JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

SKRIPSI TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

PENELITIAN HUKUM PERANAN HAKIM PRA PERADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA PERKARA PIDANA

BAB II PENGATURAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA. A. Penangguhan Penahanan Menurut HIR dan KUHAP

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JURNAL SKRIPSI PERANAN DAN FUNGSI PRAPERADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN. (Studi Kasus Tindak Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Klaten dan. Pengadilan Negeri Surakarta)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Transkripsi:

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Hukum Pidana UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2015

ABSTRACT The aim of this study was to determine claims for losses due to it unlawful arrest and detention through the pretrial process. This study uses normative law research analyst with the descriptive approach used to locate and determine the compensation due to the implementation of the demands it unlawful arrest and detention through the pretrial process. Basic legal arrangement which is used to determine the pretrial process is the Code of Criminal Procedure (Criminal Procedure Code). Data collection method used is the documentation and study of literature as well as observation and attention will pretrial cases that have occurred and have been cut so as to have binding legal force. The results showed the claim for damages in pretrial. (a) a test of the validity of an arrest and detention, (b) testing of the pretrial hearing proceedings, (c) testing of the procedure demands compensation due to it unlawful arrest and detention. Keywords: Compensation, Arrest, Detention, Pretrial.

1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Acara Pidana merupakan aturan hukum yang mengatur bagaimana negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal mencari kebenaran sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi peninjauan kembali. Hukum acara pidana yang ditentukan dalam KUHAP merupakan pedoman bagi masyarakat khususnya aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan. Apabila tata cara dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tidak berpedoman pada KUHAP, maka hal itu melanggar ketentuan hukum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula adanya perubahan dalam cara berpikir, dan mengakibatkan pula perubahan sikap dan cara bertindak para aparat penegak hukum secara keseluruhan.

2 Upaya untuk menjamin ditegakkannya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP, maka dibentuklah lembaga praperadilan yang diharapkan dapat memberi pengawasan horizontal, penilaian, dan pengujian terhadap apakah proses pemeriksaan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP atau belum. Hal ini untuk melindungi hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak tersangka atau terdakwa agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Praperadilan sebenarnya adalah hal yang baru bagi dunia peradilan Indonesia. Praperadilan adalah salah satu lembaga yang diatur dalam Pasal 77-83 KUHAP yang bertujuan sebagai lembaga kontrol dalam proses penegakan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana. Setiap hal yang baru, tentu mempunyai misi dan motivasi tertentu. Pasti ada yang dituju dan yang hendak dicapainya. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pulalah halnya dengan pelembagaan praperadilan. Proses peradilan, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Pada hakekatnya setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum itu merupakan tindakan dan perlakuan yang dibenarkan oleh undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. Setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan

3 terhadap hak-hak asasi tersangka yang bersangkutan. Tindakan/upaya paksa itu dibenarkan menurut undang-undang demi kepentingan proses pemeriksaan tindak pidana, sudah sepantasnya tindakan itu wajib dilakukan secara bertanggungjawab sesuai ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Jika tindakan paksa itu dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang, maka hal itu merupakan perkosaan terhadap hak-hak asasi tersangka, setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah merupakan tindakan yang tidak sah, serta tidak dibenarkan oleh hukum dan undang-undang. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk mengawasi dan menguji serta menilai apakah tindakan paksa itu sah atau tidak. Pengawasan dan pengujian serta penilaian terhadap upaya paksa inilah yang membawa pada perkembangan hukum pidana di Indonesia, karena permasalahan sah atau tidaknya suatu upaya paksa tidak dapat dijumpai dalam tindakan penegakan hukum di masa HIR. Apapun dan bagaimanapun tindakan upaya paksa itu dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum pada waktu itu, semuanya akan lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi pengawasan dari lembaga manapun. Tujuan utama dari lahirnya praperadilan dalam KUHAP ialah agar terjadi pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa terhadap tersangka atau terdakwa, upaya yang dimaksud tidak lain adalah penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang bersifat mengurangi dan membatasi

4 kemerdekaan dan hak asasi tersangka, serta memberikan ruang bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan upaya hukum dalam menuntut ganti kerugian akibat diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP oleh aparat penegak hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul Pelaksanaan Tuntutan Ganti Kerugian Akibat Tidak Sahnya Penangkapan dan Penahanan Melalui Proses Praperadilan. B. Rumusan Masalah Apakah pelaksanaan tuntutan ganti kerugian akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan melalui proses praperadilan sudah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP? PEMBAHASAN Pengujian terhadap sah tidaknya penangkapan di dalam Pasal 17 KUHAP ditentukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pengertian bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana haruslah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini memerintahkan penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP, maka bukti permulaan

5 yang cukup adalah bukti permulaan patut untuk menduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap seseorang. Hal-hal yang dapat diuji oleh hakim praperadilan di dalam memeriksa perkara praperadilan berdasarkan alasan penangkapan, yaitu: Syarat-syarat formal suatu penangkapan; Dasar-dasar dilakukan penangkapan. 1. Syarat-syarat formal penangkapan: a) Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan membawa: - Surat tugas; - Surat perintah penangkapan tersendiri dengan syarat: Dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan (penjelasan Pasal 16 ayat (1) KUHAP); Dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu yang berwenang (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan penjelasan Pasal 18 ayat (1) KUHAP). b) Isi perintah penangkapan (Pasal 18 ayat (1) KUHAP) harus ada: - Identitas tersangka; - Alasan penangkapan; - Uraian singkat perkara yang dipersangkakan;

6 - Tempat ia diperiksa. c) Surat perintah penangkapan harus diberikan kepada tersangka dan tembusan kepada keluarganya, segera setelah penangkapan (Pasal 18 ayat (3) KUHAP). d) Jika dalam keadaan tertangkap tangan tanpa surat perintah (Pasal 18 ayat (2) KUHAP). 2. Dasar-dasar dilakukan penangkapan: Dasar-dasar dilakukan penangkapan adalah adanya bukti permulaan yang cukup, demikian menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP, adanya bukti permulaan yang cukup merupakan syarat materiil dilakukannya suatu penangkapan terhadap seseorang yang benar-benar melakukan tindak pidana. Di dalam pemeriksaan sidang praperadilan dengan alasan penahanan yang tidak sah, hakim dapat memeriksa 2 (dua) hal yaitu: Syarat-syarat formal suatu penahanan; Dasar-dasar dilakukan penahanan. 1. Syarat-syarat formal suatu penahanan. Syarat-syarat formal suatu penahanan terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP. Syarat-syarat tersebut adalah:

7 a. Adanya surat perintah penahanan dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang mencantumkan: - Identitas tersangka atau terdakwa; - Alasan penahanan; - Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau yang didakwakan; - Tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP). b. Tembusan surat perintah atau penetapan penahanan, harus diberikan kepada: - Keluarga (Pasal 21 ayat (3) KUHAP); - Atau orang lain yang serumah (Pasal 59 KUHAP); - Atau orang lain yang bantuannya dibutuhkan untuk mendapat bantuan hukum atau penangguhan penahanan (Pasal 59 KUHAP); - Atau perwakilan negaranya, bagi orang asing (TPP-KUHAP angka 9). 2. Dasar-dasar dilakukan penahanan. Dasar-dasar dilakukan penahanan terdapat di dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP. Dalam Pasal 21 ayat (4) merupakan syarat obyektif yang tidak banyak menimbulkan masalah karena alasan obyektif tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang lain,

8 justru yang menjadi masalah adalah syarat subyektif yang diatur dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP. Penahanan menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa: - Yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. - Dalam hal adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa: Akan melarikan diri; Merusak atau menghilangkan barang bukti; Mengulangi tindak pidana. Dengan demikian syarat yang dituntut di dalam penahanan lebih berat dari syarat yang dibutuhkan di dalam melakukan penangkapan. Jika penangkapan hanya membutuhkan bukti permulaan yang cukup, di dalam penahanan dibutuhkan bukti yang cukup. Bukti yang cukup berarti penyidik sudah bisa mengumpulkan alat bukti yang mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHAP, dan Pasal 183 KUHAP yakni harus dipenuhi minimum pembuktian. Baik di dalam melakukan upaya paksa yakni penangkapan dan atau penahanan, sesungguhnya penyidik sudah harus mempunyai alat bukti. Segala sesuatu yang masih bersifat informasi atau berupa

9 laporan/pengaduan saja, seorang penyidik tidak boleh melakukan upaya paksa tersebut. Pelaksanaan Tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan negeri dan setelah dicatat dalam register perkara ganti kerugian di kepaniteraan, maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk, menyampaikan surat permintaan itu kepada Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera harus menunjuk hakim yang akan memeriksa tuntutan tersebut, yang sedapat mungkin telah mengadili perkara pidananya, atau hakim praperadilan apabila perkara pidananya tidak diajukan ke pengadilan (PP-KUHAP halaman 137). Acara yang diterapkan dalam pemeriksaan oleh pengadilan ini mengikuti acara yang diterapkan dalam praperadilan. Permohonan ganti kerugian telah diberi petunjuk oleh Mahkamah Agung (atas pertanyaan dari Ketua Pengadilan Tinggi Riau) dalam suratnya tanggal 27 Juli 1985 Nomor: 2569/TU/85/2207/1985 memberikan petunjuk tentang permohonan/gugatan ganti rugi sebagai berikut: a. Permohonan ganti kerugian dari seseorang yang diputus bebas, yang sebelumnya berada dalam tahanan dapat diajukan dengan menggunakan dasar pasal 95 KUHAP; b. Mengenai soal pengadministrasiannya dibuatkan register tersendiri; c. Permohonan tersebut tidak dapat dipungut ongkos perkara;

10 d. Apabila sampai harus dilakukan pemanggilan-pemanggilan melalui juru sita, upah juru sita harus dibayarkan dari anggaran khusus untuk itu, bisa diusulkan pada Menteri Kehakiman; e. Menurut pasal 96 ayat (1) KUHAP, keputusan pemberian ganti kerugian adalah merupakan putusan bentuknya saja penetapan, oleh karena itu dapat dimohonkan banding atau kasasi. Tata cara atau acara proses pemeriksaan dan putusan tuntutan ganti kerugian berpedoman pada acara pemeriksaan yang diatur dalam Pasal 82 KUHAP. Berarti proses pemeriksaan yang diatur dan berlaku bagi praperadilan, berlaku sepenuhnya dalam pemeriksaan tuntutan ganti kerugian. Tidak jadi soal apakah yang memeriksa dan memutus praperadilan atau pengadilan negeri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 96 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya Pasal 96 KUHAP menentukan bahwa putusan mengenai ganti kerugian berbentuk penetapan dan memuat secara lengkap hal-hal yang dipertimbangkan sebagai alasan. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2012 pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 10 dan 11:

11 - Petikan penetapan mengenai ganti kerugian diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penetapan diucapkan. - Salinan penetapan ganti kerugian diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara setempat. - Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan penetapan pengadilan. - Tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh menteri keuangan. tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam penulisan hukum ini, yaitu: Pelaksanaan tuntutan ganti kerugian akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan melalui proses praperadilan diajukan oleh tersangka/terdakwa atau ahli warisnya kepada pengadilan negeri dimana ia di tangkap dan/atau di tahan dan

12 setelah dicatat dalam register perkara ganti kerugian di kepaniteraan, maka panitera atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan surat permintaan itu kepada Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera harus menunjuk hakim yang akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan tuntutan ganti kerugian berpedoman pada Pasal 82 KUHAP, yaitu: 1. Setelah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri menerima permintaan tuntutan ganti kerugian, maka dalam waktu tiga hari hakim tersebut menetapkan hari sidang. 2. Dalam memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan serta permintaan ganti kerugian, hakim mendengar keterangan dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. 3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan. 4. Apabila suatu perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. 5. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan kembali pada tingkat pemeriksaan penuntutan, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

13 DAFTAR PUSTAKA Buku : Agung Dewantara Nanda. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menanangi Suatu Perkara Pidana, Aksara Persada Indonesia, Jakarta. Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta. Hari Sasangka, 2007. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam teori dan Praktek, Mandar Maju, Jakarta. Hilman H, 2010. Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung. HMA Kuffal, 2008. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM Press, Malang. Leden Marpaung, 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Martiman P, 1985. Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta. Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta. Yahya Harahap, 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta.

14 Website : https://ferli1982.wordpress.com/2013/01/20/pra-peradilan-pidana-2/ http://icjr.or.id/praperadilan-di-indonesia-teori-sejarah-dan-praktiknya/ http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-sengkon-karta-antasari-dan-gonjang ganjing-sistem-hukum.html http://efanmanalu.blogspot.com/2013/06/putusan-praperadilan_2830.html