BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kualitas hidup manusia dimulai sedini mungkin sejak masih bayi. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI). Pemberian ASI semaksimal mungkin merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus di masa depan (Depkes RI, 2004) Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes, 2006). Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategi For Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan Air Susu Ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara Eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan. Dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes RI, 2006). Masa pertumbuhan bayi berumur 6-12 bulan membutuhkan asupan gizi tidak hanya cukup dengan ASI saja, karena produksi ASI pada saat itu semakin berkurang sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan berat badan, oleh karena itu bayi harus mendapat makanan pendamping selain ASI (MP-ASI) untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI. Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang jenis dan cara mengolah makanan bayi dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada bayi (Krisnatuti, 2006). ASI memiliki manfaat yang sangat besar, maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataan penggunaan ASI Eksklusif belum seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena ibu sibuk bekerja dan hanya diberi cuti melahirkan selama tiga bulan. Selain itu masih banyak ibu yang beranggapan salah sehingga tidak menyusui secara Eksklusif, karena ibu takut dengan menyusui akan merubah bentuk payudara menjadi jelek, dan takut badan akan menjadi gemuk. Dengan alasan inilah ibu memberikan makanan pendamping ASI, karena ibu merasa ASI nya tidak mencukupi kebutuhan gizi bayinya sehingga ibu memilih susu formula karena lebih praktis (Roesli, 2002). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Departemen Kesehatan sudah lama mencanangkan anjuran bagi para ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, tapi pelaksanaan anjuran tersebut masih jauh dari harapan. Masih banyak ibu yang memberikan ASI kepada bayi nya secara tidak benar. Lebih dari 50% bayi di
Indonesia sudah mendapat MP-ASI secara dini pada umur kurang dari satu bulan. Bahkan pada umur 2-3 bulan bayi ada yang sudah mendapat makanan padat (Irawati, 2005). Jenis makanan prelakteal yang diberikan cukup beragam antar daerah tergantung kebiasaan di daerah tersebut. Pada riskesdas 2010 jenis makanan prelakteal yang paling banyak diberikan kepada bayi baru lahir yaitu susu formula sebesar (71,3%), Madu (19,8%) dan air putih (14,6%). Jenis yang termasuk kategori lainnya meliputi kopi, santan, biscuit, kelapa muda dan kurma (Riskesdas, 2010). Berdasarkan Riskesdas 2010, persentase bayi yang menyusui Eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi menyusu dini kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0% sedangkan di Sumatera Utara 20,2%. Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Cakupan ASI eksklusif di Indonesia masih rendah jauh dari rata-rata dunia yaitu sebesar 38%. Pencapaian program pemberian ASI eksklusif di propinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 sebesar 36,72%. Hasil ini masih dibawah target nasional yaitu sebesar 80% (Dinkes Propinsi Sumatera Utara, 2009) Sedangkan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif kota Medan pada tahun 2009 adalah sebesar 1,32%, masih sangat rendah dibandingkan pencapaian propinsi Sumatera Utara maupun pencapaian Nasional (Profil Dinkes Medan).
Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara dini sangatlah berbahaya, apalagi jika disajikan tidak secara higienis karena menyebabkan masuknya berbagai jenis kuman,. Bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur enam bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif. Selain itu pemberian makanan padat secara dini akan menyebabkan kerusakan saluran pencernaan dan menimbulkan penyumbatan saluran pencernaan (Lily L, 2005). Menurut WHO pemberian MP-ASI harus sesuai dengan waktu pemberian yang tepat, memadai, aman untuk dikonsumsi. Bayi yang diberi MP-ASI dalam waktu yang semakin awal memiliki kecenderungan mempunyai status gizi yang kurang dibandingkan dengan bayi yang diberikan MP-ASI tepat pada waktunya yaitu mulai usia enam bulan (Depkes RI, 2000). Beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan memberikan MP-ASI yang tidak tepat. Keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat. Selain itu ibu-ibu kurang menyadari bahwa setelah bayi berumur 6 bulan memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang semakin bertambah, sesuai dengan pertambahan umur bayi dan kemampuan alat cerna nya. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebaiknya diberikan setelah usia bayi lebih dari enam bulan atau setelah pemberian ASI eksklusif karena pada usia tesebut kebutuhan gizinya masih terpenuhi dari ASI. Bayi yang lebih cepat
mendapatkan makanan tambahan akan lebih rentan terhadap penyakit infeksi seperti infeksi telinga dan pernapasan, diare, resiko alergi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi (Arisman, 2004). Fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa ibu-ibu tidak memberikan ASI secara Eksklusif tetapi lebih memilih memberikan susu formula atau makanan tambahan pada bayi kurang dari enam bulan. Karena masih banyak ibu-ibu yang belum mengetahui manfaat pemberian ASI secara Eksklusif. Sebagian ibu menganggap bahwa dengan memberikan makanan tambahan akan memenuhi kebutuhan gizi bayi dan bayi tidak akan merasa kelaparan. Hal ini berbahaya dilihat dari sistem pencernaan bayi belum sanggup mencerna atau menghancurkan makanan secara sempurna (Boedihardjo, 1994). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas 2002) menyatakan bahwa persentase ibu yang memberikan makanan tambahan terlalu dini kepada bayi usia 2-3 bulan sebanyak (32%) dan bayi 4-5 bulan sebanyak (69%) di Indonesia. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian padang (2007) menyatakan bahwa sebesar 52,15% bayi sudah mendapat makanan tambahan di bawah usia enam bulan di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baso (2007) dalam Pardosi (2009) mengenai studi pertumbuhan bayi yang diberi makanan pendamping ASI Pabrik dan Non Pabrik di Kabupaten Gowa. Di dapatkan bahwa makanan pendamping ASI Pabrik telah diberikan sejak bayi berusia kurang dari empat bulan (54,4%) dan makanan pendamping ASI non pabrik (45,5%). Jenis pemberian makanan
pendamping ASI non pabrik yang diberikan adalah buah (0,5%) dan bubur (0,6%). Sedangkan jenis makanan pabrik adalah susu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makanan pendamping ASI pabrik lebih banyak digunakan. Menurut Manalu (2008) menyatakan bahwa sebagian besar anak sudah diberikan makanan tambahan sebelum umur 5 bulan yaitu sebesar 80,49% dan yang paling rendah adalah pada umur 5-7 bulan yaitu sebesar 19,51%. Adapun MP-ASI yang diberikan adalah nasi bubur dengan tambahan garam,atau nasi bubur dengan lauk, atau nasi keras dengan sayur saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi makan anak yang terbanyak adalah 2x sehari yaitu sebesar 63,41% dan yang terendah adalah 1x sehari sebesar 9,76%. Dari hasil penelitian didapat bahwa anak yang frekuensi makannya sedikit memiliki status gizi yang tidak baik. Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan November 2010 dengan beberapa ibu ibu yang tinggal di kecamatan Medan Amplas adalah bahwa rata-rata mereka sudah memberikan MP-ASI pada bayinya pada saat umur satu atau dua bulan dengan pisang, bubur nasi atau MP-ASI pabrikan, susu formula, alasan nya mereka takut bayinya kurang kenyang dan kurang gizi bila hanya diberikan ASI saja. Data yang diperoleh dari Puskesmas Amplas tahun 2008 berdasarkan indeks BB/U gizi buruk sebanyak 17 balita (0,3%) dan gizi kurang 69 Balita (1,3%), pada tahun 2009 gizi buruk 22 balita (0,4%) dan gizi kurang 96 balita (1,9%) dan pada tahun 2010 gizi buruk 27 balita (0,5%) dan gizi kurang sebanyak 116 orang (2,1%). Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh pola pemberian MP-ASI (jenis makanan, konsumsi energi protein, frekuensi makan, usia pertama kali pemberian MP-ASI) terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan Amplas.
1.2. Permasalahan Adanya pemberian MP-ASI yang terlalu dini pada bayi dengan pisang, bubur nasi atau MP-ASI pabrikan, rendah nya cakupan ASI Eksklusif serta tinggi nya status gizi kurang pada bayi di Kecamatan Medan Amplas, sehingga ingin diteliti bagaimana pengaruh pola pemberian MP-ASI terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh pola pemberian Makanan Pendamping ASI (jenis makanan, jumlah energi protein, frekuensi makan, dan waktu pertama kali pemberian MP-ASI) terhadap status gizi bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan tahun 2011. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh pola pemberian Makanan Pendamping ASI (jenis makanan, konsumsi energi protein, frekuensi makan, dan umur pertama kali pemberian MP- ASI) terhadap status gizi pada bayi 6-12 bulan di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan 1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang cara yang benar dalam pemberian MP-ASI kepada bayi.
2. Memberikan masukan bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Medan, dalam membuat perencanaan program Makanan Pendamping ASI dalam perbaikan gizi, dan bagi petugas kesehatan untuk memberikan bantuan informasi dalam melaksanakan penyuluhan ke masyarakat.