I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap tanaman dalam jumlah banyak. Pada tanaman jagung hara Kdiserap lebih banyak daripada hara N dan P. Lei etal. (2000) menyatakan bahwa nisbah serapan hara N, P dan K oleh tanaman jagung adalah 1 : 0,42 : 2,85. Dalam tanaman hara K berfungsi dalam proses fotosintesis dengan memperlancar proses masuknya CO, lewat stomata, transport fotosintat, air dan gula, serta dalam sintesis protein dan gula (Dibb, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa serapan K dipengaruhi secara antagonis oleh serapan Ca dan Mg, dan dipengaruhi secara sinergis oleh pemupukan NO,. Salah satu faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap pemupukan K adalah jenis dan sifat tanah. Tanah Ultisol yang didominasi oleh tipe liat 1 : 1 (kaolinit), memiliki ph, kapasitas tukar kation (KTK), kadar K dan bahan organik rendah dengan kejenuhan Al cukup tinggi, serta peka terhadap erosi. Tanah yang didominasi mineral liat kaolinit mengandung K larut dalam air, K terekstrak N NH40Ac ph 7 (K-dd) dan K terekstrak HNO, (K cadangan) dalam jumlah yang rendah (Bhonsle etal., 1992). Pada tanah dengan ph rendah umumnya kadarai3+ tinggi, sehingga dapat meracuni tanaman atau menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara K tidak optimum. Kapasitas tukar kation rendah merupakan petunjuk rendahnya kemampuan tanah untuk mengikat kation yang ditambahkan. Vertisol merupakan tanah yang didominasi oleh liat tipe 2 : 1 (smektit), bersifat netral dengan KTK tinggi. Tanah ini kaya akan K terekstrakn NH40Ac ph
7 namun K terekstrak HNO, dan K yang dilepaskan termasuk sedang (Bhonsle et a/., 1992). Kadar Ca pada tanah ini juga cukup tinggi sehingga kompleks jerapan dan larutan tanahnya dijenuhi oleh Ca. Kalium larut dalam air pada tanah ini lebih banyak daripada K larut dalam air pada tanah dengan mineral liat kaolinit. Namun demikian kejenuhan K tanah ini tergolong rendah, yaitu dibawah kejenuhan K yang disampaikan oleh McLean (1977) sehingga walaupun K terekstrak 25% HCI termasuk tinggi namun masih memerlukan pemupukan K. Dominasi mineral liat smektit pada tanah Vertisol menyebabkan tanah ini mudah mengembang dan mengkerut tergantung dari kelembaban tanah. Pada kondisi mengembang ion K lebih mudah dipertukarkan dibandingkan pada kondisi mengkerut. Grimme (1985) menyampaikan bahwa hara K cukup tersedia pada periode dengan curah hujan cukup dan berada di bawah optimum pada periode kering. Pada kondisi kering tanah akan mengkerut dan hara K terperangkap di dalam ruang antar lapisan mineral liat sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada kondisi basah ruang antar lapisan mineral liat terbuka sehingga hara mudah tersedia. Dengan demikian pada kondisi kering dosis pupuk K yang diberikan relatif lebih tinggi daripada pada periode basah. Dengan berbagai kendala di atas pemupukan K kurang efisien tanpa perbaikan sifat kimia tanah terlebih dahulu. Perbaikan pada tanah masam lahan kering yang umum dilakukan oleh petani adalah pengapuran dan penambahan bahan organik. Di daerah transmigrasi Kuamang Kuning, Jambi pengapuran dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk K sebesar 2 kali lipat (Sri Adiningsih et a/., 1988), sedangkan pada tanah Ultisol Sitiung pengapuran dapat meningkatkan K dalam larutan dan K dapat dipertukarkan (Gill, 1988). Selain itu juga
disampaikan bahwa pada tanah yang telah dikapur pemupukan K semakin meningkatkan hasil jagung. Pengapuran pada tanah Ultisol Sitiung dapat meningkatkan ph dan menurunkan kejenuhan Al. Pada ph 5,O kejenuhan Al mencapai kurang dari 10% (Wade et a/., 1986). Batas toleransi tanaman jagung terhadap kejenuhan Al adalah 29% (Wade et a/., 1988). Dengan demikian pengapuran dapat memperbaiki pertumbuhan akar dan kemampuan tanaman dalam menyerap hara K dan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk K. Respon pemupukan K lebih kuat pada pengapuran dengan dosis tinggi. Pemberian bahan organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Pemberian bahan organik berupa pengembalian sisa panen dapat mempertahankan hasil kedelai dan menurunkan respon tanaman terhadap pemupukan KC1 (Gill dan Sri Adiningsih, 1986). Menurut Sri Adiningsih et a/. (1988) pemberian bahan organik dapat meningkatkan efisiensi pemupukan K. Pemberian bahan organik 10 t ha-' tanpa pemupukan K memberikan hasil setara dengan pemupukan 120 kg K ha-'. Sukristiyonubowo et a/. (1993) menyampaikan bahwa penambahan Flemingia congesta yang ditanam sebagai tanaman pagar dapat meningkatkan P terekstrak Bray 1 dan menurunkan Al-dd, serta meningkatkan hasil kacang tanah. Dierolf dan Yost (2000) menyampaikan bahwa hasil kacang tunggak, padi gogo dan kedelai pada tanah Ultisol Sitiung tidak respon terhadap pemupukan K jika residu tanaman dikembalikan. Jika residu tanaman tidak dikembalikan, maka respon tanaman kedelai terhadap pemupukan K dosis rendah (70 kg Wha) baru mulai terlihat pada musim keempat. Dengan demikian pengembalian sisa panen dapat mempertahankan kadar K tanah di atas batas kritis dan pemupukan K tidak meningkatkan hasil tanaman.
Di daerah tropika basah total K dalam tanah berada dalam jumlah yang rendah. Rendahnya hara K di daerah tropika ini karena secara alami kadar K dalam tanah rendah, tingkat pelapukan yang cepat (Ritchey, 1979) dan tingkat pencucian basa-basa yang tinggi (Mutscher, 1995). Kalium yang ditambahkan dan yang diangkut oleh sisa panen akan mempengaruhi proses keseimbangan hara K dalam tanah. Grimme (1985) menyatakan bahwa keseimbangan konsentrasi K dalam larutan tanah tergantung pada K dapat dipertukarkan, ph, jumlah dan jenis mineral liat. Kation lain dalam tanah maupun yang ditambahkan juga berpengaruh terhadap ketersediaan K dalam tanah. Ritchey (1979) menyampaikan bahwa kation lain yang berpengaruh adalah AI3' dan Mn2' pada tanah masam serta Rb', Na' dan NH,' yang bermuatan dan berukuran atom hampir sama dengan K'. Selain itu juga ion Ca2' dan Mg2' dapat bersaing secara efektif dengan K dalam kompleks jerapan. McLean (1 977) menyampaikan bahwa perbandingan yang ideal antara Ca, Mg, K dan H adalah 65, 10, 5 dan 20%. Dua pendekatan penyusunan rekomendasi pemupukan K yang sudah biasa digunakan adalah tingkat kecukupan hara (suficiencylevel) dan nisbah kejenuhan kation basa (basic cation saturation ratio) (McLean, 1977; Haby et a/., 1990 dan Rehm, 1994). Penyusunan rekomendasi dengan pendekatan kecukupan hara diperoleh dengan kurva respon atau kurva linier plato dan ini sudah banyak digunakan di Indonesia. Penyusunan rekomendasi pemupukan dengan pendekatan nisbah kejenuhan kation basa sudah digunakan untuk menentukan dosis kebutuhan kapur pada lahan kering masam. Untuk menentukan kebutuhan kation lain seperti K, Ca dan Mg dengan menggunakan nisbah kejenuhan kation belum biasa digunakan di Indonesia.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan lebih banyak membandingkan antara CaIMg, CaIK dan MgIK. Nisbah antara CaIMg beberapa tanah di Wisconsin berkisar antara 8,l : 1 sampai 1,O : 1 (Rehm, 1994). Selanjutnya disampaikan nisbah CaIMg dan MgIK untukjagung produksi tinggi berkisar antara 5,7-26,8 dan 0,6-3,l. Hasil tanaman menurun jika nisbah CaIK pada jaringan tanaman lebih 4 : 1 (> 2% Ca atau < 1% K) (McLean, 1977). Tujuan Penelitian 1. Mempelajari pengaruh nisbah WCa dalam larutan tanah terhadap dinamika hara K pada tanah Ultisol dan Vertisol. 2. Mempelajari hubungan antara dinamika hara K tanah terhadap pertumbuhan tanaman jagung. 3. Mencari kebutuhan K optimum pada berbagai nisbah WCa dalam larutan tanah pada tanah Ultisol dan Vertisol. Hipotesis 1. Dinamika hara K dalam tanah dipengaruhi oleh nisbah antara WCa larutan tanah. 2. Pada jumlah hara K tanah optimum dan nisbah WCa tertentu akan diperoleh pertumbuhan tanaman jagung yang optimum. 3. Kebutuhan hara K optimum tanah Vertisol lebih tinggi daripada tanah Ultisol pada nisbah WCa yang sama.