BAB I PENDAHULUAN. bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. yang saling mempengaruhi tanpa dapat dipisahkan. 1. dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 5 TAHUN 2007 T E N T A N G LARANGAN PELACURAN DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

TENTANG CAGAR BUDAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG CAGAR BUDAYA KOTA KENDARI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

- 1 - WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG CAGAR BUDAYA DI KOTA MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 3 TAHUN 2010 SERI : E NOMOR : 3

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOABARU NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI

QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN RUANG MILIK JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 10

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG LARANGAN PENYALAHGUNAAN FUNGSI LEM

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 5 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA [LN 2010/130, TLN 5168]

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN PARIWISATA PANTAI WIDURI

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II UJUNG PANDANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemeriksaan oleh Ankum yang menangani pelanggaran disiplin.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) NOMOR 10 TAHUN 2002 (10/2002) TENTANG PENGATURAN PRAMUWISATA DAN PENGATUR WISATA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 4 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG TANDA DAFTAR GUDANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN. kereta api, maka di butuhkan pula keamanan dan kenyamanan kereta api. Masalah

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALEMBANG,

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMAKAIAN RUMAH MILIK ATAU DIKUASAI PEMERINTAH KOTA SURABAYA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 7 TAHUN 2006 SERI : C NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DAN CAGAR BUDAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN USAHA HOTEL DENGAN TANDA BUNGA MELATI

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cagar budaya merupakan kekayaan budaya yang penting demi memupuk kesadaran jati diri bangsa dan mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan. Perlindungan hukum sangat dibutuhkan sehingga dapat mengurangi ancaman kerusakan dan kepunahan terhadap benda - benda cagar budaya, Salah satu benda cagar budaya yang juga menjadi penting peranannya adalah Bangunan cagar budaya karena Bangunan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Definisi dari Cagar Budaya di atur dalam bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yaitu bahwa Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 1

2 Yogyakarta telah dikenal sebagai kota budaya di Indonesia dengan keberadaan berbagai bangunan tua bergaya indis yang terdapat di beberapa kawasan, namun sangat disayangkan atas nama pembangunan yang terjadi pada zaman sekarang ini seringkali membawa dampak negatif kepada keberadaan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa contoh yang telah terjadi antara lain, Pembongkaran Pesanggrahan Ambarukmo digantikan dengan Ambarukmo Plaza, juga pembongkaran bangunan kuno dikawasan Malioboro digantikan dengan Ramayana Mall (Departement Store). 1 Salah satu bangunan Cagar Budaya berdasarkan nomor penetapan BCB/PM.07/PW.007/MKP/2007 di Yogyakarta yang sedang terancam keberadaannya adalah Hotel Toegoe, Hotel Toegoe yang terletak di jalan Pangeran Mangkubumi, tepat di depan Stasiun Tugu Yogyakarta. Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya) Indonesia, Johannes Marbun mengingatkan pemagaran Kompleks Hotel Toegoe harus diwaspadai oleh pemerintah, menurutnya penutupan akses publik terhadap bangunan cagar budaya di depan Stasiun Tugu Yogyakarta itu berpotensi menjadi ajang perusakan bangunan lama. 2 Pembongkaran Sekolah Menengah Atas (SMA) 17 1 Yogyakarta tepatnya di jalan Tentara Pelajar nomor 24 Yogyakarta, yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakrta, Nomor 210/KEP/2010, Nomor urut 39. 1 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009, Panduan Pelestarian Bangunan Warisan Budaya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, hlm, 13. 2 https://id.berita.yahoo.com/ Hotel Toegoe Akan Menjadi Soeharto Center. Tempo.co Yogyakarta, senin 17-juni-2013. Diakses pada tanggal 02-10-2014, Yogyakarta

3 Merupakan tindak pidana terhadap Perusakan Bangunan Cagar Budaya sebagaimana diatur di dalam Pasal 105 Jo Pasal 66 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 3 Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan. 4 Sudah ditentukan di dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2010 ketentuan mengenai penyidikan terhadap tindak pidana cagar budaya Pasal 100 bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian cagar budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Tindak Pidana Cagar Budaya. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang pelestarian cagar budaya walaupun telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebut di atas, namun dalam pelaksanaan tugas dan kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya). dengan kata lain bahwa 3 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id// Penanganan Kasus Tindak Pidana Bangunan Cagar Budaya SMA 17. Bpcbyogyakarta. Diakses tanggal 02-10-2014. Yogyakarta. 4 http://blogmhariyanto.blogspot.com/ Kedudukan Dan Peran Penyidik POLRI Dan PPNS Dalam Tindak Pidana Kehutanan. Diakses pada tanggal 02/08/2014.

4 Kedudukan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana perusakan terhadap bangunan cagar budaya adalah sebagai koordinator dan sebagai pengawas proses penyidikan oleh PPNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya, dan Kedudukan PPNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian cagar budaya sebagai penyidik tindak pidana terhadap perusakan bangunan cagar budaya. Kedudukan institusi Polri sebagai kordinator pengawas (Korwas), menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu Polri. Akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat Polri. Bahkan kondisi ini sering berakhir dengan munculnya permasalahan hukum, seperti terjadinya gugatan praperadilan terhadap institusi Polri karena dianggap aparat Polri melampaui kewenangannya dalam melakukan penyidikan. Sungguh ironis, aparat Polri yang sejatinya merupakan pengemban utama dalam penyidikan tindak pidana harus menghadapi gugatan ketika sedang melaksanakan tugas pokoknya. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis ingin membahas lebih mendalam usulan penelitian yang berkaitan dengan topik ini, dengan judul Koordinasi Dan Pengawasan oleh POLRI

5 terhadap PPNS dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Rumusan masalah Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Kendala apakah yang dihadapi POLRI dalam koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS pada proses penyidikan perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah Untuk mengetahui kendala koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses penyidikan perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. D. Manfaat Penilitian Penulisan Hukum ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun secara Praktis sebagai berikut : 1. Teoritis Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran pengembangan ilmu pengetahuan Khususnya Perlindungan dan

6 Penegakan Hukum dalam tindak pidana terhadap Bangunan Cagar Budaya. 2. Praktis Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dan juga masyarakat agar dapat menindak dan melindungi bangunan cagar budaya dari segala bentuk pelanggaran, perusakan dan pencurian. E. Keaslian Penilitian Koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses penyidikan perusakan bangunan cagar budaya di daerah istimewa yogyakarta, merupakan hasil karya asli penulis, letak kekhususannya adalah bagaimanakah mengetahui kendala koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses penyidikan perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan penulusuran yang dilakukan penulis menemukan judul penulisan hukum / skripsi lain yang mirip dengan penulisan hukum / skripsi penulis. Namun dipastikan tetap berbeda dan/atau tidak sama, antara lain : 1. Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Benda Cagar Budaya di kota malang Nama Penulis : Andrea Angelina Cipta Wijaya a. Rumusan Masalah

7 1) Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Kota Malang? 2) Apa hambatan dan upaya Dinas Kebudayaan dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya di Kota Malang? b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya di Kota Malang. 2. Untuk mengetahui apa saja hambatan dan upaya Dinas Kebudayaan dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya di kota Malang. c. Kesimpulan 1) Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap benda cagar budaya berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang masih terlalu sedikit dalam melakukan upayanya untuk melindungi benda cagar budaya yang ada di Kota Malang. Hal ini sebabkan karena Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang terlambat dalam upayanya menyelamatkan benda cagar budaya.

8 Upaya perlindungan yang dilakukan terhadap benda cagar budaya masih kurang optimal. 2) Hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang antara lain adalah karena masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kebudayaan dari benda-benda cagar budaya, dan hambatan yang paling besar adalah banyaknya benda cagar budaya yang masih menjadi milik perorangan. F. Batasan Konsep Dalam kaitannya dengan obyek yang diteliti dengan judul Koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses penyidikan Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta maka dapat diuraikan batasan konsep sebagai berikut : 1. Koordinasi adalah : suatu hubungan kerja yang menyangkut bidang fungsi kepolisian atas dasar sendi-sendi hubungan fungsional dengan mengindahkan tugas dan kewenangan masing-masing. 2. Pengawasan adalah proses pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi kepolisian terbatas yang dilakukan Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama instansi yang membawahi Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa. 3. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menurut Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah yang menentukan Kepolisian adalah

9 segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi dengan perundang-undangan. Pasal 2 Undang-Undang No 2 tahun 2002 menyebutkan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 4. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012, yang dimaksud dengan PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. 5. Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana menyebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 6. Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana, disertai ancaman sanksinya yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. 7. Pengertian Bangunan Cagar Budaya : Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah Susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

10 G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder. Penelitian hukum normatif berupa norma hukum peraturan perundang-undangan yang dikaji secara vertikal dan horizontal, yaitu mengkaji undang-undang yang berkaitan dengan Koordinasi dan Pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses Penyidikan Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berupa data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan hukum primer 1) Undang-Undang Dasar Negara 1945 Amandemen ke- 4, khususnya Pasal 32 ayat (1) mengenai Negara memajukan kebudayan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 2) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya yaitu Pasal 1 butir 1 intinya mengenai Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar

11 budaya, dan kawasan cagar budaya didarat dan/atau diair yang perlu di lestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, Pasal 1 butir 3 mengenai Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, atau beratap. Pasal 66 ayat (1) mengenai Setiap orang dilarang merusak cagar budaya, baik seluruh maupun bagian bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal. Pasal 100 ayat (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang - tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Undang Cagar Budaya. Pasal 100 ayat (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana Cagar Budaya b) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

12 d) Melakukan penggeledahan dan penyitaan e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana Cagar Budaya f) Mengambil sidik jari dan memotret seorang g) Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi h) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara i) Membuat dan menandatangi berita acara, dan j) Mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya. Pasal 100 ayat (3) menyebutkan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 105 mengenai setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama (15) lima belas tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu khususnya Pasal 1

13 angka 1 yang menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penydik adalah : a) pejabat polisi negara republik indonesia b) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 4. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 38 ayat 1 mengenai Bangunan Gedung dan Lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. b. Bahan hukum sekunder : Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa fakta hukum, doktrin, asas asas hukum, pendapat hukum dalam literatur, jurnal, hasil penelitian, media massa, media electronik, internet, kamus besar bahasa indonesia (KBBI), yang berkaitan atau membahas persoalan Peran PPNS dalam Tindak Pidana terhadap Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Metode Pengumpulan Data

14 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara yang penjabarannya adalah sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan Cara ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, koran, website, dan pendapat hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. b. Wawancara Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, mengadakan wawancara langsung dengan penyidik polri dan penyidik pegawai negeri sipil di dinas kebudayaan dan pariwisata kota Yogyakarta yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan melakukan tanya jawab. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan baik terbuka maupun tertutup dengan penyidik polri dan penyidik pegawai negeri sipil di dinas kebudayaan dan pariwisata kota Yogyakarta yang paling berwenang menangani perkara tindak pidana perusakan terhadap bangunan cagar budaya dan mengetahui pasti kendala koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam proses penyidikan perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. 4. Analisis Data Langkah-langkah dalam melakukan analisis adalah :

15 a. Deskripsi, yaitu memaparkan atau menguraikan isi maupun struktur hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan proses penyidikan terhadap perusakan bangunan cagar budaya. b. Sistematisasi, langkah ini dilakukan untuk mensistematisasi isi dan struktur hukum positif secara vertikal dan horizontal. Sistematika secara vertikal yaitu menemukan ada tidaknya sinkronisasi peraturan perundang - undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, yakni Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke - 4, khususnya Pasal 32 ayat (1) mengenai negara memajukan kebudayaan nasional indonesia ditengah perdaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, di kaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1 butir 1 intinya mengenai Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu di lestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan dengan Pasal 66 ayat (1) mengenai Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal. Dan dikaitkan dengan Pasal 100 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya menentukan bahwa

16 Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Cagar Budaya. Dikaitkan dengan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Bentuk Bentuk Pengamanan Swakarsa yang dimaksud dengan PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penalaran hukum yang digunakan yaitu secara eksklusi, yaitu tiap sistem hukum diidentifikasikan oleh sejumlah peraturan perundangundangan. Dalam hal ini sudah ada sinkronisasi baik secara vertikal diantara Undang-Undang tentang Cagar Budaya Pasal 1 ayat (1) mengenai Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya didarat dan/atau diair yang perlu di lestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan yang telah dikaitkan

17 dengan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke - 4, khususnya Pasal 32 ayat (1) mengenai negara memajukan kebudayaan nasional indonesia ditengah perdaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, yang telah terjadi suatu sinkronisasi sehingga penalaran hukumnya yang digunakan bersifat sum-sumsi sehingga mengakibatkan tidak perlu adanya suatu asas berlakunya peraturan perundang-undangan. Dan secara horizontal antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 66 ayat (1) mengenai Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal, Pasal 105 mengenai setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama (15) lima belas tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dan kaitan Pasal 100 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya menentukan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Cagar Budaya dan dikaitkan dengan Kitab Undang Undang

18 Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu khususnya Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. Sudah dianggap terjadi sinkronisasi dikarena masing-masing peraturan mengandung tujuan pelestarian dan pelindungan terhadap suatu bangunan cagar budaya sehingga terjadi sinkronisasi yang kemudian digunakan penalaran hukum yang bersifat sum-sumsi sehingga mengakibatkan tidak perlu adanya suatu asas berlakunya peraturan perundang-undangan. H. Sistematika Skripsi BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Koordinasi dan Pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab ini memuat pembahasan mengenai koordinasi dan pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam Proses

19 Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan untuk mengetahui lebih jelas dan konkrit tentang Kendala apakah yang dihadapi POLRI dalam koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS pada proses penyidikan tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta maka dilakukan penelitian dengan menilai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berlaku serta meneliti secara langsung kepada anggota kepolisian. Selain itu juga dilakukan analisa terhadap peran kepolisian dalam mewujudkan perlindungan khususnya terhadap bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab III : PENUTUP permasalahan yang diteliti. Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan