disesuaikan dengan budaya lokal. Oleh karena itu, banyak karya seni yang menunjukkan perpaduan unsur-unsur Jawa pra-islam dan unsur-unsur Islam. 16 Proses perpaduan ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, dan mengubah sosok kebudayaan Jawa secara bermakna dengan seluruh konsep dasarnya, termasuk yang menyangkut tata masyarakat. Tiga ranah dalam tata kehidupan orang Jawa yang berkembang pesat karena akulturasi, yaitu: konsep keagamaan dan ilmu pengetahuan, tata masyarakat, dan teknologi termasuk seni. 17 Sebagai ekspresi seni yang dihasilkan suatu masyarakat, maka bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi dipengaruhi oleh kondisi budaya masyarakat. Seni yang dihasilkan suatu masyarakat ditentukan: (1) tradisi terdahulu; (2) kebutuhan; (3) 15 Abay Subarna, Unsur estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam dalam Edi Sedyawati, ed, Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli arkeologi Indonesia, 1987), 85. 16 Timbul Haryono, Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang Dan Waktu (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009), 3. 17 Edi Sedyawati, 2001. 1.

7 keadaan lingkungan alam dan masyarakat; serta (4) taraf dan intensitas komunikasi dengan lingkungan atau masyarakat. 18 Iluminasi yang merupakan salah satu bentuk kesenian terkait erat dengan kebutuhan pengungkapan rasa keindahan. Oleh karenanya, bentuk dan coraknya cenderung berbeda pada setiap kebudayaan, yang terjadi karena aspirasi, sumber daya, dan kebutuhan mengenai ungkapan keindahan pada berbagai kelompok masyarakat, baik jenis, sifat, maupun kuantitas dan kualitasnya, yang tidak selalu sama, sehingga memberi corak ungkapan yang khas pada karya seni yang diciptakan. Perbedaan tersebut tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan keindahan saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan lain, baik primer maupun skunder. 19 Di samping untuk memperindah naskah, iluminasi yang berupa hiasan atau ornamen juga mengungkapkan makna-makna kultural tertentu. Seni hias atau ornamen seringkali mengandung nilai-nilai simbolik yang berhubungan dengan pandangan atau filsafat hidup dari masyarakat penciptanya, sehingga menjadi lebih bermakna, disertai harapan-harapan yang tertentu pula. 20 18 Edi Sedyawati, Peranan Arkeologi dalam Studi Sejarah Kesenian Indonesia dalam Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia,1987), 8. 19 T.R. Rohidi, Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan (Semarang: IKIP Semarang Prees,1995). 20 S.P. Gustami, Nukilan Seni Ornamen Indonesia (Yogyakarta: Jurusan Kriya FSR ISI, 2008), 4.

8 Sebagai produk budaya, iluminasi sangat mungkin memiliki peran lebih dari sekedar untuk memperindah naskah. Begitu pula dengan iluminasi pada naskah Serat Ambiya, diyakini memiliki makna yang terkait dengan isi naskah, sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat Jawa atau nilai-nilai Islam. Seperti yang dinyatakan oleh al Ghazali dalam M. Abdul Jabbar Beg, bahwa seni tidak hanya memancarkan keindahan fisik, namun juga keindahan religius. 21 Iluminasi juga berkaitan dengan kepentingan religi dan kepentingan lainnya. Iluminasi pada naskah-naskah Jawa belum banyak diteliti secara mendalam. 22 Jika naskah tersebut dikaji secara mendalam, diyakini akan menjadi sumber acuan yang sangat berharga bagi studi naskah-naskah Jawa masa Islam di Indonesia. 23 Oleh karena itu, iluminasi pada naskah Serat Ambiya penting dikaji untuk mengungkap salah satu bentuk ekspresi estetik seni Jawa yang bernafaskan Islam. Kajian ini berupaya mengungkap iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium HB V dari aspek bentuk, corak, fungsi dan maknanya. Menurut Haryati Soebadio dalam Edi Sedyawati, hal ini menarik karena telaah naskah di Indonesia umumnya dilaksanakan dengan cara kritik teks dan filologi atau 21 M. Abdul Jabbar Beg, Seni Di Dalam Peradaban Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), 9. 22 Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996, 188. 23 Musda Mulia, Rosehan Anwar, dan H.E. Badri Yunardi, Katalog Naskah Kuna Yang Bernafaskan Islam Di Indonesia (Jakarta: Balitbang Agama Depag RI, 1998), 1.

9 hermeneutik yang memusatkan pada isi dan makna naskah. 24 Artinya bahwa kajian tentang akulturasi budaya dan peran unsur budaya asing dalam iluminasi naskah belum banyak dilakukan. Dengan demikian, kajian iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V penting untuk dilakukan. Kajian ini dapat dianggap sebagai upaya penelusuran terhadap jejak-jejak historis seni di masa Islam yang kaya nilai kultural dan spiritual, yang diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut. B. Rumusan Masalah Penelitian Iluminasi naskah sebagai ekspresi masyarakat Jawa, baik bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, diyakini merupakan atau wujud sintesis antara unsur-unsur atau nilai-nilai budaya Jawa pra-islam dan Islam. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan yang menjadi fokus perhatian dalam disertasi ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V sungguh merupakan sintesis antara unsur budaya Jawa pra-islam dengan nilai-nilai Islam dan mengalami perkembangan. 24 Haryati Soebadio, Pengaruh Kontak Antar Budaya dalam Sastra Jawa, dalam Edi Sedyawati ed., 2001, 19.

10 2. Mengapa naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V diberi iluminasi yang membingkai teks. 3. Bagaimana relasi antara iluminasi dengan isi naskah Serat Ambiya skriptorium Hamengku Buwana V. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan segala sesuatu yang mungkin bisa ditemukan, 25 khususnya yang berkaitan dengan iluminasi pada naskah Serat Ambiya yang disalin pada masa Sultan Hamengku Buwana V. Secara khusus penelitian ini bertujuan: Pertama, menemukan wujud sintesis antara unsur-unsur budaya Jawa pra-islam dengan unsur-unsur Islam pada bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya. Kedua, menemukan fungsi iluminasi dalam naskah Serat Ambiya. Ketiga, menemukan makna iluminasi atau relasi antara iluminasi dan isi naskah Serat Ambiya. Penelitian ini diharapkan dapat mengeksplanasikan teori yang berkaitan dengan akulturasi budaya yang terwujud dalam bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, serta hubungannya dengan isi naskah Serat Ambiya, baik dari aspek estetis maupun budayanya. Iluminasi merupakan refleksi perkembangan pemikiran lokal yang berakar kuat pada masyarakat Jawa 25 R. M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan, 2001), 51.

11 tradisional sufistik yang berakulturasi dengan pemikiran mistik Islam. Hal tersebut penting bagi pengembangan ragam hias atau seni hias Nusantara, khususnya seni iluminasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu, baik teoretis maupun praktis, yaitu: 1. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi peneliti seni tentang iluminasi naskah Serat Ambiya, yang terkait dengan bentuk, corak, fungsi, dan maknanya, yang diyakini merupakan sintesis antara unsur-unsur budaya Jawa pra-islam dan unsur-unsur Islam. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan pemahaman mengenai pewarisan tradisi pernaskahan Jawa, serta gambaran potensi masyarakat Jawa dalam mengemban warisan budaya lama dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang dituntut oleh perubahan sosial budaya. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi pemerhati atau praktisi seni, lembaga pendidikan seni, lembaga kesenian, dan lembaga lainnya yang terkait, serta masyarakat dalam mengembangkan atau merevitalisasi seni tradisi sehingga menjadi unsur penting dalam perkembangan seni rupa nasional maupun internasional. 3. Secara pribadi, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi atau sumber informasi untuk mata kuliah Sejarah Seni

12 Rupa, yang menjadi mata kuliah pokok yang diampu oleh penulis. Iluminasi pada naskah Serat Ambiya skriptorium HB V dan naskah-naskah Jawa masa Islam lainnya yang merupakan karya seni tradisi atau karya seni masa lampau dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan kajian dalam mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia. Iluminasi dapat menjadi sumber gagasan dalam penciptaan karya seni rupa dan sekaligus dapat menjadi unsur yang memberi ciri khas keindonesiaan pada karya seni rupa. D. Tinjauan Pustaka Tujuan dari dilakukannya tinjauan pustaka adalah untuk menunjukkan hasil-hasil penelitian atau telaah yang telah dilakukan oleh para ahli atau peneliti lain, serta menunjukkan bahwa permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini belum diteliti. Oleh karena itu, hasil-hasil penelitian atau kajian yang sudah ada akan dijadikan sebagai acuan untuk mengkaji permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Iluminasi telah menjadi perhatian banyak peneliti. Diringer telah mengkaji perkembangan dan produksi naskah-naskah beriluminasi, khususnya di negara-negara Islam. Diringer menjelaskan bahwa iluminasi merupakan seni yang berkembang pada Abad Pertengahan, dan kemudian mengalami kemajuan yang

13 sangat pesat dan mencapai puncaknya. Diringer melakukan kajiannya dengan pendekatan sejarah, dengan fokus pada perkembangan iluminasi dan pembuatan manuskrip di dunia Islam. Kajian bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi tidak dilakukan secara mendalam. Meskipun demikian, hasil kajian Diringer ini dapat menjadi sumber yang mendukung kajian ini. 26 Perkembangan iluminasi pada manuskrip juga telah dikaji oleh Sijelmasi, yang hasilnya telah dibukukan dengan judul Royal Illuminated Manuscripts of Marocco. Sijelmasi lebih memokuskan kajiannya pada manuskrip dari Maroko serta negara-negara Islam lainnya. Dijelaskan oleh Sijelmasi bahwa seni iluminasi telah berkembang sejak permulaan abad VIII. Perkembangan illuminasi pada manuskrip, khususnya Al Qur an tidak dapat dilepaskan dari jasa-jasa Ibnu Muqlah, Yaqut al Musta simi, dan Ibnu Bawwab yang ketiganya adalah kaligrafer dan iluminator yang terkenal serta dianggap pertama kali memberi iluminasi. Meskipun pada awalnya sebagian kaum muslimin menentang penerapan iluminasi, akan tetapi kemudian iluminasi diterapkan pada manuskrip, juga pada mushaf Al Qur an. Iluminasi dipandang sebagai seni yang memiliki arti penting dalam perkembangan estetika Islam. Iluminasi, yang kaya dengan pengulangan, menjadi seni Islam yang orisinal dan berkembang 26 David Diringer, The Illuminated Book: Its Histori and Production (London: Faber & Faber, 1967).

14 paling awal dan paling pesat. Pesatnya perkembangan iluminasi dan pembuatan buku-buku Islam tidak lepas dari munculnya pusat pendidikan dan pengetahuan Islam, yang dikenal dengan madrasah, yang berkembang mulai abad IX. Setiap madrasah menghasilkan manuskrip serta iluminasi yang indah dan khas. Di antara manuskrip-manuskrip indah yang dibuat, Al Qur an merupakan manuskrip yang paling penting dan sering disalin, karena Al Qur an mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Halaman-halaman yang diiluminasi pada umumnya adalah halaman pertama, kedua, ketiga, atau keempat yang memuat judul, nama pengarang, dan persembahan, serta halaman terakhir. Kadang-kadang seluruh halaman diiluminasi dengan bentuk-bentuk arkatur seperti yang ada pada bangunan, atau medalion yang berisi motif geometris dan flora. Ada tiga macam motif dalam iluminasi, yakni: motif geometris, motif flora dan motif kaligrafi. Ketiga motif tersebut disusun secara dinamis dan dikombinasikan dengan unsur-unsur lainnya secara matematis, simetris, rumit, dan harmonis. 27 Sijelmasi menemukan bentuk iluminasi berupa miniatur pada manuskrip dari Turki, India, dan Persia, yang menggambarkan manusia atau binatang, atau kehidupan sosial dan budaya. Iluminasi tersebut dianggap kontroversial dan 27 M. Sijelmasi, Royal Illuminated Manuscripts of Marocco (Courbevole- Paris: ACR Edition Internationale, 1987).

15 bertentangan dengan pandangan Al Qur'an dan Hadist yang melarang penggambaran makhluk hidup. Kajian yang dilakukan Sijelmasi merupakan kajian historis, dengan penekanan pada perkembangan iluminasi. Kajian ini masih terbatas pada identifikasi bentuk dan ragam hias pada iluminasi. Sijelmasi tidak menjelaskan secara rinci tentang penggunaan ragam hias, serta bentuk iluminasi dalam kaitannya dengan proses pembentukannya dan makna simbolisnya. Martin Lings juga meneliti iluminasi pada mushaf Al Qur an dari Mamluk, Mongol, Timurid, Otoman-Turki, dan Safawid. Iluminasi Al Qur an berkembang setelah seni kaligrafi, sebab iluminasi secara langsung tidak diperlukan oleh teks dan dikhawatirkan dapat mengacaukan teks. Iluminasi Al Qur an mencapai puncak pada abad VIII dan IX Hijriyah (abad XIV dan XV Masehi. Iluminasi pada mushaf Al Qur an bukan semata-mata sebagai pengisian bidang kosong, namun juga merupakan manifestasi dan pencerminan dari ajaran Islam yang tersurat dalam Al Qur an itu sendiri. Iluminasi dianggap sebagai simbol cahaya Tuhan yang menerangi ayat-ayat suci di dalamnya. 28 Namun Martin Lings tidak menganalisis bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi secara lebih rinci. 28 Martin Lings, The Quranic Art of Calligraphy And Illumination (World of Islam Festival Trust, 1976).

16 Naskah Nusantara, termasuk naskah Jawa, juga telah banyak diteliti oleh para ahli atau peneliti dari Indonesia atau dari mancanegara, baik dari aspek sastra, filologis, kodikologis, dan historis. Penelitian yang dilakukan oleh Edi Sedyawati dan kawankawan mengkaji sastra Jawa dalam cakupan yang luas, baik jenis sastranya maupun lintasan waktunya, yang hasilnya telah dibukukan dengan judul Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. 29 Kajian naskah dilakukan dengan pendekatan filologi dan kodikologi. Namun, bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, serta pengaruh akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra- Islam dengan unsur-unsur Islam dalam iluminasi tidak dikaji. Hal penting yang perlu mendapat catatan dalam buku ini adalah disamakannya pengertian ilustrasi dengan iluminasi, meskipun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Ilustrasi atau gambar penjelas pada teks juga disebut iluminasi. Kajian sastra Jawa juga dikaitkan dengan kontak budaya orang Jawa dengan bangsa-bangsa lainnya. Dijelaskan bahwa sejak awal pertumbuhannya, sastra Jawa yang tertulis mendapat pengaruh asing, seperti India, Islam, dan Eropa. Namun demikian, kontak budaya tersebut tidak mengakibatkan naskah Jawa berubah dari yang bersifat khas Jawa menjadi Hindu-Budha, atau 29 Edi Sedyawati, 2001.

17 bersifat Islam-Arab. Kontak budaya tidak melenyapkan budaya Jawa, melainkan justru memperkaya budaya Jawa. Penelitian tentang iluminasi pada naskah-naskah Nusantara dilakukan oleh Ann Kumar dan John H. McGlynn, yang hasil penelitiannya ini telah dibukukan dengan judul Illumination: The Writing Traditions of Indonesia. Kumar dan McGlynn meneliti tradisi estetis dan tradisi intelektual di kawasan Nusantara, yang keduanya dianggap mencerminkan kepekaan estetis dan kecerdikan para pujangga, yang ditampilkan dalam berbagai media. Berbagai variasi media, tulisan, ilustrasi, atau iluminasi yang luar biasa dalam tradisi Islam dijelaskan dalam buku ini. Di antara tradisi estetis di Nusantara, Jawa dianggap paling berkembang tradisi estetisnya dan memiliki tradisi tulis paling kaya di Asia Tenggara, sehingga kajian lebih terfokus pada naskah Jawa. Tradisi menulis naskah di Jawa, khususnya naskah Islam, diperkirakan berkembang sekitar pertengahan abad XIV sampai abad XX. Banyak naskah Jawa yang pada awalnya terinspirasi dari cerita-cerita Persia dan Arab, seperti kisah Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad. Ann Kumar dan McGlynn secara khusus menunjukkan adanya hubungan kuat antara ilustrasi dalam naskah Jawa dengan wayang, seperti yang tampak pada naskah dari abad XVIII yang diberi ilustrasi dalam gaya wayang beber, wayang kulit, atau

18 wayang golek yang tiga dimensional. Meskipun ada larangan dalam Islam untuk melukiskan bentuk makhluk hidup, namun kenyataan naskah yang berisi cerita Islam yang dianggap suci juga diberi ilustrasi dengan bentuk-bentuk makhluk hidup. Iluminasi merupakan salah satu perwujudan estetis yang telah menjadi tradisi dalam pernaskahan Jawa, dan banyak naskah yang diiluminasi. Secara keseluruhan ada lima perangkat iluminasi dalam naskah Jawa, yaitu: (1) Tanda baca yang disebut pepadan; (2) Bingkai dan gerbang tekstual pada pembukaan dan penutupan halaman naskah, yang berfungsi sebagai gerbang menuju ke halaman batin teks; (3) Rubrikasi, yaitu penandaan dengan warna atau penyepuhan pada kata-kata atau judul agar tampak lebih menonjol; (4) Kaligrafi kursif atau tulisan indah; dan (5) Kaligrafi bergambar figur binatang atau hiasan. Bentuk-bentuk iluminasi pada naskah Jawa memiliki tingkat yang berbeda, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk iluminasi yang telah diidentifikasi adalah: (1) Iluminasi berupa rangkaian garis tunggal, ganda, rangkap tiga; (2) Iluminasi berbentuk bangun berulang yang berisi motif-motif yang diwarnai atau disepuh dengan emas; (3) Iluminasi berbentuk bangunan candi; (4) Iluminasi yang menirukan kebun binatang; dan (5) Iluminasi berupa hiasan bercorak Barat. Di antara bentuk-bentuk iluminasi, bentuk bangun berulang

19 merupakan bentuk iluminasi yang tersebar luas, yang umumnya digunakan dalam mushaf Al Qur an. Motif-motif yang terdapat dalam iluminasi adalah motif manusia, motif fauna, motif flora, motif alat-alat musik gamelan, motif geometris, dan motif bangunan. Motif raksasa juga muncul dalam iluminasi, yang kadang diapit dua naga, yang diidentifikasi sebagai kala makara seperti yang terdapat pada bangunan candi. Penggunaan motif-motif ini merupakan pengaruh dari masa sebelumnya terhadap naskah-naskah Jawa masa Islam. 30 Kajian iluminasi naskah Jawa yang dilakukan Ann Kumar dan McGlynn mencakup bentuk, corak atau gaya, motif, dan maknanya. Namun karena sangat luasnya kajian yang dilakukan, yakni mencakup berbagai tradisi tulis di Nusantara mulai dari awal penggunaan tulisan sampai abad XX, sehingga hasil kajiannya tentang iluminasi kurang mendalam. Kajian tentang akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-islam dengan unsur-unsur Islam dalam iluminasi naskah Serat Ambiya, dan perwujudannya pada bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi, juga belum dilakukan. Namun demikian, buku ini dapat menjadi acuan yang sangat menunjang penelitian untuk disertasi ini. Penelitian tentang iluminasi juga pernah dilakukan oleh M. Ibnan Syarif, dengan dengan judul Kajian Bentuk Visual Kaligrafi 30 Ann Kumar & John H. McGlynn, 1996, 192.

20 dan Iluminasi pada Al Qur an Mushaf Istiqlal. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa mushaf Al Qur an di Indonesia, mulai dari mushaf kuna sampai pada Mushaf Istiqlal, dibuat sesuai dengan latar budaya tempat mushaf Al Qur an dibuat dan kondisi zamannya. Ciri etnik masyarakat atau latar budaya adalah faktor yang sangat mempengaruhi bentuk iluminasi, namun tidak berpengaruh terhadap bentuk kaligrafi. Secara umum iluminasi pada mushaf Al Qur an berbentuk bingkai dalam pola dasar segi empat, yang pada sisi-sisinya diberi mahkota atau medalion dengan susunan yang simetris. Iluminasi terdiri dari motif flora dan geometris, yang bersumber dari khasanah seni hias pra-islam. Iluminasi pada setiap mushaf Al Qur an berbeda-beda, atau memiliki ciri khas sesuai dengan kecenderungan yang ada pada setiap daerah. Ciri khas inilah yang kemudian ditampilkan kembali pada mushaf Al Qur an yang dibuat oleh Yayasan Istiqlal. Iluminasi pada mushaf Al Qur an berfungsi untuk: (1) memperindah mushaf; (2) sebagai upaya estetik yang membuat seseorang atau pembaca untuk lebih menghayati keberadaan atau mengingat Tuhan; dan (3), menambah kemuliaan mushaf. 31 31 M. Ibnan Syarif, Bentuk Visual Kaligrafi Dan Iluminasi Pada Mushaf Istiqlal, Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam bidang Seni Murni, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1999.

21 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh M. Ibnan Syarif, Dwi Budi Harto, dan Onang Murtiyoso adalah Kajian Bentuk Visual dan Makna Simbolik Iluminasi Pada Manuskrip Islam Kuna Di Jawa Tengah. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ada tiga bentuk iluminasi pada manuskrip Islam di Jawa Tengah, yaitu: (1) Bentuk bingkai dalam pola dasar segi empat atau bangun berulang yang terdapat pada mushaf Al Qur an; (2) Bentuk bangunan candi; dan (3) Bentuk-bentuk yang mengacu pada bentuk bangunan. Secara umum iluminasi dihiasi berbagai motif, dengan susunan yang simetris, yang ditempatkan pada dua halaman berhadapan. Halaman yang diiluminasi adalah halamanhalaman yang dianggap istimewa, seperti halaman awal dan halaman kolofon. Iluminasi pada mushaf Al Qur an, ditempatkan pada halaman awal (ummul Qur an), halaman tengah (nisful Qur an), dan halaman akhir (khotmul Qur an). Iluminasi meliputi hiasan bingkai, hiasan judul, dan hiasan tanda baca. Iluminasi dihiasi dengan motif flora dan motif geometris, yang ditampilkan dalam bentuk stilisasi membentuk jalinan motif yang berkesinambungan. Motif fauna jarang dijumpai pada naskah Islam di Jawa Tengah. Motif. 32 32 M. Ibnan Syarif, Dwi Budi Harto, dan Onang Murtiyoso, Kajian Bentuk Visual dan Makna Simbolik Iluminasi pada Manuskrip Islam Kuna Di Jawa Tengah, Laporan Penelitian (Semarang, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Semarang, 2003).

22 Kedua penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan estetika dalam batas identifikasi bentuk dan unsur-unsur iluminasi. Meskipun penelitian tersebut difokuskan pada naskah Islam, namun naskah Serat Ambiya, termasuk proses akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-islam dan budaya Islam yang terwujud dalam iluminasi juga belum dikaji. Penelitian yang lebih khusus dilakukan oleh Sri Ratna Saktimulya, yang meneliti iluminasi naskah Sestradisuhul. Naskah ini banyak diberi iluminasi, yang dimaksudkan untuk menyentuh pikir dan rasa pembacanya. Naskah Sestradisuhul berisi piwulang karya Pakualam II dalam bentuk tembang macapat memuat cerita tentang 85 tokoh laki-laki dan seorang tokoh perempuan. Seluruh cerita tentang tokoh laki-laki diungkapkan disertai iluminasin pada awal cerita. Iluminasi dalam naskah Sestradisuhul merupakan tanda-tanda, atau sebagai visualisasi cerita sesuai dengan teksnya. Melalui pembacaan teks dari naskah-naskah skriptorium Pakualaman, Saktimulya berupaya membaca ornamen dalam iluminasi. Mengacu pada Brilliant, Saktimulya menggunakan prinsip intertekstualitas dan proses pengalihan suatu teks ke bentuk visual atau penerjemahan dari kata ke image, serta untuk memahami isi teks dan kemudian menerjemahkan unsur-unsur dalam iluminasi. Menurut Saktimulya, iluminasi atau unsur-unsurnya berkaitan dengan

23 nama, keterampilan tokoh, peristiwa, sifat tokoh, dan perbuatan tokoh, yang mulia atau pun celaka. 33 Dalam penelitiannya tersebut, Saktimulya berusaha memaknai iluminasi naskah Sestradisuhul melalui pendekatan semiotik. Unsur-unsur iluminasi yang berupa motif-motif diidentifikasi dan kemudian dimaknai mengacu pada isi teks. Namun, Saktimulya tidak mengidentifikasi secara rinci motif-motif atau unsur-unsur dalam iluminasi serta menjelaskan bentuk dan makna motif-motifnya. Penelitian tentang iluminasi juga telah dilakukan Mu jizah, yang memokuskan pada iluminasi surat-surat Melayu yang dibuat oleh para penguasa di Nusantara pada abad XVII dan abad XIX. Berdasarkan hiasannya, ada 50 teks surat Melayu yang dipilih dan dikaji secara kritis, mencakup: tata susun, ciri, fungsi, bagianbagian surat, dan ciri-ciri khas kedaerahan dalam iluminasi. Melalui pendekatan kodikologi, setiap surat dideskripsikan secara lengkap jenis aksara dan bahasa yang digunakan, pembuat (pengirim) dan penerima surat, serta transkripsinya. Iluminasi dideskripsikan secara singkat, seperti bagian yang diiluminasi, bentuk dan struktur iluminasi, serta motif yang digunakan. 33 Sri Ratna Saktimulya, Ajaran dalam Sestradisuhul (Warisan Pakualaman II Bagi Generasi Selanjutnya), Makalah dalam Konggres Bahasa Jawa II (Yogyakarta, 2001).

24 Jika dilihat dari strukturnya iluminasi dalam surat-surat Melayu mempunyai dua bingkai, yakni bingkai pembatas bidang dalam dan bingkai teks. Bingkai ini biasanya dibuat dari dua garis ganda yang di dalamnya dihias dengan berbagai motif. Mu jizah menganalisis bentuk iluminasi mengacu pada Akimushkin dan Anato yang membagi iluminasi naskah-naskah Asia Tengah dalam tiga jenis, yaitu unwan, sarlauh, dan samsah. Berdasarkan ketiga jenis tersebut, sebagian besar iluminasi dalam surat-surat dalam naskah Melayu termasuk dalam jenis sarlauh, yakni hiasan pada semua bingkai atau sisi halaman. Akan tetapi, ada jenis lain yang tidak disebutkan dalam jenis tersebut, yaitu jenis tebaran (seluruh permukaan surat diberi hiasan berupa motif-motif), dan tiga sisi. Atas dasar itu, ada tiga jenis iluminasi dalam surat-surat di Nusantara, yakni tebaran, empat sisi, dan tiga sisi. 34 Dalam kajiannya, Mu jizah juga menemukan kekhasan iluminasi surat dari Nusantara, yaitu bingkai dan motif yang menampakkan ciri khas masing-masing daerah. Surat-surat dari pemerintah Hindia-Belanda, kekhasannya terdapat pada bingkai pembatas bidang dalam dan bingkai pembatas teks. Hiasan di atas teks juga khas, yang dibatasi dengan garis lengkung. Melalui pendekatan semiotik, Mu jizah berupaya untuk memaknai iluminasi dalam surat-surat Melayu. Iluminasi dalam 34 Mu jizah, Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).

25 surat-surat Melayu dianggap memiliki kaitan erat dengan politik atau kekuasaan raja-raja, hubungan diplomatik, ekonomi, dan keagamaan. Iluminasi dalam surat-surat Melayu merupakan simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan. Ada beberapa persoalan penting dalam penelitian Mu jizah, yaitu: Pertama, pengertian iluminasi yang disamakan dengan ilustrasi. Iluminasi, oleh Mu jizah dijelaskan sebagai gambar, dengan memberikan contoh-contoh berupa gambar ilustrasi yang memiliki fungsi sebagai gambar penjelas. Iluminasi dan ilustrasi, keduanya memiliki pengertian, bentuk, dan fungsi yang berbeda. Iluminasi merupakan hiasan atau dekorasi naskah yang berfungsi memperindah dan menerangi atau sebagai penerang bagi teks. Sedangkan ilustrasi adalah gambar dalam naskah atau buku yang berfungsi menjelaskan isi dan mendukung teks secara langsung. Kedua, identifikasi motif-motif dalam iluminasi yang telah mengalami stilisasi atau penggayaan sehingga bentuk aslinya sulit dikenali, yang menyebabkan peneliti sulit untuk memastikan jenis dan pemberian nama motif secara tepat. Oleh karena itu, perlu verifikasi dengan membandingkan penggunaan motif-motif sejenis dalam penerapan yang berbeda, seperti batik, ukiran, dan lainlainnya dari kurun waktu yang sama. Ketiga, analisis tentang bentuk iluminasi dan ciri kedaerahan dalam iluminasi surat Nusantara perlu dikaji ulang atau diverifikasi secara lebih

26 mendalam dengan membandingkan iluminasi dalam surat dengan iluminasi dalam naskah atau Al Qur an dari daerah yang sama. Penelitian-penelitian lainnya yang juga mengkaji naskahnaskah dengan pendekatan teks atau filologi sudah berkembang jauh. Namun penelitian naskah-naskah beriluminasi di Nusantara, khususnya pada aspek estetikanya masih sangat jarang. Seperti yang dinyatakan oleh Chambert-Loir bahwa segi estetis naskah sangat menarik mengingat banyaknya naskah yang memuat gambar yang indah jarang sekali disebut dalam perkembangan seni rupa Indonesia. 35 E. Landasan Teori Penelitian ini tidak mengkaji naskah dengan pendekatan filologi, namun mengkaji aspek estetis naskah Serat Ambiya, yakni iluminasi. Oleh karena itu, berdasarkan pada tujuan penelitian, maka disiplin ilmu yang digunakan sebagai payung penelitian ini adalah estetika. Untuk membedah permasalahan secara utuh dan komprehensif, diperlukan berbagai teori atau konsep dari disiplin ilmu lain, di antaranya adalah sejarah, antropologi, dan semiotik. Pendekatan multidisiplin, sebagaimana dikemukakan oleh R.M. Soedarsono, sangat dimungkinkan dan bahkan dianjurkan. 36 35 Mu jizah, 2009, 12. 36 Soedarsono, 2001, 194.

27 1. Teori estetika Untuk menjawab permasalahan pertama yang berkaitan dengan bentuk, corak, fungsi, dan makna iluminasi naskah Serat Ambiya sebagai bentuk akulturasi budaya digunakan teori estetikanya E.B. Feldman. Iluminasi naskah merupakan salah satu bentuk karya seni rupa, oleh karena itu untuk menganalisis iluminasi naskah Serat Ambiya secara utuh, maka harus dilihat dari segi-segi: bentuk, corak, fungsi, dan maknanya. Sebagai karya seni, iluminasi merupakan bentuk inderawi yang diciptakan oleh seniman pembuatnya. Bentuk merupakan wujud lahiriah yang mengejawantahkan sikap batin atau perasaan tertentu. 37 Iluminasi dapat dilihat sebagai perpaduan antara wujud lahiriah yang bisa diamati dan perasaan terhadap nilai tertentu yang berdimensi ruhaniah. Iluminasi sebagai bentuk karya seni terdiri dari unsur-unsur visual, seperti garis, warna, bangun, sifat permukaan, dan gelapterang. Garis memiliki sejumlah kemampuan mengungkapkan gerak dan perasaan, kepribadian, nilai budaya, dan aneka makna, serta berbagai ilusi visual. Bentuk mencakup bangun (shape) dan volume, yang fungsi dan konotasinya sama dengan garis. Tekstur bisa digunakan dalam arti sesungguhnya atau semu, serta bisa dijadikan pola (pattern) atau diberi kesan bentuk dan kedalaman. 37 Edgar de Bruyne, Philosophic van de Kunst (Antwerpen: Standaard Boekhandel, 1948), 345-351.

28 Gelap terang (value) dapat ditampilkan dengan kontras yang menyolok atau peralihan yang gradual. Manipulasi gelap terang dapat memberi kesan soliditas, jarak, tektur, dan bentuk. Warna sebagai komponen yang paling kompleks dan menarik, memiliki perangai dasar dan makna simbolik tertentu. Warna dapat diasosiasikan baik secara personal maupun secara kultural. 38 Iluminasi merupakan produk yang dihasilkan melalui serentetan aktivitas atau proses menata unsur-unsur. Iluminasi sebagai karya seni dapat dilihat sebagai desain. Desain merupakan seleksi dan penyusunan elemen-elemen formal, atau ekspresi konsep seniman dalam ukuran, garis, dan bentuk, serta melalui beberapa pertimbangan komposisi. 39 Penyusunan unsur-unsur visual perlu berpedoman pada azas-azas desain, yang terdiri dari: unity, balance, rhytm, dan proportion. 40 Unity atau kesatuan diciptakan melalui sub-azas domination dan subordomination (yang utama dan kurang utama). Dominance diupayakan melalui ukuran, warna, dan tempat, serta convergence dan perbedaan atau pengecualian (difference or exception). Coherence (organic unity) bertumpu pada interdependency (keterkaitan) dan closeness (kedekatan) juga 38 L. H. Chapman, Approaches to Art in Education (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1978), 34. 39 Ralph Mayer, A Dictionary of Art Terms and Techniques (London: Adam & Charles Black, 1969), 109. 40 E. B. Feldman, 1967, 259-276. Periksa juga: The Liang Gie, Garis Besar Estetik-Filsafat Keindahan (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1976).

29 dianggap penting perannya dalam upaya menciptakan kesatuan. Balance berkaitan dengan berat dan penekanan untuk stabilitas. Balance (keseimbangan) dibagi menjadi keseimbangan tersembunyi, keseimbangan simetris, keseimbangan asimetris, keseimbangan melalui berat/ukuran (simetris), keseimbangan melalui penekanan (asimetris), dan keseimbangan melalui kontras. Rhytm (irama) merupakan penataan melalui pengulangan elemenelemen untuk menciptakan gerak. Proportion (proporsi atau kesebandingan) adalah hubungan ukuran antara bagian dengan keseluruhan atau antara bagian dengan bagian lainnya. Nilai-nilai yang dihasilkan oleh kombinasi atau organisasi unsur-unsur visual dalam iluminasi disebut nilai-nilai formal. Oleh karena itu, untuk memahami nilai estetis dan makna iluminasi, Feldman menekankan pentingnya mempelajari struktur seni karena memiliki kaitan erat dengan keindahan, dan tidak terlepas dari makna komprehensif dari karya seni. Dengan mempelajari struktur seni akan diperoleh pemahaman tentang: (1) sifat unsur-unsur atau elemen seni rupa; (2) cara elemen tersebut diorganisir, yang disebut prinsip-prinsip desain; dan (3) cara orang melihat dan merespons karya seni. 41 Karya seni dapat diklasifikasikan berdasarkan periode, wilayah, penampilan, teknik, materi, dan sebagainya. 41 E. B. Feldman, 1967, 220-221.

30 Pengelompokan dimaksudkan untuk mempermudah pengkajian atau analisis seni. Ada beberapa alasan perlunya mempelajari gaya atau corak seni, yaitu untuk: (1) memperoleh kategori berbagai karya seni dari berbagai periode; (2) membantu memahami gaya seorang seniman, suatu periode dalam sejarah, negara, atau wilayah; (3) membantu membandingkan atau menilai karya; (4) mendapatkan gagasan tentang hubungan antara seniman, karyanya, dan reaksi yang muncul. 42 Untuk membahas iluminasi naskah Serat Ambiya sebagai ekspresi masyarakat Jawa, maka perlu juga kiranya menggunakan konsep estetika Jawa. Untuk melihat dan memahami masalah yang berkenaan dengan keindahan atau kesenian Jawa, sesungguhnya secara tradisional ada tiga nilai budaya Jawa yang dapat dipakai sebagai wacana untuk membangun konsep estetika Jawa. Tiga sumber nilai budaya yang dimaksudkan itu adalah nilai budaya kosmologis, klasifikasi simbolik, dan orientasi kehidupan orang Jawa. 43 Pertama, sesuatu yang indah itu, dalam pandangan budaya Jawa, jika memperlihatkan adanya nilai keteraturan. Keteraturan yang bersumber dari pandangan kosmologis, bukan hanya dalam kaitan dengan masalah keindahan saja, namun dalam segala hal orang 42 E. B. Feldman, 1967, 137. 43 Triyanto, Estetika Nusantara: Sebuah Perspektif Budaya dalam Imajinasi Volume II 8 Januari 2008.

31 Jawa harus bisa hidup teratur. Nilai keteraturan sangatlah diperlukan dalam kesenian tradisional Jawa. Orang Jawa sulit memahami, merasakan, atau menerima suatu sajian tata rupa, gerak, bunyi, atau sastra yang ruwet, acak-acakan, dan semaunya sendiri. Semakin runtut dan teratur suatu sajian seni apa pun, semakin enak dinikmati atau dirasakan nilai keindahannya. Kedua, nilai keindahan itu terdapat atau terletak pada sesuatu yang diposisikan, diletakkan, ditempatkan sesuai dengan peran, fungsi, atau kategorinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan tradisional Jawa yang berbunyi empan papan. Artinya segala sesuatu yang dilakukan, ditempatkan, diposisikan, tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan peran, fungsi, atau kategorinya, maka sebaik apa pun hal itu, ia menjadi jelek, tidak layak, atau ora pantes. Oleh sebab itu, aspek penataan, penempatan, atau pemanfaatan suatu benda atau hal, termasuk karya seni menjadi penentu nilai keindahannya. Hal ini jika ditelusuri, sesungguhnya bersumber dari nilai budaya sistem kategori. Sistem kategori dalam budaya Jawa ini dapat dilihat dalam sistem klasifikasi simbolik. Sistem ini mengatur posisi, peran, atau pembagian sesuai dengan apa yang secara tradisional terjadi dalam kehidupan masayarakat Jawa. Ketiga, dalam perspektif budaya Jawa, keindahan haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan memberikan

32 kesan tenang, cocok, selaras, serasi, dan seimbang dalam persepsi estetis seseorang yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah satu orientasi penting yang harus dapat diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan orang Jawa. Untuk hidup selamat dan sejahtera lahir batin, orang Jawa harus dapat menjalin hubungan yang selaras dan seimbang dengan sesama, lingkungan alam, dan kekuatan gaib lainnya penguasa atau pencipta alam semesta. 44 2. Teori perubahan budaya Untuk menjawab permasalahan tentang akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa dengan Islam digunakan teori perubahan budaya. Teori ini menjelaskan bahwa perubahan suatu kebudayaan dapat terjadi karena faktor dari dalam dan luar. Perubahan karena faktor dari dalam berawal dari perkembangan akal budi manusia yang membawa berbagai perubahan peri kehidupan manusia dalam pergaulan hidup dan hubungan sosial. Perubahan ini, oleh Barnet dalam Koentjaraningrat, disebut dengan inovasi. Perubahan dari luar terjadi karena adanya: (1) Difusi (diffusion), yakni persebaran unsur-unsur umum kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain di wilayah tertentu, baik melalui migrasi maupun komunikasi; (2) Pembauran (assimilation), yaitu suatu proses yang terjadi karena ada 44 Koentjaraningrat, 1984, 435-442.

33 pertemuan secara intensif dan yang berlangsung relatif lama di antara mereka yang berlainan latar belakang ras, suku bangsa, golongan, dan kebudayaan; dan (3) Akulturasi (acculturation) adalah suatu pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang satu sama lain amat berbeda kebudayaan. 45 Berkaitan dengan permasalahan yang hendak diteliti, yaitu akulturasi antara unsur budaya Jawa dan unsur Islam dalam iluminasi, maka selanjutnya hanya akan dibahas akulturasi saja. Penelitian mengenai gejala akulturasi, menurut Herskovits merupakan penelitian terhadap suatu kebudayaan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur dari kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri. 46 Dalam proses akulturasi selalu terjadi beberapa kemungkinan, yaitu unsur kebudayaan asing tersebut diterima atau ditolak oleh masyarakat setempat, atau unsur kebudayaan lokal tetap bertahan dan tidak berubah meskipun sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang baru. 47 Berkaitan dengan unsurunsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah, Linton dalam Kodiran, mengemukakan konsep tentang perbedaan 45 Kodiran, 2000, 2-5. 46 Koentjaraningrat, 2007, 91. 47 Kodiran, 2000, 5.

34 antara bagian inti dari suatu kebudayaan (covert culture) dan bagian perwujudan lahirnya (overt culture). Bagian intinya adalah: (1) sistem nilai-nilai budaya; (2) keyakinan keagamaan; (3) adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat; dan (4) adat yang mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat. Sebaliknya, bagian lahir dari suatu kebudayaan adalah kebudayaan fisik, seperti alat dan benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi. 48 Unsur-unsur kebudayaan asing, menurut Merton dalam Koentjaraningrat, akan mudah diterima oleh suatu masyarakat jika memenuhi beberapa prinsip, yaitu: (1) principles of concreteness, dapat dilihat, didengar, dirasa, diraba, dan dinikmati; (2) principles of utility, berguna bagi perkembangan dan kemajuan hidup masyarakat; (3) principles of function, memiliki fungsi untuk menggantikan unsur-unsur kebudayaan yang ada; dan ditambahkan oleh Parson (4) principles of integration, dapat diintegrasikan ke dalam unsur-unsur kebudayaan setempat. 49 Namun, menurut Bruner dalam Kodiran, unsur-unsur kebudayaan lokal atau asli akan tetap bertahan sekalipun telah berkembang unsur-unsur kebudayaan yang baru. Hal itu terjadi karena unsur-unsur kebudayaan lokal sudah sejak dini diajarkan dan dibiasakan atau principles of early learning theory, seperti 48 Koentjaraningrat, 2007, 97. 49 Koentjaraningrat, 2007, 97.

35 sistem kepercayaan (belief system), pandangan hidup (world view), kebiasaan makan (eating habit), sistem kekerabatan (kinship system), dan sebagainya yang bersifat kejiwaan. 50 Akulturasi dapat menimbulkan bermacam-macam peristiwa budaya berupa: (1) penambahan unsur-unsur budaya baru; (2) perpaduan unsur-unsur kebudayaan dengan tidak menghilangkan jati diri kebudayaan masing-masing; (3) penghancuran kebudayaan lokal; (4) penolakan unsur-unsur kebudayaan asing; dan (5) keinginan untuk kembali kepada keaslian kebudayaan. 51 Begitu pula dengan adanya kontak (akulturasi) antara budaya Nusantara, khususnya budaya Jawa dengan Islam diyakini juga menimbulkan peristiwa-peristiwa budaya berupa penambahan unsur-usur Islam dalam budaya Jawa maupun perpaduan unsur-unsur budaya Jawa dan Islam. Namun akulturasi ini tidak sampai melenyapkan unsur-unsur budaya Jawa, karena unsur budaya Jawa yang tidak bertentangan dengan Islam tetap dipertahankan atau disesuaikan dengan Islam. 52 Hubungan antara budaya Jawa dengan Islam, menumbuhkan pola-pola yang khas dalam budaya Jawa. Islam 50 Kodiran, 2000, 5. 51 W. A. Haviland, Antropologi, terjemahan R. G. Soekardijo (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988). Periksa juga: Julian H. Steward, Theory of Culture Change (London: University of Illinois Press, tt) 52 Abay Subarna, Unsur Estetika Dan Simbolik Pada Bangunan Islam, dalam Estetika dalam Edi Sedyawati, ed., Arkeologi Indonesia (Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987).

36 memberi corak atau identitas pada budaya Jawa, yang tampak pada berbagai aspek kebudayaan, termasuk iluminasi. Corak atau identitas ini merupakan faktor yang sangat menentukan dan telah mempengaruhi bahasa dan sastra, serta segala bentuk seni. 53 Hubungan antara unsur-unsur budaya Jawa dan unsur-unsur Islam ini dapat digambarkan melalui bagan berikut: Unsur budaya Jawa pra-islam Unsur Islam Iluminasi Naskah Serat Ambiya Struktur Corak Fungsi Interaksi media dan makna Gambar 1. Akulturasi unsur budaya Jawa dan Islam pada Iluminasi Naskah Serat Ambiya, dibuat oleh M. Ibnan Syarif. Akulturasi antara unsur-unsur budaya Jawa pra-islam dan unsur-unsur Islam, terjadi dalam proses yang panjang atau dalam kurun waktu tertentu, atau pada periode tertentu. Oleh karena itu, untuk menjawab bagaimana proses akulturasi dalam iluminasi pada naskah Serat Ambiya berlangsung, maka digunakan teori sejarah. Teori sejarah digunakan untuk menjelaskan periode perkembangan iluminasi dan perubahanperubahan yang terjadi karena akulturasi, jiwa zamannya, alam 53 Seyyed Hossein Nasr, Falsafah Kesusasteraan dan Seni Halus (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1989), 79.

37 pemikiran penyalin atau penggubah naskah, serta latar sosiokultural lingkungan keraton atau tempat naskah dibuat. Burckhardt dalam Kuntowijoyo, menyatakan bahwa setiap detil yang kecil dan tunggal adalah simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Kebudayaan ialah sebuah kenyataan campuran, dan tugas sejarawan ialah mengkoordinasikan elemenelemen ke dalam gambaran umum, tetapi bukannya mensubordinasikannya semata kepada kaidah-kaidah hukum. Idealnya penulisan sejarah ialah seperti lukisan, yang memberikan gambaran utuh sekaligus detilnya. Namun, sejarawan yang menulis dengan kata, terikat dengan penuturan secara berurutan, sehingga komposisinya linear. Burckhardt berusaha melukiskan kesenian, agama, festival, negara, mitos, puisi, dan bentuk ekspresi kejiwaan lainnya dari kebudayaan ke dalam bagian yang berimbang dari kesatuan yang menyeluruh. Cara yang dipakai adalah dengan paralelisasi fakta-fakta, yaitu membandingkan untuk mencari persamaan dan perbedaan, sehingga antara faktafakta ditemukan kaitannya. Dari segi metodologis ada dua jenis penulisan sejarah kebudayaan, yaitu pendekatan sinkronis dan sistematis, dan memperluas bahan-bahan kajian sejarah kebudayaan dengan memberi gambaran tentang keseluruhan. 54 137-138. 54 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003),