II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan mempunyai peranan penting bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck 2002 dalam Jafar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Disamping. dan produktivitas kerja (Almatsier, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Veni Hadju Nurpudji Astuti

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

METODE PENELITIAN. n = N 1+ N (d 2 ) keterangan : N = besar populasi n = besar sampel d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan dan pedesaan berdasarkan kriteria klasifikasi wilayah. desa/kelurahan (Badan Pusat Statistik {BPS}, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dengan Status GIzi Pada Balita di Desa Papringan 7

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kedekatan dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ramadani (dalam Yolanda, 2014) Gizi merupakan bagian dari sektor. baik merupakan pondasi bagi kesehatan masyarakat.

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

Adapun fungsi zat gizi bagi tubuh adalah:

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

Perilaku Makan Dan Pengasuhan Gizi Anak Balita di Kawasan Pemukiman Kumuh Kota Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang baik. Menciptakan sumber daya

kekurangan energi kronik (pada remaja puteri)

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola Pangan Anak Balita Dalam kehidupan sehari-hari, pangan mempunyai peranan penting bagi manusia. Peran pokok pangan adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup, melindungi dan menjaga kesehatan, serta berguna untuk mendapatkan energi yang cukup untuk bekerja secara produktif. Konsumsi pangan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu (Hariyadi, 2001). Pola pangan adalah susunan makanan yang merupakan suatu kebiasaan yang dimakan seseorang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan ratarata per orang per hari yang umum dikonsumsi atau dimakan penduduk dalam jangka tertentu (Persagi, 2009). Adapun menurut Harper, et al. (1986), pola pangan atau kebiasaan makan adalah cara seseorang atau kelompok memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Setiap orang memiliki pola konsumsi pangan yang berbeda-beda, tergantung pada umur, kondisi ekonomi, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pola konsumsi pangan sebagian besar penduduk, yaitu : (1)

8 produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, (2) pengeluaran untuk keperluan rumah tangga, dan (3) pengetahuan gizi dan tersedianya pangan (Widyasari, 2006). Menurut Berg (1986), di negara-negara berkembang, orang-orang miskin hampir membelanjakan pendapatannya hanya untuk makanan, uang yang berlebih biasanya berarti susunan makanan akan lebih baik. Berdasarkan pola konsumsi pangan, dapat diperoleh informasi seperti bagaimana pangan diperoleh, jenis pangan yang yang dikonsumsi penduduk, jumlah yang mereka makan, dan pola hidangan mereka, termasuk berapa kali makan. Sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka, berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Khomsan (2003) menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang, karena mengonsumsi pangan (energi dan protein) yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada. Kesukaan serta ketidaksukaan anak terhadap pangan berubah dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu. Selera makan anak biasanya tidak bisa diperkirakan. Anak bisa makan lahap pada waktu makan pertama tetapi menolak pada waktu makan berikutnya. Keluhan sebagian besar orang tua bahwa anak paling sulit makan malam. Ada kemungkinan bahwa seorang anak yang telah makan dua kali dan mendapat beberapa jenis jajanan atau kudapan, telah terpenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizinya, sebelum waktu makan malam (Nasoetion & Wirakusumah 1990).

9 2. Angka Kecukupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Anak Balita Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan dibuat untuk pengukuran secara kuantitatif. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) adalah rata-rata zat gizi yang harus dikonsumsi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk bayi dan balita dapat dilihat pada Tabel 1. Tujuan mengkonsumsi zat gizi adalah untuk memenuhi kecukupan tubuh akan zat-zat esensial sebagaimana dianjurkan dalam angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan. Tingkat kecukupan gizi (TKG) adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi yang dicapai bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan, dihitung dalam persen. Dari hasil perhitungan akan dapat dilihat apakah konsumsi seseorang sudah memenuhi kecukupan zat gizi, makanan yang baik bagi tubuh disebut sebagai menu seimbang yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, dan susu. Berikut ini dapat dilihat rumus TKG. TKG i = x 100 Keterangan : TKG i KG ij AKG i = tingkat kecukupan zat gizi i = konsumsi zat gizi i dalam satu hari = angka kecukupan zat gizi i per hari

Tabel 1. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita per orang per hari Deskripsi 0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun Berat badan (kg) 6,0 9,0 13,0 19,0 Tinggi badan (cm) 61,0 71,0 91,0 112,0 Energi (Kal) 550,0 700,0 1050,0 1550,0 Protein(g) 12,0 16,0 20, 28,0 Vitamin A (μg) 375,0 400,0 400,0 450,0 Vitamin D (IU) 5,0 5,0 5,0 5,0 Vitamin E (mg) 4,0 5,0 6,0 7,0 Vitamin C (mg) 40,0 40,0 40,0 45,0 Thiamin (mg) 0,3 0,4 0,5 0,8 Riboflavin (mg) 0,3 0,4 0,5 0,6 Niasin (mg) 2,0 4,0 6,0 8,0 Vitamin B-6 (mg) 0,1 0,3 0,5 0,6 Vitamin B-12 (μg) 0,4 0,5 0,9 1,2 Asam Folat (μg) 65,0 85,0 150,0 200,0 Vitamin K (μg) 5,0 10,0 15,0 20,0 Kalsium (mg) 200,0 250,0 650,0 1000,0 Fosfor (mg) 100,0 250,0 500,0 500,0 Magnesium (mg) 30,0 54,0 65,0 95,0 Fluor (mg) 0,01 0,4 0,6 0,8 Besi (mg) 0,25 10,0 7,0 8,0 Mangan (mg)mn 0,003 0,6 1,2 1,5 Seng (mg) 1,5 4,0 4,0 5,0 Selenium (μg) 5,0 10,0 17,0 20,0 Yodium (μg) 90,0 90,0 90,0 120,0 Sumber: LIPI (2012) 10 3. Status Gizi Anak Balita Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh asupan makanan, pencernaan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi baik atau gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsir, 2001). Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu penilaian sceara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi melalui empat cara yaitu antropometri, klinis,

11 biokimia, dan biofisik. Untuk penilain status gizi secara tidak langsung dapat dibagi melalui tiga cara yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi. Penilaian status gizi melalui pengukuran antropometri paling umum dilakukan masyarakat dewasa ini melalui pengukuran berat badan berdasarkan umur (BB/U), tinggi badan berdasarkan umur (TB/U), berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) serta indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U) (Supariasa, 2002). Indeks masa tubuh (IMT) merupakan perbandingan secara langsung antara ukuran Berat Badan dengan Panjang Badan atau Tinggi Badan yang dapat memberikan gambaran lebih baik mengenai status gizi seseorang. Rumus IMT adalah (Indriani, 2014): BB( kg) IMT TB 2 ( m) Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1989). Bayi sampai anak berusia lima tahun (balita) dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi, termasuk kekurangan energi dan protein (KEP). KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Menurut Engle, Manon dan Haddad (1997), anak balita yang mengalami KEP salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam merawat anak. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat bahkan oleh keluarga. Artinya, apabila di suatu daerah ada sejumlah anak yang menderita gizi kurang karena KEP, tidak segera

12 menjadi perhatian karena anak tidak tampak sakit. Di samping itu, terjadinya KEP pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan. Artinya, dalam keadaan pangan di pasar melimpah pun masih mungkin terjadi kasus KEP (Soekirman 2000). Pada umumnya KEP terjadi karena kemiskinan, pangan kurang tersedia, pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya (Suhardjo (1989). Namun, ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal di lingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak KEP juga dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup di lingkungan masyarakat yang cukup baik (Riyadi 2001). Kekurangan atau kelebihan zat gizi dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi. Soekirman (2000) menyatakan bahwa masalah gizi merupakan suatu keadaan tubuh kekurangan zat gizi karena kebutuhannya tidak terpenuhi sehingga berdampak pada kesejahteraan perorangan atau masyarakat. Status gizi yang normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan tubuh. Kementrian Kesehatan RI (Kemenkes) mengeluarkan standar antropometri penilaian status gizi anak yang digunakan sebagai acuan bagi Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan pihak lain yang tekait dalam penilaian status gizi anak. Adapun ketentuan umum dalam penggunaan standar antopometri menurut WHO tahun 2005 adalah sebagai berikut:

13 1. Umur dihitung dalam bulan penuh 2. Ukuran Panjang Badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur terlentang. Bila anak umur o sampai 24 bulan diukur dengan cara bediri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7cm. 3. Ukuran Tinggi Badan (TB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur berdiri. Bila anak umur o sampai 24 bulan diukur dengan terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7cm. 4. Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) atau yang biasa disebut dengan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). 5. Pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) atau biasa disebut dengan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). 6. Kurus dan Sangat Kurus adalah status gizi yang didasarkan pada indek Berat Badan berdasarkan Panjang Badan (BB/PB) atau biasa disebut dengan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat kurus). Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks antropometri tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

14 Tabel 2. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks Indeks Berat badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 bulan Tinggi badan menurut umur (TB/U) Anak Umur 0-60 bulan Berat badan menurut Tinggi badan (BB/TB) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0-60 bulan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5-18 tahun Kategori Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas Ambang Batas (z-score) < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD < -3 SD -3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 1 SD >1 SD sampai dengan 2 SD >2 SD Sumber : Kemenkes (2011)

15 Status Gizi balita Konsumsi Makanan Status Infeksi Penyebab langsung Ketersediaan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Pola Asuh Pemberian ASI/MP- ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP-ASI, kebersihan dan sanitasi. Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan Penyebab tidak langsung Daya Beli, Akses Pangan, Akses Informasi, Akses Pelayanan Kemiskinan, Ketahan Pangan & Gizi, Pendidikan, Kesehatan, Kependudukan Akar masalah Pembangunan Ekonomi, Politik, Sosial Gambar 1. Kerangka pikir akar masalah gizi ibu dan anak balita (Bappenas, 2011) Sumber: UNICEF (1990) disesuaikan dengan kondisi Indonesia 4. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi adalah proses keadaan tubuh seseorang kemudian dibandingkan dengan baku standar yang tersedia (Arisman, 2004). Status gizi dapat dinilai dengan dua cara, yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status

16 gizi secara langsung menggunakan pengukuran antropometri, klinis, biofisik dan biokimia. Penilaian secara tidak langsung meliputi survey konsumsi, faktor ekologi, dan statistik vital. Dewasa ini antropometri merupakan penilaian status gizi yang paling sering digunakan. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Penilaian status gizi dengan menggunakan pengukuran antropometri dapat dilihat dari ukuran tubuh seseorang yaitu seperti berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit yang disesuaikan dengan umur (Supariasa, 2002). Untuk memudahkan dalam mengukur parameter status gizi dapat mendatangi posyandu terdekat. Posyandu melayani kesehatan untuk ibu dan anak karena ibu dan anak merupakan sasaran posyandu. Ibu dan anak diharapkan rutin mengunjungi posyandu karena frekuensi kunjungan ke posyandu dapat memengaruhi status kesehatan yang berkaitan juga dengan status gizi. Namun dalam penelitian ini frekuensi kunjungan ke posyandu dan status kesehatan tidak diteliti. Kesehatan anak balita merupakan salah satu program pemerintah mengingat dalam masa balita terdapat periode usia emas yang sangat penting. Seribu (1.000) hari pertama kehidupan (HPK) anak merupakan periode emas, yaitu masa pertumbuhan anak yang dimulai dari kehidupan janin selama 9 bulan di kandungan hingga seorang anak berusia 2 tahun. Periode emas yang terjadi selama usia itu adalah masa-masa yang sangat penting dalam fase

17 tumbuh kembang anak karena pada masa ini otak anak berkembang pesat dan kritis. Periode emas penting bagi anak dan tidak dapat diulang kembali karena pada usia ini anak memiliki kemampuan menyerap informasi 100% dan otak anak berfungsi dengan sangat baik. Sasaran 1.000 hari pertama kehidupan adalah ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita (Indriani, 2014). 5. Faktor-faktor yang Berpengaruh dengan Pola Pangan dan Status Gizi Balita Ada beberapa faktor penyebab gangguan gizi, baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi khususnya gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi yang mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka. Beberapa faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada anak balita antar lain (Proverawati, 2010) sebagai berikut: (1) Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang sungguhpun berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang dihidangkan seadanya. Dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan cukup. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh menjadi penyebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan dibidang memasak akan menurunkan konsumsi makan anak, keragaman bahan dan keragaman jenis

18 makanan. Selain pengetahuan gizi ibu, sikap gizi ibu dapat mempengaruhi keadaan gizi anak balita. Sikap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan (statement) yang diajukan. Sikap merupakan suatu pandangan tetapi dalam hal ini masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang (Notoatmojo, 2003). Perilaku ibu tentang gizi anak balita dalam penelitian ini adalah tindakan nyata dari ibu anak balita dalam memberikan makanan kepada anak balita, mulai dari cara memilih, mengolah bahan makanan sampai dengan pemberiannya. Menurut Notoatmodjo (2003) pengaruh pengetahuan terhadap perilaku dapat bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk praktek. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata (praktek) diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. (2) Persepsi Persepsi yang buruk terhadap suatu bahan makanan akan mempengaruhi konsumsi pangan seseorang dan akan mengakibatkan asupan gizi menjadi rendah. Banyak bahan makanan yang sesungguhnya bernilai gizi tinggi tetapi tidak digunakan atau hanyak digunakan secara terbatas akibat adanya prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat keluarga. Jenis sayuran seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu yang kaya akan zat besi, vitamin A dan

19 protein, di beberapa daerah masih dianggap sebagai makanan yang dapat menurunkan harkat keluarga. (3) Kebiasaan atau Pantangan Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makanan tertentu masih sering dijumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis turun temurun, padahal anak sangat memerlukan bahan makanan tersebut guna keperluan pertumbuhan tubuhnya. (4) Kesukaan jenis makanan tertentu Kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai faddisme makanan akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan. (5) Jarak Kelahiran yang Terlalu Rapat Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa banyak anak yang menderita gangguan gizi oleh karena ibunya sedang hamil lagi atau adik yang baru telah lahir, sehingga ibunya tidak dapat merawat secara baik. Anak di bawah usia 2 tahun masih sangat memerlukan perawatan ibunya, baik perawatan makanan maupun perawatan kesehatan dan kasih sayang. (6) Sosial Ekonomi Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga

20 turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan. (7) Penyakit infeksi Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang seharusnya dipakai untuk pertumbuhan (8) Pola asuh Pola asuh adalah praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Suharjo (1989), kebiasaan makan yang baik dimulai dari rumah, atas bimbingan orang tua, baik ibu, ayah, dan anggota keluarga yang lainnya, seperti kakak, abang, nenek atau pengasuh. Peranan ibu biasanya paling banyak berpengaruh terhadap pembentukkan kebiasaan makan anak-anak didalam rumah, karena ibu yang mempersiapkan makanan, mulai dari mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapkan makanan, mendistribusikan makanan serta mengajarkan tata cara makan terhadap anak-anaknya. 6. Indikator Kemiskinan Suatu keluarga dikatakan miskin apabila memenuhi 9 dari 14 kriteria miskin yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Adapun kriteria rumah tangga yang dikategorikan miskin adalah sebagai berikut (http://waykanan.go.id/berita-164-penangulangan-kemiskinan.html):

21 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal (tanah/bambu) 3. Jenis dinding tempat tinggal (bambu/kayu) 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/dipakai bersama-sama 5. Sumber penerangan tidak menggunakan listrik 6. Sumber air minum berasal (sumur/mata air tidak terlindungi/sungai air hujan) 7. Bahan bakar untuk memasak (kayu bakar/arang /minyak tanah) 8. Konsumsi daging, susu, ayam satu kali dalam seminggu 9. Membeli 1 stel pakaian dalam setahun sekali 10. Hanya sanggup makan dalam sehari 2 kali 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan 12. Sumber penghasilan (petani dengan luas tanah 0,5 ha/buruh tani/perkebunan atau pekerjaan dengan pendapatan di bawah Rp600.000,-/bulan) 13. Latar belakang pendidikan (tidak lulus SD/lulus SD/SD) 14. Tidak memiliki tabungan. B. Kajian Penelitian Terdahulu Sevtiyana (2008), meneliti tentang faktor-faktor yang diduga mempengaruhi status gizi balita, menyatakan bahwa dari faktor-faktor yang ada yaitu pengetahuan ibu, pola makan, pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, dan lamanya pemberian ASI. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan dua faktor

yang nyata mempengaruhi status gizi balita yaitu pengetahuan ibu dan pola makan. 22 Fauziah (2009), meneliti tentang pola konsumsi pangan dan status gizi balita di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, menyatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu terkategori rendah. Pada umumnya ayah bekerja sebagai petani dan ibu tidak bekerja. Alokasi pengeluaran pangan lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan. Sebagian besar status gizi balita berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi baik. Berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), sebagian besar berstatus gizi pendek/stunting. Dan berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), sebagian besar berstatus gizi normal. Handayani (2006), meneliti tentang tingkat kecukupan dan status gizi anak balita di Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung menemukan bahwa penyebab masalah gizi kurang pada anak balita di Lingkungan Umbul Kunci adalah lokasi yang sulit dijangkau karena letak geografis yang tidak strategis, sarana jalan yang tidak memadai, kurangnya pantauan dari puskesmas mengenai kesehatan anak balita, pola konsumsi anak balita yang tidak bervariasi akibat perekonomian keluarga yang tidak memadai, dan sanitasi lingkungan yang tidak baik.

23 C. Kerangka Pemikiran Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, sehingga cukup tidaknya pangan akan sangat menentukan kualitas hidup manusia yang merupakan modal penting dalam pembangunan nasional. Mendapatkan pangan yang cukup merupakan hak asasi setiap manusia karena pangan merupakan sumber energi yang diperlukan manusia untuk mempertahankan hidup. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan, pengeluaran) dan karakeristik demografi (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, besar keluarga). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Selain itu, riwayat kesehatan juga mempengaruhi status gizi, akan tetapi pada penelitian ini riwayat kesehatan tidak dimasukkan ke dalam salah satu faktor-faktor yang diteliti. Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga merupakan hal pokok dalam kelangsungan hidup. Untuk itu, selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan. Pola konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh

pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan pangan, dan tingkat pendapatan (Suhardjo 1989). 24 Kemiskinan merupakan akar masalah kekurangan pangan dan masalah gizi. Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan terutama pada penduduk golongan miskin. Pola pangan rumah tangga akan mempengaruhi status gizi balita karena setiap makanan yang dikonsumsi keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi balita. Pola pangan balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendapatan, pengetahuan, sikap dan perilaku gizi ibu, pendidikan orang tua, pola asuh, pola pangan serta persen angka kecukupan zat gizi. Pendapatan rumah tangga digunakan untuk membeli asupan pangan. Apabila daya beli pangan keluarga rendah maka dapat dimungkinkan balita tidak mendapatkan asupan makanan yang sesuai sehingga menyebabkan balita memiliki status gizi yang buruk. Beberapa ibu tidak selalu memeriksakan kondisi balitanya ke posyandu terdekat. Faktorfaktor tersebut di atas diharapkan dapat berpengaruh dengan status gizi balita. Paradigma kerangka berfikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa terdapat beberapa variable di dalam kotak dengan garis terputus merupakan variable yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Adapun variable-variabel yang terdapat di dalam kotak dengan garis tanpa putus merupakan variabel yang diteliti.

25 Rumah Tangga Miskin Pendidikan rendah Kesempatan Kerja Rendah Pendapatan Rendah Pengetahuan, Perilaku dan Sikap Gizi Ibu Pengeluaran Pangan Frekuensi Kunjungan Ke Posyandu Pola Asuh anak oleh ibu Ketersediaan Pangan Pola Pangan Asupan Gizi dan %AKG (energi, protein, karbohidrat, lemak, fosfor, kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C) Status Kesehatan Status Gizi (BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U) Gambar 2. Paradigma pola pangan dan status gizi anak balita pada rumah tangga miskin di Kecamatan Buay Bahuga Kabupaten Way Kanan 25