BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori children well-being menggunakan teori Subjective well-being dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori crowding yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah. Banjir yang terjadi belakangan ini sudah merupakan hal yang tiap waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kodrati memiliki harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

MANAJEMEN STRES PADA INDIVIDU YANG SELAMAT (SURVIVOR) DARI BENCANA ALAM. Kartika Adhyati Ningdiah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Korban Pelecehan Seksual yang Berusia 8-12 Tahun di Sukabumi

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

Powered by TCPDF (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

Studi Mengenai Domain Children Well-Being pada Anak Usia 8 Tahun yang Tinggal di Daerah Dataran Banjir Babakan Leuwi Bandung

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATIPANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU NEGERI DI SMAN I WONOSARI DENGAN GURU SWASTA DI SMA MUHAMMADIYAH I KLATEN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. berada di kawasan yang disebut cincin api, kondisi tersebut akan

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjective well-being

PENDAHULUAN Latar Belakang

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KONTINJENSI BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Jalanan di Rumah Sanggar Waringin Bandung

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITR TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan seorang anak akan tergantung pada fungsi keluarganya

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori children well-being menggunakan teori Subjective well-being dari Diener tahun 2005, karena belum adanya teori yang menjelaskan mengenai Children Well-Being secara jelas. Teori Subjective Well-Being dapat mewakili karena pengertiannya memiliki kesamaan yaitu merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup (Diener, 2005). Perbedaannya terletak pada subjek penelitian, dimana pada Children Well-Being sebjeknya adalah anakanak. 2.2 Children Well-Being Dalam penelitian ini untuk mengukur Children Well-Being, menggunakan teori Subjective Well-Being dari Diener tahun 2005 karena belum adanya teori yang menjelaskan mengenai Children Well-Being. Teori Subjective Well-Being dapat mewakili karena pengertiannya memiliki kesamaan yaitu merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup (Diener, 2005). Perbedaannya hanya terletak pada subjek penelitian, yang pada Children Well- Being tentu merupakan anak-anak. 15

16 Children Well-Being (CWB) adalah pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita seorang anak mengenai kehidupannya. Pengertian ini dikemukakan oleh UNICEF dalam Children s Well-Being From Their Own Point Of View (2012). Menurut UNICEF pula Subjective Well-Being merupakan pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita dari seseorang (dalam kasus ini khususnya adalah anak) mengenai hidupnya dan kondisi kehidupannya. 2.2.1 Subjective Well-Being Subjective Well Being (SWB) telah berkembang pesat lebih dari dua dekade terakhir. Subjective Well Being merupakan komponen yang penting di dalam kualitas hidup positif yang pastinya akan dicari oleh masing-masing orang di dalam kehidupannya. Hal tersebut senada dengan Diener (2006) bahwa Subjective Well Being adalah komponen yang esensial dari kualitas hidup yang positif. Sehingga orang yang memiliki tingkat Subjective Well Being tinggi cenderung memiliki jumlah kualitas hidup yang positif. Subjective well-being merupakan konsep yang sangat luas, meliputi pengalaman emosi menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi (Diener, Lucas, Oishi, 2005). Seseorang memilki subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif. subjective well-being sendiri adalah kondisi yang cenderung stabil sepanjang waktu dan sepanjang rentang kehidupan (Diener dan Larsen, 1984, dalam Edington, 2005). Diener, Lucas, Oishi (2005) mendefinisikan subjective well-being sebagai berikut:

17 Subjective well-being is defined as a person s cognitive and affective evaluations of his or her life. These evaluation include emotional reactions to events as well as cognitive judgement of satisfaction and fulfillment (p:63) Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. Definisi dari Diener tersebut akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Komponen-komponen Subjective Well-being Subjective well-being tersusun dari beberapa komponen utama, termasuk kepuasan hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya afek yang positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan ketiadaan afek negatif (mood dan emosi yang tidak menyenangkan) (Eddington & Shuman, 2005). Keempat komponen utama ini, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan kepuasan ranah kehidupan, memilki korelasi sedang satu sama lain, dan secara konseptual berkaitan satu sama lain. Namun, dari tiap-tiap komponen menyediakan informasi unik mengenai kualitas subjektif kehidupan seseorang (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Afek positif dan afek negatif termasuk ke dalam komponen afektif, sementara kepuasan hidup dan domain kepuasan termasuk ke dalam komponen kognitif. Komponen-komponen utama kemudian direduksi ke dalam beberapa elemen khusus. Afek positif meliputi kegembiraan, keriangan hati, kesenangan, kebahagiaan hati, kebanggaan, afeksi, dan kebahagiaan. Afek negatif meliputi

18 munculnya perasaan bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri. Kepuasan hidup dikategorikan melalui kepuasan terhadap hidup saat ini, kepuasan dengan masa lalu, dan kepuasan dengan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya sendiri, dan kelompoknya (Eddington & Shuman, 2005). Berikut ini adalah penjelasan untuk tiap-tiap komponen yang membentuk subjective wellbeing. a. Afek Positif dan Afek Negatif Emosi atau mood, yang keduanya diberi label afek, mencerminkan penilaian seseorang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Diener, 2000). Larsen dan Diener (1992, dalam Carr, 2004) dan Averill (1997, dalam Carr, 2004) menjelaskan bahwa pengalaman emosi setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu activation atau arousal; dan pleasantness atau evaluation. Afek posititif adalah kombinasi arousal dan pleasantness, dan emosi yang termasuk didalamnya antara lain aktif, siap sedia, dan senang. Afek negatif adalah kombinasi arousal dan unpleasantness, dan didalamnya terdapat emosi seperti cemas, sedih, dan ketakutan. Lucas, Diener dan Suh (1996, dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) mendemonstrasikan bahwa item yang banyak dari skala kepuasan hidup, perasaan senang (pleasant affect), dan perasaan tidak senang (unpleasant affect) membentuk faktor-faktor yang bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, afek memiliki dimensi frekuensi dan intensitas. Dimensi frekuensi merupakan keseluruhan jumlah predominasi afek positif dan afek

19 negatif. Afek positif dan afek negatif bersifat independen, meskipun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi negatif. Semakin sering seseorang merasakan salah satu afek, semakin rendah frekuensi afek lain yang dirasakannya. Dimensi intensitas mengacu pada kuat lemahnya afek yang dirasakan oleh seseorang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kedua afek yang independen ini muncul secara bersamaan. Diener (1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan dalam penelitian-penelitian well-being, sebaiknya menggunakan frekuensi dalam meneliti mengenai afek positif dan negatif. Alasannya, karena well-being berbicara mengenai evaluasi kondisi emosi yang sifatnya relatif jangka panjang, sedangkan intensitas lebih bisa menjelaskan suasana emosi yang bersifat lebih sementara, seperti mood. Selain itu, jika afek positif dan negatif terasa kuat secara bersamaan maka akan membingungkan dalam penentuan well-being seseorang. Oleh karenanya, alasan psikometris juga menjadi pertimbangan untuk menggunakan dimensi frekuensi dalam pengukuran afek. b. Kepuasan Hidup (Life Satisfaction) Kepuasan hidup yang sering kali disebut dengan istilah penilaian kehidupan secara global (Diener, Scollon, & Lucas, 2003), merefleksikan penilaian individu bahwa kehidupannya ini berjalan dengan baik. Setiap individu dapat menelaah kondisi kehidupannya sendiri, menimbang pentingnya kondisikondisi tersebut, dan kemudian mengevaluasi kehidupannya ke dalam skala memuaskan dan tidak memuaskan. Evaluasi global semacam ini disebut sebagai

20 penilaian kognitif atas kepuasan hidup. Dikatakan demikian karena penilaian ini membutuhkan proses kognitif. Beberapa penelitian memfokuskan diri pada bagaimana penilaian ini dibuat. Umumnya individu tidak menguji semua aspek kehidupan mereka dan menimbangnya secara tepat. Mungkin karena proses semacam ini sukar, kebanyakan orang menggunakan berbagai cara singkat dalam menghasilkan penilaian kepuasan. Secara spesifik, orang menggunakan informasi yang menonjol saat melakukan penilaian (Schwarz & Strack, 1999, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Meskipun menggunakan cara singkat atau jalan pintas, penilaian kepuasan hidup individu secara temporal cukup stabil (Magnus & Diener, 1991; Ehrhard et al., 2000, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Hal ini terjadi karena informasi yang digunakan pada saat membuat penilaian kepuasan cenderung merupakan informasi yang mudah diakses setiap saat. Dengan kata lain, penilaian kepuasan yang dilakukan seseorang didasarkan pada informasi yang tersedia pada saat penilaian tersebut dilakukan, dan kebanyakan dari informasi tersebut merupakan informasi yang tetap sama dari waktu ke waktu. Di dalam banyak kasus, orang cenderung menggunakan informasi yang relevan dan stabil, yang pada akhirnya akan menghasilkan penilaian kepuasan yang stabil dan bermakna (Diener, Scollon & Lucas, 2003). Pada saat membuat penilaian kepuasan hidup, seseorang juga menggunakan sumber-sumber informasi lain, diantaranya perbandingan dengan standar-standar yang penting (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Campbell et al. (dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan bahwa individu melihat pada

21 domain yang penting dalam hidup dan membandingkan domain kehidupan ini dengan berbagai standar pembanding, misalnya situasi yang mereka alami di masa lalu, keadaan di lingkungan sekitar mereka masa kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan. Kepuasan hidup digunakan sebagai salah satu cara mengukur well-being karena dengan cara ini peneliti dapat menangkap well-being dalam bentuk luas dari sudut pandang partisipan itu sendiri (Diener, 1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Selain itu, keuntungan dari melihat kepuasan hidup sebagai ukuran well-being adalah karena tipe pengukuran ini menangkap sensasi secara global akan well-being dari perspektifnya sendiri. Pengertian yang dikemukakan oleh UNICEF dalam Children s Well-Being From Their Own Point Of View (2012). Children Well-Being (CWB) adalah pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita seorang anak mengenai kehidupannya. Menurut UNICEF pula Subjective Well-Being merupakan pemahaman mengenai persepsi, evaluasi dan cita-cita dari seseorang (dalam kasus ini khususnya adalah anak) mengenai hidupnya dan kondisi kehidupannya. 2.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Children Well-Being Secara keseluruhan, penelitian melihat bagaimana tingkat well-being sangat berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor yang berkaitan dengan keadaan personal dan lingkungan. Disamping letak geografis dan jenis kelamin, yang mana dapat menjadi cerminan mengenai well-being. Akhirnya ditentukan 3 kategori faktor yang dapat mempengaruhi tingkat well-being, yaitu:

22 1. Konteks kondisi dan penggunaan waktu Konteks kondisi meliputi sosial ekonomi dan faktor budaya, seperti tingkat pendidikan dari orangtua atau wali, budaya dan kepemilikan barang serta kenyataan bahwa anggota keluarga memiliki gaji atau tidak dari pekerjaannya. 2. Karakteristik populasi Termasuk didalamnya usia, tempat lahir, tipe keluarga misalnya tipe keluarga yang saat ada kegiatan di sekolah anak, maka menyempatkan untuk hadir. 3. Persepsi dan perhatian Bagaimana anak dapat mengekpresikan tentang kehidupan dirinya baik didalam atau diluar rumah. 2.2.3. Kesejahteraan Dilihat dari 8 Domain Kehidupan Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ferran Casas, Armando Bello, Monica Gonzales & Mireia Aligue yang bekerja sama dengan UNICEF (2013) mengukur Children well-being dilihat dari 8 domain kehidupan, yaitu: a. Kepuasan mengenai tempat tinggal b. Kepuasan mengenai barang yang dimiliki c. Kepuasan mengenai hubungan interpersonal d. Kepuasan mengenai lingkungan tempat tinggal e. Kepuasan mengenai kesehatannya f. Kepuasan mengenai pengaturan waktu yang dimiliki g. Kepuasan mengenai sekolah h. Kepuasan mengenai dirinya sendiri

23 2.3. Bencana Alam 2.3.1 Definisi Bencana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabkan oleh alam (Purwadarminta, 2006) Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh gejala-gejala alam yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian materi, maupun korban manusia (Kamadhis UGM, 2007). 2.3.2. Jenis-Jenis Bencana Alam Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, antara lain: 1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

24 gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. 3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror (UU RI, 2007). Bencana alam dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan penyebabnya yaitu bencana geologis, klimatologis dan ekstra-terestrial. Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh gaya-gaya dari dalam bumi. Sedangkan bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim, suhu atau cuaca. Lain halnya dengan bencana alam ekstraterestrial, yaitu bencana alam yang disebabkan oleh gaya atau energi dari luar bumi, bencana alam geologis dan klimatologis lebih sering berdampak terhadap manusia. 2.3.3 Dampak Bencana Terhadap Anak Berdasarkan umur dan tahap perkembangan, anak membutuhkan dukungan fisik, sosial, mental, dan emosional yang berbeda dari orang dewasa. Terlebih bila orang dewasa juga mengalami masalah karena dampak bencana, mereka mungkin tidak bisa memberikan bantuan dan dukungan keamanan dan keselamatan pada anak. Anak juga tidak di untungkan dengan ketidakmampuan mereka untuk

25 mengartikulasikan stress dan mencari pertolongan (Silverman and La Greca 2002). Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seperti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengontrol stres yang di timbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspektif. Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan pengerian mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yang mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi. Table 2.1. Jenis kerentanan yang dialami anak dalam bencana Kerentanan Psikologis PTSD Depresi Kecemasan Gangguan emosional Gangguan tidur Keluhan somatis Masalah perilaku Kerentanan Fisik Kematian Cacat, luka, penyakit Kurang gizi Stress karena suaca Pelecehan fisik dan seksual Kerentanan Pendidikan Sekolah berhenti Prestasi rendah Perkembangan tertunda

26 Deteksi Dini : Kerentanan Psikologis Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang di sayangi, tinggal dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian di bawah ini. Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis adalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, baby talk muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002). Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12) Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999). Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 18 tahun Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi. Deteksi Dini: Kerentanan Fisik Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di amerika

27 pada bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginan. Anak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah. Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsian ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat. Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak. Deteksi Dini: Kerentanan Pendidikan Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah

28 darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska bencana. 2.3.4. Faktor Resiko Anak Pasca Bencana Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi well being anak pasca bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah: Table 2.2. faktor yang mempengaruhi kerentanan anak dalam bencana Kerentanan Psikologis Ancaman keluarga terpisah kematian orangtua kehilangan materi Kerentanan Fisik Hidup dalam komunitas miskin * hidup di daerah rawan bencana Bersekolah di sekolah dibawah standar keslamatan bangunan Kerentanan Pendidikan Rusaknya bangunan sekolah Guru dan siswa yang mengungsi kehilangan catatan penting tertundanya masuk sekolah kerusakan rumah kehilangan orangtua perubahan sekolah atau sekolah keluarga terpisah lingkungan sekolah yangtidak Ekspose langsung oleh media Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll) ramah prestasi rendah

29 * Karakteristik anak (umur, gender, ras, dll) Minimnya stress orangtua kehilangan orangtua permintaan pekerrjaan yang meningkat persiapan tanggap bencana Stress orangtua rendahnya dukungan sosial adanya stressor tambahan ketrampilan coping rendah kurangya dukungan coping Pengungsian Bencana berdampak pada perkembangan anak, tidak saja merusak kegiatan dan kebiasaan sehari-hari anak, bencana mengakibatkan tertundanya sekolah dan akhirnya perkembangan pendidikan anak, kesempatan sosial anak, dan meningkatnya tekanan pada stress hidup sepeerti penyakit, kekerasan keluarga, dan alcohol. (Silverman and La Greca 2002). Efek negative ini jelas mempunyai pengaruh yang buruk bagi kesehatan fisik dan emosioal anak sebagai well being.

30 2.4 Kerangka Pikir Children well-being pada anak yang tinggal di dataran banjir yaitu penilaian kognitif mengenai kehidupannya secara menyeluruh. Anak-anak yang tinggal di dataran banjir secara tidak langsung dapat mengevaluasi mengenai kehidupannya dan apa yang ia rasakan, seperti rumah mereka yang tidak layak huni dan tidak nyaman untuk ia tinggali, lingkungan sekitar yang kotor membuat anak-anak jarang bermain di luar, serta perasaan seperti sedih, malu, senang yang sering mereka rasakan. Untuk melihat kesejahteraan pada anak-anak, dapat dilihat dari 8 domain, domain disini adalah kepuasan mengenai tempat tinggal anak, kepuasan mengenai barang yang dimiliki anak, kepuasan mengenai hubungan interpersonal, kepuasan mengenai lingkungan tempat tinggal anak, kepuasan mengenai kesehatannya, kepuasan mengenai pengaturan waktu yang dimiliki anak, kepuasan mengenai sekolah anak, kepuasan mengenai dirinya sendiri. Tinggal di dataran banjir merupakan hal yang kurang nyaman bagi anakanak, karena dengan seringnya terjadi banjir maka akibat yang ditimbulkan nya dapat mempengaruhi keadaan anak. Ketika banjir melanda maka kondisi lingkungan dan tempat tinggal mereka menjadi rusak dan kurang nyaman untuk ditinggali, karena seringnya kondisi jalan menjadi becek, berlumpur, serta banyak genangan-genangan air. Kondisi rumah mereka yang sering tergenang air membuat rumah mereka menjadi lembab dan dingin sehingga rumah mereka menjadi tidak layak huni. Permasalahan yang muncul bagi anak-anak yang tinggal di dataran banjir yaitu masalah faktor lingkungan yang sering kotor dengan becek, berlumut, dan

31 licin, hal ini dapat membahayakan bagi anak-anak, karena kondisi tersebut dapat menyebabkan beberapa penyakit dan membuat anak-anak tidak nyaman bermain diluar. Masalah selanjutnya yaitu kondisi rumah yang tidak layak huni karena seringnya tergenang air membuat rumahnya menjadi lembab dan dingin, hal ini membuat anak kurang nyaman saat tinggal dirumahnya. Dengan terjadinya banjir membuat beberapa anak tinggal di pengungsian, tempat pengungsian ini dirasakan oleh anak-anak kurang nyaman karena kondisi pengungsian yang bising dan berisik. Aktifitas sekolah mereka pun sering terhambat jika banjir melanda karena sekolah mereka yang terkena banjir memaksa para guru untuk meliburkan sekolah dan meminta siswa-siswa nya membantu bergotong royong untuk membersihkan sekolah mereka. Serta mereka sering diminta oleh orangtua nya untuk meminta minta dijalanan agar dapat menghasilkan uang lebih saat orang tua nya tidak bisa bekerja saat banjir melanda. Hal yang dirasakan anak tersebut menggambarkan kualitas hidup mereka saat tinggal di dataran banjir, dan kualitas hidup mereka dapat menggambarkan well being mereka, hal tersebut senada dengan Diener (2006) bahwa Subjective Well Being adalah komponen yang esensial dari kualitas hidup yang positif. Sehingga orang yang memiliki tingkat Subjective Well Being tinggi cenderung memiliki jumlah kualitas hidup yang positif. Masalah-masalah yang timbul dihayati anak secara berbeda-beda, ada yang menganggap bahwa peristiwa tersebut merupakan hal yang menyenangkan bagi kehidupannya, dan ada pula yang menganggap kurang menyenangkan. Diener et al. (2003) mengartikan Subjective Well Being sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya

32 mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan. Dari uraian diatas maka dapat dijabarkan dengan singkat bahwa dengan hidup di dataran banjir akan memberikan penghayatan bagi kehidupan anak itu sendiri, serta kualitas hidup yang ia dapat. Penghayatan anak terhadap dirinya akan mempengaruhi well-being, hal ini berkaitan dengan Children well being. Diener et al. (2003) mengartikan Subjective Well-being sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan. Hal tersebut yang kemudian oleh Diener dijadikan sebagai komponen-komponen spesifik yang dapat menentukan tingkat Subjective Well Being seseorang. Komponen-komponen tersebut yaitu, emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup secara global dan aspek-aspek kepuasan (Diener et al., 2003).

33 Hal yang mempengaruhi kualitas hidup anak-anak : 1. Lingkungan kotor, berlumut, dan becek. 2. Tempat tinggal yang lembab dan tidak layak huni. 3. Tempat pengungsian yang bising dan sempit. 4. Sekolah sering tergenang air. 5. Orang tua tidak bisa bekerja, sehingga menghambat perekonomian. Kualitas hidup Anak-anak : 1. Anak diminta oleh orang tuanya untuk meminta minta di jalanan. 2. Mengungsi. 3. Terjangkit penyakit. 4. Sedih kehilangan tempat bermain, sehingga seringkali bermain di genangan air. 5. Merasa malu, sedih, kecewa dengan tinggal dilingkungan banjir 6. Merasa senang saat bermain genangan air. 8 Domain yang akan diukur : 1. Tempat tinggal 2. Barang yang dimiliki 3. Hubungan interpersonal 4. Lingkungan tempat tinggal 5. Kesehatan 6. Pengaturan waktu 7. Sekolah 8. Diri sendiri Bagan I Kerangka Pikir