Prosiding Farmasi ISSN:

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PELAKSANAAN PELAYANAN RESEP OBAT GENERIK PADA PASIEN BPJS RAWAT JALAN DI RSUP. PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI-JUNI 2014

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

DRUG USAGE DESCRIPTION FOR OUTPATIENT IN PKU MUHAMMADIYAH UNIT II OF YOGYAKARTA IN 2013 BASED ON WHO PRESCRIBING INDICATOR

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi terutama dalam proses penyembuhan penyakit atau kuratif (Isnaini,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN Jaminan Kesehatan Nasional. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

INTISARI KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PASIEN BPJS KESEHATAN DENGAN FORMULARIUM NASIONAL DI RSUD BANJARBARU PERIODE OKTOBER SAMPAI DESEMBER 2015

ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam menjamin KETERSEDIAAN OBAT DI INDONESIA

Analisis Penggunaan Obat di RSUD Kota Yogyakarta Berdasarkan Indikator WHO

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DENGAN INDIKATOR PRESCRIBING PADA PUSKESMAS WILAYAH KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT PERIODE TAHUN 2016

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang harus diperhatikan setiap

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB III METODE PENELITIAN. desain penelitian deskriptif analitik. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gaya hidup, mental, emosional dan lingkungan. Dimana perubahan tersebut dapat

Jumlah Pemenuhan dan Pola Penggunaan Obat Program Rujuk Balik di Apotek Wilayah Gedebage Kota Bandung

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

Monitoring Pola Peresepan Obat Pasien Usia 0 2 Tahun Menggunakan Indikator WHO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN BIAYA OBAT TERHADAP BIAYA RIIL PADA PASIEN RAWAT INAP JAMKESMAS DIABETES MELITUS DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG OBAT GENERIK DI PUSKESMAS KAYU TANGI BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan program Indonesia Case Based Groups (INA-CBG) sejak

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan salah satu sektor yang diupayakan untuk memiliki peningkatan

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

ABSTRAK GAMBARAN KESESUAIAN DAN KETIDAKSESUAIAN RESEP PASIEN BPJS PROGRAM RUJUK BALIK PUSKESMAS WILAYAH BANJARBARU PERIODE SEPTEMBER DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT DENGAN INDIKATOR PRESCRIBING PADA PUSKESMAS JAKARTA UTARA PERIODE TAHUN 2016

INTISARI KESESUAIAN PENULISAN RESEP DENGAN FORMULARIUM PADA PASIEN UMUM RAWAT JALAN DI RSUD SULTAN IMANUDDIN PANGKALAN BUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

GAMBARAN KESESUAIAN DAN KETIDAKSESUAIAN RESEP PASIEN ASKES RAWAT JALAN DENGAN DPHO PADA APOTEK APPO FARMA BANJARMASIN PERIODE JULI-AGUSTUS

Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Definisi kesehatan menurut undang-undang nomor 36 tahun 2009 adalah

I. PENDAHULUAN. aksesibilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. jantung. Prevalensi juga akan meningkat karena pertambahan umur baik lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

Bayu Teja Muliawan Direktur Bina Pelayanan Kefarmasin. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Nasional (SJSN) ditetapkan dengan pertimbangan utama untuk memberikan

SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara umum, obat terbagi menjadi dua yaitu obat paten dan obat generik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RS dan JKN T O N A N G D W I A R D Y A N T O

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN EFEKTIVITAS PEMANFAATAN PENGGUNAAN OBAT PADA 10 APOTEK DI SURABAYA TAHUN 1997

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB I PENDAHULUAN. individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Upaya untuk meningkatkan derajat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi jaminan kesehatan nasional

Ketersediaan Obat di Era JKN: e-catalogue Obat. Engko Sosialine M. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Operasi caesar atau dalam isitilah kedokteran Sectio Caesarea, adalah

INDIKATOR PERESEPAN OBAT PADA ENAM APOTEK Dl KOTA BANDUNG, SURABAYA DAN MAKASSAR

PELAKSANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

EVALUASI KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PADA PASIEN UMUM RAWAT JALAN DENGAN FORMULARIUM RSUI YAKSSI GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN PERIODE JANUARI-MARET 2016

I. PENDAHULUAN. dilakukan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol (Chobanian,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

J. Ind. Soc. Integ. Chem., 2013, Volume 5, Nomor 2 UJI KESERAGAMAN VOLUME SUSPENSI AMOKSISILIN YANG DIREKONSTITUSI APOTEK DI KOTA JAMBI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penggunaan obat ketika pasien mendapatkan obat sesuai dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.

ABSTRAK KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PASIEN UMUM RAWAT JALAN DENGAN FORMULARIUM DI DEPO II UMUM RAWAT JALAN RSUD ULIN BANJARMASIN.

FROM DPHO to INA CBG s Opportunities and Risks of Access to Essential Drugs

BIAYA RIIL DAN ANALISIS KOMPONEN BIAYA YANG MEMPENGARUHI BIAYA RIIL PADA KASUS SKIZOFRENIA RAWAT INAP DI RSJ SAMBANG LIHUM

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia melalui kementerian kesehatan di awal tahun 2014, mulai

Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Instalasi Farmasi RSUD Waluyo Jati Kraksaan Sebelum dan Sesudah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB I PENDAHULUAN. di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang yang dijamin dalam Undang Undang Dasar

Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBIAYAAN KENAIKAN KELAS PERAWATAN BERDASARKAN PERMENKES NOMOR 4 TAHUN 2017 SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

EVALUASI KELENGKAPAN FARMASETIK RESEP UMUM POLI ANAK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN PERIODE JANUARI - MARET TAHUN

Transkripsi:

Prosiding Farmasi ISSN: 2460-6472 Evaluasi Penggunaan Jumlah Obat Non Formularium Nasional pada Pasien BPJS Rawat Jalan di Satu Rumah Sakit Umum Swasta Evaluation of Non National Formulary Drug Use in Outpatient BPJS at A Public Private General Hospital 1 Finka Khairunnisa, 2 Umi Yuniarni, 3 Fetri Lestari, 4 Dedi Firmansyah 1,2,3,4 Prodi Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116 email: 1 fahminurfatwa@gmail.com, 2 uyuniarni@gmail.com, 3 fetrilestari@gmail.com, 4 dedi.firmansyah@alislamhospital.com Abstract. Medicine is one important element in the health service. Drug costs reach 40-50% of the operating costs of health in Indonesia and continued to increase every year. One of the ways that can be taken to control drug price in the era of National Health Insurance (JKN) is to make a prescribing guidelines. The Ministry of Health, particularly the Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices seeks to ensure the availability, affordability and accessibility of drugs by prepared the National Formulary (Fornas) as a reference in drug selection. Observational research with descriptive methods concerning the evaluation of amount Non Fornas drug use in outpatient BPJS at a private general hospital conducted to determine the conformity prescription with Fornas and the amount of Non Fornas drug use. Research shows that drug use has not been 100% refers to Fornas, within a month there were 15.378 (28.74%) times Non Fornas prescription consisting a drug with the generic name and trade name. Based on the type of medicine, there are 15 types (4%) drug with the generic name & 356 type (96%) the drug with the trade name. While based on the large number of prescription, there are 4,336 times (28.20% prescribing generic names and 11 042 times (71.80%) prescribing the trade name. Keywords: BPJS, National Formulary, Non National Formulary drug. Abstrak. Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan. Biaya obat mencapai 40-50% dari biaya operasional kesehatan di Indonesia dan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengendalikan harga obat di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah dengan membuat pedoman peresepan. Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berupaya untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan aksesibilitas obat dengan menyusun Formularium Nasional (Fornas) sebagai acuan dalam pemilihan obat. Penelitian observasional dengan metode deskriptif mengenai evaluasi penggunaan jumlah obat Non Fornas pada pasien BPJS rawat jalan di satu Rumah Sakit umum swasta dilakukan untuk mengetahui tingkat kesesuaian peresepan obat dengan Fornas & jumlah penggunaan obat Non Fornas. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat belum 100% mengacu pada Fornas, dalam waktu satu bulan terjadi 15.378 (28,74%) kali peresepan obat Non Fornas yang terdiri dari obat dengan nama generik & nama dagang. Berdasarkan jenis obatnya, terdapat 15 jenis (4%) obat dengan nama generik & 356 jenis (96%) obat dengan nama dagang. Sedangkan berdasarkan banyaknya jumlah peresepan, terdapat 4.336 kali (28,20% peresepan dengan nama generik & 11.042 kali (71,80%) peresepan dengan nama dagang. Kata Kunci: BPJS, Formularium Nasional, Obat Non Formularium Nasional. 427

428 Finka Khairunnisa, et al. A. Pendahuluan Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia. Dalam rangka pembangunan kesehatan pemerintah mengeluarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mengatur pembe rian jaminan kesehatan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan adalah penggunaan obat. Biaya obat mencapai 40-50% dari biaya operasional kesehatan di Indonesia dan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Sirait, 2001) Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan berupaya untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan aksesibilitas obat dengan menyusun Formularium Nasional. Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (Dirjen Binfar & Alkes, 2014:1). Pada pelaksanaan pelayanan kesehatan, penggunaan obat disesuaikan dengan standar pengobatan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila dalam pemberian pelayanan kesehatan, pasien membutuhkan obat yang belum tercantum di Formularium Nasional, maka hal ini dapat diberikan dengan ketentuan hanya dimungkinkan setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi dan Terapi dengan persetujuan Komite Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang biayanya sudah termasuk dalam tarif INA-CBGs dan tidak boleh ditagihkan terpisah ke BPJS Kesehatan serta pasien tidak boleh diminta iuran biaya (Permenkes RI No.28, 2014:26-27; Dirjen Binfar & Alkes, 2014:14). Untuk mengetahui tingkat kesesuaian peresepan obat dengan Formularium Nasional dan untuk mengetahui jumlah penggunaan obat Non formularium Nasional maka diperlukan adanya penelitian mengenai evaluasi penggunaan jumlah obat Non Formularium Nasional pada pasien BPJS rawat jalan di satu Rumah Sakit Umum Swata. B. Landasan Teori Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (UU RI No.40, 2004:8 ). BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan. BPJS Kesehatan dibentuk dengan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan membangun jaringan fasilitas kesehatan dengan cara bekerja sama dengan Fasilitas Kesehatan milik pemerintah atau swasta untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN dan keluarganya. Jaringan fasilitas kesehatan ini terbagi atas tiga kelompok utama, yaitu fasilitas kesehatan tingkat pertama, fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dan fasilitas kesehatan pendukung (Kepmenkes RI, 2014 :20). BPJS Kesehatan membayar fasilitas kesehatan dengan prinsip berbagi risiko finansial dengan fasilitas kesehatan secara prospektif. BPJS Kesehatan membayar Volume 2, No.2, Tahun 2016

Evaluasi Penggunaan Jumlah Obat Non Formularium 429 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di muka untuk satu populasi peserta yang terdaftar, yang dikenal dengan pembayaran model kapitasi. Sedangkan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan, BPJS Kesehatan membayar tagihan dengan mengacu pada tarif INA-CBGs (Permenkes RI No.27, 2014:4; Perpres No.12, 2013:33). Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA- CBG s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit (Peraturan BPJS, 2014:4). Metode pembayaran rumah sakit dengan INA-CBGs harus diikuti dengan berbagai perubahan di rumah sakit baik pada level manajemen maupun profesi khususnya dokter. Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost efective. Metode pembayaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit menggunakan sistem Indonesian - Case Base Groups (INA -CBG s) agar rasional, efisien, dan efektif, namun penggunaan obat tetap harus dapat dipantau, sehingga diperlukan daftar obat yang harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari INA-CBG s, untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai kaidah dan standar yang berlaku (Dirjen Binfar & Alkes, 2014). Salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan adalah penggunaan obat. Biaya obat mencapai 40-50% dari biaya operasional kesehatan di Indonesia dan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Sirait, 2001) Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyusun Formularium Nasional sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Formularium Nasional (Fornas) merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN (Dirjen Binfar & Alkes, 2014:1). Pemilihan obat dalam Fornas didasarkan atas kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki khasiat dan keamanan yang memadai berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih. 2. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit -risk ratio) yang paling menguntungkan pasien. 3. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM. 4. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi. 5. Obat tradisional dan suplemen makanan tidak dimasukkan dalam Fornas. 6. Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut: Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah; Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan; Stabilitasnya lebih baik; Mudah diperoleh. 7. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut : Obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap; Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-masing komponen; Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi Farmasi, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016

430 Finka Khairunnisa, et al. tersebut; Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit -cost ratio); dan Untuk antibiotik, kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau efek merugikan lainnya (Dirjen Binfar & Alkes, 2014:7). Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat Generik Bermerek/Bernama Dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (UU Kesehatan No.36. 2009:3; Permenkes RI. 2010: 3). C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tingkat Kesesuaian Peresepan Obat dengan Formularium Nasional Penelitian yang dilakukan pada resep pasien BPJS rawat jalan di satu Rumah Sakit Umum Swasta di Kota Bandung pada bulan Januari 2016, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu satu bulan, terjadi 53.502 kali peresepan obat, dimana terdapat 38.124 kali peresepan obat Fornas dan 15.378 kali peresepan obat Non Fornas. Penggunaan obat yang sesuai dengan Fornas baru mencapai 71,26%, artinya sebesar 28,74% penggunaan obat lainnya merupakan obat Non Fornas. Dari data tersebut terlihat bahwa penggunaan obat pada pasien rawat jalan peserta JKN belum 100% mengacu pada Fornas. Tabel 1. Persentase Kesesuaian Resep dengan Formularium Nasional R/ Jumlah Peresepan Persentase Peresepan Fornas 38.124 71,26% Non Fornas 15.378 28,74% Total 53.502 100% Penggunaan Obat Non Formularium Nasional berdasarkan Nama Generik & Nama Dagang Berdasarkan jenis obatnya, persentase penggunaan obat Non Fornas dengan nama generik lebih rendah dari pada penggunaan obat Non Fornas dengan nama dagang. Dari 371 jenis obat, hanya terdapat 15 jenis (4%) obat Non Fornas dengan nama generik, sedang 356 jenis (96%) obat lainnya merupakan obat Non Fornas dengan nama dagang. Berdasarkan banyaknya jumlah peresepan, penggunaan obat Non Fornas dengan nama generik juga menunjukkan persentase yang lebih rendah dari pada penggunaan obat Non Fornas dengan nama dagang. Dari 15.378 kali peresepan, obat Non Fornas dengan nama generik diresepkan sebanyak 4.336 kali (28,20%), Volume 2, No.2, Tahun 2016

Evaluasi Penggunaan Jumlah Obat Non Formularium 431 sedangkan obat Non Fornas dengan nama dagang diresepkan sebanyak 11.042 kali (71,80%). Tabe1 2. Persentase Persepan Obat Non Fornas dengan Nama Generik & Nama Dagang berdasarkan Jenis obat & Jumlah Peresepannya Merek Obat Jumlah Peresepan (n = 15378) Persentase Peresepan Jumlah Jenis Obat (n = 371) Persentase Berdasarkan Jenis Obat GENERIK 4.336 28,20% 15 4,04% NAMA DAGANG 11.042 71,80% 356 95,96% Pemberian atau peresepan obat Non Fornas dengan nama dagang diantaranya disebabkan karena beberapa obat merupakan kombinasi dari beberapa bahan aktif obat, sehingga menjadi tidak praktis bila dituliskan dalam nama generik, karena akan menyulitkan pasien apabila harus mengkonsumsi obat dengan jumlah banyak sekaligus. Sedangkan untuk peresepan obat Non Fornas dengan nama generik disebabkan karena bahan aktif obat belum masuk kedalam daftar Fornas atau zat aktif sudah masuk kedalam Fornas akan tetapi kekuatan atau bentuk sediaannya tidak memenuhi yang disediakan Fornas. D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat pada pasien BPJS rawat jalan di satu Rumah Sakit Umum Swasta belum 100% mengacu pada Formularium Nasional, dalam kurun waktu satu bulan terjadi 15.378 (28,74%) kali peresepan obat Non Formularium Nasional yang terdiri dari obat Non Formularium Nasional dengan nama generik & nama dagang. Berdasarkan jenis obatnya, terdapat 15 jenis (4%) obat Non Formularium Nasional dengan nama generik & 356 jenis (96%) obat Non Formularium Nasional dengan nama dagang. Sedangkan berdasarkan banyaknya jumlah peresepan, terdapat 4.336 kali (28,20% peresepan obat Non Formularium Nasional dengan nama generik & 11.042 kali (71,80%) peresepan obat Non Formularoum Nasional dengan nama dagang. E. Saran Penelitian ini perlu ditunjang dengan beberapa studi lain seperti analisis farmakoekonomi untuk melihat dampak ekonomis dari penggunaan obat Non Formularium Nasional dan untuk menilai cost-effectiveness penggunaan obat Non Formularium Nasional sehingga pelayanan obat dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Farmasi, Gelombang 2, Tahun Akademik 2015-2016

432 Finka Khairunnisa, et al. Daftar Pustaka Dirjen Binfar & Alkes. 2014. Keputusan Direktur Jendral Bina Kefarmasian & Alat Kesehatan No.02.03//III/1346/2014 tentang Pedoman Penerapan Formularium Nasional. Dirjen Binfar & Alkes, Jakarta Permenkes RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02 /MENKES/ 068/I / 2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Menkes RI, Jakarta Permenkes RI, 2014. Peraturan Mentri Kesehatan RI No.27 Tahun 2014 tentang Petunjuk teknis system Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs). Menkes RI, Jakarta Permenkes RI, 2014. Peraturan Mentri Kesehatan RI No.28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Menkes RI, Jakarta Presiden RI. 2004. Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Presiden RI, Jakarta Presiden RI. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Presiden RI, Jakarta Presiden RI. 2011. Undang-undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Presiden RI, Jakarta Sirait, M. 2001. Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Kesehatan dan Potensi Ekonomi. Kumpulan Presentasi dan Tulisan, Institut Darma Mahadika. Jakarta. Volume 2, No.2, Tahun 2016