Pemahaman Budaya dalam Pembelajaran Bahasa (Asing) Oleh: Riesky



dokumen-dokumen yang mirip
METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa

EFEKTIVITAS CAROUSEL ACTIVITY DALAM SPEAKING CLASS

PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN PENDEKATAN ANTARBUDAYA MELALUI MEDIA FILM

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PESERTA DIDIK KELAS V SDN 2 PURWOSARI BABADAN PONOROGO TAHUN PELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan

BAB I PENDAHULUAN. dituliskan, seperti menceritakan cerita yang bersifat imajinasi, dongeng, dan cerita

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang semakin

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. program pelatihan bahasa Inggris dengan menggunakan English native teacher

Abstrak. Kata kunci : Pembelajaran Pendidikan Ilmu Sosial, Keaktifan Belajar, Hasil Belajar

PEMBELAJARAN KONSEP, GENERALISASI, ISU SOSIAL, DAN BERBAGAI KETERAMPILAN DALAM ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Adisel

MEMBELAJARKAN SISWA TENTANG NILAI TEMPAT SECARA KREATIF

BAB I PENDAHULUAN. untuk memiliki keterampilan dalam berbahasa. Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen keterampilan.

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut membuat banyak orang Korea berdatangan di negara di mana mereka. satunya di Indonesia. Selain ingin melakukan perjalanan

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS DISCUSSION TEXT BERDASARKAN KONSEP THE GENRE BASED APPROACH PADA SISWA KELAS XII IPA 3 SMA NEGERI 1 SURAKARTA

Kurikulum Bahasa Arab Berbasis Kompetensi Oleh Syihabuddin *)

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA MAHASISWA PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS DENGAN MENGGUNAKAN TASK BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi menggunakan simbol-simbol vokal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran bagi manusia sangat begitu penting karena dapat meningkatkan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

KEBUDAYAAN. Oleh : Firdaus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam

2015 PENERAPAN TEKNIK MENULIS BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini sistem pendidikan masih cenderung mengarah pada dua

peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) akhir-akhir ini telah menjadi trend untuk

METODE PENGAJARAN BAHASA BERBASIS KOMPETENSI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Firmansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KURIKULUM 2004 STANDAR KOMPETENSI. Mata Pelajaran

Peningkatan Kemampuan Berbicara (Speaking) Bahasa Inggris Siswa Kelas VIII SMPN 3 Surakarta dengan Menggunakan Gambar ABSTRAK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME PARADIGMA BARU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH. Oleh :

Pengaruh Assessment terhadap Kurikulum Matematika dan Penerapan Authentic Assessment dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah

Tampubolon menyebutnya sebagai Kemampuan Efektif Membaca. Walaupun keduanya

Universitas Liberal Arts: Belajar Seni Apa? Wah, kamu kuliah di universitas liberal arts? Kamu belajar seni ya?

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan ruang yang tidak hanya mengantarkan peserta didik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

CONTEXTUAL LEARNING AND TEACHING (CTL) (PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL)

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN OPEN-ENDED (MASALAH, PERTANYAAN DAN EVALUASI) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Agustinus Sroyer FKIP Universitas Cenderawasih Jayapura

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS DENGAN TEKNIK THIK- TALK-WRITE (TTW) Oleh: Usep Kuswari. Teknik TTW diperkenalkan oleh Huinker dan Laughin

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS BAHASA DAN SENI RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) MATA KULIAH :STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA & SASTRA

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HIBAH BERSAING. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Neng Dini Endang Dewi Krisnaningrum, 2013

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

Meningkatkan Self Regulated Learning Siswa Melalui Pendekatan Problem Based Learning dengan Setting Numbered Heads Together

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MULTILITERASI TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DAN KEMAMPUAN MENULIS SISWA SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

Strategi Komunikasi Lisan: Why bother teaching it?

PENERAPAN STRATEGI PROCESS-BASED PADA PENGAJARAN KOMPOSISI BAHASA MANDARIN 1

Implementasi Blended Learning Dr. Sentot Kusairi, M. Si. Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA UM Pendahuluan Dewasa ini perkembangan teknologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam pendidikan matematika yang pertama kali diperkenalkan dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ghyna Amanda Putri, 2013

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN PARAGRAPH BASED WRITING MENGGUNAKAN CIRCLE THE SAGE BERBASIS CRITICAL THINKING

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran bagi manusia sangat begitu penting karena dapat meningkatkan kemampuan

Bahasa Jepang merupakan alat untuk berkomunikasi lisan dan tulisan. Berkomunikasi dalam bahasa Jepang

Strategi dan Aplikasi Pemahaman Lintas Budaya. dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Oleh Mudzakir AS 1. Pendahuluan

Abstrak Kata Kunci 1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap setiap siswa akan berbeda dan bervariasi. Tidak setiap siswa

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan temuan hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika

BAB II TEORI KRITIK SOSIAL. Kata Inggris criticism (baca: kritik) diturunkan dari kata Prancis critique, dan

INOVASI MODEL PARTISIPASI SOLUSI (PARTISOL) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA

PENINGKATAN MUTU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING (BIPA) YANG PROFESIONAL

Budaya dan Komunikasi 1

Transkripsi:

Pemahaman Budaya dalam Pembelajaran Bahasa (Asing) Oleh: Riesky Bahasa dan budaya seolah tak pernah dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, terutama dalam dunia pendikan bahasa itu sendiri. Perlunya mengembangkan pemahaman budaya, yang sering diistilahkan intercultural competence, dalam diri pembelajar bahasa menjadi hal penting yang mendapat perhatian serius dari para pengajar bahasa. Kompleksitas definisi budaya dan keterkaitannya dengan bahasa di sisi lain menjadi isu yang perlu terlebih dahulu didudukkan secara jelas agar para pengajar bahasa memiliki landasan filosofis yang kuat yang dapat memberikan arah bagi pelaksanaan pembelajaran yang mampu menstimulasi berkembangangnya pemahaman bahasa sekaligus budaya secara bersamaan. Kata kunci: bahasa, budaya, intercultural competence. Pendahuluan Mempelajari sebuah bahasa tak dapat dilepaskan dari mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagaimana bahasa tersebut dipengaruhi dan juga ikut membentuk budaya para penutur aslinya. Hal ini menyiratkan bahwa seseorang yang mempelajari bahasa tertentu tanpa memahami budayanya berpotensi menjadi orang fasih yang bodoh (Bennet, Bennet & Allen, 2003). Dalam pembelajaran bahasa dewasa ini kemampuan berbicara fasih menyerupai penutur asli bukan lagi menjadi hal yang paling utama; pemahaman terhadap budaya dari bahasa yang dipelajari terbukti berperan penting dalam menentukan keberhasilan penyampaian pesan dan terjalinnya komunikasi yang lancar antara si penutur dan lawan bicaranya. Upaya pengembangan Intercultural Competence pun mulai sering digembargemborkan sebagai hal ideal yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa, terutama bahasa kedua atau bahasa asing. Tulisan ini akan memaparkan empat hal, yakni, (1) kompleksitas definisi budaya, (2) keterkaitan antara budaya dan bahasa, (3) pemaknaan terhadap intercultural competence dalam konteks pembelajaran bahasa, dan (4) upaya pengembangan intercultural competence di kelas bahasa. Empat hal ini sering kali menjadi pokok bahasan yang menarik untuk dikaji terutama dalam upaya untuk mengembangan cara efektif bagaimana sebuah bahasa diajarkan pada para pembelajarnya.

Kompleksitas definisi budaya Kata budaya boleh jadi adalah kata yang kerap didengar dan mudah diucapkan, namun sulit untuk didefinisikan. Saat budaya didefinisikan, apa yang muncul adalah keragaman pemaknaan berdasarkan sudut pandang tertentu, dari sosiologi, antropologi, hingga linguistik. Maka janganlah heran apabila kata budaya menjadi salah satu kata yang sulit untuk didefinisikan, yang menurut pandangan Barker (2008) dianggap tidak memiliki makna yang benar dan definitif. Salah satu definisi budaya yang sering dipakai sebagai acuan adalah definisi yang dikemukakan oleh Mathew Arnold. Arnold (1868, dikutip dari Kuper, 1999; lihat pula Lo Bianco, 2003) mendefinisikan budaya sebagai hal terbaik yang pernah dikatakan dan diketahui. Definisi budaya yang diungkapkan oleh Arnold menyiratkan adanya pemisahan antara high culture dari low culture, atau, secara sederhana, pemisahan budaya tinggi dari budaya masal atau budaya populer. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, definisi budaya Arnold mengkontraskan antara beradab dari biadab. Dalam pandangan ini, budaya dianggap sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, kerap kali terefleksikan dalam bentuk karya seni dan karya sastra tertentu saja. Dalam konteks pengajaran bahasa dan sastra, muncullah apa yang dikenal sebagai literary canons. Definisi lain budaya dikemukakan pula oleh seorang ahli antropologi E.B. Tylor. Tylor (1871, dikutip dari Kuper, 1999; lihat pula White, 1972; Smelser, 1992) mengemukakan bahwa: budaya, atau peradaban, adalah kesatuan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (diadaptasi dari Kuper, 1999) Konsep budaya yang diajukan oleh Tylor ini terkesan seperti daftar yang berisikan unsur-unsur yang tidak berhubungan. Namun, definisi tersebut mampu bertahan dan tetap populer hingga awal abad ke-20. Williams (1958, dikutip dari Jones, 2004) memberikan pandangan lain terhadap budaya. Budaya dianggap sebagai sesuatu yang biasa, yang terkonstruksi dari tiga hal penting yaitu: (1) makna yang dibentuk oleh manusia biasa, (2) pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para partisipannya, dan (3) teks yang dibuat dan praktik yang dijalani

selama mereka hidup. Sifat biasa dari konsep budaya yang dirumuskan oleh Williams ini bertolak belakang dengan apa yang sebelumnya diutarakan oleh Arnold. Memandang budaya melalui kacamata Williams berarti melihat rutinitas manusia sebagai bagian penting dari budaya. Rutinitas yang dijalani oleh masyarakat tertentu dapat berkata banyak tentang budayanya. Budaya, dalam pandangan ini, termanifestasikan dalam banyak hal yang sering kali dianggap enteng atau dianggap tidak penting. Pandangan yang mengaitkan budaya dengan makna disampaikan oleh Clifford Geertz. Definisi budaya Geertz lebih menekankan aspek simbolik yang dimiliki oleh budaya. Geertz (dikutip dari Kuper, 1999) mendefinisikan budaya keadalam tiga rangkaian makna yang berkaitan satu sama lain: (1) sistem makna dan simbol yang terstruktur, dimana setiap individu memaknai dunianya, mengutarakan perasaannya, dan membuat penilaian, (2) pola-pola makna yang diturunkan secara historis yang terbentuk melalui bentukbentuk simbolik yang dipakai manusia untuk mengkomunikasikan dan membangun pengetahuan serta sikap hidupnya, dan (3) seperangkat alat simbolik yang mengontrol perilaku manusia. Mengacu pada rangkaian definisi ini, makna dan simbol memiliki peran yang penting. Memahami sebuah budaya pasti melibatkan proses penafsiran, melihat lebih dalam untuk membongkar nilai apa yang terkandung dalam sebuah produk atau praktik budaya. Salah satu definisi budaya yang sekiranya mampu merangkum definisi yang telah berkembang adalah yang diutarakan oleh Moran (2001). Budaya, menurutnya, adalah cara hidup sekelompok manusia yang terus berubah, yang terdiri dari seperangkat praktik yang berkaitan dengan seperangkat produk, yang didasarkan pada seperangkat perspektif, dan terjadi pada konteks sosial tertentu. Definisi ini melihat budaya terbentuk dari lima dimensi yang saling berkaitan yaitu: produk, praktik, perspektif, masyarakat, dan individu. Kelima dimensi ini, menurut Moran (2001) terwujud dalam sebuah model: ada yang terlihat dan ada yang tersembunyi, ibarat bongkahan es di laut, bagian atasnya terlihat jelas sementara bagian bawahnya terendam air. Definisi ini menyiratkan pula bahwa budaya itu bersifat dinamis, berkaitan dengan masa lampau namun terus bergerak maju dan berubah. Kedinamisan budaya ini erat kaitannya dengan sifat manusia yang secara aktif mengubah produk, praktik dan masyarakat dimana budaya tersebut berada.

Keterkaitan antara Budaya dan Bahasa Bahasa seringkali dianggap sebagai produk dari budaya. Di lain pihak, terbentuknya budaya tak dapat dilepaskan dari peran dominan bahasa. Fishman (dikutip dari Risager, 2006) merumuskan tiga keterkaitan erat antara bahasa dan budaya dengan menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian, index, dan simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya, bahasa berperan penting sebagai jembatan dalam pemahaman budaya, terutama bagi mereka yang ingin belajar banyak mengenai budaya tersebut. Sebagai index budaya, bahasa mengungkap cara berpikir atau pengorganisasian pengalaman dalam budaya tertentu. Sebagai simbolik budaya, pergerakan dan konflik bahasa mendayagunakan bahasa sebagai simbol untuk memobilisasi populasi dalam mempertahankan (atau menyerang) dan mendukung (atau menolak) budaya-budaya yang berkaitan dengannya. Dalam melihat keterkaitan antara bahasa dan budaya, Kramsch (1998, dikutip dari Risager 2006) melihat bahasa dalam fungsinya untuk mengekspresikan, menampilkan, dan menyimbolkan realitas budaya. Dengan menggunakan bahasa, manusia tidak hanya mengartikulasikan pengalaman, fakta-fakta, ide dan kejadian kepada satu sama lain, tetapi menyampaikan pula sikap, kepercayaan, dan sudut pandang. Bahasa menampilkan juga realitas budaya dengan membantu manusia menciptakan pengalaman. Pengalaman tersebut menjadi bermakna pada saat bahasa menjadi medianya. Masih menurut Kramsch (1998, dikutip dari Risager 2006), pengalaman budaya juga disimbolkan oleh bahasa. Bahasa menjadi simbol budaya karena, sebagai sebuah sistem tanda, bahasa mengandung nilai budaya. Manusia mampu mengenal dan membedakan satu sama lain sedikit banyak melalaui proses pengamatan terhadap cara penggunaan bahasanya. Memahami keterkaitan antara bahasa dan budaya menjadi penting dalam pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing. Seperti diungkapkan oleh Liddicoat, Scarino & Kohler (2003), bahasa tidak semata-mata struktural, namun juga komunikatif dan bersifat sosial. Belajar bahasa baru, oleh karenanya, menjadi lebih rumit mengingat kompleksitas yang dibentuk oleh keterkaitan antara bentuk-bentuk linguistik dan aspek-aspek sosiokulturalnya.

Memaknai Intercultural Competence Tren pengajaran bahasa (terutama bahasa asing) yang dewasa ini mengedepankan pengembangan kemampuan berbahasa secara komunikatif telah mendorong para pengajar bahasa untuk mampu membangun intercultural competence (IC) pada diri para pembelajarnya. IC menjadi suatu hal yang penting karena pada dasarnya manusia melakukan praktik berbudaya terutama melalui bahasa. Dalam kaitannya dengan komunikasi lintas bahasa, IC menjadi jembatan antara budaya dari pembelajar bahasa dengan budaya target dari bahasa yang dipelajari. Pemaknaan terhadap konsep IC ini memang cukup beragam. Kramsch (1993, dikutip dari Crozet & Liddicoat, 1999) menyatakan bahwa setiap kali kita menggunakan bahasa secara bersamaan pula kita mempraktikkan budaya. Menjadi kompeten secara interkultural ibarat berada pada third place (tempat ketiga). Tempat ketiga ini diibaratkan sebuah tempat (atau tepatnya posisi) dimana pembelajar bahasa dapat berperan seperti seorang outsider dan insider secara bersamaan, memiliki perspektif etic (sebagai orang luar) dan juga perspektif emic (sebagai orang dalam) terhadap budayanya dan budaya dari bahasa yang dipelajari. IC muncul ketika pembelajar bahasa mampu memunculkan sensitivitas budaya, yang ditandai dengan perubahan dari yang tadinya melihat realitas hanya dari sudut pandang budayanya sendiri menuju pada menyadari akan adanya banyak sudut pandang lain di dunia ini. Bennet, Bennet & Allen (2003), berkaitan dengan hal ini, menyatakan bahwa IC adalah kemampuan untuk bergerak dari sikap etnosentrik menuju sikap menghargai budaya lain, hingga akhirnya menimbulkan kemampuan untuk dapat berperilaku secara tepat dalam sebuah budaya atau budaya-budaya yang berbeda. IC pada dasarnya ibarat memiliki sebuah peran ganda. Corbett (2003) menyatakan bahwa IC melebihi kemampuan untuk meniru penutur asli. IC merupakan kemampuan yang memposisikan pembelajar bahasa pada posisi seorang diplomat, yang mampu melihat budaya-budaya yang berbeda melalui sudut pandang orang yang berpengetahuan. Dengan IC, pembelajar bahasa dapat secara bijaksana menjelaskan kepada orang-orang yang memiliki budaya yang sama apa yang ada pada budaya target dan begitu pula sebaliknya.

Mengembangkan intercultural competence di kelas bahasa Mengembangkan intercultural competence pada diri pembelajar bahasa merupakan tugas yang menantang bagi para pengajar. Hal ini menuntut para pengajar tak hanya untuk memiliki pemahaman konsep yang kuat tetapi juga untuk secara kreatif memikirkan caracara efektif bagaimana hal-hal ideal dari konsep-konsep tersebut dapat diterapkan di kelas. Ada beberapa strategi yang diusulkan oleh para ahli sehubungan dengan upaya pengembangan IC ini. Liddicoat (2004) mengajukan sebuah kerangka utama yang berisikan 4 aktivitas yang berkaitan dengan budaya, yakni (1)mempelajari dan memahami sebuah praktik budaya, (2) membandingkan praktik budaya, (3) mengeksplorasi budaya, dan (4) memposisikan diri pada tempat ketiga diantara dua (atau lebih) budaya. Liddicoat (2004) juga menyebutkan beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan, antara lain: pengajaran budaya secara eksplisit, pengintegrasian budaya ke dalam 4 keterampilan berbahasa, mengajarkan budaya sejak awal pengajaran bahasa, mengajarkan secara bilingual, melibatkan eksplorasi intercultural, dan menolong pembelajar untuk terus belajar. Strategi lain diusulkan oleh Liddicoat, Papademetre, Scarino, & Kohler (2003) melalui 5 prinsip pedagogis yang meliputi (1) active construction, yang mengimplikasikan perlunya pembelajar untuk mencari dan membangun pengetahuannya sendiri mengenai budaya target sehingga mereka mampu untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan membandingkan budaya mereka dengan budaya target, (2) making connections, yang menekankan pada kemampuan untuk menghubungkan dan melihat keterkaitan antar budaya, (3) social interaction, yang diimplementasikan melalui diskusi interaktif di antara para pembelajar, (4) reflection, yang dianggap bagian kunci yang melibatkan pembelajar untuk merespon dan melakukan refleksi terhadap budaya dengan cara yang tidak menghakimi, dan (5) responsibility, yang mengimplikasikan kemampuan untuk membangun kesadaran atas perbedaan budaya dan untuk menghargai orang-orang yang memiliki praktik budaya yang berbeda. Moran (2001) dalam pandangan yang serupa juga memberikan penekanan pada keterlibatan pembelajar dalam mempelajari budaya. Pengalaman budaya digarisbawahi sebagai kunci belajar budaya. Moran (2001) kemudian mengajukan sebuah kerangka pengembangan IC yang dinamai cultural knowings yang terdiri dari 4 interaksi pembelajaran yang saling berkaitan, yakni knowing about, knowing how, knowing

why, and knowing oneself. Dia pun kemudian mengembangkan sebuah model berupa siklus yang terdiri dari participation, description, interpretation, and reflection. Melalui integrasi kerangka dan model yang dikembangkan ini, bahasa dalam kaitannya dengan belajar budaya dijabarkan melalui 4 fungsi utama, yakni bahasa untuk berpartisipasi dalam budaya, bahasa untuk mendeskripsikan budaya, bahasa untuk menafsirkan budaya, dan bahasa untuk merespon terhadap budaya yang dipelajari tersebut. Strategi-strategi yang disampaikan di atas dapat menjadi alternatif bagi para pengajar bahasa untuk meningkatkan intercultural competence dari para pembelajarnya. Namun demikian, yang perlu diingat adalah bahwa terlepas dari strategi apapun yang nantinya digunakan para pengajar, mereka harus memastikan bahwa setiap tahapannya haruslah bermakna dan mampu mengarahkan siswa menuju third place yang menjadi idaman dalam setiap pengajaran bahasa yang mengindahkan budaya. Kesimpulan Pengajaran bahasa beserta pemahaman akan budayanya telah banyak mengubah paradigma para pengajar bahasa profesional dewasa ini. Hal ini tentunya memberikan tantangan baru kepada para pengajar bahasa, terutama pengajar bahasa asing, untuk dapat merancang dan mengaplikasikan pembelajaran yang efektif dalam kelas. Pertimbangan yang cermat harus dilakukan pada saat menentukan aspek budaya apa yang akan diajarkan, dengan menggunakan materi apa, melalui input linguistik apa, dan bagaimana penerapannya dalam kelas. Hasil belajar yang ingin dicapai pun haruslah dinyatakan dengan jelas dan terukur. Beberapa isu mengenai definisi dan konsep dasar yang berkaitan dengan intercultural competence beserta prinsip-prinsip dasar dalam implementasinya di kelas telah ditampilkan secara singkat dalam tulisan ini. Banyak hal yang memang masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Hal ini diakibatkan oleh luasnya pembahasan mengenai bahasa dan budaya serta betapa kompleksnya keterkaitan di antara keduanya. Bahasa, budaya, dan cara keduanya diajarkan dan dipraktikan memang terus berubah dan berkembang; hal ini lah yang akan terus memunculkan tantangan bagi para pengajar bahasa untuk senantiasa berfikir, malakukan refleksi dan mencari solusi yang lebih baik dalam pengajaran bahasa dan budaya.

*Penulis adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI. Daftar Pustaka: Barker, C. (2008). Cultural studies: Theory and practice (3 rd ed.). London: Sage. Bennet, J. M., Bennet, M. J., & Allen, W. (2003). Developing intercultural competence in the language classroom. In lange, D. L., & paige, M. P. (Eds.), Culture as the core: Perspectives on culture in second language learning (pp. 237-270). Greenwich: Information Age Publishing. Corbett, J. (2003). An intercultural approach to second language education. In Corbett, J. (Ed.), An intercultural approach to English Language Teaching (pp. 1-30). Clevedon, England: Multilingual Matters. Crozet, C., & Liddicoat, A. J. (1999). The challenge of intercultural language teaching: Engaging with culture in the classroom. In Lo Bianco, J., Liddicoat, A. J., & Crozet, C. (Eds.), Striving for the third place: Intercultural competence through language education (pp. 113-125). Melbourne: Language Australia. Jones, P. (2004). Raymond Williams s sociology of culture. London: Palgrave. Kuper, A. (1999). Culture: The anthropologists account. USA: Harvard University Press. Liddicoat, A. J., Papademetre, L., Scarino, A. & Kohler, M. (2003). Report on intercultural language learning. Canberra: Australian Department of Education, Science and Training. Liddicoat, A.J. (2004). Intercultural language teaching: Principles for practice. The New Zealand Language Teacher, vol.10, pp.17-23. Lo Bianco, J. (2003). Culture: Visible, invisible and multiple. In Lo Bianco, J, & Crozet, C. (Eds.), Teaching invisible culture: Classroom practice and theory (pp. 11-38). Australia: Language Australia Ltd. Moran, P. R. (2001). Teaching culture: Perspectives in practice. Boston, MA: Heinle and Heinle.

Risager, K. (2006). Language and culture: Global flows and local complexity. Clevedon, England: Multilingual Matters Smelser, N. J. (1992). Culture: Coherent or incoherent. In Münch, R., & Smelser, N. J. (Eds.), Theory of culture (pp.3-28). Berkeley: University of California Press. White, L. A. (1972). The concept of culture. In Freilich, M. (Ed.), The meaning of culture (pp.97-123). Lexington, Massachusetts: Xerox College Publishing.