BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan dan salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang paling signifikan di dunia (WHO, 2015), karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, jumlah kasus HIV dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat menimbulkan dampak yang tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan tetapi juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Tidak ada negara yang tidak terkena dampak penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006). Infeksi HIV telah menyebabkan kematian pada sekitar 21,8 juta orang sejak permulaan epidemi pada akhir tahun 1970an sampai awal tahun 1980an. Terlihat dari data UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and AIDS) dan WHO (Word Health Organitation) jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS di dunia terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2000 ada 28,6 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan jumlah ini terus bertambah hingga tahun 2014 menjadi 36,9 juta orang meliputi 17, 4 juta perempuan dan 2,6 juta anak berusia < 15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2014 sebesar 2 juta yang terdiri 1,8 juta dewasa dan 220.000 anak berusia < 15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,2 juta yang terdiri dari dewasa 1 juta dan 150.000 anak berusia <15 tahun (UNAIDS, 2015; WHO, 2015).
Tahun 2012 kawasan Asia Tenggara dan Selatan menduduki urutan ke tiga terbesar dunia dengan jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (UNAIDS, 2013). Di Indonesia sendiri kasus HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Bali pada April 1987 (Depkes, 2006). Hampir setiap tahunnya Indonesia mengalami peningkatan jumlah HIV/AIDS. Perkembangan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 mengalami peningkatan secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 dengan jumlah kasus 21.511 dan meningkat 29.037 kasus di tahun 2013 (Kemenkes, 2014). Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara kumulatif dari 1 Januari 1987 hingga 30 September 2014 terdiri dari 150.296 untuk HIV dan 55.799 untuk AIDS (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Sumatera Barat masuk dalam sepuluh besar dari 34 propinsi di Indonesia dengan kasus penderita HIV/AIDS terbanyak. Tercatat, dari data Dinkes Propinsi Sumatera Barat dari tahun 2002 sampai 2013, ditemui sebanyak 995 kasus. Dengan rincian 843 kasus AIDS, 152 HIV dan 128 orang telah meninggal dunia (Dinkes Sumbar, 2013; Savitri, 2015). RSUP M. Djamil Padang merupakan salah satu rumah sakit rujukan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sesuai dengan Surat Keputusan Kementerian Kesehatan RI tahun 2006, Poliklinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah Poliklinik yang melayani pasien HIV/AIDS. Jumlah rata-rata kunjungan setiap bulan pasien HIV/AIDS pada tahun 2011 berkisar 95 orang dan meningkat pada tahun 2014 berkisar 200 orang (Depkes RI, 2006; Martoni, 2011; RSUP M Djamil, 2014).
Pada umumnya permasalahan dalam pengobatan HIV/AIDS sangat kompleks karena perjalanan penyakit yang cukup panjang dengan sistem imunitas yang semakin menurun secara progresif dan munculnya beberapa jenis infeksi oportunistik secara bersamaan. Salah satu permasalahannya adalah kepatuhan pasien yang rendah dalam mengikuti program pengobatan (Depkes, 2006; WHO, 2006). Menurut WHO ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan terapi pada pasien yaitu: faktor sosial ekonomi, faktor penyedia layanan kesehatan, faktor terkait penyakit, faktor terkait terapi dan faktor terkait pasien. Kepatuhan terapi terkait pasien dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman pasien mengenai konsep penyakit dan terapinya (Jin et al., 2008; Kalogianni, 2011). Ketidakpatuhan pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis dapat mencapai 93% (Kalogianni, 2011), di negara maju kepatuhan hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (Asti, 2006). Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). Tujuan pengobatan HIV/AIDS adalah untuk menekan replikasi virus sebanyak mungkin dan selama mungkin dan mencegah terjadinya resistensi (Brunton, 2011), hal ini memerlukan kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi, karena pasien HIV/AIDS minum obat seumur hidup maka tantangan terhadap kepatuhan terapi menjadi masalah yang serius. ODHA harus minum obat rata-rata 30-90 kali dalam sebulan, adanya ketidakpatuhan terhadap terapi ARV dapat
memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak dapat berfungsi atau gagalnya pengobatan. Berdasarkan penelitian pada tahun 2004, di Amerika Serikat dan Eropa didapatkan 10% dari infeksi baru HIV/AIDS menunjukkan resistensi terhadap ARV (Depkes RI, 2006) Untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan minum obat ARV hingga 95% ( Negus & Belayihun, 2015; WHO, 2010; Chesney, 2011), sedangkan kenyataannya kepatuhan minum obat ARV hanya 43%, ini jauh dibawah standar yang diharapkan (Talam et al., 2008). Banyak penelitian yang mengemukaan kepatuhan minum obat ARV pada ODHA masih rendah atau masih dibawah standar (Bello et al.,2011; Mitiku et al, 2013; Kim et al, 2014; Maria et al, 2004) Kepatuhan pasien berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya akan berakibat fatal (Hussar,1995). Pada pasien HIV/AIDS cara terbaik untuk mencegah pengembangan resistensi adalah dengan kepatuhan terhadap terapi. Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan penggunaan terapi antiretroviral (ARV) yang harus sesuai dengan petunjuk pada resep yang diberikan petugas kesehatan. Ini mencakup kedisiplinan dan ketepatan waktu minum obat. Ketidak patuhan akan menyebabkan gagal terapi dan tidak dapat lagi mengkonsumsi obat yang sama. Obat yang digunakan harus diganti yang mungkin akan lebih mahal atau sulit didapatkan (Kemenkes RI, 2011).
Kepatuhan minum obat ARV sangat penting karena ARV sendiri bertujuan untuk mencegah terjadinya replikasi HIV. HIV tidak dapat dihilangkan dari tubuh orang yang telah terinfeksi namun jumlahnya dapat ditekan dengan terapi ARV. HIV selalu memperbanyak diri setiap waktu oleh sebab itu kepatuhan minum obat ARV sangat tinggi agar kadar obat dalam darah selalu dapat dipertahankan pada konsentrasi terapi sehingga kekuatan dan kerja obat optimal. Dengan demikian HIV tidak memiliki kesempatan untuk memperbanyak diri (Matulessy, 2010; Turner 2002). Beberapa penelitian telah dilaporkan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien HIV/AIDS rawat jalan dalam menjalankan terapi ARV, diantaranya faktor pengetahuan pasien terkait terapi ARV (WHO, 2006). Kepatuhan juga terkait dengan lamanya terapi ARV, semakin lama waktu untuk terapi ARV semakin rendah kepatuhan yang di dapat ( Negus & Belayihun, 2015). Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi kepatuhan terapi ARV adalah depresi, lupa dan regimen ARV (Olivier et al., 2015; Weaver, 2014; Chesney, 2011; Mitiku et al., 2013; Chamroonsawasdi et al., 2011; Palmira et al., 2005) Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan terapi pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling kepada pasien untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan pasien serta memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapi serta memonitoring keberhasilan terapi dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas
hidup pasien (ASHP, 1997; Siregar & Kumolosasi, 2006; Depkes RI, 2006). Konseling merupakan bentuk perhatian dan kepedulian terhadap pasien oleh farmasis (Depkes, 2007) sehingga dengan adanya konseling dari farmasis dalam penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pasien, membantu pasien memahami terapinya, membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya sehingga dapat meningkatkan kepatuhan minum obat yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya pengaruh konseling farmasis terhadap kepatuhan minum obat pada pasien kronik (Andhuvan et al., 2014; Taitel et al., 2012; Mini et al., 2012). Namun belum ada penelitian yang meneliti pengaruh konseling farmasis terhadap pengetahuan, kepatuhan dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Indonesia terutama di RSUP Dr M Djamil Padang. Bertolak dari hal tersebut di atas dan sejalan dengan amanah Permenkes RI tahun 2013 untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS yang berbasis bukti dan perbaikan dalam pelaksanaannya, maka perlu dilakukan penelitian dan penelitian ini untuk mendapatkan suatu gambaran mengenai pengaruh konseling oleh farmasis terhadap pengetahuan, kepatuhan minum obat ARV dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS sehingga diperoleh model yang sesuai untuk konseling obat oleh farmasis pada pasien HIV/AIDS di Poliklinik VCT Rumah Sakit Umum Pusat DR. M. Djamil Padang, dan sebagai masukan bagi manajemen rumah sakit untuk mempertimbangkan perlunya farmasis sebagai konselor di ruangan poliklinik untuk mendukung tercapainya tujuan terapi dan kualitas hidup pasien yang diharapkan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh konseling oleh farmasis terhadap pengetahuan, kepatuhan dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di RSUP DR. M. Djamil Padang. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh konseling farmasis terhadap pengetahuan, kepatuhan dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di RSUP DR. M. Djamil Padang. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan terapi obat ARV pada pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis b. Untuk mengetahui perbedaan kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis c. Untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis
1.4 Hipotesis Penelitian a. Ada perbedaan pengetahuan terapi obat ARV pada pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis b. Ada perbedaan kepatuhan minum obat ARV pada pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis c. Ada perbedaan kualitas hidup pasien HIV/AIDS sebelum dan setelah konseling farmasis 1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi rumah sakit, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan untuk manajemen dan Instalasi Farmasi RSUP DR. M. Djamil Padang dalam penerapan pelayanan konseling obat untuk pasien HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP DR. M. Djamil Padang, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen rumah sakit untuk menugaskan farmasis sebagai konselor di ruang rawat inap ataupun poliklinik untuk pasien HIV/AIDS. b. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman lapangan dalam upaya penatalaksanaan HIV/AIDS terutama patient oriented, serta dapat memahami kaidah penelitian. c. Bagi pasien, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, mengubah pola dan perilaku hidup pasien, serta dapat meningkatkan kepatuhan terapi pasien HIV/AIDS dalam mengkonsumsi obat demi tercapainya tujuan terapi yang diharapkan dan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
d. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian, khususnya di bidang farmasi klinis. e. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.