BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan seperti yang diamanatkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 2 dan 3 harus berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan, bertujuan meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Dengan demikian hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Selain sebagai modal pembangunan nasional hutan juga memiliki kedudukan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan. Hutan yang dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi manusia untuk itu hutan harus dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh perhutani dimulai dengan terbentuknya Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (Keputusan Pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 nomor 21. Pada tahun 1930, pengelolaan hutan Jati diserahkan kepada badan Djatibedrijf atau perusahaan hutan Jati dari Pemerintah (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan Jati dari Djatibedrijf dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan. Pada tanggal 8 Maret 1942 Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang (Dai Nippon), dan Jawatan Kehutanannya (i.c. Boschwezen) diberi nama Ringyo Tyuoo Zimusyo (RTZ) (Perhutani, 2012). Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berdirinya Negara Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggungjawab dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan 1
Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berbunyi: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.. Pada tahun1960 direncanakan untuk mengubah status Jawatan Kehutanan menjadi Perusahaan Negara yang bersifat komersial. Tujuannya, agar kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas Negara.Kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Untuk mewujudkan perubahan status Jawatan Kehutanan menjadi Perusahaan Negara, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 sampai dengan Nomor 30, tahun 1961, tentang Pembentukan Perusahaan- Perusahaan Kehutanan Negara (PERHUTANI) (Perhutani, 2012). Adanya otonomi daerah dan pasca reformasi menyebabkan perubahan dalam pengelolaan hutan. Disebutkan jantung dari proses reformasi di sektor kehutanan adalah keinginan untuk distribusi yang lebih adil dari manfaat hutan termasuk memberikan masyarakat pedesaan akses yang lebih besar terhadap sumber daya hutan dan menempatkan batasan pada kegiatan konglomerat kayu. (Barr et al, 2006). Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perhutani memiliki visi yaitu menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat (Perhutani, 2011). Dasar Hukum Perum Perhutani terus disempurnakan saat ini pengelolaan Perum Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 2010. Pasal 7 ayat (1) dari PP tersebut menyebutkan Perusahaan menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi Perusahaan dan masyarakat, sejalan dengan tujuan nasional dan daerah, yang dituangkan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh Perusahaan dan disetujui oleh Menteri Teknis atau pejabat yang ditunjuk. Sebagai tanggungjawab sosial Perum 2
Perhutani menyempurnakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan lahirnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sampai dengan tahun ke-6 pelaksanaan PHBM disadari bahwa masih ditemukan berbagai kendala dan permasalahan, maka pada tahun 2007 disempurnakan kembali dalam PHBM PLUS. Berdasarkan SK 268/KPTS/Dir/2007 jiwa PHBM plus adalah pengelola sumberdaya hutan secara bersama, berdaya dan berbagi dengan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atas dasar fleksibilitas dan karakteristik usaha serta kondisi sosial/kultural masyarakat setempat. Perhutani masih belum mampu memenuhi harapan untuk berkontribusi dalam pengentaskan kemiskinan, hanya baru sampai pada menciptakan ekonomi subsisten (Maryudi dan Krott, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut skripsi ini dilakukan, untuk lebih mengetahui apakah pendapatan dari hutan sudah mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) khususnya di Kabupaten Wonogiri Desa Ngambarsari. IPM merupakan salah satu pengukur tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari tiga dimensi yaitu umur panjang dan sehat, standar hidup layak dan pendidikan. Hutan di wilayah Kabupaten Wonogiri merupakan wilayah administrasi Perum Perhutani. Luas hutan di Kabupaten Wonogiri 19.666,66 Ha. Di kabupaten Wonogiri terdapat 251 desa, 60 desa merupakan desa hutan yaitu desa yang berbatasan langsung dengan hutan sedangkan sisanya bukan desa hutan. Penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) Kabupaten Wonogiri berjumlah 722.574 jiwa, atau sekitar tiga per empat dari jumlah penduduk Kabupaten Wonogiri. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Wonogiri tahun 2012 cukup tinggi yaitu 73,40 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh penduduk usia kerja terdapat 73,04 persen diantaranya yang aktif secara ekonomis, sementara sisanya sebesar 26,96 persen masih bersekolah, mengurus rumah tangga. Persentase penduduk yang bekerja dari total angkatan kerja yang ada sebanyak 96,40 persen dan hanya 3,6 persen saja yang merupakan pengangguran terbuka. Penduduk yang bekerja tersebut sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan statusnya sebagian besar merupakan pekerja keluarga. 3
Sebagian besar penduduk yang bekerja di bidang pertanian berada di daerah pedesaan (BPS, 2013). Masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan memilik interaksi yang kuat terhadap hutan terutama mereka yang bermata pencaharian sebagai petani. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan hutan akhirnya mendapat manfaat dan akses khususnya secara ekonomi misalnya pembagian keuntungan, saham dari penjualan produk utama hutan (Maryudi dan Krott, 2012). Petani di Desa Ngambarsari Kabupaten Wonogiri memiliki ketergantungan dengan hutan khususnya secara ekonomi. Pendapatan dari menyadap getah sangat membantu perekonomian mereka. Pendapatan dari getah didapat petani setiap bulannya sesuai dengan jumlah getah sadapan petani. Petani juga diberi izin menanami lahan di bawah tegakan hutan tanpa di pungut bayaran atas lahan yang dipakai. Setiap hari petani yang memiliki ternak mangambil rumput di hutan untuk pakan ternaknya. Selain rumput untuk pakan, petani juga memanfaatkan ranting-ranting dari hutan sebagai kayu bakar. Semakin sedikitnya lahan pertanian membuat masyarakat di sekitar hutan menggantungkan hidupnya pada hutan. Dapat dikatakan bahwa hutan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Masyarakat desa yang tidak berbatasan langsung dengan hutan secara tidak langsung juga mendapatkan manfaat dari hutan namun mereka tidak tergantung sepenuhnya terhadap hasil hutan. 1.2 Permasalahan Penelitian tentang IPM telah banyak dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu di luar kehutanan antara lain bidang statistik, ekonomi, kesehatan dan sebagainya, namun penelitian tentang IPM di sektor kehutanan masih terbatas. Penelitian mengenai IPM tersebut dapat dipilah menjadi beberapa fokus, antara lain fokus pada pemodelan IPM menggunakan metode statistik regresi ordinal untuk mendapatkan faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap tinggirendahnya nilai IPM seperti yang dilakukan oleh Nur et al. (2011). Ada pula penelitian dengan fokus pendugaan area kecil untuk mengetahui IPM tingkat 4
kecamatan seperti yg dilakukan oleh Pratama (2011). Pada bidang ilmu sosial dan ekonomi pembangunan seperti yang dilakukan oleh Algifari (2011) yaitu membandingkan antara IPM dengan pendapatan perkapita dalam diagram sebar (scater plot), penelitian tersebut menghasilkan antara IPM dengan pendapatan perkapita berbanding lurus. Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2008) yaitu mengenai analisis hubungan komponen IPM dengan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Metode analisis data penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel. Penelitian tersebut memiliki hasil mengenai faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, kemampuan daya beli dan tingkat pengangguran. Faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan Propinsi Jawa Barat yaitu angka melek huruf, skor infrastruktur sosial, dan angka beban ketergantungan. Kabupaten Wonogiri merupakan kabupaten yang wilayahnya berimpitan dengan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Surakarta. Pada pengamatan awal kontribusi kehutanan bagi kesejahteraan masyarakat Desa Ngambarsari Kecamatan Karang tengah Kabupaten Wonogiri cukup tinggi dibanding desa hutan yang lain. Hal ini menyebabkan kontribusi sektor kehutanan untuk IPM Desa Ngambarsari menarik untuk diteliti. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui besar kontribusi pendapatan dari hutan untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Desa Ngambarsari Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Wonogiri. 1.4 Batasan Penelitian Kontribusi pendapatan dari hutan yang diukur dari pendapatan anggota LMDH dari kegiatan kegiatan yang terkait dengan PHBM terhadap IPM. 5
1.5 Manfaat Peneltian Manfaat penelitian ini dapat mengetahui besar kontribusi sektor kehutanan untuk IPM sehingga dapat menjadi masukan bagi para pihak yang terkait untuk merencanakan bagaimana pembangunan daerah kedepannya. 6