Bahan Diskusi Seminar Kedua

dokumen-dokumen yang mirip
A. Komisi II No Nama RUU Pembahas Status Jadwal Pembahasan 1 Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangundangan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCANGAN

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

Rabu, 24 September 2014

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum

Assalamu'alaikum Wr.Wb Salam Sejahtera

Selasa, 7 Pebruari 2006

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

JADWAL ACARA RAPAT-RAPAT BADAN LEGISLASI DPR RI PADA MASA PERSIDANGAN III TAHUN SIDANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

Tanggal 26 Januari Disampaikan oleh: H. Firman Subagyo, SE.,MH. Wakil Ketua Badan Legislasi, A.273

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Peran Tenaga Ahli DPR (Parliamentary Staffers) Di bidang Legislasi

INFO SHEET PROLEGNAS DAN PROLEGNAS PRIORITAS 2010

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DAN PERDA

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSULTASI PUBLIK NANIK PURWANTI SH., M.POL. ADMIN ASISTEN DEPUTI BIDANG HUKUM KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA JAKARTA, 16 MARET 2016

Catatan Terhadap Peraturan DPR tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI Oleh: Ronald Rofiandri *

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

LAPORAN KETUA BADAN LEGISLASI TENTANG PENAMBAHAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2010 DALAM RAPAT PARIPURNA DPR RI

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PEMANTAUAN LEGISLASI. FASILITATOR: Prof. dr. Hadi Pratomo, MPH, Dr.PH. Sesi 12

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

n o t u l e n s i Seminar Mencari Model Pembahasan RUU KUHP di DPR Rabu, 4 Juli 2007, WIB

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

NO. HARI/TANGGAL/ WAKTU 1. Selasa, 16 Agustus 2016 JENIS RAPAT WIB-selesai Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

PELAYANAN RISET DI BIDANG LEGISLATIF DALAM KERANGKA PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA HUKUM* Oleh: Prof. Dr. Mohamad Askin, S.H.**

JENIS RAPAT. NO. HARI/TANGGAL/ WAKTU 1. Rabu, 16 Agustus Pidato Kenegaraan Presiden dalam Rangka HUT ke 72 Republik Indonesia.

Assalamu alaikum Wr. Wb Selamat Malam dan Salam sejahtera bagi kita semua

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Demokrat Peduli, Serap Aspirasi, dan Beri Solusi Untuk Kesejahteraan Rakyat

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Assalamu'alaikum Warrahmatutlahi Wabarakatuh,

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Nomor Anggota : A-356 Assalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera bagi kita semua, Om Swastiastu MERDEKA!!!

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

NO. HARI/TANGGAL/ WAKTU 1. Kamis, 18 Mei WIB selesai 2. Senin, 22 Mei WIB. JENIS RAPAT Rapat Paripurna

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BAB III PENJELASAN 1. Proses Penyusunan Rancangan Undang - Undang 2. Penyusunan RUU Berdasarkan Program Legislasi Nasional ( Prolegnas )

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,


MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia. Position Paper

PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI TANGGAL 18 JULI 2006

Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 71. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang. Pasal 6

Keterangan Pers Bersama, Presiden RI dan Ketua DPR RI, Pertemuan Konsul.., Jakarta, 22 Februari 2016 Senin, 22 Pebruari 2016

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Transkripsi:

Bahan Diskusi Seminar Kedua CATATAN TERHADAP METODE DAN MEKANISME PEMBAHASAN RUU DI DPR Oleh: Bivitri Susanti Konsultasi Publik Perlindungan HAM Melalui Reformasi KUHP Hotel Santika Slipi Jakarta, 3-4 Juli 2007 1

CATATAN TERHADAP METODE DAN MEKANISME PEMBAHASAN RUU DI DPR Catatan Pengantar Diskusi Mencari Model Pembahasan RUU KUHP di DPR, yang diadakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Hotel Santika, Jakarta, 4 Juli 2007 Oleh: Bivitri Susanti PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia): www.pshk.org, www.parlemen.net, www.danlevlibrary.net 1. ALUR PEMBAHASAN Alur pembahasan yang umum untuk Ruu yang berasal dari presiden bermula dari dikirimnya RUU dengan Surat Presiden kepada DPR. Keudian Pimpinan DPR akan melaporkannya di dalam Rapat Paripurna dan membahas di dalalam Badan Musyawarah (Bamus) mengenai penjadwalan pembahasan dan siapa yang akan membahas RUU tersebut, apakah Komisi tertentu ataukah Panitia Khusus (Pansus). Apabila dbentuk Panitia Khusus, fraksi-fraksi akan mengirimkan daftar nama anggota fraksi yang ditugaskan ke dalam Pansus tersebut. Pansus pun bisa saja ditempatkan di bawah Komisi tertentu yang relevan, dalam hal kejelasan dukungan kelembagaan terhadap Pansus tersebut. Apabila suatu Pansus diletakkan di bawah Komisi III misalnya, maka Sekretariat Komisi III-lah yang akan bertugas mendukung tugas-tugas kesekretariatan Pansus tersebut (penyiapan notulensi, jadwal, laporan singkat/ Lapsing, dan lain sebagainya). Setelah diputuskan mengenai Komisi atau Pansus yang menangani, apabila dibahas di dalam Pansus, maka Pansus secara internal akan menentukan Pimpinan Pansus dan juga Panitia Kerja (Panja). Lalu akan diadakan serangkaian rapat kerja (Raket) antara Komisi atau Pansus dengan pemerintah, serta Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan instansi terkait ataupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat (LSM, kelompok profesi, dan lain-lain). Di sinilah Pembahasan Tingkat I dimulai dari dua tingkat pembahasan yang ada di DPR. Biasanya, setiap fraksi kemudian diminta membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) berupa table yang berisi komentar terhadap setiap baris di dalam RUU tersebut. Karena itulah biasanya DIM yang dihasilkan akan sangat tebal. Sebagai ilustrasi, untuk Undang- 2

Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU 11/2006) yang awalnya terdiri dari 207 pasal (terakhir menjadi 273 pasal), DIM-nya terdiri dari 1.446 baris. Produk akhir DIM akan sangat tebal karena secretariat akan menyatukan seluruh DIM dari seluruh fraksi (10 fraksi) di dalam satu naskah. DIM inilah yang dijadikan alat pembahasan satu per satu. Untuk masalah-masalah yang belum bisa diselesaikan di dalam Pansus, akan dibawa ke dalam Panja. Bila Pansus atau Komisi biasanya terdiri dari kira-kira 50 anggota, Panja akan berjumlah kira-kira setengahnya, dengan maksud agar pembahasan lebih intensif. Setelah Panja, akan diadakan pula Tim Perumus, Tim Sinkronisasi, dan Tim Kecil, yang akan membahas sampai ke rumusan terperinci dan final. Di sinilah biasanya akan terjadi negosiasi politik dan lobby diantara 10 fraksi dan pemerintah. Setelah terjadi kesepakatan, rancangan akhir dari Panja akan dibawa ke Komisi atau Pansus, dimana kemudian fraksi-fraksi akan menyampaikan Pandangan Mini Fraksi untuk menanggapi kesepakatan yang terjadi pada titik itu. Setelah selesai pembahasan di Pansus atau Komisi, maka Pembahasan Tingkat II yang pada intinya hanya untuk menyetujui RUU, dilaksanakan. Pembahasan Tingkat II diadakan di dalam Rapat Paripurna, di mana fraksi-fraksi akan menyampaikan Pandangn Umum fraksi. Biasanya tidak aka nada perdebatan lagi di dalam Pembahasan Tingkat II ini. Kalaupun ada keberatan dari anggota maka keberatan tersebut akan dicatat sebagai mijnderheidsnota. Biasanya juga terjadi voting bila ada hal-hal yang tidak bisa disepakati, atau bahkan aksi walk out dari fraksi tertentu. Namun pada pembahasan tingkat II ini RUU biasanya sudah dianggap disetujui. Banyak kritik yang sudah dituliskan dalam berbagai laporan penelitian PSHK mengenai metode pembahasan dengan konsep persetujuan bersama dan penyederhanaan pengambilan keputusan menjadi Pandangan Umum Fraksi seperti ini. Namun karena forum diskusi kali ini tidak membahas secara khusus mengenai hal itu, catatan singkat ini tidak akan mengelaborasi lebih lanjut permasalahan ini. 2. METODE DAN MEKANISME PEMBAHASAN Untuk RUU LUAR BIASA 3

RUU KUHP yang sudah disiapkan puluhan tahun ini bukan RUU Biasa. Bukan hanya karena lamanya waktu penyiapan, tetapi juga karena banyaknya pasal yang dikandungnya, serta besarnya dampak RUU tersebut dalam perubahan konseptual di dalam system hukum pidana di Indonesia. Ada beberapa factor yang harus diperhatikan dalam membahas pola pembahasan RUU KUHP di DPR. Pertama, DPR tengah menghadapi banyak agenda lainnya yang juga penting dan mendapat sorotan masyarakat. Misalnya Paket UU Politik, Paket UU bidang Peradilan, UU Tipikor, UU KPK, UU Pelayanan Publik, UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, RUU Administrasi Pemerintahan, dan lain sebagainya. Belum lagi berbagai political appointments berupa uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh DPR. Misalnya pemilihan hakim agung, KPK, KPU, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan juga hakim Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, RUU KUHP sendiri sudah lama diagendakan dan penting untuk segera dibahas, karena itu, perlu ada beberapa terobosan penting yang mulai dipikirkan sejak sekarang agar pembahasan berjalan dengan bail, dalam arti segala topic yang dibahas mendapatkan perhatian yang mendalam. Tantangan lainnya, setiap RUU yang sudah mulai dibahas namun tidak selesai pada saat masa jabatan DPR berakhir, pembahasan harus dimulai dari awal lagi. Karena kita tidak mengenal system carry over atau pelanjutan pembahasan dengan asumsi adanya aspirasi politik dan konfigurasi politik yang berbeda pada DPR masa jabatan yang berbeda. Dengan demikian, bila memang RUU KUHP ingin tuntas diselesaikan, harus dipikirkan metode dan mekanisme pembahasan yang membuat anggota DPR mampu menyelesaikannya sebelum 2009. Padalah, lazimnya, pada akhir masa jabatan dan menjelang pemilu, sekitar awal 2009, konsentrasi DPR dalam pembahasan RUU akan berkurang karena adanya persiapan pemilu. Ada dua metode dan mekanisme pembahasan yang bisa dijadikan alternative model pembahasan di luar metode yang konvensional. Hal ini didasarkan pada struktur RUU KUHP. RUU KUHP dua buku. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum yang terdiri dari 208 pasal dan Buku Kedua mengenai Tindak Pidana yang terdiri 519 pasal dan tersusun atas sekitar 35 bab. 4

Metode pembahasan alternative pertama adalah dengan membahas adanya satu Pansus atau Komisi yang membahas tuntas terlebih dulu Buku Kesatu, baru kemudian membahas Buku Kedua per bab. Alternatif lainnya adalah dengan membuat dua kelompok pembahas (Pansus atau Komisi) yang membahas RUU secara bersamaan. Kelompok pertama membahas buku kesatu dan kelompok kedua membahas buku kedua. Mengenai siapa yang membahas, pembentukan Pansus yang terdiri dari lintas komisi dan anggotaanggota tertentu yang dianggap mempunyai latar belakang yang cukup untuk membahas RUU KUHP akan menjadi pilihan terbaik. Apalagi Komisi III sendiri juga sudah banyak mempunyai agenda pembahasan, mulai dari pembahasan RUU sampai dengan uji kepatutan dan kelayakan. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada jumlah Pansus yang dibentuk. Pada alternative pertama hanya satu Pansus yang dibentuk sedangkan pada alternative kedua ada dua Pansus yang dibentuk. Dari segi metode pembahasan, yang paling penting adalah untuk membicarakan Buku Kesatu dan Kedua secara tuntas dan terpisah. Hal ini penting karena kekhususan masing-masing materi muatan Buku Kesatu dan Kedua. Apa yang diatur di dalam Buku Kesatu-lah yang akan sangat krusial dalam perubahan system hukum pidana Indonesia. Metode Kelebihan Kekurangan Konvensionel: dibahas per- Tidak membutuhkan Memakan waktu lama DIM oleh Pansus kesepakatan politik khusus karena sesuai kebiasaan Dibahas oleh satu Pansus, Pembahasan lebih Memakan waktu dengan membahas tuntas mendalam lama. terlebih dulu Buku Kesatu, Membutuhkan dan kemudian Buku Kedua kesepakatan politik khusus. Dibahas oleh dua Pansus Pembahasan bisa Membutuhkan yang membahas secara lebih mendalam. kesepakatan politik parallel Buku Kesatu dan Waktu bisa lebih khusus Kedua cepat dibandingkan Bisa ada Catatan: harus ada dua pilihan di atas. ketidaksinkronan 5

koordinasi regular antara kedua Pansus antara Pembahasan Buku Kesatu dan Kedua 3. FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH Adapun metode pembahasan yang dipilih, yang harus diperhatikan adalah penyeimbangan antara kedalaman pembahasan dan sempitnya waktu. Sehingga penting untuk memperhatikan aspek lainnya dalam metode pembahasan, yaitu dalam perngambilan keputusan. Untuk bisa mengadakan rapat yang efektif dan efisien, perlu diperhatikan paling tidak dua faktir yang berpengaruh, yaitu dukungan teknis dan kepemimpinan. Dari segi dukungan teknis, ketersediaan notulen pembahasan, jadwal, dan laporan singkat harus terkelola dengan rapi. Hal ini untuk mencegah pengulangan pembahasan yang mungkin saja terjadi tanpa adanya dokumentasi pembahasan yang baik. Ketegasan pimpinan rapat, dengan begitu juga menjadi factor penting. Dibutuhkan Pimpinan Pansus dan Panja yang tegas dan rapi dalam mengelola sidang. Diluar itu, pemilihan anggota Pansus tentu saja juga harus diperhatikan, jangan sampai terlalu banyak anggota yang absent dan tidak konsisten dalam pembahasan guna menvegah embahasan yang berlarut-larut. 4. KETERBUKAAN DAN PARTISIPASI Catatan penting lainnya tentu saja soal keterbukaan dan partisipasi. Meski masih malumalu diakui, sesungguhnya keterbukaan pembahasan dan keterlibatan pemangku kepentingan di dalam pembahasan sudah terbukti dampai positifnya di dalam pembahasan suatu RUU. Pemangku kepentingan yang aktif akan sangat membantu Pansus ataupun Komisi dalam mendalami materi. Bahan-bahan mentah, paket informasi, catatan rapat, dan lain sebagainya, yang terus terang saja masih menjadi kelemahan dari 6

pendukung teknis kerja DPR (Kesekretariatan) biasanya akan sangat terbantu ketersediaannya dengan adanya keterlibatan intensif pemangku kepentingan. Karena itu, perlu didorong juga agar ada terobosan khusus agar pemangku kepentingan, misalnya saja Aliansi Nasional Reformasi KUHP ini, bisa langsung membantu atau memberikan asistensi teknis kepada DPR. Hal ini memang sudah terjadi dalam beberapa pembahasan RUU, namun sifatnya masih informal. Merupakan saat yang tepat bagi pembahasan RUU luar biasa ini untuk memformalkan pola hubungan ini. Begitu pula halnya dengan keterbukaan seluruh tingkat pembahasan, akan sangat membantu proses. Saat ini paling tidak sudah ada dua RUU yang Panja dinyatakan terbuka, yaitu Kewarganegaraan dan Traficking. 1 Sudah saatnya kebiasaan ini diubah, dengan membuka seluruh tahap pembahasan, termasuk di tingkat Panja. 1 Hambatannya adalah Pasal 95 ayat (2) Tata tertib DPR yang menyatakan bahwa rapat Panja pada dasarnya bersifat tertutup kecuali dinyatakan terbuka 7