P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 Gambaran Pelayanan Kefarmasian di Apotek Wilayah Kota Banjarbaru Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian (Review of Pharmacy Services in The Pharmacy Area of Banjarbaru Based on Government Pharmaceutical Services Standards) Nani Kartinah 1* ; Shofia Annisa 1 ; Thaita Yuniarti 1 & Hari Setyanto 2 1Farmasi Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 37 Banjarbaru, Kalsel, Indonesia 2 Puskesmas Sungai Rangas, Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalsel, Indonesia Corresponding email: nanikartinah@unlam.ac.id ABSTRAK Standar pelayanan kefarmasian merupakan acuan Apoteker untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran pelayanan kefarmasian di apotek wilayah kota Banjarbaru berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik menggunakan kuisioner pada bulan januari hingga maret 215. Sampel penelitian adalah 21 orang apoteker dan 42 orang asisten apoteker di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Pengukuran yang dilakukan yaitu Frekuensi kehadiran Apoteker; Jumlah apoteker pendamping ; Jumlah asisten apoteker; Sarana dan prasarana (ruang racik dan ruang PIO); dan Penilaian pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Frekuensi kehadiran apoteker Frekuensi kehadiran Apoteker selama apotek buka (14,29%), setiap hari pada jam tertentu (14,29%), 2-3 kali seminggu (14,29%), 1 kali seminggu (28,57%), 1 kali sebulan (28,57%); Apoteker pendamping berjumlah 1 orang (19,5%), 2 orang (%), lebih dari 2 orang (%), tidak memiliki (8,95%); Asisten apoteker berjumlah 1 orang (%), 2 orang (66,67%), lebih dari 2 orang (33,33%), tidak memiliki (%); Memiliki ruang racik (1%) dan ruang PIO (38,1%); Pelayanan kefarmasian kategori baik (33,33%), cukup (47,62%), kurang (19,5%) Kata Kunci: Pelayanan Kefarmasian, Apotek, Banjarbaru PENDAHULUAN Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 29, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 29). Pemerintah menetapkan Permenkes Nomor 35 tahun 214 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek yang berorientasi pada keselamatan pasien. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek memiliki maksud dan tujuan, yaitu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, serta melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (Anonim, 214) 245
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 Hasil penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian masih sangat kurang, dari total 3 apotek yang diteliti hanya 1 apotek yang termasuk kategori baik, 9 apotek kategori cukup dan 2 apotek termasuk kategori kurang (Mardiati, 211). Penelitian di 4 kota wilayah DKI Jakarta menunjukkan hampir 9% pelayanan swamedikasi dilakukan oleh asisten apoteker dan hanya 1% apoteker pengelola apotek (APA) yang ikut aktif dalam pelayanan informasi obat. Penelitian terhadap 19 APA di Jawa Tengah menyatakan bahwa sekitar 5% pengunjung belum pernah bertemu apoteker pengelola apotek dan hanya 5,3% apoteker pengelola apotek yang memberikan informasi (Sudibyo et.al., 211). Penelitian di kota Tegal menunjukkan dari 7 apotek yang diteliti 3 apotek termasuk kategori baik dan 4 apotek termasuk kategori kurang (Bertawati, 213). Penelitian di kota Surabaya menunjukkan 6% pelayanan kefarmasian masuk dalam kategori kurang (Darmasaputra, 214). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 189/MENKES/SK/III/26 tentang Kebijakan Obat Nasional (KONAS) pelayanan kefarmasian yang belum mengikuti pelayanan kefarmasian yang baik tidak hanya disebabkan oleh sistem pengelolaan obat, ketersediaan obat, tetapi juga ketersediaan, pemerataan, dan profesionalisme tenaga farmasi yang masih kurang (Anonim, 26 1 ). Untuk meningkatkan profesionalisme tenaga farmasi, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 29 (Anonim, 29), Permenkes Nomor 889/MENKES/PER/V/211 (Anonim, 211), dan Permenkes Nomor 35 tahun 214 (Anonim, 214). METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian survey analitik Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan pada bulan Januari hingga Maret 215 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh Apoteker (43 orang) dan Asisten Apoteker (86 orang) yang bekerja di Apotek wilayah Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan. Sampel penelitian yaitu 21 orang Apoteker dan 42 orang Asisten Apoteker yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validasi dan reliabilitas. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada 2 orang (Ferguson & Cox, 1993) yang memiliki kesamaan ciri dengan sampel penelitian (Notoatmojo, 21). Hasil uji dikatakan valid jika r hitung > r tabel (Wasis, 28) dan dikatakan reliable jika nilai koefisien alpha >,6 (Aurelia, 213). Penilaian Pelayanan Kefarmasian Penilaian dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi, yaitu dilakukan dengan cara melihat skor atau nilai rata-rata dari variabel yang satu dengan skor rata-rata dari variabel yang lain (Notoatmojo, 21). Analisis kualitas pelayanan kefarmasian dibagi menjadi 5 aspek meliputi pelayana farmasi klinik, pengelolaan sediaa farmasi, administrasi, sarana 246
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek. Masing-masing skor penilaian dibagi menjadi 3 kategori yaitu baik, cukup, dan kurang yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Anonim, 26 2 ). Tabel 1. Skor Penilaian Pelayanan Kefarmasian Skor Nilai (%) Baik 81-1 Cukup 61-8 Kurang 2-6 HASIL DAN DISKUSI A. Frekuensi Kehadiran Apoteker Menurut Surat Keputusan Menteri kesehatan Nomor 1332 tahun 22 disebutkan bahwa waktu kerja apoteker pengelola apotek (APA) adalah selama apotek memulai aktivitas pelayanan sesuai dengan jam kerja setiap harinya (8 jam per hari) (Anonim, 22). Hasil penelitian tentang frekuensi kehadiran apoteker dapat dilihat pada Tabel 2. Frekuensi kehadiran apoteker yang tinggi akan memberikan pelayanan kefarmasian yang lebih tinggi di apotek, tetapi pada kenyataan sehari-hari tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan karena apoteker berhadir di apotek tidak selalu memberikan pelayanan kefarmasian (Darmasaputra, 214). Rendahnya frekuensi kehadiran apoteker disebabkan hampir sebagian besar apoteker memiliki pekerjaan lain selain menjadi Apoteker Pengelola Apotek (Kwando, 214). Kebanyakan apoteker pengelola apotek (APA) hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu apotek dan bekerja di apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan, sehingga jam bekerja apoteker tidak selama apotek buka (Ginting, 29) B. Jumlah Apoteker Pendamping Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332 tahun 22 menyebutkan apoteker pendamping merupakan apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Hasil penelitian tentang jumlah apoteker pendamping dapat dilihat pada Tabel 3. Hadirnya apoteker pendamping membuat pelayanan kefarmasian di apotek berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian apotek. Sebagian besar apotek tidak menunjuk apoteker pendamping karena pemilik sarana apotek (PSA) mempertimbangkan hasil pendapatan dari apotek, jika keuangan apotek belum stabil maka dengan penambahan apoteker pendamping akan membebani pendapatan apotek, usaha perapotekan bukan hanya mempunyai fungsi pelayanan kepada masyarakat, melainkan juga mempunyai fungsi bisnis untuk kelangsungan apotek (Yuliastuti, 212). C. Jumlah Asisten Apoteker Asisten apoteker merupakan tenaga kefarmasian yang bekerja membantu apoteker dalam melakukan kerja profesi farmasi, sehingga jumlah asisten apoteker setiap apotek diatur oleh kebijakan masing- 247
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 masing daerah (Anonim, 22). Kebijakan daerah kota Banjarbaru menetapkan jumlah asisten apoteker untuk mendirikan apotek minimal 2 orang. (BPPTPM&PM, 213). Hasil penelitian tentang asisten apoteker dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan apotek di wilayah Banjarbaru sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. D. Sarana dan Prasarana Pelayanan kefarmasian meliputi sarana dan prasarana, setiap apotek perlu menyediakan ruang konseling sekurangkurangnya satu set meja dan kursi konseling untuk memudahkan apoteker untuk memberikan informasi kepada pasien. (Anonim, 214). Hasil penelitian tentang sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 5. Pelayanan Informasi Obat (PIO) dilakukan pemberian informasi mengenai obat, baik obat resep, obat bebas seperti swamedikasi dan herbal. Konseling diperlukan terutama untuk pasien dengan kondisi khusus seperti pediatrik, geriatrik, ibu hamil dan menyusui; pasien dengan terapi jangka panjang seperti DM, TBC, epilepsi; pasien dengan obat yang perlu instruksi khusus seperti kortikosteroid; pasien dengan indeks terapi sempit seperti digoksin, teofilin, fenitoin; pasien dengan polifarmasi yaitu pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama; serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah (Anonim, 214). Hal ini yang menjadi dasar ditetapkannya kebijakan bahwa apotek harus memiliki ruang racik dan ruang konseling. Berdasarkan hasil diatas disimpulkan bahwa hanya sebagian apotek menyediakan ruang konseling dan PIO. Hal ini juga terjadi di daerah lain. Penelitian di kota Banjarmasin menunjukkan dari 3 apotek yang diteliti hanya 1% apotek yang memiliki ruang konseling dan PIO (Mardiati, 211). Penelitian di Apotek Kartens Manado menunjukkan belum memiliki ruang khusus untuk konseling dan PIO (Pojoh et.al., 213). Penelitian di kota Medan menunjukkan hanya 29,41% yang memiliki ruang konseling dan PIO (Ginting, 29). E. Penilaian Pelayanan Kefarmasian Pemerintah pada tahun 28 telah menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian, dimana dalam petunjuk teknis tersebut telah dijelaskan penilaian kinerja apotek kedalam 3 (tiga) kategori yaitu kategori baik, cukup baik, dan kurang baik. Peneliti masih mengacu pada petunjuk teknis tersebut dalam melakukan penilaian dengan menyesuaikan isi pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 214. Hasil penelitian tentang penilaian pelayanan kefarmasian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar pelaksanaan pelayanan kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru masih pada kategori cukup. Penelitian yang dilaksanakan di kota Tegal juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Dari 7 apotek yang diteliti, ada 3 apotek masuk dalam kategori baik dan 4 apotek dalam kategori sedang (Bertawati, 213). Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori baik dilihat dari penilaian kegiatan pelayanan farmasi klinik, kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, kegiatan administrasi, kegiatan 248
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 sarana dan prasarana, dan kegiatan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang telah dilaksanakan dengan baik. Apoteker pengelola apotek (APA) yang selalu berhadir di apotek, memiliki apoteker pendamping dan 2 orang asisten apoteker. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori cukup mayoritas masih kurang maksimal pada aspek administrasi, sarana dan prasarana, dan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian termasuk dalam kategori kurang mayoritas tidak melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik seperti monitoring efek samping obat, pemantauan terapi obat, home care dan konseling. Kegiatan administrasi, evaluasi mutu pelayanan kefarmasian, dan sarana dan prasarana juga belum dilakukan dengan maksimal, sehingga penilaian keseluruhan menyebabkan apotek termasuk dalam kategori kurang. Faktor yang menyebabkan sebagian besar apotek di wilayah Banjarbaru berada pada kategori cukup terletak pada aspek administrasi, seperti belum melaksanakan kegiatan dokumentasi hasil monitoring penggunaan obat dan mendokumentasikan kegiatan pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling. Faktor lain yaitu tidak tersedianya ruang pelayanan informasi obat (PIO) atau konseling, tidak tersedianya prosedur tetap dan tidak adanya mekanisme evaluasi seperti kotak saran. Prosedur Tetap (Protap) merupakan prosesproses yang dilakukan di apotek secara spontan sedangkan evaluasi merupakan proses yang dilakukan secara berkala terhadap semua komponen kegiatan yang dilakukan, sehingga menjadi dasar perbaikan terhadap pelayanan kefarmasian selanjutnya. Penelitian di apotek Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar apotek tidak memiliki protap dan sebagian lagi memiliki protap yang hanya tersimpan di komputer (Atmini et.al., 211). Evaluasi menggunakan kotak saran juga tidak banyak dilakukan karena masyarakat sendiri tidak mengisi kotak saran tersebut (Ihsan et.al, 214) Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yaitu apoteker tidak setiap saat hadir saat apotek buka (Ginting, 29) dan keterbatasan kemampuan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam farmasi klinik maupun manajerial apotek (Supardi et.al, 211). Jika seorang apoteker sedang tidak ada di apotek, maka pelayanan pun tidak akan berjalan. Tidak adanya apoteker pendamping menyebabkan tugas tersebut seringkali dilimpahkan pada asisten apoteker. Hal ini yang menyebabkan pelayanan kefarmasian belum berjalan sesuai standarnya (Sukrasno, 28). Tabel 2. Frekuensi Kehadiran Apoteker Frekuensi Kehadiran Jumlah Persentase (%) a. Selama apotek buka 3 14.29 b. Setiap hari (kecuali hari libur) pada jam tertentu 3 14.29 c. 2-3 kali seminggu 3 14.29 d. 1x seminggu 6 28.57 e. 1x sebulan 6 28.57 249
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 Tabel 3. Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah Apoteker Pendamping Jumlah a. 1 orang 4 b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada 17 Persentase (%) 19.5 8.95 Tabel 4. Jumlah Asisten Apoteker Jumlah Asisten Apoteker a. 1 orang b. 2 orang c. > 2 orang d. Tidak ada Jumlah 14 7 Persentase (%) 66,67 33,33 Tabel 5. Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana a. Terdapat ruang peracikan, penyimpanan dan penyerahan obat - Ya - Tidak b. Terdapat ruang konseling atau ruang PIO - Ya - Tidak Jumlah 21 8 13 Persentase (%) 1 38,1 61,9 Tabel 6. Penilaian Pelayanan Kefarmasian di wilayah kota Banjarbaru Penilaian Pelayanan Kefarmasian Jumlah Persentase (%) a. Kategori Baik 7 33.33 b. Kategori Cukup 1 47,62 c. Kategori Kurang 4 19,5 KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu frekuensi kehadiran apoteker pada saat apotek buka sebesar 14,29%; Apoteker yang memiliki apoteker pendamping sebesar 19,5%; Apoteker yang memiliki 2 atau lebih asisten apoteker sebesar 1%; Apoteker yang memiliki ruang untuk melaksanakan konseling dan PIO sebesar 38,1%; dan hasil penilaian pelaksanaan pelayanan kefarmasian menunjukkan 47,62% masuk pada kategori cukup. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (22). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1332 tahun 22 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Anonim. (26 1 ). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 189 tahun 26 tentang kebijakan obat nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (26 2 ). Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 127/MENKES/SK/IX/24) tentang petunjuk teknis pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (29). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 29 tentang pekerjaan 25
P ro s id in g Sem in a r N a s io n a l & Wo r k sh o p P e r ke mba n g a n T e r ki n i S a in s F a rma s i & K l in i k 5 P a d a n g, 6-7 N o ve mbe r 2 1 5 kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (211). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 889 tahun 211 tentang registrasi, izin praktek, dan izin tenaga kefarmasian. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Anonim. (214). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 35 tahun 214 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Aurelia, E. (213). Harapan dan kepercayaan konsumen apotek terhadap peran apoteker yang berada di wilayah Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 1-2. Bertawati. (213). Profil pelayanan kefarmasian dan kepuasan konsumen apotek di kecamatan Adiwerna kota Tegal. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 2, 2-4 Darmasaputra, E. (214). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di Apotek di Surabaya Barat. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. 3, 1-5. Ferguson, E., & Cox, T. (1993). Exploratory factor analysis: A user s guide. International Journal of Selection and Assessment. 1, 84 94. Ginting, A.BR. (29). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan tahun 28. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan Ihsan, S., Rezkya, P., & Akib, N.I. (214). Evaluasi mutu pelayanan di apotek komunitas kota Kendari berdasarkan standar pelayanan kefarmasian. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1, 3-35. Kwando, R.R. (214). Pemetaan peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian terkait frekuensi kehadiran apoteker di apotek di Surabaya Timur. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.3, 1-12. Mardiati, N. (211). Gambaran pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian apotek di kota Banjarmasin periode Maret-April 211. Skripsi. Program Studi Farmasi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru Notoatmojo, S. (21). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Pojoh, J.A., Ulaen, S.P.J., & Sael, Y. (213). Penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek kartens Manado. Skripsi. Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes, Manado. Sudibyo, S.R., Handayani, Raharni, M., Herman, & Susyanti, A.L. (211). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Review : 14-141 Sukrasno. (28). Pengembangan pendidikan profesi apoteker untuk mendukung eksistensi apoteker di apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. V, 13-137. Supardi, S., Handayani, R.S., Raharni, Herman, M.I., & Susyanty A.L. (211). Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek dan kebutuhan pelatihan bagi apotekernya. Buletin Penelitian Kesehatan. 39, 138-144. Wasis. (28). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 251