PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. menyandang tunagrahita adalah 2,3%. Atau 1,95% anak usia sekolah. menyadang kelainan adalah orang, jadi estimasi jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Terdapat perkembangan mental yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya yang dalam perkembangannya akan mengalami suatu perubahan.

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINDAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP (FISIK DAN PSIKOLOGIS) PADA ANAK JALANAN

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

SIKAP ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA YANG MENYANDANG RETARDASI MENTAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK RETARDASI MENTAL RINGAN DI SEKOLAH LUAR BIASA C YAYASAN SOSIAL SETYA DARMA SURAKARTA

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. kembangkan sesuai kebutuhan masing-masing, dimana retardasi mental itu adalah

Ambar Winarti, Ema Kurniawati ABSTRAK

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psikolog. Fakultas Psikologi UMBY 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berfungsi secara bermakna di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PADA PENDERITA EPILEPSI DI KECAMATAN MANYARAN DAN KECAMATAN JATIPURNO KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam. Dalam (Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003) Selain faktor yang berada dalam diri peserta didik, untuk dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh bagaimana kebiasaan belajar peserta didik. Segala bentuk

PEMBINAAN DISIPLIN ANAK TUNA GRAHITA DI SEKOLAH. (Studi Kasus di SLB Pelita Bangsa Kesamben Jombang) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PERAN DUKUNGAN SOSIAL IBU PADA PENCAPAIAN PRESTASI PENYANDANG CACAT TUBUH. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap umat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna tanpa ada

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

KEBAHAGIAAN SAUDARA KANDUNG ANAK AUTIS. Skripsi

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki anak sehat, sempurna lahir dan batin adalah harapan semua

Diajukan Oleh : DAMAR CAHYO JATI J

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB 1 PENDAHULUAN. anak mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan pola asuh yang tepat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang

Transkripsi:

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : YUNIARA RAISTIYANI UTAMI F. 100 030 056 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009 i

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, yang harus dijaga, dirawat, dan diberi bekal sebaik-baiknya bagaimanapun kondisi anak tersebut ketika dilahirkan. Orang tua akan merasa senang dan bahagia apabila anak yang dilahirkan memiliki kondisi fisik dan psikis yang sempurna. Sebaliknya, orang tua akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna atau mengalami hambatan perkembangan. Salah satu hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak adalah retardasi mental. Lombanotobing (2001) berpendapat bahwa retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, ditandai oleh adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau kecakapan (skills) selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Individu memiliki intelegensi yang dipergunakan untuk berpikir. Apabila intelegensinya mengalami hambatan dalam perkembangan akan mempengaruhi cara kerja kognitifnya. Gerungan (1996) mengatakan bahwa kecerdasan atau kemampuan kognitif individu mampu meningkatkan kestabilan individu dalam mengendalikan sikap dan perilaku berdasarkan kesadaran untuk memikirkan secara mendalam terhadap kebutuhan-kebutuhan, keinginan, cita-cita dan perasaan serta pengintegrasian. 1

2 Berdasarkan data yang diperoleh dari pernyataan Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, bahwa di Provinsi Lampung, pada tahun 2006, jumlah siswa keterbelakangan mental atau keterbelakangan mental yang tercatat di 12 sekolah luar biasa (SLB) daerah setempat sebanyak 705 orang. Jumlah itu belum termasuk yang belum disekolahkan di SLB sehingga diperkirakan masih banyak penderita cacat mental di Lampung (Hendriani, 2008). Pada Data Pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia, dilihat dari kelopok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang keterbelakangan mental adalah 62.011 orang, 60% diderita anak laki-laki dan 40% diderita anak perempuan. Dari jumlah tersebut anak yang terkena retardasi mental sangat berat disebut idiot sebanyak 2,5%, anak retardasi mental berat sebanyak 2,8%, retardasi cukup berat disebut imbisil debil profound sebanyak 2,6%, dan anak retardasi mental ringan atau lemah pikiran disebut pander debil moyen sebanyak 3,5%, dan sisanya disebut anak dungu. Anak yang menderita retardasi mental tersebut disebabkan oleh akibat infeksi atau intoksikasi, akibat dari dalam kandungan, gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi kurang, akibat penyakit otak yang nyata, pengaruh pranatal yang tidak jelas, dan akibat prematuritas (Maramis, 2008). Salah satu contoh kasus anak yang mengalami retardasi mental terjadi pada Aji seorang anak berusia 12 tahun yang seharusnya ia sudah kelas enam SD bersama teman-teman sebayanya, tetapi karena kemampuan intelektualnya rendah ia masih saja duduk di kelas empat SD. Menurut gurunya, ia agak lambat dalam mengikuti pelajaran di sekolahnya. Oleh karena itu, Aji dari kelas satu sampai kelas tiga SD untuk masing-masing tingkat ditempuh dua tahun. Keadaan ini

3 membuat orang tua Aji memindahkan sekolah umum ke sekolah luar biasa (Wardoyo, 2006). Contoh di atas merupakan gambaran penting dalam retardasi mental yaitu fungsi intelektual umumnya berada di bawah rata-rata. Diperjelas oleh Munzert (2002) bahwa intelegensi anak yang mempunyai IQ sedang antara 95-100, sedangkan penderita retardasi mental IQ di bawah 50. Ditambahkan oleh Lombanotobing (2001) bahwa retardasi mental merupakan ganguan perkembangan fungsi penyesuaian yang melibatkan kecakapan dalam komunikasi, merawat diri, tinggal di rumah, kecakapan sosial-interpersonal, bekerja, berekreasi, kesehatan, dan keselamatan. Kirk (dalam Wall, 1993) menyatakan bahwa retardasi mental oleh masyarakat masih dianggap aneh, karena hanya sebagian kecil ± 2% anak yang menderita mengalami retardasi mental dari setiap seribu anak. Keanehan sikap masyarakat terhadap retardasi mental dapat dimaklumi karena masih banyak hal yang belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Seperti penyebab terjadinya retardasi mental akibat kerusakan jaringan otak yang hanya diketahui oleh dokter. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental membutuhkan perawatan khusus, butuh pengetahuan, kesabaran, dan bimbingan yang spesifik. Anak dengan retardasi mental biasa oleh masyarakat sering disamakan dengan idiot, padahal belum tentu semua anak retardasi mental adalah idiot. Idiot hanyalah istilah bagi anak retardasi mental yang sudah dalam taraf sangat berat. Anak retardasi mental memiliki kemampuan intelektual yang rendah yang membuat anak mengalami keterbatasan dalam bidang keterampilan, komunikasi,

4 perawatan diri, kegiatan sehari-hari, kesehatan dan keselamatan, akademis dan occupational (Cahyaningrum, 2004). Tanggapan negatif masyarakat tentang anak retardasi mental menimbulkan berbagai macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, seperti: orang tua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang retardasi mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat karena orang tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Di sisi lain, ada pula orang tua yang memberikan perhatian lebih pada anak retardasi mental. Orang tua yang menyadari memiliki anak retardasi mental berusaha memberikan yang terbaik pada anaknya dengan meminta bantuan pada ahli yang dapat menangani anak retardasi mental. Orang tua yang memahami dan menyadari akan kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani, 2005). Wall (1993) berpendapat bahwa fenomena dalam masyarakat masih banyak orang tua khususnya ibu yang menolak kehadiran anak yang tidak normal, karena malu mempunyai anak yang cacat, dan tak mandiri. Orang tua yang demikian akan cenderung menyangkal keberadaan anaknya dengan menyembunyikan anak tersebut agar jangan sampai diketahui oleh orang lain. Anak retardasi mental sering dianggap merepotkan dan menjadi beban bagi pihak lain. Tindakan orang tua yang demikian ini akan memperparah keadaan anak yang mengalami retardasi mental. Anak yang mengalami retardasi mental perlu perhatian dan pendidikan khusus untuk membantu perkembangan intelektual

5 anak. Oleh sebab itu, orang tua perlu menyesuaikan dirinya dengan kehadiran anak yang berbeda dengan anak lainnya. Kartono (1993) berpendapat bahwa penyesuaian diri adalah cara seseorang menghadapi dan memecahkan situasi yang mengandung masalah sampai tercapai hasil yang diharapkan, dengan menyingkirkan segala hambatan dan tidak menggunakan mekanisme yang keliru, seperti mekanisme pertahanan diri dan mekanisme pelarian diri. Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri. Individu sebagai anggota masyarakat tidak dapat begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya. Karena individu tersebut mempunyai lingkungan di luar dirinya, baik fisik maupun sosial. Selain itu di lingkungan juga memiliki aturanaturan atau norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut, karena itulah diperlukan penyesuaian diri (Agustini, 2002). Davidoff (1991) berpendapat bahwa penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan individu. Individu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong individu untuk terus-menerus melakukan penyesuaian diri. Gunarsa dan Gunarsa (1997) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki anak yang mengalami ketidaksempurnaan anggota tubuh atau keterlambatan mental perlu sikap menerima keadaan diri dan keluarganya. Orang tua dapat

6 bersikap menerima keadaan dirinya yang mempunyai anak tidak sempurna agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fahmi (1999) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah penerimaan diri. Individu yang dapat menerima dirinya dengan baik, akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Individu yang tidak dapat menerima dirinya akan mengalami frustasi yang menjadikan individu merasa tidak berdaya dan gagal sehingga tingkat penyesuaian dirinya buruk. Orang tua yang dapat menerima keadaan dirinya yang mempunyai anak retardasi mental akan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak retardasi mental seperti anak-anak lain yang dimilikinya. Diperjelas oleh Supriyapto (2001) bahwa orang tua dalam pola asuhnya harus dapat menciptakan relasi atau hubungan sehat dengan anak dan menyediakan kebutuhan fisik, serta keamanan bagi anak sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Orang tua menyadari bahwa anaknya yang mengalami retardasi mental memerlukan tempat aman bagi perkembangan jiwa anak. Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas perkembangan anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di lingkungan kecil itulah individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan agar yang bersangkutan siap memasuki dunia nyata di luar kehidupan keluarga. Wall (1993) berpendapat bahwa anak atau individu yang mengalami retardasi mental memerlukan bantuan orang lain untuk menunjang hubungan dengan individu lain agar dapat berjalan lancar. Peran orang tua sangat

7 dibutuhkan oleh anak yang mengalami retardasi mental. Anak-anak tersebut memerlukan bimbingan dan arahan yang bijaksana dari orang tua. Sebagai contohnya orang tua dapat menanamkan pengertian pada anak, bahwa setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisono (2003) seorang psikolog di Jakarta mengatakan bahwa orang tua yang mempunyai anak cacat fisik atau mental memerlukan kesabaran dalam membimbing anak tersebut, selain itu juga diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai pribadi anak. Dengan kesabaran dan pemahaman pribadi anak, orang tua dapat membantu anak memiliki kepercayaan diri sehingga anak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hurlock (1991) menambahkan bahwa sikap positif orang tua terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental akan membantu anak mampu memandang dirinya secara realistis serta menilai kekuatan dan kelemahannya secara objektif. Bantuan-bantuan yang dapat diberikan oleh orang tua menurut Hallahan dan Kauffman (Wall, 1993) adalah bimbingan dan dorongan agar anak yang mengalami retardasi mental dapat hidup mandiri. Oleh sebab itu, diperlukan penanganan khusus dan keterlibatan orang tua agar anak retardasi mental dapat berkembang secara optimal. Dayakisni dan Hudaniyah (2003) berpendapat bahwa sikap dan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua dalam keluarga menunjukkan adanya kecenderungan yang mengarah pada pola pengelolaan dan perawatan terhadap anak, sebagai usaha mencapai kebahagiaan keluarga.

8 Antara orang tua satu dengan orang tua lainnya dalam menggunakan pola asuh berbeda. Ada bermacam-macam pola asuh orang tua. Macam-macam pola asuh dibedakan atas pola asuh demokratis, otoriter, dan laizes faire (kebebasan). Pola asuh demokratis merupakan gaya yang populer selama era neo-klasik. Pola asuh demokratis menggunakan pendekatan kerjasama dalam mencapai tujuantujuan pengasuhan dengan mengijinkan anak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan. Pola asuh otokratis, pengambilan keputusan dipusatkan pada tangan seorang pemimpin keluarga. Pola asuh laizes faire (kebebasan) orang tua memberi kebebasan pada anak dalam melakukan perilaku (Shochib, 2002). Masing-masing pola asuh tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Kartono (2000) menjelaskan bahwa pola asuh demokratis memberikan banyak keuntungan bagi orang tua dan anak. Anak merasa dihargai dengan sikap demokratis orang tua sehingga antara anak dan orang terjalin komunikasi yang harmonis. Kerugiannya, ada kemungkinan anak terlalu berani mengemukakan pendapatnya sehingga ada kesan anak berani dengan orang tua. Shochib (2002) berpendapat bahwa pola asuh otoriter memberikan dampak perasaan tertekan pada anak karena diharuskan untuk mengikuti semua aturan orang tua. Keuntungannya, anak dalam sikap dan perilaku sesuai aturan yang diterapkan oleh orang tua. Supriyapto (2001) menyatakan bahwa keuntungan pola asuh kebebasan membuat anak menjadi mandiri, tidak tergantung pada orang tua. Di sisi lain, kerugiannya anak akan melakukan kebebasan tanpa batas yang dapat merugikan dirinya sendiri atau orang tua, seperti anak ada kemungkinan terjerumus dalam pemakaian obatobatan.

9 Gunarsa dan Gunarsa (2001) berpendapat bahwa kesatuan pandangan dan tujuan pendidikan ayah dan ibu merupakan landasan penting bagi perkembangan anak. Misalnya, orang tua sepakat bersikap disiplin dalam berbagai aspek akan dicontoh oleh anak sehingga anak pun juga akan bersikap disiplin dan tidak ada pertentangan antara orang tua dan anak. Dengan demikian, kesepakatan dan kesatuan pandangan ayah dan ibu dalam mendidik anak akan menciptakan suasana dalam keluarga yang terjalin harmonis. Pola asuh yang dipilih orang tua dalam membimbing dan mendidik anak retardasi mental yang berbeda dengan anak yang normal mengharuskan orang tua melakukan penyesuaian diri dalam mendidiknya sehingga akan membantu perkembangan anak retardasi mental. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang tua mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan anak yang mengalami retardasi mental. Orang tua sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak dapat membantu anak retardasi mental dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sikap yang penuh cinta kasih dan penerimaan terhadap apapun keadaan anak merupakan hal yang dibutuhkan oleh anak. Permasalahan-permasalahan ini menarik untuk diteliti lebih dalam. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini diajukan pertanyaan: Bagaimanakah dinamika psikologis penyesuaian diri dan pola asuh diterapkan orang tua yang memiliki anak retardasi mental?. Dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini diambil judul Penyesuaian Diri dan Pola Asuh Orang Tua yang Memiliki Anak Retardasi Mental.

10 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penyesuaian diri dan pola asuh orangtua yang memiliki anak retardasi mental. C. Manfaat Penelitian 1. Bagi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan informasi ataupun dapat memberikan gambaran dalam menerapkan pola asuh yang diterapkan pada anak sehingga anak retardasi mental dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. 2. Bagi guru sebagai pengganti orang tua di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memiliki siswa retardasi mental, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pengetahuan sehingga diharapkan guru dapat membantu orang tua dalam membimbing anak retardasi mental dengan tepat. 3. Bagi masyarakat dapat menambah pemahaman tentang anak retardasi mental sehingga timbul sikap positif masyarakat untuk membantu orang tua yang memiliki anak retardasi agar dapat menerima keberadaan anaknya yang mengalami retardasi mental dan membantu orang dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. 4. Bagi lembaga pendidikan (SLB) sebagai tempat belajar anak-anak yang menderita gangguan mental dan ganguan fisik, khususnya gangguan retardasi mental dapat meningkatkan perhatian pada anak didik dan menjalin hubungan dengan orang tua untuk mengarahkan anak retardasi mental ke arah yang lebih positif.