BAB I PENDAHULUAN. anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis yang ditandai dengan tingginya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. akan ia jalani kelak (Perkins, 1995). Para remaja yang mulai menjalin hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, dibutuhkan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa. kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

FORGIVENESS PADA ANAK YANG MENGALAMI KDRT OLEH AYAH TIRINYA. Nama : Noveria Yamita Eka Putri Npm :

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan pengertian sebagai tindakan atau serangan terhadap. menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah

PETUNJUK PENELITIAN. Nama : Usia : Pendidikan terakhir :

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kehamilan merupakan suatu anugerah yang menyenangkan bagi

BAB I PENDAHULUAN. secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhankebutuhan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya zaman, dan pengaruh budaya barat merubah pola pikir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik laki- laki maupun perempuan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

Saat ini masyarakat mengalami depresi sosial skala tinggi. Depresi ini lahir karena tidak ada pegangan hidup.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL DAN UPAYA MENGATASINYA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terutama bagi perempuan dewasa, remaja, maupun anak anak. Kasus kekerasan seksual

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

KEKERASAN BERBASIS GENDER: BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Khoirul Ihwanudin 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya (Gunarsa, 1995). Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, keluarga disebut disharmonis apabila ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi konflik, ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan serta 1

keberadaan dirinya. Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap lingkungan sosialnya (Gunarsa, 1995). Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasi dan kebersamaan. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dan semakin membahayakan bagi keluarga khususnya suami dan istri yang terlibat konflik. Penyelesaian konflik seperti ini terjadi bila setiap pihak tidak mampu bekerjasama untuk menciptakan suatu hubungan yang selaras. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Penyelesaian bisa dilakukan dengan kemarahan yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian berupa kata-kata kotor maupun ekspresi wajah merah padam menyeramkan yang dilakukan oleh suami maupun istri (Bachtiar, 2004). Seringkali pula muncul pola-pola perilaku yang bersifat 2

menyerang, memaksa, menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan (suami-istri). Pola-pola perilaku seperti ini menjurus pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang secara lebih luas diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lain dengan melanggar hak individu (Poerwandari, 2000). Kekerasan dalam rumah tangga, selanjutnya disingkat KDRT, sebenarnya bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, ayah, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit sebagai penganiayaan istri oleh suami. Hal ini dikarenakan terminologi kejahatan KDRT sesungguhnya berhubungan dengan ibu rumah tangga atau istri sebagai korban (Martha, 2003). Seperti yang dialami oleh Andri (29), seorang perempuan alumnus PTS terkenal yang mempunyai dua orang anak dan telah menjadi korban pemukulan suaminya selama empat tahun berumah tangga : Hampir seminggu saya dipukuli. Teman-teman sekantor semuanya tahu, kalau kekantor wajah saya sering biru dan kepala benjol karena pukulan mas Anto (31, suami Andri) (Rusmaladewi, 2002). KDRT juga dialami oleh Bu Aida, seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama yang mengaku: Suami saya seringkali memukul saya, bahkan didepan anak-anak. Saya dilarang memakai hiasan atau kosmetik apapun kalau kekampus. Makian itu jadi makanan sehari-hari yang saya terima, kadang tanpa sebab yang jelas. Uang kuliah anak-anak juga tetap saya yang harus membayarnya. Saya tidak tahu uang gajinya dikemanakan. Kalo ngomong sama keluarga bisa bahaya (Anshoriyah, 2007). Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di Indonesia memang belum tersedia secara lengkap namun sejumlah informasi dan studi yang dilakukan 3

berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan, telah cukup menunjukkan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) mencatat, sedikitnya 11,4 persen atau 24 juta perempuan dari 217 penduduk Indonesia mengaku pernah mengalami KDRT. Sebagian besar kasus kekerasan domestik itu, terjadi dipedesaan yang bisa juga dianalogikan dialami oleh kaum perempuan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Catatan yang diberikan LSM dan organisasi perempuan seperti Women s Crisis Center (WCC) selama periode 1997 hingga 2000, telah menerima 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga hanya untuk daerah Jakarta. Tingginya jumlah kasus KDRT ini belum menggambarkan jumlah kasus secara menyeluruh karena masih banyak korban KDRT yang tidak mau melaporkan kasusnya kepihak yang berwajib atau LSM perempuan (Dian, 2004). Berangkat dari banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi terdapat banyak pula bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. KDRT tidak hanya perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan fisik tetapi juga termasuk kesengsaraan atau penderitaan seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (Kolibonso, 2000). Salah satunya yaitu penekanan secara ekonomis dialami oleh Maryati seorang ibu rumah tangga, yang mengatakan: Saya nggak cuma disiksa fisik, Pak! Tapi juga tak pernah diberi nafkah lahir (Dian, 2004). 4

Bentuk kekerasan yang lainnya dialami oleh Juwarnik (36) warga Desa Cluring, Kecamatan Kalitengah yang menyatakan selain penyiksaan fisik, dia juga sering mendapat siksaan batin. Selama berumah tangga, suaminya secara terangterangan beberapa kali pulang membawa wanita untuk diajak tidur dikamarnya. Juwarnik juga mengaku pernah melihat langsung suaminya bersama pekerja seks komersial (PSK) di sebuah warung lokalisasi saat mengambil motor orang lain yang dibawanya (Setyawan, 2007). Banyak pihak yang tidak menyadari kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga tersebut terjadi terus menerus atau berulang-ulang dan setiap peristiwa menjadi lebih keras atau kejam (Johnson, 2007). Kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan korban akan menimbulkan dampak fisik dan psikologis bagi korban. Poerwandari (2004) menyatakan bahwa praktek-praktek kekerasan merupakan pemaksaan tubuh terhadap jiwa. Jiwa, diri, ide dan kehendak harus tergantung, takluk pada kemampuan tubuh untuk menahan sakit dan penderitaan. Tubuh yang mengalami praktek kekerasan perlahan-lahan mengharuskan pikiran dan hati tunduk dan menyerah. Dampak fisik menyangkut kesehatan non reproduksi seperti cedera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen sedangkan yang menyangkut kesehatan reproduksi seperti hamil tidak diinginkan, penyakit menular seksual serta abortus (Dian, 2004). Dampak psikologis dapat berupa jatuhnya harga diri dan konsep diri. Korban akan melihat diri negatif, banyak menyalahkan diri, menganggap diri menjadi penanggungjawab tindak kekerasan 5

yang dialaminya. Korban juga dapat mengalami trauma, depresi dan bentukbentuk gangguan lain sebagai akibat dari bertumpuknya tekanan, kekecewaan, ketakutan dan kemarahan yang tidak dapat diungkap secara terbuka (Poerwandari, 2000). Hal tersebut terjadi pada Andri (29) yang mengaku mengalami trauma dan ketakutan dalam menjalani aktivitas sehari-hari setelah kasus penganiayaan oleh suaminya diajukan ke meja hijau. Selama beberapa bulan dia tidak berani berangkat ke kantor sendiri. Dia selalu minta diantar adik atau ayahnya (Rusmaladewi, 2002). Worthington & Wade (1999) menyatakan bahwa pengalaman emosi dingin yang meliputi kemarahan, kepahitan, bahkan kebencian atau disebut sebagai unforgiveness merupakan pengalaman yang sering dirasakan seseorang setelah mengalami peristiwa yang menyakitkan. Setelah mengalami unforgiveness seseorang perlu mempertimbangkan forgiveneness sebagai usaha untuk melepaskan unforgiveness dan berdamai dengan orang yang telah menyakitinya. Oleh karena itu, salah satu yang efektif untuk mengatasi perasaan menyesal, rasa bersalah, kemarahan, kecemasan dan takut, seperti yang dialami oleh korban KDRT adalah dengan memaafkan orang yang telah melakukan hal-hal menyakitkan (forgiveness). Hal ini dikarenakan adanya perasaan dendam dan sakit hati bisa mengganggu hubungan intim atau berhubungan dekat dengan orang lain,. Melepaskan rasa tidak senang dan usaha untuk forgiveness pada orang lain merupakan suatu hal penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey & Corey 2006). 6

Forgiveness merupakan sesuatu yang penting tapi juga merupakan hal yang sulit untuk dilakukan bahakan terkadang sangat menyakitkan bagi seseorang. Forgiveness tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat tapi membutuhkan waktu yang lama dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan lainnya (Enright, 2001). Hal ini sesuai dengan pengakuan Juwarnik (36) yang mengaku menutup pintu maaf untuk suaminya. Sampai kapanpun, dia tidak akan mengampuni suaminya (Setyawan, 2007). Denton & Martin s (1998 dalam Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney, 2000) menjelaskan bahwa forgiveness itu sendiri melibatkan dua orang, yang salah satunya adalah sebagai penerima luka yang dalam sebagai akibat dari peristiwa yang menyakitkan baik secara psikologis, emosional, fisik atau moral. Forgiveness merupakan proses dari dalam diri dimana orang yang terluka melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam. Pada umumnya forgiveness ini melibatkan pemberian maaf pada seseorang dimana pemberi maaf berinteraksi secara terus menerus dengan orang tersebut (pasangan, anak, anggota keluarga lainnya, rekan kerja, teman dan kenalan) (Worthington & Wade, 1999). Seseorang yang forgive atau mampu melepaskan diri dari rasa marah, kecewa dan tidak ingin balas dendam bisa saja tetap mengingat peristiwa menyakitkan tersebut tetapi dia cenderung untuk mengingat peristiwa traumatis itu dalam keadaan forgiving, seseorang dapat saja mengingatnya dengan cara yang berbeda, tidak terus menerus dengan rasa marah yang mendalam (Baskin & Enright, 2004). 7

Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney (2000) menjelaskan bahwa forgiveness merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan (well-being) dan memperbaiki hubungan interpersonal (interpersonal relationship). Walaupun literatur ilmiah tentang hal ini masih sedikit, tapi studi-studi awal setuju bahwa forgiveness efektif dalam mengatasi rasa penyesalan yang dalam, rasa bersalah, ketakutan, kecemasan dan kemarahan. Keuntungan ini dapat ditemukan lebih banyak pada korban-korban incest, penyalahgunaan narkoba dan penderita kanker. Hubungan forgiveness dengan kesehatan dan kesejahteraan manusia dapat diperoleh melalui dua mekanisme. Pertama, forgiving orang yang telah menyakiti diri dapat membangun kembali, memelihara dukungan dan menjaga hubungan antara korban dan pelaku. Kedua, selalu berusaha untuk memberi forgiveness dapat mengontrol rasa bermusuhan dalam diri seseorang (McCullough & Snyder, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan psikologis seseorang serta memperbaiki hubungan interpersonal khususnya antara korban (orang yang disakiti) dan pelaku (orang yang melakukan hal menyakitkan) setelah terjadinya peristiwa yang menyakitkan dan menimbulkan dampak traumatis. Terkait dengan fenomena diatas maka istri sebagai korban KDRT memerlukan forgiveness untuk melepaskan rasa marah, benci, dendam dan sakit hati setelah mengalami peristiwa mengakitkan yang mendalam untuk waktu yang lama. Kemampuan istri untuk memaafkan suami dapat menentukan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan 8

psikologis serta membangun kembali hubungannya dengan suami di masa yang akan datang. Melalui forgiveness diharapkan hubungan masing-masing individu dalam keluarga akan semakin harmonis dan bahagia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). I.B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tahapan forgiveness yang dilalui oleh istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). I.C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). I.D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: I.D.1. Manfaat teoritis a. Untuk memperkaya kajian ilmu psikologi klinis khususnya yang berhubungan dengan istri sebagai korban KDRT. b. Untuk memberikan dasar pengetahuan bagi peneliti lain yang juga ingin meneliti tentang istri sebagai korban KDRT. 9

I.D.2. Manfaat praktis a. Sebagai wacana bagi setiap keluarga mengenai perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan dampak yang ditimbulkan terhadap kelangsungan keluarga dan korban jika KDRT terus terjadi. b. Sebagai masukan bagi istri sebagai korban KDRT terkait dengan masalah forgiveness terhadap pasangan sebagai pelaku KDRT. c. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan kasus-kasus KDRT yang banyak terjadi. I.E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan berisikan inti sari dari : BAB I : Pendahuluan Berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yaitu teori mengenai forgiveness (definisi, faktorfaktor yang mempengaruhi, proses dan dimensi), teori kekerasan dalam rumah tangga (definisi, bentuk-bentuk, penyebab, dan dampak psikologis) dan paradigma berpikir. 10

BAB III : Metode Penelitian Berisi tentang pendekatan kualitatif yang digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan prosedur penelitian. BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian Berisi mengenai data hasil dan analisis masing-masing partisipan yang meliputi data observasi, latar belakang kehidupan, data observasi dan analisis data masing-masing partisipan, serta rangkuman hasil analisis antar partisipan. BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh berdasarkan data yang telah dianalisis, diskusi dan saran-saran yang dapat diberikan sesuai hasil penelitian. 11