BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB II KAJIAN TEORI. Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah property

ABSTRACT: Kata kunci: kesantunan, tuturan, imperatif. maksim penghargaan, maksim kesederhanaan,

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi bersifat arbitrer yang dipergunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMINTA DALAM INTERAKSI ANAK GURU DI TK PERTIWI 4 SIDOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN BERBAHASA DI KANTIN INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

BAB I PENDAHULUAN. sedang mengalami perubahan menuju era globalisasi. Setiap perubahan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa tulis salah satu fungsinya adalah untuk berkomunikasi. Bahasa tulis dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA INTERAKSI PEMBELAJARAN GURU DAN SISWA KELAS 1 SD TAHUN AJARAN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam penulisan proposal skripsi ini peneliti mengumpulkan data-data dari

KESANTUNAN TUTURAN IMPERATIF DALAM KOMUNIKASI ANTARA PENJUAL HANDPHONE DENGAN PEMBELI DI MATAHARI SINGOSAREN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, 2003:588).

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi berfungsi sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain untuk mengetahui hal yang terjadi.

BENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Cara pengungkapan maksud dan tujuan berbeda-beda dalam peristiwa

TINDAK TUTUR DALAM DIALOG DRAMA KISAH CINTA 40 MENIT KARYA DIDI ARSANDI

KESANTUNAN IMPERATIF DALAM PIDATO M. ANIS MATTA: ANALISIS PRAGMATIK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA PADA PERCAKAPAN SISWA KELAS IX SMP NEGERI 3 GEYER

BAB I PENDAHULUAN. Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada pembaca, gagasan, baik pada redaksi maupun masyarakat umum. Penyampaian gagasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, harapan, pesan-pesan, dan sebagainya. Bahasa adalah salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat sehari-hari. Masyarakat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Adat istiadat merupakan suatu hal yang sangat melekat dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. penyampai pesan antara manusia satu dengan lainnya. Menurut Kridalaksana

I. PENDAHULUAN. satu potensi mereka yang berkembang ialah kemampuan berbahasanya. Anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

BAB I PENDAHULUAN. Suku Batak terdiri dari lima bagian yaitu; Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Tindak Tutur Direktif Guru dalam Komunikasi Proses Belajar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

Prinsip Kerjasama Dan Kesantunan Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Pendekatan Saintifik

BAB I PENDAHULUAN. berupasistemlambangbunyiujaranyang kompleks dan aktif. Kompleks,

BAB II KAJIAN TEORI. keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah teori pragmatik, aspek-aspek situasi

II. LANDASAN TEORI. Implikatur percakapan, lazim disebut implikatur, adalah implikasi pragmatis yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain, membahas segala aspek makna

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. tetapi juga pada pemilihan kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial diharuskan saling berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bagian dari ilmu linguistik. Cabang-cabang ilmu linguistik tersebut di

BAB II LANDASAN TEORI. seseorang menggunakan kata-kata kerja promise berjanji, apologize minta

II. TINJAUAN PUSTAKA. sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi, sebab bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa lisan dan bahasa tulis salah satu

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA ANTARA SANTRI DENGAN USTAD DALAM KEGIATAN TAMAN PENDIDIKAN ALQUR AN ALAZHAR PULUHAN JATINOM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyampaikan pikiran, perasaan kepada orang lain. demikian, bahasa juga mempunyai fungsi sebagai alat kekuasaan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada diluar bahasa

KESANTUNAN MENOLAK DALAM INTERAKSI DI KALANGAN MAHASISWA DI SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. Bagian pendahuluan dalam tesis ini terdiri dari, latar belakang yang berisi hal-hal

BAB I PENDAHULUAN. digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Manusia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat agar terjalin suatu kehidupan yang nyaman. komunitas selalu terlibat dalam pemakaian bahasa, baik dia bertindak

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian kesantunan bertutur dialog tokoh dalam film Sang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa selalu digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Mandiraja, kabupaten banjarnegara (Kajian inferensi wacana) dengan penelitian

BAB II KAJIAN TEORI. pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut

TUTUR PUJIAN GURU DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN DI KELAS

II. LANDASAN TEORI. Pragmatik mempelajari maksud ujaran, yakni untuk apa ujaran dilakukan;

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk dapat berkomunikasi dan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk

TINDAK TUTUR DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR PADA TAMAN KANAK-KANAK DHARMA WANITA KELURAHAN WAPUNTO KECAMATAN DURUKA KABUPATEN MUNA (KAJIAN PRAGMATIK)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan dan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ucap yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan dengan kajian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

BAB I PENDAHULUAN. peristiwa berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi dan berinteraksi, manusia

II. LANDASAN TEORI. bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Adapun hal-hal yang akan dibahas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat

BAB I PENDAHULUAN. pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik

TINJAUAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM SCRIP ADA APA DENGAN CINTA? KARYA RUDI SOEDJARWO

TINDAK TUTUR PADA UNGKAPAN BAK TRUK DI SEPANJANG JALAN RINGROAD SOLO-SRAGEN TINJAUAN: PRAGMATIK NASKAH PUBLIKASI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti saat melakukan penelitian di Sekolah Dasar 5

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan kunci utama dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Austin (dalam Nadar, 2009: 11) pada dasarnya pada saat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. manusia satu dengan lainnya. Manusia pasti menggunakan bahasa untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010

Transkripsi:

7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna. Penelitian tentang kesantunan imperatif yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rofikoh Aprihatin dari Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pada tahun 2009 dengan judul Kesantunan Imperatif Bahasa Jawa pada Tuturan Masyarakat Desa Tunjung, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang ini yaitu pada sumber data penelitian dan metode yang digunakan dalam menganalisis data. Sumber data penelitian pada penelitian sebelumnya yaitu tuturan masyarakat dan metode yang digunakan dalam menganalisis data menggunakan metode padan dan metode refleksifintrospektif, sedangkan pada penelitian sekarang yaitu tuturan siswa dan hanya menggunakan metode padan pragmatis dalam menganalisis data. Persamaan penelitian ini dan penelitian sebelumnya pada tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan kesantunan imperatif yang berupa wujud, peringkat dan bentuk kesantunannya. Berdasarkan penelitian Rofiqoh Aprihatin, diperoleh hasil bahwa kesantunan masyarakat Gendurek mencakup: Prinsip kesantunan meliputi: (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim penghargaan, (4) maksim kesederhanaan, (5) maksim permufakatan, dan (6) maksim kesimpatian. Kalimat 7

8 imperatif meliputi: (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif ajakan, (3) kalimat imperatif larangan, (4) kalimat imperatif permintaan, dan (5) kalimat imperatif suruhan. Bentuk kesantunan pragmatik dalam tuturan imperatif berupa: (1) tuturan deklaratif dan (2) tuturan introgatif. Oleh karena itu,penelitian ini merupakan pengembangan baru dari penelitian sebelumnya. B. Bahasa 1. Pengertian Bloch dan Trager dalam Lubis (1994: 1) mendefinisikan bahwa bahasa adalah sebuah lambang-lambang vokal yang bersifat arbitrer. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2001:1). Menurut Kridalaksana (2008:24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sedangkan Moeliono (Peny.) (2008: 116) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Berdasarkan dari beberapa pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah simbol (lambang) bunyi (vokal) bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. 2. Fungsi Bahasa Chaer (2007: 32) mendefinisikan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dalam kapasitas sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki fungsi-fungsi

9 yang lebih khusus dalam masyarakat, seperti untuk menjalani hubungan atau bekerjasama dengan sesama manusia, menyatakan pikiran dengan perasaan, menyatakan keinginan, alat untuk mengidentifikasi diri dan sebagainya. Berbicara mengenai fungsi bahasa, dalam pertumbuhan bahasa sejak awal hingga sekarang, maka fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Menurut Keraf (2001: 3-6) dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu berupa: (a) untuk menyatakan ekspresi diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (d) sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan tentang segala sesuatu yang ada di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. b. Alat Komunikasi Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial Melalui bahasa seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakatnya. Sehingga akan memudahkan menyesuaikan diri (adaptasi) dan mudah membaur (integrasi) dengan lingkungannya.

10 d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial Kontrol soosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Berdasarkan pendapat kedua pakar di atas tentang fungsi bahasa maka dapat disimpulkan bahwa fungsi bahasa yaitu sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, komunikasi, mengadakan integrasi dan adaptasi sosial serta untuk mengadakan kontrol social 3. Ragam Bahasa dan Jenisnya a. Pengertian Ragam Bahasa Menurut Chaer (2007: 56) ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu. Ragam bahasa ialah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2008: 206). Berdasarkan pendapat di atas ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi atau keperluan tertentu, dan disebabkan oleh pemakaiannya yang berbeda-beda sesuai dengan topik yang dibicarakan, pembicara, tempat dan masalah yang dibicarakan, hubungan pembicara dengan kawan bicara dan juga medium yang digunakan.

11 b. Jenis Ragam Bahasa Ada tiga kriteria penting tentang ragam bahasa. Ketiga kriteria tersebut adalah: (1) media yang digunakan, (2) latar belakang penutur, dan (3) pokok persoalan yang dibicarakan (Sugono, 1994: 8). Berdasarkan media yang digunakan, untuk menghasilkan bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Dilihat dari segi penuturnya ragam bahasa dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) ragam daerah (dialek), (2) ragam bahasa terpelajar, (3) ragam resmi, dan (4) ragam tidak resmi. Sedangkan berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, dan ragam bahasa sastra. Dari beberapa ragam bahasa di atas yang ada hubungannya dengan penelitian ini adalah ragam bahasa daerah (dialek) dan ragam bahasa tidak resmi pada tuturan siswa SMK Kesatrian Purwokerto dengan lingkungan sekolah. Ragam bahasa dipengaruhi pula oleh penutur terhadap mitra tutur, sikap itu antara lain resmi, akrab dan santai. Demikian juga sebaliknya, kedudukan mitra tutur pada penutur mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, antara guru dengan siswa atau siswa dengan guru (resmi), bahasa orang tua terhadap anaknya (akrab dan santai), bahasa seorang anak muda dengan teman akrabnya yang sebaya (akrab). Perbedaan itu tampak dalam pilihan kata dan penerapan kata serta penerapan kaidah tata bahasa. Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan memakai ragam bahasa, tetapi keterampilan menggunakan ragam bahasa itu bukan merupakan warisan

12 melainkan dapat diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman. Jika terdapat jarak antara penutur dan mitra tutur akan digunakan ragam bahasa resmi. Sugono (2009: 1) mengemukakan semakin formal jarak penutur dan mitra tutur, akan semakin resmi dan berarti semakin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Dari penjelasan pakar di atas terdapat perbedaan penggunaan istilah yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama yaitu pada penggunaan istilah penutur, mitra tutur dan pokok persoalan. Kridalaksana menggunakan kata pembicara, kawan bicara dan topik yang dibicarakan sedangkan Sugono menggunakan kata penutur, mitra tutur dan pokok persoalan. Dalam penelitian ini istilah yang digunakan yaitu penutur, mitra tutur dan pokok persoalan 4. Kajian bahasa Wijana (1996: 1) mengatakan bahwa linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-beluk bunyi-bunyi bahasa. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk morfem dan penggabungannya untuk membentuk satuan lingual yang disebut kata polimorfemik. Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan lingual yang berupa kata itu untuk membentuk satuan kebahasaan yang lebih besar, seperti frase, klausa, kalimat, dan wacana.

13 Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah satuan lingual baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Berbeda dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang mempelajari struktur bahasa secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Namun sesuai dengan penelitian yang meneliti tentang struktur bahasa secara eksternal, sehingga pada penelitian ini menggunakan kajian bahasa yaitu pragmatik. C. Pragmatik 1. Pengertian Levinson dalam Rahardi (2005: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Parker dalam Rahardi (2005: 48) menyatakan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Sementara itu Wijana (1996: 2) dalam bukunya Dasar-Dasar Pragmatik menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks atau dengan makna lain mengkaji maksud penutur. Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari hubungan bahasa dengan konteks yang melatarbelakangi bahasa itu untuk mengkaji maksud penutur.

14 2. Teori Tindak Tutur Searle dalam Rohmadi (2004:30) mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act), dan tindak perlokusi (perlokutionary act). Ketiga tindakan itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Misal tuturan: (1) Ibnu bermain bola. Pada tuturan tersebut semata-mata hanya dimaksudkan untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu apalagi untuk mempengaruhi mitra tuturnya. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tuturan (2) Santoso sedang sakit gigi. Jika diucapkan kepada temannya yang sedang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti bukan saja sebagai informasi tetapi juga untuk menyuruh agar mengurangi volume atau mematikan radionya. Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tuturnya. Misal tuturan. (3) Kemarin ayahku sakit. Jika diucapkan oleh seorang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinya adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum.

15 Searle dalam Rahardi (2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut: (a) asertif yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misal menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, mengklaim; (b) direktif yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi; (c) ekspresif, yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji dan berbelasungkawa; (d) komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu; (5) deklarasi, yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah, menghukum. 3. Prinsip percakapan Leech (1993: 22) menggunakan istilah retorik sebagai seperangkat prinsip percakapan yang saling dihubungkan dengan fungsi-fungsinya. Retorik atau prinsip percakapan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retorik interpersonal dan retorik tekstual. Di dalam retorik interpersonal terdapat prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, sedangkan dalam retorik tekstual terdapat prinsip prosesibiliti, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip keekpresifan. Namun sesuai dengan judul penelitian ini maka hanya retorik interpersonal yang berupa prinsip kesantunan saja yang akan dibahas.

16 Fraser dalam Rahardi (2005: 38-41) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur, yaitu: (a) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view), (b) pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving), (c) pandangan kesantunan yang melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontak percakapan (conversational contact), dan (d) pandangan kesantunan yang berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Berdasarkan keempat pandangan tentang kesantunan di atas dalam penelitian ini menggunakan pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving). Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (fase-saving) yaitu pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prisip kerja sama (cooperative principle). Prinsip kesantunan ini, terutama, mengatur tujuan-tujuan relasional yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal antar manusia pada masyarakat bahasa tertentu. Leech dalam Rahardi (2005: 59) membagi prinsip kesantunan ke dalam enam maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim penghargaan, (4) maksim kesederhanaan, (5) maksim pemufakatan, dan (6) maksim simpati.

17 a. Maksim Kebijaksanaaan Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. b. Maksim Kedermawanan Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri. c. Maksim Penghargaan Gagasan dasar maksim penghargaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi cacian pada orang lain dan tambahi pujian pada orang lain. Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila di dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. d. Maksim Kesederhanaan Gagasan dasar maksim kesederhanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi pujian pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri. Di dalam maksim kesederhanaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila di dalam kegiatan bertutur tidak memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

18 e. Maksim Pemufakatan Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain, tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat dapat saling membina permufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun. f. Maksim Simpati Gagasan dasar maksim kesimpatian dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip kurangi antipati pada diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dan orang lain. Di dalam maksim kesimpatian peserta pertuturan yang bersikap antipati terhadap mitra tuturnya akan dianggap tidak santun. Brown dan Levinson dalam Rahardi (2005: 39) menyebut pandangan kesantunan ini sebagai pandangan penyelamatan muka (face seving) yang mendasarkan asumsi pokoknya pada aliran Weber (weberian school) yang memandang komunikasi sebagai kegiatan rasional yang mengandung maksud dan sifat tertentu. Selain itu, pandangan kesantunan ini juga didasari oleh konsep muka yang dikembangkan Erving Goffman, yakni bahwa kesantunan atau penyelamatan muka itu merupakan manifestasi penghargaan terhadap individu anggota masyarakat sosial lazimnya memiliki dua macam jenis muka yaitu (1) muka negatif yang menunjuk pada keinginan untuk menentukan sendiri, dan (2) muka positif yang menunjuk kepada keinginan untuk

19 disetujui. Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, kesekoncoan (kesetiakawanan), dan tidak ada jarak sosial. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, adanya jarak sosial dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (http://zainurrahmans.wordpress.com/2011/02/27/teorikesantunan-berbahasa/). Untuk mengukur kadar kesantunan terdapat sedikitnya tiga skala pengukur peringkat kesantunan, ketiga macam skala itu adalah (a) skala kesantunan menurut Leech, (b) skala kesantunan menurut Brown and Lavinson, dan (c) skala kesantunan menurut Robin Lakoff (Rahardi, 2000:64). Namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesantunan menurut Leech. Leech dalam Rahardi (2000:65-66) mengemukakan lima skala kesantunan, yaitu: (1) skala kerugian dan keuntungan (2) skala pilihan, (3) skala ketidaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. a. Skala Kerugian dan Keuntungan (Cost-benafit Scale) Skala ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur akan semakin dianggap santun tuturan tersebut. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santun tuturan tersebut. b. Skala Pilihan (Optionality Scale) Skala ini menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin

pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa akan dianggap semakin santunlah tuturan itu, sebaliknya. 20 c. Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) Skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikianlah sebaliknya semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d. Skala Keotoritasannya (Authority Scale) Skala ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan semakin berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. e. Skala Jarak Sosial (Distance Scale) Skala ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikianlah sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

21 D. Kalimat 1. Pengertian Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa (Moeliono (Peny.), 2008: 609). Sedangkan menurut Chaer (2007: 240) kalimat adalah susunan kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa dan berisi pikiran yang lengkap. 2. Jenis Kalimat Menurut Wijana (1996: 30) secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat barita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Sesuai dengan judul penelitian ini tantang kesantunan imperatif maka yang digunakan sebagai teori adalah kalimat imperatif. E. Kalimat Imperatif Moeliono (Peny.) (1997: 285) dalam bukunya Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat perintah atau imperatif adalah kalimat yang maknanya memberikan perintah untuk melakukan sesuatu.

Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat kasar atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dapat pula berkisar antara suruhan untuk melakukan sesuatu sampai dengan larangan untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan banyak variasinya. Secara singkat, kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan secara formal menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan (Rahardi, 2000: 77-88). Ramlan (2005:39-43) menyebutkan kalimat suruh untuk kalimat yang mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Dalam hal ini kalimat suruh berdasarkan ciri formalnya memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola intonasi kalimat berita dan kalimat tanya, yakni berpola intonasi 2 3 # atau 2 3 2 # jika diikuti partikel-lah pada predikatnya.sedangkan berdasarkan strukturnya kalimat suruh dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu: (1) kalimat suruh yang sebenarnya, (2) kalimat persilaan, (3) kalimat ajakan, dan (4) kalimat larangan. Dari penjelasan tiga pakar di atas mengenai kalimat imperatif sebenarnya memiliki maksud yang sama hanya terdapat perbedaan dalam pemakaian istilah. Moeliono menyebut dengan kalimat perintah, Rahardi menyebut kalimat imperatif, Ramlan dengan sebutan kalimat suruh. Oleh karena itu penulis dalam penelitian ini menggunakan istilah imperatif. Kalimat imperatif meliputi: (1) imperatif biasa, (2) imperatif permintaan, (3) imperatif pemberian izin, (4) imperatif ajakan, (5) imperatif suruhan, dan (6) imperatif larangan. 22

23 1. Kalimat imperatif biasa Di dalam bahasa Indonesia, kalimat imperatif biasa lazimnya memiliki ciri-ciri berikut: (1) berintonasi keras, (2) didukung dengan kata kerja dasar, dan (3) berpartikel pengeras lah. Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara imperatif yang sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar (Rahardi, 2005: 79-83). Macammacam kalimat imperatif itu dapat dilihat pada contoh-contoh tuturan berikut. (4) Monik, lihatlah! (5) Lihat, semuanya berantakan! 2. Kalimat Imperatif Permintaan Kalimat imperatif permintaan adalah kalimat imperatif dengan kadar suruhan yang sangat halus. Lazimnya, kalimat imperatif permintaan disertai dengan sikap penutur yang lebih merendah dibandingkan dengan sikap penutur pada waktu menuturkan kalimat imperatif biasa. Kalimat imperatif permintaan ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan tolong atau frasa lain yang bermakna minta. Makna imperatif yang lebih halus diwujudkan dengan penanda kesantunan mohon. Berkaitan dengan hal itu, dapat dilihat contoh-contoh tuturan berikut. (6) Anak-anak sekalian tolong jangan ramai, bapak akan menjelaskan materi yang baru! (7) Sudilah kiranya Bapak berkenan menanggapi surat kami secepatnya! (8) Dengan segala rendah hati, kami mohon kiranya bapak berkenan mempertimbangkan lamaran kami! 3. Kalimat Imperatif Pemberian Izin Kalimat imperatif yang dimaksudkan untuk memberikan izin ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan silakan, biarlah dan beberapa ungkapan lain yang bermakna mempersilakan seperti diperkenankan, dipersilakan, dan diizinkan. Contohcontoh tuturan berikut dapat memperjelas pernyataan ini.

(9) Mbak Biarlah saya bawakan tas itu! Aku masih ringan kok Mbak (10) Para pengunjung yang sudah berada di depan pintu masuk makam Ibu Negara diizinkan segeramemasuki makam dengan tenang! Kalimat imperatif pemberian izin juga dapat dikatakan sebagai kalimat imperatif persilaan karena di dalam kalimat imperatif pemberian izin terdapat juga penanda kesantunan silakan, yang menandakan kalimat imperatif persilaan. 24 4. Kalimat Imperatif Ajakan Kalimat imperatif ajakan biasanya ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan ayo (yo) atau mari. Kedua macam penanda kesantunan itu masing-masing memiliki makna ajakan. Contoh-contoh tuturan berikut dapat digunakan untuk memperjelas pernyataan ini. (11) Ayo, pada makan dulu, yo. Kebetulan saya membuat sayur asem dan pepes ikan peda. (12) Mari kita bersihkan dulu rumput-rumput di depan gedung itu! 5. Kalimat Imperatif Suruhan Kalimat imperatif suruhan biasanya digunakan bersama penanda kesantunan coba. Seperti dapat dilihat pada contoh tuturan: (13) Coba hidupkan mesin mobil itu! (14) Coba luruskan kakimu kemudian ditekuk lagi perlahan-lahan! 6. Kalimat Imperatif Larangan Pada kalimat ini ditandai dengan kata jangan yang terletak diawal kalimat, dan partikel -lah dapat ditambahkan. Contoh: (15) Jangan keras-keras mendorongnya! (16) Janganlah membuang sampah sembarangan! Namun untuk berbicara secara santun, imperatif dapat diutarakan dengan kalimat berita (deklaratif) atau kalimat tanya (interogatif) agar yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah (Wijana 1996: 30).

25 a. Kalimat Deklaratif (Kalimat Berita) Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia mengandung maksud memberitakan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat deklaratif dalam bahasa Indonesia dapat merupakan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung (Rahardi, 2005: 74-76). Contoh tuturan langsung. (17) Si Atik akan segera pulang dari Jepang bulan depan. (18) Aji memiliki lima ekor kucing. Baik tuturan (17) maupun (18) keduanya mengandung maksud memberitakan sesuatu (informasi). Sedangkan kalimat deklaratif yang berupa tuturan tidak langsung biasanya mempunyai maksud memerintah. Penggunaan kalimat deklaratif dimaksudkan agar orang yang di perintah tidak merasa dirinya diperintah, sehingga tuturan yang disampaikan akan terlihat santun. Contoh tuturan tidak langsung. (19) Novel yang kau pinjam kemarin sebetulnya saya belum membaca tuntas, lho!. (20) Wah, mobil saya mogok! Bapak saya operasi jantung di Panti Rapih satu jam lagi. Tuturan di atas baik (19) maupun (20) tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi memiliki maksud memerintah mitra tutur. Tuturan (19), bila diucapkan oleh seorang siswa kepada temannya yang sedang meminjam novelnya secara tidak langsung memerintah temannya mengembalikan novel miliknya. Demikian juga tuturan (20) bila diucapkan oleh seorang pegawai kepada teman kerjanya yang samasama memiliki mobil, tuturan tersebut tidak hanya memberikan informasi tetapi juga secara tidak langsung memerintah temannya untuk meminjamkan mobilnya. b. Kalimat Interogatif (Kalimat Tanya) Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung maksud menanyakan sesuatu kepada mitra tutur. Kalimat interogatif juga dapat berupa tuturan langsung dan tidak langsung. Contoh tuturan langsung.

26 (21) Di manakah letak Pulau Bali? (22) Siapakah penemu mesin uap? Baik tuturan (21) maupun (22) keduanya merupakan tuturan langsung yang mengandung maksud menanyakan sesuatu. Sedangkan kalimat interogatif yang berupa tuturan tidak langsung biasanya mempunyai maksud memerintah. Penggunaan kalimat interogatif dimaksudkan agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah, sehingga tuturan yang disampaikan akan terlihat santun. Contoh tuturan tidak langsung. (23) Pukul berapa sekarang? (24) Di mana sapunya, ya? Tuturan di atas baik (23) maupun (24) mempunyai maksud memerintah. tuturan (23), bila diucapkan seorang ibu kepada teman anaknya yang sedang bertamu secara tidak langsung dimaksudkan menyuruh tamu tersebut pulang. Demikian pula tuturan (24) bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anaknya, tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu itu.