Imran Said L Tobing. Kakultas Biologi, Universitas Nasional ABSTRACT

dokumen-dokumen yang mirip
Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

TEKNIK ESTIMASI UKURAN POPULASI SUATU SPESIES PRIMATA

MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA*

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

PERILAKU KEWASPADAAN MONYET HITAM SULAWESI PULAU BACAN, MALUKU UTARA

STRUKTUR KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis Raffles, 1821) DAN INTERAKSINYA DENGAN PENDUDUK SEKITAR SUAKA MARGASATWA PALIYAN

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

VIS VITALIS VIS VITALIS

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra, S. H Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Pola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

penyusunan laporan ilmiah IMRAN SL TOBING FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA, 2006

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

Jl. Gn. BatuNo. 5 Bogor ABSTRACT

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra H.A Pengelolaan satwa Liar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (FAO, 1991). Hutan tropis ini merupakan

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ( 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

Deskripsi Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert) di Taman Margasatwa Ragunan

BAB. I. PENDAHULUAN A.

Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

Konservasi Biodiversitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Satwa dalam mencari makan tidak selalu memilih sumberdaya yang

ANALISIS KARAKTERISTIK HABITAT LUTUNG JAWA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

GROOMING BEHAVIOUR PATTERN OF LONG-TAILED MACAQUE (Macaca fascicularis, Raffles 1821) IN PALIYAN WILDLIFE SANCTUARY, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

DAFTAR PUSTAKA. Heyne K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

KEANEKARAGAMAN MAMALIA DI DESA NIPAH PANJANG KECAMATAN BATU AMPAR KABUPATEN KUBU RAYA KALIMANTAN BARAT

DESAIN MENARA PAKAN SEBAGAI MEDIA PENGAYAAN (ENRICHMENT) REHABILITASI PRIMATA ARBOREAL Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, Bandung

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

DISTRIBUSI DAN POPULASI LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus, Geoffroy 1812) DI DAERAH CETUT, CIKABODAS DAN CIKOLOMBERAN CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

LAJU DEGRADASI HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA SULAWESI UTARA

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN HABITAT OLEH MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI KAMPUS IPB DARMAGA

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

POTENSI KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DALAM RANGKA MENUNJANG PENGEMBANGAN EKOWISATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PERBURUAN DAN PERDAGANGAN ORANGUTAN (Pongo pygmaeus) DI DESA KEPARI KECAMATAN SUNGAI LAUR KABUPATEN KETAPANG

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT. Oleh: Waldemar Hasiholan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Strategi Adaptasi Macaca nigra (Desmarest, 1822) Melalui Perilaku Makan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Beriia Biologi, Volume 6, Nuinor I. April 2002, Edixi Klw.sus "Biodiversitas Tainan Nasional Gunung Halinum (II) " RESPON PRIMATA TERHADAP KEHADIRAN MANUSIA DI KAWASAN CIKANIKI, TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN [Response of Primata to the Presence of Human in Cikaniki Area, Gunung Halimun National Park] Imran Said L Tobing Kakultas Biologi, Universitas Nasional ABSTRACT The arrival of human und their activities on protected areas will be a problem causing habitat degradation in quality due to cutting of trees, hunting and noising. This research was conducted to observe the difference of responses of primates to the arrival of human on disturbed and undisturbed forest in Cikaniki area, Mount Halimun National Park. Primates responses to environmental changes will be detected from vigilance behaviour in the form of early detection and reactions. The results of this research indicated that the three species of primates in Cikaniki area (javan gibbon, javan langur, and grizzled langur) generally detected early to the observer's arrival compared to the observer himself detecting the position of primates. The early detection of the three species of primates is slower in disturbed forest compared to the undisturbed one. Furthermore, the reactions of these three species generally negative; although sometimes they response neutrally, but none was positive response in both disturbed and undisturbed forest. This behaviour indicated that although the primates have been adapted to the presence of human (early detection: slower in disturbed forest), but they still vigilant to the presence of human with negative responses. Key words: Primates, javan gibbon, javan langur, grizzled langur, behaviour, forest, vigilance. National Park. PENDAHULUAN Kehadiran manusia dalam kawasan cagar alam dan/atau zona inti taman nasional telah diupayakan dibatasi secara hukum oleh pemerintah, agar kawasan taman nasional terlindung dari pengaruh aktitltas manusia. Namun ini hanya baru sebatas teori; pada kenyatannya di lapangan sangat berlainan; zona inti taman nasional tetap saja banyak didatangi manusia dengan berbagai keperluan, terutama karena di dalam kawasan itu sendiri terdapat pemukiman penduduk (enclave). Keberadaan enclave di dalam kawasan zona inti taman nasional menimbulkan sikap yang kontroversial. Pemukiman di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) mencakup 18 desa, bahkan 8 desa diantaranya terdapat di dalam kawasan (enclave) (Supriatna el al., 1994). Pemukiman dengan segala aktifitas penduduk merupakan gangguan dalam konteks upaya konservasi (Alikodra, 1990); karena enclave mempunyai kecenderungan untuk berkembang dengan mengorbankan kawasan konservasi, serta penduduk selalu memiliki akses melintas batas yang telah diten-tukan (MacKinnon et al., 1993). Selanjutnya, keberadaan desa dengan penduduk yang tentunya terus bertambah, pembuatan jalan, perluasan lahan pertanian dan pengambilan flora dan fauna akan berdampak negatif terhadap lingkungan taman nasional. Interaksi antara manusia dan lingkungan hutan akan lebih nyata terjadi di sekitar daerah pemukiman yang merupakan pusat kegiatan penduduk dibandingkan dengan daerah pedalaman. Dengan demikian, lingkungan hutan di sekitar pemukiman (kawasan hutan terganggu) mempunyai kualitas yang lebih rendah dibandingkan lingkungan hutan di daerah pedalaman (kawasan hutan tak terganggu) sebagai habitat primata, Perbedaan kualitas lingkungan sebagai habitat akibat kehadiran manusia, akan berpengaruh terhadap perilaku primata. Hal ini sesuai dengan pendapat Suratmo (1979), Huntingford (1984) dan Alikodra (1990) yang menyatakan bahwa keadaan lingkungan merupakan hal penting yang mempe- 99

Tobing - Respon Primata Terhadap Kehadiran Manusia ngaruhi perilaku hewan primata. Terpengaruhnya perilaku primata, secara awal dapat dideteksi dari perilaku kewaspadaan berupa respon terhadap kehadiran manusia. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap perilaku kewaspadaan terutama terjadi karena adanya gangguan langsung terhadap primata, seperti perburuan dan pembisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas manusia. Perubahan ini dapat menjadi rangsang untuk lebih waspada, tetapi juga dapat membuat primata menjadi adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami perbedaan respon primata terhadap kehadiran manusia (pengamat) di habitat hutan tak terganggu dan hutan terganggu di kawasan Cikaniki, TNGH, Jawa Barat. METODE PENELITIAN Lokasi dan kategori hutan sebagai habitat Penelitian dilakukan di kawasan hutan Cikaniki, TNGH, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena di sekitar kawasan Cikaniki terdapat beberapa daerah pemukiman (enclave) yang dapat merupakan gangguan terhadap lingkungan hutan maupun terhadap primata karena kehadiran manusia. Selanjutnya, kawasan Cikaniki juga merupakan Stasiun Penelitian dan sekaligus merupakan daerah yang akan dikembangkan menjadi lokasi ekowisata sehingga kawasan Cikaniki akan banyak dikunjungi oleh manusia. Kawasan hutan digolongkan ke dalam dua kategori yaitu hutan terganggu dan hutan tak terganggu. Hutan terganggu (disturbed forest) merupakan hutan di sekitar pemukiman (enclave) dan jalan setapak/jalan pintas yang biasa dilalui penduduk; sehingga kawasan ini sudah terganggu oleh aktifitas dan kehadiran manusia. Sebaliknya, hutan tak terganggu merupakan kawasan hutan yang umumnya jauh dari pemukiman sehingga relatif belum terganggu oleh aktifitas penduduk (manusia). Cara kerja Pengamatan dilakukan dengan menelusuri kawasan hutan bergantian setiap harinya antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu; pencatatan data dilakukan saat awal perjumpaan dengan primata. Data yang diperoleh dalam pene-litian ini merupakan frekuensi setiap kategori dari respon; dan untuk keperluan analisis tentang ada/ tidaknya perbedaan respon setiap spesies primata, data frekuensi dikonversi menjadi persentase. Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam penelitian ini untuk mengetahui ada/tidaknya perbedaan respon primata di habitat hutan tak terganggu dan hutan terganggu adalah kecepatan deteksi dan reaksi primata terhadap kehadiran manusia (observer). a. Kecepatan deteksi Parameter kecepatan deteksi, dibedakan menjadi dua kategori yaitu deteksi awal dan deteksi akhir. Respon digolongkan sebagai deteksi awal bila primata lebih dulu mengeta-hui kehadiran observer; sedangkan bila observer yang lebih dulu melihat primata digolongkan sebagai deteksi akhir. Selanjutnya; untuk analisis respon, data kecepatan deteksi yang dipakai adalah frekuensi deteksi awal, karena deteksi akhir hanya merupakan kebalikannya saja. b. Reaksi Reaksi primata terhadap kehadiran manusia/ pengamat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu, reaksi positif, reaksi netral dan reaksi negatif. Reaksi digolongkift positif bila primata mendekati observer; netral bila kehadiran observer tidak menyebabkan akti-fitas primata menjadi berubah; dan negatif bila kehadiran observer menyebabkan aktifitas primata menjadi berubah. Analisis data Uji statistika yang digunakan dalam analisis data terhadap setiap parameter penelitian untuk me-

Berila Biologi, Volume 6, Nomor I, April 2002. Edisi Khusus "Biodiversitas Taman Nasional Gunung Halimun (11)" ngetahui ada/tidaknya perbedaan respon (setiap kategori) pada setiap spesies primata terhadap kehadiran manusia antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu adalah Uji Proporsi. HASIL DAN PEMBAHASAN Selama penelitian, ditemukan tiga spesies primata yang ada di TNGH yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili {Presbytis comata) dan lutung budeng (Trachypithecus auratus). Satu spesies yang tidak pernah ditemukan di lokasi kawasah Cikaniki selama penelitian dilakukan adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa keberadaan dan sebaran monyet ekor panjang adalah sangat terbatas di kawasan TNGH. Indikasi tentang terbatasnya keberadaan monyet ekor panjang di TNGH didukung oleh hasil penelitian Sugardjito et al. (1997); walaupun lokasi penelitian telah mencakup kawasan TNGH bagian Barat, bagian Utara, dan bagian Selatan; tetapi belum pernah menemukan monyet ekor panjang. Menurut infbrmasi dari. masyarakat setempat (dan juga hasil pengamatan penulis pada tahun 1984), monyet ekor panjang masih dapat ditemukan di kawasan Cikaniki pada tahun 1980an. Tetapi sejak sekitar tahun 1990an, keberadaan monyet ekor panjang di kawasan Cikaniki sudah tidak pernah terlihat lagi. Kepunahan secara lokal monyet ekor panjang. di kawasan Cikaniki, sangat kecil kemungkinannya karena perubahan kondisi hutan sebagai habitat, karena monyet ekor panjang merupakan salah satu spesies primata yang paling adaptif terhadap (perubahan) kondisi lingkungan. Kemampuan adaptasi monyet ekor panjang tercermin dari luasnya daerah sebaran dan beragamnya tipe habitat yang ditempati; baik di hutan primer maupun di hutan sekunder dan daerahdaerah perkebunan serta di sekitar daerah pemukiman (MacKinnon, 1987). Dengan demikian, faktor yang paling memungkinkan kepunahan (lokal) monyet ekor panjang di kawasan Cikaniki adalah perburuan (Tobing et al, 2001). Kecepatan deteksi Hasil pengamatan kecepatan deteksi (deteksi awal dan deteksi akhir) tiga spesies primata (owa jawa, surili dan lutung budeng) disajikan pada table 1. Secara umum, pada tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga spesies primata yang ditemukan mempunyai persentase frekuensi deteksi awal yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan deteksi akhir. Ini dapat menjadi suatu indikasi bahwa ketiga spesies primata merupakan hewan yang waspada terhadap terjadinya perubahan di lingkungannya karena kehadiran manusia. Tabel I. Persentase kategori deteksi (awal dan akhir).iga spesies primata di hutan tak terganggu dan hutan terganggu kawasan Cikaniki, TNGH, Jawa Barat. -^Spesies Owa jawa (H. moloch) Kategori """--^. Deteksi awal 78,95 59,57 Deteksi akhir 21,05 40,43 Total (n) 57 47 Keterangan: = Hutan Tak Terganggu; = Hutan Terganggu (P 9 1 30 Surili comata) 50,89 49,11 57 Lutung budeng (7". auratus) 88,64 11,36 88 71,43 28,57 35 101

Tobing - Respon Primata Terhadap Kehadiran Manusia Kewaspadaan merupakan salah satu fungsi hidup berkelompok (Napier dan Napier, 1985; Schaik, 1985), karena setiap anggota kelompok sama-sama berperan dalam mendeteksi adanya gangguan/benda asing di sekitarnya. Dengan berperannya semua anggota kelompok dalam mendeteksi adanya gangguan/perubahan dalam lingkungannya, maka primata akan lebih cepat (lebih dulu) mengetahui (mendeteksi) kehadiran predator (pengganggu). Demikian juga halnya pada penelitian ini, ketiga spesies primata umumnya lebih dulu mendeteksi kehadiran manusia (observer); karena manusia juga dapat dianggap sebagai pengganggu bagi kelompok primata. Secara keseluruhan, data memperlihatkan bahwa persentase frekuensi deteksi awal ketiga spesies primata yang hidup di hutan tak terganggu adalah lebih tinggi dibandingkan di hutan terganggu. Analisis dengan Uji Proporsi terhadap persentase frekuensi deteksi awal oleh primata antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu adalah berbeda bermakna (p < 0,05), baik pada owa jawa maupun pada surili dan lutung budeng. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa perbedaan kualitas habitat telah berpengaruh terhadap kecepatan deteksi (deteksi awal) ketiga spesies primata di kawasan hutan Cikaniki, TNGH; dan telah mengalami proses adaptasi sehingga menjadi lebih terbiasa terhadap kehadiran manusia di habitatnya. Uji Proporsi antar masing-masing spesies menghasilkan perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05), kecuali antara surili dan lutung budeng (di hutan terganggu) menunjukkan perbedaan bermakna (p < 0,05). Hasil analisis ini memberi arti bahwa di habitat hutan tak terganggu, ketiga spesies primata mempunyai frekuensi yang relatif sama dalam deteksi awal terhadap kehadiran manusia. Namun demikian, di hutan terganggu, frekuensi deteksi awal surili adalah berbeda (lebih rendah) dibandingkan dengan lutung budeng. Kecepatan deteksi primata di hutan tak terganggu (dalam penelitian ini), walaupun mempunyai nilai yang bervariasi antar spesies, tetapi mempunyai persentase frekuensi deteksi awal yang sama-sama relatif tinggi; ini merupakan gambaran perilaku kewaspadaan berupa respon primata di habitat alaminya. Akan tetapi, dengan berubahnya kualitas hutan, ternyata mempunyai pengaruh dengan tingkat berbeda terhadap setiap spesies; yang merupakan gambaran perbedaan respon setiap spesies primata terhadap kehadiran manusia. Respon terhadap perubahan lingkungan adalah bervariasi antar spesies; bahkan diantara individu-individu dalam spesies yang sama (Clark, 1991). Namun demikian masih sangat sedikit diketahui tentang kemampuan adaptasi berbagai spesies primata terhadap perubahan keadaan habitat dari hutan primer menjadi hutan sekunder (Heywood dan Stuart, 1992), apalagi skala perubahan lingkungan akan sangat berpengaruh dan hams diperhitungkan (Lee, 1991). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara ketiga spesies primata yang diamati, antara surili dan lutung budeng adalah yang paling tinggi perbedaan persentase frekuensi deteksi awal. Bila kewaspadaan hanya diukur dari deteksi awal, maka spesies primata yang paling waspada di habitat hutan tak terganggu adalah surili, sedangkan di hutan terganggu adalah lutung budeng. Selanjutnya, penurunan kecepatan deteksi antara dua kondisi hutan lebih drastis terjadi pada surili. Penurunan kecepatan deteksi pada surili mencapai 43 %, pada owa jawa 24 % dan pada lutung budeng 19 %. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa kecepatan deteksi surili merupakan yang relatif paling tinggi perubahannya dibandingkan dengan owa jawa dan lutung budeng. Reaksi Hasil pengamatan tentang persentase frekuensi setiap kategori reaksi primata terhadap 102

r Berita Biologi, Volume 6. Nomor I, April 2002, Edisi Khusus "Biodivenitas Taman Nasional Gunung Halimun (II) " kehadiran mariusia, disajikan pada Tabel 2. Reaksi dari tiga spesies primata yang ditemukan di lokasi penelitian umumnya adalah bersifat negatif ataupun reaksi netral; sedangkan reaksi positif tidak pernah teramati selama penelitian. Keadaan ini dapat diartikan bahwa, walaupun kehadiran manusia pada beberapa kesempatan tidak mengganggu aktifitas primata (reaksi netral), tetapi belum merupakan suatu daya tarik yang mempengaruhi aktifitas. Reaksi negatif dengan menghindari manusia juga diperlihatkan oleh simpanse dan gorilla (Tutin dan Fernandez, 1991). Lebih seringnya reaksi negatif diperlihatkan primata, terjadi karena kehadiran manusia umumnya dianggap sebagai ancaman; atau, setidak-tidaknya merupakan sesuatu yang perlu diwaspadai, sehingga primata memperlihatkan reaksi negatif dengan alarm call, berlari atau naik lebih tinggi di pohon untuk menghindar. Reaksi positif akan diperlihatkan primata bila kehadiran manusia sudah menjadi hal yang biasa dan dapat merupakan sumber pakan alternatif; seperti yang telah terjadi di kawasan hutan wisata Pangandaran, Nantun demikian, berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini; walaupun pada beberapa kesempatan kehadiran manusia/observer tidak mengganggu aktifitas primata, tetapi belum "dianggap" menguntungkan (tidak pernah ada reaksi positif) bagi tiga spesies yang hidup di kawasan Cikaniki. Persentase frekuensi reaksi negatif pada primata yang hidup di hutan terganggu, adalah relatif sama dengan yang hidup di hutan tak terganggu; kecuali pada surili. Secara umum data ini mengindikasikan bahwa kewaspadaan owa jawa dan lutung budeng relatif tidak terpengaruh oleh perbedaan kualitas hutan sebagai habitat; sedangkan pada surili justru menjadi semakin kurang waspada di habitat hutan terganggu. Indikasi bahwa surili merupakan spesies yang kurang waspada (ditinjau dari segi reaksi terhadap kehadiran manusia) di kondisi habitat hutan terganggu, didukung oleh hasil analisis UJf Proporsi reaksi negatif surili antara hutan isle terganggu dan hutan terganggu yang menunjukfca* perbedaan; bermakna (p < 0,05); sedangkan pada owa jawa maupun lutung budeng menunjukkairi perbedaan tidak bermakna (p > 0,05). Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa surili merupakan spesies yang paling dapat menerim kehadiran manusia, dibandingkan dengan owa jawa dan lutung budeng. _ ( Tabel 2. Persentase frekuensi kategori reaksi ttiasihg-niasing spesies primata yang ditemukan di habitat hutan tak tergangga dan hutan terganggu kawasan Cikaniki, TNGH, Jawa Barat. ; *~"\^^ Spesies Owa jawa (//. moloch) Surili '. comata) Lutung budeng {T. auratus) Kategori ^^^ Reaksi Positif Reaksi Netral Reaksi Negatif 33,33 66,67 31,91 68,09 23,33 76,67 49,12 50,88 27,27 72,73 22,86 77.14 n 57 47 30 57 88 35 Keterangan : : Hutan Tak Terganggu; : Hutan Terganggu

Tobing - Respon l'rimala Terhadap Kehadiran Manusia Sifat adaptif surili juga tercermin dari penggunaan ketinggian (di pohon). Surili dapat menggunakan semua lapisan kanopi hutan, baik pada kanopi bawah, kanopi lengah, dan kanopi atas; bahkan adakalanya bcrada di lantai hutan (Supriatna el a/., 1994 dan Rowe, 1996). Selanjutnya, pengunaan ketinggian dan lapisan kanopi oleh surili adalah rebih rendah di hutan terganggu dibandingkan di hutan tak terganggu (Tobing, 1999). Demikian juga halnya dengan ukuran populasi; penurunan ukuran populasi surili antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu merupakan yang paling kecil dibandingkan penurunan ukuran populasi owa jawa dan lutung budeng (Tobing et «/., 2001). Ini menandakan bahwa, bila perilaku suatu spesies (primata) dapat berubah dan toleran terhadap tekanan lingkungan, maka akan berdampak positif terhadap kelangsungan kehidupannya. Namun demikian, bila sifat toleran terhadap kehadiran manusia ini dimanfaatkan untuk perburuan akan berdampak sangat negatif terhadap kelestariannya. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh tentang respon primata terhadap kehadiran manusia di kawasan hutan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat, beberapa hal dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Respon primata (owa jawa, surili dan lutung budeng) terhadap kehadiran manusia di kawasan Cikaniki, TNGH, telah terpengaruh oleh perbedaan kualitas habitat antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu 2. Kecepatan deteksi primata (owa jawa, surili, lutung budeng) terhadap kehadiran manusia (observer) di hutan terganggu lebih rendah dibandingkan di hutan tak terganggu; dan spesies yang paling menurun kecepatan deteksinya terhadap kehadiran manusia adalah surili (Presbytis comata) 3. Reaksi yang paling sering diperlihatkan primata (owa jawa, surili dan lutung budeng) terhadap kehadiran manusia adalah reaksi negatif; walaupun adakalanya terlihat reaksi netral tetapi belum pernah memperlihatkan reaksi positif. Reaksi negatif pada owa jawa dan lutung budeng, adalah relatif sama antara hutan tak terganggu dan hutan terganggu, tetapi pada surili reaksi negatif lebih rendah di hutan terganggu Kondisi hutan sebagai habitat primata (hidupan liar) di kawasan Cikaniki, masih relatif baik (juga di sekitar pemukiman/hutan terganggu). Oleh karena itu dan karena Taman Nasional Gunung Halimun merupakan daerah paling potensial (dalam jangka panjang) sebagai habitat primata terutama bagi owa jawa dan surili yang merupakan spesies endemik dan terancam kepunahan, maka upaya pengelolaannya sangat perlu ditingkatkan. Dalam pengelolaan, sedapat mungkin melibatkan masyarakat sctempat secant aktif sebagai partner dalam pengelolaan, agar masyarakat merasa lebih memiliki kawasan; dan keberadaan TNGH menguntungkan masyarakat bukan justru merugikan karena adanya laranganlarangan tanpa memberi alternatif kegiatan bagi masyarakat setempat. DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Him 17. Clark AB. 1991. Individual Variation in Responsiveness to Environmental Change. Dalam: Primate Responses to Environmental Change. HO Box (Editor). Chapman and Hall, London. Him 92-110. Heywood VH and Stuart SN. 1992. Species Extinction in Tropical Forests. Dalam: Tropical Deforestation and Species 104

Berita Biologi, Volume 6, Nomur 1, April 2002, Edisi Khusus "Biodiversitas Taman Nasional Gunung llalimun (II) " Extinction. TC Whitmore and JA Sayer (Editor). Chapman and Hall, London. Him 91-117. Huntingford F. 1984. The Study of Animal Behaviour. Chapman and Hall. London, New York, him 47. Lee PC. 1991. Adaptations to Environmental Change: An Evolutionary Perspective. Dalam: Primate Responses to Environmental Change. HO Box (Editor). Chapman and Hall, London. Him 39-56. MacKinnon JR, MacKinnon K, Child G and Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University, him 111. MacKinnon K. 1987. Conservation Status of Primates in Malaysia, With Special References to Indonesia. Primate Conservation, 8, 175-183. Napier JR and Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. British Museum (Natural History), Cromwell Road, London. Him 200. Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias, New York, him 263. Schaik C van. 1985. The Socio-Ecology of Sumatran Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis). 1. Costs and Benefit of Group Living. Drukkerij Elinkwijk BV-Utrecht. him 215. Sugardjito J, Sinaga H and Yoneda M. 1997. Survey of the Distribution and Density of Primates in Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia. Volume II: The Inventory of Natural Resources in Gunung Halimun National Park. Biodiversity Conservation Project in Indonesia. A Joint Project with LIP1, PHPA and JICA. Bogor. Him 56-62. Supriatna J, Tilson R, Gurmaya KJ, Manansang J, Wardojo W, Sriyanto A, Teare A, Castle K and Seal U. 1994. Javan Gibbon and Javan Lungur. Population and Habitat Viability Analysis Report. Taman Safari Indonesia. Him 102. Suratmo FG. 1979. Konservasi Alum dan Pengelolaan Margasatwa. Bagian II (Tingkahlaku Margasatwa). Institut Pertanian Bogor. Him 36. Tobing ISL. 1999. Pengaruh Perbedaan Kualitas Habitat Terhadap Perilaku dan Populasi Primata di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Thesis Program Magister Sains; Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Tobing ISL, Alikodra HS, Suratmo FG dan Mansjoer I. 2001. Analisis. Populasi Primata pada Habitat Hutan dengan Kualitas Berbeda di Kawasan Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. limit dan Budaya 16, 15-33. Tutin CEG and Fernandez M. 1991. Responses of Wild Chimpanzees and Gorillas to The Arrival of Primatologists : Behaviour Observed During Habituation. Dalam: Primate Responses to Environmental Change. HO Box (Editor). Chapman and Hall, London. Him 187-197. 105