PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING JIKA PERUSAHAAN TIDAK MEMBERIKAN TUNJUNGAN HARI RAYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 Oleh: Ari Sanjaya Krisna I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper is titled Legal Protection for Outsourcing Employees If Compay Did Not Give THR Reviewed From Act Number 13 Year 2003. As for this paper background is related to working relationships among contract employee with the company. Act Number. 13 Year 2003 constitutes basic regulation which regulate that working agreement for certain period can only be made for certain employment accordingly to the type and nature or its employment activities will finish in certain period. But in its implementation there are still violations done by the company. This paper aims to discover legal protection that should have been available for outsourcing employee related with the holiday allowance they are supposed to get. The methods used is normative legal research which is an approach by reviewing legal regulation available. Conclusion of this paper is that outsourcing employee related with their rights to get THR have earned legal protection in article 59 verse (7) Act Number 13 Year 2003 about employment. Key words: Legal Protection, Outsourcing Employee, Right To Holiday Allownance ABSTRAK Tulisan ini berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Outsourcing Jika Perusahaan Tidak Memberikan Tunjangan Hari Raya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Adapun yang melatarbelakangi tulisan ini adalah terkait dengan Hubungan kerja antara karyawan kontrak dengan perusahaan. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 merupakan aturan dasar yang mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum yang harus didapatkan oleh karyawan outsourcing terkait dengan hak tunjangan hari raya yang harusnya mereka peroleh. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu pendekatan dengan mengkaji peraturan perundangundangan yang berlaku. Kesimpulan dari tulisan ini adalah karyawan outsourcing terkait dengan hak mereka untuk memperoleh THR telah mendapatkan pelindungan hukum di dalam pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kata kunci: perlindungan hukum, pekerja outsourcing, hak tunjangan hari raya 1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat meyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Hubungan kerja antara karyawan kontrak dengan pengusaha merupakan hubungan kerja melalui Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu atau yang bisa disebut (PKWT) yang ketentuannya merujuk pada Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan. Pada dasarnya Tunjangan Hari Raya atau yang bisa disebut (THR) memang merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik karyawan kontrak (PKWT), maupun karyawan dengan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu yang bisa disebut (PKWTT), Jadi, karyawan kontrak yang telah bekerja selama enam bulan juga berhak atas THR. Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa pemberian THR oleh pengusaha didasarkan atas masa kerja karyawan, bukan status kerja. Bagi karyawan kontrak dengan masa kerja yang kurang dari 1 tahun tetapi telah lebih dari 3 bulan, diberikan secara proporsional dengan rumus Masa Kerja :12 x 1(satu) bulan upah. Jadi karyawan kontrak yang telah bekerja selama enam bulan itu berhak atas THR. Soal karyawan dengan sistem kerja outsourcing, pada intinya mereka adalah pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dipekerjakan di perusahaan pemberi kerja tidak dimaksudkan untuk pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi saat bekerja pada perusahaan pemberi kerja. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Hak atas THR diberikan kepada pekerja berdasarkan masa kerja karyawan. Jika ia telah bekerja selama tiga bulan atau lebih, maka ia berhak atas THR. Dengan kata lain, pemberian THR didasarkan atas lamanya bekerja, bukan status pekerja, sekalipun karyawan outsourcing. 2
1.2 TUJUAN Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menambah wawasan atau pengetahuan mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing terkait dengan hak mereka untuk memperoleh THR dalam menangulangi pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang tidak memberikan hak bagi para pekerjanya. II. ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, karena penulisan ini mengkaji hanya terhadap peraturan perundang undangan yang tertulis. Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah bahan hukum berupa bahan hukum primer yaitu undang-undang dan bahan hukum berupa buku-buku hukum. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) 1. Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan cara deskriptif, analisis serta argumentatif. 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING TERHADAP HAK MEREKA MEMPEROLEH THR Di dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai tenaga kerja adalah Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini mempunyai arti yang luas karena mencakup semua orang yang bekerja kepada orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun 2. Sementara itu berdassarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan perkerjaan kepada perusahaan lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau peyediaan jasa Jakarta, hlm. 45. 1 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 97 2 Lalu Husni, 2010, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan X, PT RajaGrafindo Persada, 3
pekerja yang dibuat secara tertulis 3. Di dalam praktiknya, ketentuan dalam penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan akhirnya memunculkan pula istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak luar perusahaan). Pekerja outsourcing adalah karyawan (pekerja/buruh) yang bekerja dan hubungan kerjanya pada perusahaan alih daya (dalam hal ini, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh). Pengaturan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dalam waktu bersama meberikan perlindungan kepada pekerja/buruh. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) UU ketenagakerjaan. Mengenai hak THR bagi karyawan outsourcing, pada dasarnya memang merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik karyawan kontrak, maupun terhadap karywan tetap (permanen). Walaupun memang ada perbedaan mengenai timbulnya hak THR terkait dengan jangka waktu saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yaitu: III. 1. Bagi seorang pekerja/buruh yang hubungan kerjanya melalui PKWTT dan terputus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 hari kalender sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak mendapat THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir masih dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun sebaliknya jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 hari kalender, maka hak atas THR dimaksud gugur. 2. Sedangkan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui PKWT, walau kontrak hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari kalender sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak mendapatkan THR. Artinya, bagi PKWT, tidak ada toleransi ketentuan mengenai batasan waktu 30 hari dimaksud. Jadi bagi pekerja/buruh melalui PKWT, hanya berhak atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja sekurang-kurangnya sampai dengan pada hari H suatu Hari Raya Keagamaan sesuai agama yang dianut pekerja/buruh yang bersangkutan. 4 KESIMPULAN Pekerja outsourcing berhak atas haknya terhadap THR, karena pekerja outsourcing sendiri sudah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan yaitu pada Pasal 64. Adapun perjanjian kontrak yang sudah diesepakati antara perusahaan dan pekerja outsourcing 3 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.217. 4 Ibid, hlm.225 4
dimana dalam masa kerja terhitung sejak waktu 30 hari kalender sebelum Hari Raya Keagamaan, maka karywan outsorcing berhak mendapat THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir masih dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan (hari H), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun sebaliknya jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 hari kalender, maka hak atas THR dimaksud gugur. Dengan ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, karyawan outsourcing mendapatkan perlindungan hukum yang optimal atas hak mereka untuk mendapatkan THR. Daftar Pustaka Adrian Sutedi, 2011,Hukum Perburuhan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta Lalu Husni, 2010, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan X, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 5