BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA: REGULASI, PENERAPAN DAN PERKEMBANGANNYA. Oleh: ZAINAL ABIDIN

Putusan Nomor 02/Pid. HAM/AD HOC/2003/PN Jakarta Pusat.

I. METODE PENELITIAN. tertentu dengan cara menganalisanya. Untuk usaha mencari dan mendapatkan jawaban atas

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA: REGULASI, PENERAPAN DAN PERKEMBANGANNYA 1. Oleh : ZAINAL ABIDIN 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

KOMNAS HAM DAN PENGADILAN HAM. Muchamad Ali Safa at

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

P U T U S A N Nomor 18/PUU-V/2007

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL. pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-4

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. profesi sebagai acuan, sama seperti hakim dan jaksa. karena hal seperti itu tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia adalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan pemerintah dan pergaulan antar daerah. Evan Luard mengatakan bahwa kebijakan luar negeri pemerintah pemerintah Negara-negara hendaknya tuidak hanya memperhatikan promosi kepentingan diri nasional yang sempit, tetapi juga mengganti mengganti rugi ketidakadilan yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain yang hidup di bawah pemerintah tirani dan tidak manusiawi. 1) Oleh karena itu pelanggaran HAM merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir dan dapat dikenai Sanksi Internasional. Meskipun semua orang sepakat bahwa HAM harus dijunjung tinggi, namun banyak kendala sering dihadapi dalam menegakkan HAM yang terlanggar. Sebagai contoh upaya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur dan beberapa beberapa daerah lai di Indonesia hingga kini belum menampakkkan hasil yang memuaskan. Banyak pelanggaran HAM tidak dapat diselesaikan melalui Peradilan Pidana biasa, mengingat pelaku seringkali berlindung di balik mantel 1) Evan Luard, Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Luar Negeri, dalam T. Mulya Lubis (penyunting), HAM Dalam Masyarakat Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 1993, hal. 284-285. 1

2 kekuasaan atau kebijakan publik tanpa penegakan yang efektif. Jaminan perlindungan HAM yang semula ditujukan utuk membatasi perbuatan sewenang-wenang penguasa terhadap rakyat akan terasa mubazir. Mengingat seriusnya pelanggaran HAM, sehingga diperlukan Peradilkan Khusus HAM. Di beberapa wilayah seperti di Eropa dan Amerika untuk tujuan penegakan HAM telah dibentuk Pengadilan HAM yang ebrlaku secara regional. Namun yurisdiksi Pengadilan HAM Eropa (The European Court of Human Right) tersebut hanya menyangkut pengaduan melawan Negara anggota yang didakwa melanggar HAM. 2) Di Indonesia dasar hukum pembentukan Pengadilan HAM adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tetang HAM dan Undang-Undang No. 26 tentang Pengadilan HAM. Namun upaya pembentukan Pengadilan HAM ternyata masih mengundang kontroversi. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Indoneisa (DPR RI) sempat menolak Perpu tentang peradilan HAM, sehingga proses peradilan HAM terlambat. Hingga kini penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui Pengadilan HAM belum terealisir dengan baik, sehingga penyelesaiaan kasuskasus pelanggaran HAM berat di Indonesia juga belum berjalan secara efektif. Walaupun sudah ada upaya-upaya yang diajukan pengadilan Indonesia menurut undang-undang No. 26/2000 terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur yakni melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang berwenang melakukan penyidikan terhadap 2) Tentang yurisdiksi the European court of Human Rights dan The Inter-American Court of Human Rights. Lihat pula buku Thomas Buergental, Internasional of Human Rights, West publishing Co., St. Paul Minnesota, 1988, hal 106-107 dan 155.

3 pelanggaran hak asasi manusia dengan membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia dan unsur dari masyarakat yang berkaitan dengan laporan atau pengaduan tentang terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berdasarkan pada sifat dan lingkupnya, kemudian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menyerahkan kepada pihak Kejaksaan Agung guna penyidikan dan penuntutan ke pengadilan hak asasi manusia dengan mengangkat penuntut umum ad hoc. Akan tetapi dalam penerapnnya masih dianggap lamban dalam penegakan hukum HAM di Indonesia. Hal ini yang menimbulkan gagasan dari berbagai kalangan untuk membawa pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia ke suatu pengadilan Criminal International. Akan tetapi gagasan pembentukan pengadilan Internasional untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat bulan September 1999 lalu, juga ditentang berbagai pihak. Ide peradilan HAM Internasional seperti tersebut dinilai melanggar kedaulatan Indonesia. Berkaitan dengan kontroversi tersebut Rudi Rizki, SH, LLM mengatakan: Diskursus tentang pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat kian merebak menyusul temuan ICIET dan KPP HAM Timor-Timur yang harus ditindak lanjuti. Salah satu rekomendasi dari laporan ICIET menghendaki agar PBB mendirikan pengadilan HAM untuk para pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-Timur yang terjadi sejak Januari 1999. Hakim-hakim pengadilan tersebut diusulkan dan ditentukan PBB, tetapi lebih

4 diutamakan dari Timor-Timur dan Indonesia. Sedangkan tempat kedudukannya bisa di Indonesia, di Timor-Timur ataupun tepat lain yang relevan. Di lain pihak laporan KPP HAM merekomendasikan agar DPR dan Pemerintah segera membentuk pengadilan HAM yang memiliki kewenangan untuk megadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur tersebut dengan mengacu kepada hukum nasional dan hukum internasional, khusunbya hukum HAM dan Hukum Humaniter. 3) Sesuai dengan asas yurisdiksi teritorial, sebagai negara berdaulat Indonesia berhak menerapkan yurisdiksinya atas orang, benda dan perbuatan yang ada dan terjadi di wilayah Indonesia. Segala perbuatan yang dilakukan warga Negara Indonesia di wilayah Indonesia tunduk pada yurisdiksi pengadilan Indonesia. Upaya mengadili warga Negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM di Indonesia melalui pengadilan internasional aka bertentangan dengan asas yurisdiksi teritorial. Di sisi lain, praktek menunjukkan kecenderungan untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat melalui pengadilan Internasional. Langkah kearah pembentukan pengadilan Internasional telah dirintis melalui Genocide Convention Tahun 1948, yakni Pasal 6 menentukan kejahatan genocide dapat diadili melalui pengadilan kriminal nasional maupun internasional. 3) Rudi Rizki, Beberapa catatan tentang pengadilan pidana Internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda, makalah, 3 April 2000, hal. 1.

5 Pengadilan Internasional untuk mengadili pelaku kejahatan dari suatu negara pernah dibentukusai perang dunia kedua, yakni Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Kedua Mahkamah ini mengadili para pelaku pelanggaran berat hukum perang sealama perang dunia kedua. Dalam perkembangan tahun 1990-an yurisdiksi pengadilan kriminal Internasioanal yang dibentuk meliputi pelangaran hukum perang maupun kejahatan-kejahatan terhadap HAM. Hal ini nampak dalam yurisdiksi the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan the International Criminal Tribunhal for Rwanda (ICTR). Kedua pengadilan internasional yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB (resolusi No.827,25 Mei 1993 untuk ICTY dan resolusi 955,8 November 1994 untuk ICTR), menggunakan kriteria pelanggaran konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 maupun ketentuan-ketentuan HAM Universal. Untuk memfasilitasi kebutuhan pengadilan Internasional pada tahun 1998 dibentuk International Criminal Court (ICC) berdasar konvensi Roma 1998. Yurisdiksi ICC meliputi kejahatan-kejahatan perang maupun pelanggaran-pelanggaran berat atas HAM. Pasal 5 Statuta ICC menentukan ICC berwenang mengadili perkara-perakra kejahatan genocide, kejahatan melawan usaha manusia, kejahatan perang dan kejaksaan agresi. ICC dapat dipandang sebagai salah satu model peradilan internasional di bidang HAM yang memiliki prospek di masa depan. Melihat perkembangan penegakan hukum HAM tersebut, maka ada kemungknan penegakan HAM melalui pengadilan Nasional dan Internasional.

6 Hal tersebut membuka peluang bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui pengadilan Internasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewenangan untuk megadili kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur pasca jajak pendapat dan apa dasar hukum Mahkamah internasional tersebut? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dalam hal apa pelangaran-pelanggaran HAM di Indonesia dapat diadili melalui suatu pengadilan Mahkamah Pidana Internasional. 2. Memberikan sumbangan pemikiran tentang penegakan hukum HAM di Indonesia melalui pengadilan HAM yang efektif dan efisien. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasangagasan baru bagi perkembangan ilmu Hukum HAM, khususnya yang mengatur tentang Pengadilan HAM. Di samping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan Sumbangan, Saran dalam pengaturan pengadilkan HAM di Indonesia,

7 sehingga dapat memberikan jaminan yang lebih baik dalam perlindungan HAM di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan hasil penelitian penulis sendiri bukan duplikasi atau plagiasi dan penelitian orang lain. F. Batasan Konsep Supaya pembahasan penelitian ini dapat terfokus dan tidak meluas maka diberi batasan konsep sebagai berikut : Kompetensi adalah : kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. 4) Mahkamah Internasional : badan kekuasaan yang diatur di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas mengatur perselisihan hukum antar Negara. 5) Mengadili adalah : memeriksa, menimbang dan memutuskan perkara sengketa mana yang benar (baik) dan yang salah (jahat). 6) Kejahatan adalah : perilaku yang bertentangan dengan nilai-bilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oeh hukum secara tertulis. 7) 4) Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerbit Balai Pustaka, hal. 453 5) Ibid, hal. 453. 6) Ibid, hal.7

8 Kemanusiaan adalah : menyangkut sifat-sifat manusia, diberlakukan secara manusia. 8) G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Hukum Jenis penelitian dam usulan penelitian Hukum ini adalah penelitian hokum normatif, yaitu mengkaji norma-norma hokum yang berlaku. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hokum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Terkait dengan usulan penelitian hokum ini, norma-norma hukum yang menjadi bahan kajian adalah peraturan-peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan materi yang diteliti. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam usulan penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer 1. Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM 2. Undang-undang No.26 tentang Pengadilan HAM 3. Statuta Roma 7) Ibid, hal. 344 8) Ibid, hal. 558.

9 b. Bahan Hukum Sekunder Meliputi buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi yang diteliti. c. Sumber Data Diperoleh melalui wawancara dengan narasumber Dr. Martinus Sardi, OFM, Pusat Pengembangan Hak Asassi Manusia di Belog Gamping, Sleman, Yogyakarta. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan dengan dua langkah pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan hokum penelitian ini dan artikel-artikelnya. 4. Metode Analisis Melalui pendekatan deksriptif dan komparatif, yakni data yang diperoleh disistematikan secara dekriptif kemudian dianalis secara kualitatif.

10 H. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Pembahasan, berisi uraian tentang pengadilan HAM Internasional dan Pengadilan HAM Indonesia. Yurisdiksi Pengadilan HAM, dasar hukum Pengadilan HAM Internasional mengadili pelanggaran-pelaggaran HAM di Timor Leste. Bab III. Penutup, berisi kesimpulan dan saran.