7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna. Penelitian tentang kesantunan imperatif yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rofikoh Aprihatin dari Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pada tahun 2009 dengan judul Kesantunan Imperatif Bahasa Jawa pada Tuturan Masyarakat Desa Tunjung, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang ini yaitu pada sumber data penelitian dan metode yang digunakan dalam menganalisis data. Sumber data penelitian pada penelitian sebelumnya yaitu tuturan masyarakat dan metode yang digunakan dalam menganalisis data menggunakan metode padan dan metode refleksifintrospektif, sedangkan pada penelitian sekarang yaitu tuturan siswa dan hanya menggunakan metode padan pragmatis dalam menganalisis data. Persamaan penelitian ini dan penelitian sebelumnya pada tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan kesantunan imperatif yang berupa wujud, peringkat dan bentuk kesantunannya. Berdasarkan penelitian Rofiqoh Aprihatin, diperoleh hasil bahwa kesantunan masyarakat Gendurek mencakup: Prinsip kesantunan meliputi: (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim penghargaan, (4) maksim kesederhanaan, (5) maksim permufakatan, dan (6) maksim kesimpatian. Kalimat 7
8 imperatif meliputi: (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif ajakan, (3) kalimat imperatif larangan, (4) kalimat imperatif permintaan, dan (5) kalimat imperatif suruhan. Bentuk kesantunan pragmatik dalam tuturan imperatif berupa: (1) tuturan deklaratif dan (2) tuturan introgatif. Oleh karena itu,penelitian ini merupakan pengembangan baru dari penelitian sebelumnya. B. Bahasa 1. Pengertian Bloch dan Trager dalam Lubis (1994: 1) mendefinisikan bahwa bahasa adalah sebuah lambang-lambang vokal yang bersifat arbitrer. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2001:1). Menurut Kridalaksana (2008:24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sedangkan Moeliono (Peny.) (2008: 116) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Berdasarkan dari beberapa pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah simbol (lambang) bunyi (vokal) bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. 2. Fungsi Bahasa Chaer (2007: 32) mendefinisikan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dalam kapasitas sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki fungsi-fungsi
9 yang lebih khusus dalam masyarakat, seperti untuk menjalani hubungan atau bekerjasama dengan sesama manusia, menyatakan pikiran dengan perasaan, menyatakan keinginan, alat untuk mengidentifikasi diri dan sebagainya. Berbicara mengenai fungsi bahasa, dalam pertumbuhan bahasa sejak awal hingga sekarang, maka fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Menurut Keraf (2001: 3-6) dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu berupa: (a) untuk menyatakan ekspresi diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (d) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan tentang segala sesuatu yang ada di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. b. Alat Komunikasi Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial Melalui bahasa seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakatnya. Sehingga akan memudahkan menyesuaikan diri (adaptasi) dan mudah membaur (integrasi) dengan lingkungannya.
10 d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial Kontrol soosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Berdasarkan pendapat kedua pakar di atas tentang fungsi bahasa maka dapat disimpulkan bahwa fungsi bahasa yaitu sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, komunikasi, mengadakan integrasi dan adaptasi sosial serta untuk mengadakan kontrol social 3. Ragam Bahasa dan Jenisnya a. Pengertian Ragam Bahasa Menurut Chaer (2007: 56) ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu. Ragam bahasa ialah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2008: 206). Berdasarkan pendapat di atas ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi atau keperluan tertentu, dan disebabkan oleh pemakaiannya yang berbeda-beda sesuai dengan topik yang dibicarakan, pembicara, tempat dan masalah yang dibicarakan, hubungan pembicara dengan kawan bicara dan juga medium yang digunakan.
11 b. Jenis Ragam Bahasa Ada tiga kriteria penting tentang ragam bahasa. Ketiga kriteria tersebut adalah: (1) media yang digunakan, (2) latar belakang penutur, dan (3) pokok persoalan yang dibicarakan (Sugono, 1994: 8). Berdasarkan media yang digunakan, untuk menghasilkan bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Dilihat dari segi penuturnya ragam bahasa dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) ragam daerah (dialek), (2) ragam bahasa terpelajar, (3) ragam resmi, dan (4) ragam tidak resmi. Sedangkan berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, dan ragam bahasa sastra. Dari beberapa ragam bahasa di atas yang ada hubungannya dengan penelitian ini adalah ragam bahasa daerah (dialek) dan ragam bahasa tidak resmi pada tuturan siswa SMK Kesatrian Purwokerto dengan lingkungan sekolah. Ragam bahasa dipengaruhi pula oleh penutur terhadap mitra tutur, sikap itu antara lain resmi, akrab dan santai. Demikian juga sebaliknya, kedudukan mitra tutur pada penutur mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, antara guru dengan siswa atau siswa dengan guru (resmi), bahasa orang tua terhadap anaknya (akrab dan santai), bahasa seorang anak muda dengan teman akrabnya yang sebaya (akrab). Perbedaan itu tampak dalam pilihan kata dan penerapan kata serta penerapan kaidah tata bahasa. Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan memakai ragam bahasa, tetapi keterampilan menggunakan ragam bahasa itu bukan merupakan warisan
12 melainkan dapat diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman. Jika terdapat jarak antara penutur dan mitra tutur akan digunakan ragam bahasa resmi. Sugono (2009: 1) mengemukakan semakin formal jarak penutur dan mitra tutur, akan semakin resmi dan berarti semakin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Dari penjelasan pakar di atas terdapat perbedaan penggunaan istilah yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama yaitu pada penggunaan istilah penutur, mitra tutur dan pokok persoalan. Kridalaksana menggunakan kata pembicara, kawan bicara dan topik yang dibicarakan sedangkan Sugono menggunakan kata penutur, mitra tutur dan pokok persoalan. Dalam penelitian ini istilah yang digunakan yaitu penutur, mitra tutur dan pokok persoalan 4. Kajian bahasa Wijana (1996: 1) mengatakan bahwa linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-beluk bunyi-bunyi bahasa. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan lingual yang berupa kata itu untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar, seperti frase, klausa, kalimat, dan wacana.
13 Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah satuan lingual baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Namun sesuai dengan penelitian yang meneliti tentang struktur bahasa secara eksternal, sehingga pada penelitian ini menggunakan kajian bahasa yaitu pragmatik. C. Pragmatik 1. Pengertian Levinson dalam Rahardi (2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Parker dalam Rahardi (2005: 48) menyatakan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Sementara itu Wijana (1996: 2) dalam bukunya Dasar-Dasar Pragmatik menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks atau dengan makna lain mengkaji maksud penutur. Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari hubungan bahasa dengan konteks yang melatarbelakangi bahasa itu untuk mengkaji maksud penutur.
14 2. Teori Tindak Tutur Searle dalam Rohmadi (2004:30) mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act), dan tindak perlokusi (perlokutionary act). Ketiga tindakan itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Misal tuturan: (1) Ibnu bermain bola. Pada tuturan tersebut semata-mata hanya dimaksudkan untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi mitra tuturnya. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tuturan (2) Santoso sedang sakit gigi. Jika diucapkan kepada temannya yang sedang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti bukan saja sebagai informasi tetapi juga untuk menyuruh agar mengurangi volume atau mematikan radionya. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tuturnya. Misal tuturan. (3) Kemarin ayahku sakit. Jika diucapkan oleh seorang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinya adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum.
15 Searle dalam Rahardi (2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut: (a) asertif yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misal menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, mengklaim; (b) direktif yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi; (c) ekspresif, yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji dan berbelasungkawa; (d) komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu; (5) deklarasi, yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah, menghukum. 3. Prinsip percakapan Leech (1993: 22) menggunakan istilah retorik sebagai seperangkat prinsip percakapan yang saling dihubungkan dengan fungsi-fungsinya. Retorik atau prinsip percakapan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retorik interpersonal dan retorik tekstual. Di dalam retorik interpersonal terdapat prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, sedangkan dalam retorik tekstual terdapat prinsip prosesibiliti, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip keekpresifan. Namun sesuai dengan judul penelitian ini maka hanya retorik interpersonal yang berupa prinsip kesantunan saja yang akan dibahas.
16 Fraser dalam Rahardi (2005: 38-41) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur, yaitu: (a) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view), (b) pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving), (c) pandangan kesantunan yang melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontak percakapan (conversational contact), dan (d) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Berdasarkan keempat pandangan tentang kesantunan di atas dalam penelitian ini menggunakan pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving). Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving) yaitu pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prisip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini, terutama, mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antar manusia pada masyarakat bahasa tertentu. Leech dalam Rahardi (2005: 59) membagi prinsip kesantunan ke dalam enam maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim penghargaan, (4) maksim kesederhanaan, (5) maksim pemufakatan, dan (6) maksim simpati.
17 a. Maksim Kebijaksanaaan Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. b. Maksim Kedermawanan Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri. c. Maksim Penghargaan Gagasan dasar maksim penghargaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian pada orang lain. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila di dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. d. Maksim Kesederhanaan Gagasan dasar maksim kesederhanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi pujian pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri. Di dalam maksim kesederhanaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila di dalam kegiatan bertutur tidak memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
18 e. Maksim Pemufakatan Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain, tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat dapat saling membina permufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. f. Maksim Simpati Gagasan dasar maksim kesimpatian dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi antipati pada diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dan orang lain. Di dalam maksim kesimpatian peserta pertuturan yang bersikap antipati terhadap mitra tuturnya akan dianggap tidak santun. Brown dan Levinson dalam Rahardi (2005: 39) menyebut pandangan kesantunan ini sebagai pandangan penyelamatan muka (face seving) yang mendasarkan asumsi pokoknya pada aliran Weber (weberian school) yang memandang komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung maksud dan sifat tertentu. Selain itu, pandangan kesantunan ini juga didasari oleh konsep muka yang dikembangkan Erving Goffman, yakni bahwa kesantunan atau penyelamatan muka itu merupakan manifestasi penghargaan terhadap individu anggota masyarakat sosial lazimnya memiliki dua macam jenis muka yaitu (1) muka negatif yang menunjuk pada keinginan untuk menentukan sendiri, dan (2) muka positif yang menunjuk kepada keinginan untuk
19 disetujui. Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, kesekoncoan (kesetiakawanan), dan tidak ada jarak sosial. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, adanya jarak sosial dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (http://zainurrahmans.wordpress.com/2011/02/27/teorikesantunan-berbahasa/). Untuk mengukur kadar kesantunan terdapat sedikitnya tiga skala pengukur peringkat kesantunan, ketiga macam skala itu adalah (a) skala kesantunan menurut Leech, (b) skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan (c) skala kesantunan menurut Robin Lakoff (Rahardi, 2000:64). Namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesantunan menurut Leech. Leech dalam Rahardi (2000:65-66) mengemukakan lima skala kesantunan, yaitu: (1) skala kerugian dan keuntungan (2) skala pilihan, (3) skala ketidaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. a. Skala Kerugian dan Keuntungan (Cost-benafit Scale) Skala ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur akan semakin dianggap santun tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santun tuturan tersebut. b. Skala Pilihan (Optionality Scale) Skala ini menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa akan dianggap semakin santunlah tuturan itu, sebaliknya. 20 c. Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikianlah sebaliknya semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d. Skala Keotoritasannya (Authority Scale) Skala ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan semakin berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. e. Skala Jarak Sosial (Distance Scale) Skala ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikianlah sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
21 D. Kalimat 1. Pengertian Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa (Moeliono (Peny.), 2008: 609). Sedangkan menurut Chaer (2007: 240) kalimat adalah susunan kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa dan berisi pikiran yang lengkap. 2. Jenis Kalimat Menurut Wijana (1996: 30) secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat barita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Sesuai dengan judul penelitian ini tantang kesantunan imperatif maka yang digunakan sebagai teori adalah kalimat imperatif. E. Kalimat Imperatif Moeliono (Peny.) (1997: 285) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat perintah atau imperatif adalah kalimat yang maknanya memberikan perintah untuk melakukan sesuatu.
Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat kasar atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dapat pula berkisar antara suruhan untuk melakukan sesuatu sampai dengan larangan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan secara formal menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan (Rahardi, 2000: 77-88). Ramlan (2005:39-43) menyebutkan kalimat suruh untuk kalimat yang mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Dalam hal ini kalimat suruh berdasarkan ciri formalnya memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola intonasi kalimat berita dan kalimat tanya, yakni berpola intonasi 2 3 # atau 2 3 2 # jika diikuti partikel-lah pada predikatnya.sedangkan berdasarkan strukturnya kalimat suruh dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu: (1) kalimat suruh yang sebenarnya, (2) kalimat persilaan, (3) kalimat ajakan, dan (4) kalimat larangan. Dari penjelasan tiga pakar di atas mengenai kalimat imperatif sebenarnya memiliki maksud yang sama hanya terdapat perbedaan dalam pemakaian istilah. Moeliono menyebut dengan kalimat perintah, Rahardi menyebut kalimat imperatif, Ramlan dengan sebutan kalimat suruh. Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini menggunakan istilah imperatif. Kalimat imperatif meliputi: (1) imperatif biasa, (2) imperatif permintaan, (3) imperatif pemberian izin, (4) imperatif ajakan, (5) imperatif suruhan, dan (6) imperatif larangan. 22
23 1. Kalimat imperatif biasa Di dalam bahasa Indonesia, kalimat imperatif biasa lazimnya memiliki ciri-ciri berikut: (1) berintonasi keras, (2) didukung dengan kata kerja dasar, dan (3) berpartikel pengeras lah. Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara imperatif yang sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar (Rahardi, 2005: 79-83). Macammacam kalimat imperatif itu dapat dilihat pada contoh-contoh tuturan berikut. (4) Monik, lihatlah! (5) Lihat, semuanya berantakan! 2. Kalimat Imperatif Permintaan Kalimat imperatif permintaan adalah kalimat imperatif dengan kadar suruhan yang sangat halus. Lazimnya, kalimat imperatif permintaan disertai dengan sikap penutur yang lebih merendah dibandingkan dengan sikap penutur pada waktu menuturkan kalimat imperatif biasa. Kalimat imperatif permintaan ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan tolong atau frasa lain yang bermakna minta. Makna imperatif yang lebih halus diwujudkan dengan penanda kesantunan mohon. Berkaitan dengan hal itu, dapat dilihat contoh-contoh tuturan berikut. (6) Anak-anak sekalian tolong jangan ramai, bapak akan menjelaskan materi yang baru! (7) Sudilah kiranya Bapak berkenan menanggapi surat kami secepatnya! (8) Dengan segala rendah hati, kami mohon kiranya bapak berkenan mempertimbangkan lamaran kami! 3. Kalimat Imperatif Pemberian Izin Kalimat imperatif yang dimaksudkan untuk memberikan izin ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan silakan, biarlah dan beberapa ungkapan lain yang bermakna mempersilakan seperti diperkenankan, dipersilakan, dan diizinkan. Contohcontoh tuturan berikut dapat memperjelas pernyataan ini.
(9) Mbak Biarlah saya bawakan tas itu! Aku masih ringan kok Mbak (10) Para pengunjung yang sudah berada di depan pintu masuk makam Ibu Negara diizinkan segeramemasuki makam dengan tenang! Kalimat imperatif pemberian izin juga dapat dikatakan sebagai kalimat imperatif persilaan karena di dalam kalimat imperatif pemberian izin terdapat juga penanda kesantunan silakan, yang menandakan kalimat imperatif persilaan. 24 4. Kalimat Imperatif Ajakan Kalimat imperatif ajakan biasanya ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan ayo (yo) atau mari. Kedua macam penanda kesantunan itu masing-masing memiliki makna ajakan. Contoh-contoh tuturan berikut dapat digunakan untuk memperjelas pernyataan ini. (11) Ayo, pada makan dulu, yo. Kebetulan saya membuat sayur asem dan pepes ikan peda. (12) Mari kita bersihkan dulu rumput-rumput di depan gedung itu! 5. Kalimat Imperatif Suruhan Kalimat imperatif suruhan biasanya digunakan bersama penanda kesantunan coba. Seperti dapat dilihat pada contoh tuturan: (13) Coba hidupkan mesin mobil itu! (14) Coba luruskan kakimu kemudian ditekuk lagi perlahan-lahan! 6. Kalimat Imperatif Larangan Pada kalimat ini ditandai dengan kata jangan yang terletak diawal kalimat, dan partikel -lah dapat ditambahkan. Contoh: (15) Jangan keras-keras mendorongnya! (16) Janganlah membuang sampah sembarangan! Namun untuk berbicara secara santun, imperatif dapat diutarakan dengan kalimat berita (deklaratif) atau kalimat tanya (interogatif) agar yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah (Wijana 1996: 30).
25 a. Kalimat Deklaratif (Kalimat Berita) Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia mengandung maksud memberitakan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia dapat merupakan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung (Rahardi, 2005: 74-76). Contoh tuturan langsung. (17) Si Atik akan segera pulang dari Jepang bulan depan. (18) Aji memiliki lima ekor kucing. Baik tuturan (17) maupun (18) keduanya mengandung maksud memberitakan sesuatu (informasi). Sedangkan kalimat deklaratif yang berupa tuturan tidak langsung biasanya mempunyai maksud memerintah. Penggunaan kalimat deklaratif dimaksudkan agar orang yang di perintah tidak merasa dirinya diperintah, sehingga tuturan yang disampaikan akan terlihat santun. Contoh tuturan tidak langsung. (19) Novel yang kau pinjam kemarin sebetulnya saya belum membaca tuntas, lho!. (20) Wah, mobil saya mogok! Bapak saya operasi jantung di Panti Rapih satu jam lagi. Tuturan di atas baik (19) maupun (20) tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi memiliki maksud memerintah mitra tutur. Tuturan (19), bila diucapkan oleh seorang siswa kepada temannya yang sedang meminjam novelnya secara tidak langsung memerintah temannya mengembalikan novel miliknya. Demikian juga tuturan (20) bila diucapkan oleh seorang pegawai kepada teman kerjanya yang samasama memiliki mobil, tuturan tersebut tidak hanya memberikan informasi tetapi juga secara tidak langsung memerintah temannya untuk meminjamkan mobilnya. b. Kalimat Interogatif (Kalimat Tanya) Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat interogatif juga dapat berupa tuturan langsung dan tidak langsung. Contoh tuturan langsung.
26 (21) Di manakah letak Pulau Bali? (22) Siapakah penemu mesin uap? Baik tuturan (21) maupun (22) keduanya merupakan tuturan langsung yang mengandung maksud menanyakan sesuatu. Sedangkan kalimat interogatif yang berupa tuturan tidak langsung biasanya mempunyai maksud memerintah. Penggunaan kalimat interogatif dimaksudkan agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah, sehingga tuturan yang disampaikan akan terlihat santun. Contoh tuturan tidak langsung. (23) Pukul berapa sekarang? (24) Di mana sapunya, ya? Tuturan di atas baik (23) maupun (24) mempunyai maksud memerintah. tuturan (23), bila diucapkan seorang ibu kepada teman anaknya yang sedang bertamu secara tidak langsung dimaksudkan menyuruh tamu tersebut pulang. Demikian pula tuturan (24) bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anaknya, tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu itu.