JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI. Diajukan oleh : Daniel Malonda NPM : Program Kekhususan : Hukum Tentang Hubungan Internasional UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

JURNAL. Oleh: LUTHFY RAMIZ NIM

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai berbagai-bagai fungsi,

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. urgensinya terhadap pemeliharaan integritas wilayah. wilayah secara komprehensif dengan negara-negara tetangganya.

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAS PULAU NIPA DITINJAU BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

Prinsip-Prinsip Penentuan Garis Pangkal dan Garis Batas Laut Teritorial antara Republik Indonesia dan Republik Demokratis Timor Leste

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

KEABSAHAN KLAIM KEDAULATAN JEPANG ATAS KEPULAUAN SENKAKU

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

LAMPIRAN KERTAS POSISI WWF INDONESIA TENTANG PEMANFAATAN TRADISIONAL SUMBER DAYA ALAM UNTUK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN KONSERVASI

SISTEMATIKA PEMAPARAN

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

PENGUATAN HAK BERDAULAT (SOUVEREIGN RIGHT) PADA ZEE INDONESIA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA ALAM LAUT. Indien Winarwati

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB I PENDAHULUAN. dan gas yang terkandung di Laut Timor. tertentu berdasarkan pada prinsip Landas Kontinen.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

KERANGKA HUKUM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERDASARKAN KONSEP INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DALAM RANGKA PEMBANGUNAN KELAUTAN BERKELANJUTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

PENEGAKAN YURISDIKSI TERITORIAL NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENCAPAIAN ASEAN PHYSICAL CONNECTIVITY

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

JURNAL EFEKTIFITAS MOU BOX 1974 TERHADAP HAK PERIKANAN TRADISIONAL NELAYAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak

PENYELESAIAN PERMASALAHAN BATAS WILAYAH ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI PERAIRAN SELAT MALAKA DITINJAU DARI UNCLOS 1982

The Exclusive Economic Zone. Batas/Delimitasi ZEE. Definisi Umum ZONA MARITIM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

JURNAL KEABSAHAN STATUS KEPEMILIKAN PULAU PASIR OLEH AUSTRALIA BERKAITAN DENGAN KEGIATAN NELAYAN TRADISIONAL BERDASARKAN UNCLOS 1982.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

Perkembangan Hukum Laut Internasional

ANALISIS PERATURAN DAERAH

Transkripsi:

JURNAL KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982 Disusun oleh : Daniel Malonda NPM : 1005-10397 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Tentang Hubungan Internasional UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2014 i

KARAKTERISTIK HAK PENANGKAPAN IKAN SECARA TRADISIONAL (TRADITIONAL FISHING RIGHTS) NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA MENURUT KETENTUAN UNCLOS 1982 Daniel Malonda, B Bambang Riyanto Program Studi Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ABSTRACT The existence of International Law of the Sea of which regulates national sovereignty towards the maritime area, guarantees the enforcement of rights and obligations of state on the maritime area. One of the right is traditional fishing rights which is set within United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. However, UNCLOS 1982 does not specifically establish the tradional nature of the forementioned right. This circumstance furthermore results on legal uncertainty which potentially raises loss to the subject of traditional fishing rights. This article will formulate the traditional nature of the recognition of traditional fishing rights, traditional nature of Indonesian Traditional Fishermen and legal protection towards them. The research shows that although according Article 51 par (1) of UNCLOS 1982 the duty to recognize Traditional Fishing Rights is burdened to Archipelagic States, but it also have been the practice of non-archipelagic States Keywords: International law of the sea, traditional fishing rights, traditional nature

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan dengan penduduk pantai yang besar jumlahnya, serta begitu luasnya wilayah pantai Indonesia menjadi alasan yang kuat bagi penduduk Indonesia sendiri secara maksimal memanfaatkan kekayaan laut yang ada di setiap wilayah kepualauannya. Kekayaan berupa Sumber daya hayati yang terdapat di dalam laut tersebut sangat beragam mulai dari berbagai jenis ikan yang kaya protein, terumbu karang, aneka bahan tambang, dan masih banyak lagi. Nelayan adalah profesi mayoritas penduduk negeri ini. Hampir 60% penduduk Indonesia berada di pedesaan dan pesisir pantai. Profesi ini sesuai dengan alam Indonesia yang memang agraris dan laut sebagai wilayah terbesar negeri ini. Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktifitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Hukum laut internasional mengatur hal-hal signifikan terkait aplikasi kedaulatan negara di wilayah laut seperti kedaulatan di wilayah laut territorial dan hak-hak berdaulat di wilayah zona ekonomi eksklusif. Salah satu hak yang berkaitan erat dengan kedaulatan negara pantai di wilayah perairan adalah hak negara untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah laut. Hak ini meliputi wilayah laut teritorial dan/atau perairan kepulauannya. Hal ini tentu erat kaitannya dengan peran Nelayan Tradisional dalam pemanfaatan kekayaan laut ini. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa hukum laut internasional belum secara komprehensif mengatur hak penangkapan ikan secara tradisional. Hak penangkapan ikan secara tradisional secara implisit disebutkan dalam Ketentuan Pasal 47 ayat (6)

UNCLOS 1982 yang menjelaskan bahwa hak dan kepentingan yang secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara yang berbatasan di salah satu bagian perairan kepulauan dari suatu negara kepulauan yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian antara kedua negara tetap berlanjut dan dihormati. Selanjutnya, Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 mengatur lebih jauh lagi hak penangkapan ikan secara tradisional yang menjelaskan bahwa negara kepulauan harus menghormati perjanjian dengan negara-negara lainnya dan harus mengakui hak penangkapan ikan secara tradisional dari negara yang berbatasan langsung dalam kawasan tertentu di dalam perairan kepulauan. Sedangkan syarat dan ketentuan dalam menjalankan hak-hak dan aktivitas tersebut harus berdasarkan permintaan negara yang berhubungan dan diatur melalui perjanjian bilateral. Kepastian hukum terhadap hak penangkapan ikan secara tradisional yang terdapat dalam Ketentuan Pasal 47 ayat (6) dan pasal 51 UNCLOS 1982 tidak secara bersamaan memberikan kepastian konsep hak penangkapan ikan secara tradisional itu sendiri. Hal tersebut terbukti belum adanya rumusan konsep terkait karakteristik tradisional dari hak ini secara lebih mendalam. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah pokok penelitian sebagai berikut: Bagaimana Karakteristik Hak Penangkapan Ikan secara Tradisional (Traditional Fishing Rights) Nelayan Tradisional Indonesia Menurut Ketentuan UNCLOS 1982?

PEMBAHASAN Hak Penangkapan Ikan Tradisional (Traditional Fishing Rights) merupakan hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisional negara tetangga untuk melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Pengakuan terhadap hak tersebut diakomodir di dalam Bab IV Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyebutkan: An archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring Statesin certain areas falling within archipelagic waters. The terms andconditions for the exercise of such rights and activities, including thenature, the extent and the areas to which they apply, shall, at therequest of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Negara Kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui Hak Penangkapan Ikan secara Tradisional dan kegiatan lain yang sah sebagai negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam Perairan Kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Konsep karakteristik tradisional dari hak penangkapan ikan secara tradisional terbagi ke dalam beberapa sisi. Konsep-konsep tersebut adalah karakteristik tradisional dari sisi masyarakat tradisional, karakteristik tradisional dari sisi lokasi penangkapan ikan, karakteristik tradisional berdasarkan metode penangkapan ikan, karakteristik tradisional dari sisi kapal penangkap ikan dan karakteristik tradisional berdasarkan jenis spesies tangkapan dan karakteristik tradisional berdasarkan penggunaan hasil tangkapan.

a. Karakteristik Tradisional Dari Sisi Masyarakat Tradisional Masyarakat tradisional merupakan salah satu karakteristik tradisional yang menyusun pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Karakteristik tradisional secara umum menggambarkan rentang waktu dan masyarakat, beserta tingkah lakunya, termasuk dalam hal perikanan. Karakteristik tradisional dari sisi masyarakat tradisional dari hak penangkapan ikan secara tradisional diterima sebagai salah satu kebiasaan internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan diterapkannya karakteristik masyarakat tradisional sebagai norma diantaranya dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Torres Strait Treaty 1978 antara Papua Nugini dan Australia, Ketentuan Pasal 1 huruf (d) Pacific Islands Treaty 1989 antara Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Dalam dua perjanjian bilateral tersebut, karakteristik tradisional dari sisi masyarakat tradisional diartikan dalam bentuk masyarakat pribumi yang memiliki ketergantungan secara tradisional dengan wilayah penangkapan ikan secara tradisional. b. Karakteristik Tradisional Dari Sisi Lokasi Penangkapan Ikan Lokasi penangkapan ikan merupakan karakteristik tradisional dari pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Karakter tradisional ini diterapkan dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (7) dari Jakarta Treaty 1982 antara Malaysia dan Indonesia dan dalam Paragraf 61 dalam Keputusan Mahkamah Internasional perkara Fisheries Jurisdiction Case 1973 antara Republik Federasi Jerman dan Eslandia. Dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (7) Jakarta Treaty 1982, pengakuan Indonesia terhadap penangkapan ikan secara tradisional dari Nelayan Tradisional Malaysia

diterapkan di wilayah khusus di perairan Kepulauan Anambas yang terletak di antara Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Sementara, Mahkamah Internasional mengakui hak penangkapan ikan secara tradisional berdasarkan lokasi penangkapan ikan tertentu seperti yang terdapat dalam Paragraf 61 dari Keputusan Mahkamah Internasional perkara Fisheries Jurisdiction Case 1973. Karakteristik tradisional ini diakui oleh Mahkamah Internasional dalam pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional dari Republik Federasi Jerman di perairan internasional yang diklaim oleh Eslandia. c. Karakteristik Tradisional Berdasarkan Metode Penangkapan Ikan Metode penangkapan ikan merupakan salah satu karakteristik tradisional dari pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Penangkapan ikan secara tradisional memiliki karakteristik penggunaan alat dan metode yang tradisional. Karakteristik tradisional ini diterapkan secara berulang dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (7) Jakarta Treaty 1982 dan Paragraf 314 Award of Arbitral Tribunal Eritrea-Yemen 1998. Ketentuan Pasal 1 ayat (7) dari Jakarta Treaty 1982 mengatur bahwa Nelayan Tradisional Malaysia, sebagai subyek hak penangkapan ikan secara tradisional, menggunakan metode penangkapan tradisional dalam melaksanakan kegiatan penangkapan ikannya. Sementara dalam Paragraf 314 Award of Arbitral Tribunal Eritrea-Yemen 1998, tuntutan yang diajukan Eritrea atas pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional di Laut Merah dalam sengketa Kepulauan Hanish adalah berdasarkan karakteristik tradisional dari sisi metode tradisional penangkapan ikan. Hal ini berhubungan dengan eksistensi

Nelayan Eritrea yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan alat dan metode tradisional. Dimana kemudian pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional di wilayah sengketa dikabulkan oleh Majelis Arbitrase dan dibebankan pada Yaman sebagai pemilik sah wilayah sengketa Kepulauan Hanish. d. Karakteristik Tradisional Dari Sisi Kapal Penangkap Ikan Kapal penangkap ikan merupakan salah satu karakteristik tradisional dari pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Karakteristik tradisional dari sisi kapal penangkap ikan diterapkan di dalam Paragraf 1 Annex II Amandemen MoU Indonesia-Australia 1989 dan hukum nasional Indonesia juga Papua Nugini sebagai dua negara kepulauan yang mengakui eksistensi penangkapan ikan secara tradisional. Penerapan karakteristik tradisional kapal penangkap ikan dalam Paragraf 1 Annex II Amandemen MoU Indonesia-Australia 1989 dibatasi kepada penggunaan kapal tradisional oleh Nelayan Tradisional Indonesia yang sesuai dengan tradisi selama dasawarsa lampau dan tidak menggunakan kapal bermotor dan mesin. Sementara dalam hukum nasional Indonesia, tepatnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, karakteristik tradisional dari sisi kapal penangkap ikan diterapkan dalam pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional secara lebih khusus. Penerapan karakteristik tradisional ini diatur dalam Penjelasan Ketentuan Pasal 17 ayat (2), yang berbunyi: Yang dimaksud dengan nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal tanpa mesin, dilakukan secara turun temurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketentuan dari Penjelasan Pasal 17 ayat (2) di atas, terdapat sebuah pengertian bahwa Nelayan Tradisional Indonesia sebagai subyek dari penangkapan ikan secara tradisional menggunakan kapal yang tidak menggunakan mesin. Sementara Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dari Fisheries Management Act 1998 milik Papua Nugini menggunakan karakteristik ini sebagai unsur pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional secara nasional. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) berbunyi: artisanal fishing means fishing by indigenous inhabitants in fisheries waters where they are entitled by custom or law to fish, where - (a) the fish are taken in a manner that, as regards the vessel, the equipment and the method used, is in accordance with their customary traditions or is small-scale and individually operated; and... Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Fisheries Management Act 1998 di atas mengatur bahwa dalam proses penangkapan ikan secara tradisional, kapal penangkapan ikan yang digunakan adalah kapal yang sesuai dengan tradisi dan kebiasaan dari masyarakat tradisional. Sehingga karakteristik tradisional kapal penangkap ikan adalah kapal yang telah dipergunakan sejak dasawarsa lampau dan yang tidak memiliki motor. e. Karakteristik Tradisional Berdasarkan Jenis Tangkapan. Jenis tangkapan merupakan salah satu karakteristik tradisional yang diterapkan dalam pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Penerapan karakteristik tradisional berdasarkan jenis spesies tangkapan ini diterapkan dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (l) Torres Strait Treaty 1978 antara Papua Nugini dan Australia dan diakui dalam Paragraf 247 Award of Arbitral Tribunal Barbados-Trinidad & Tobago 2006. Dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (l) dari Torres Strait Treaty 1978 mengatur bahwa penangkapan ikan secara tradisional dalam perjanjian bilateral ini merupakan kegiatan penangkapan spesies mahluk hidup yang ada di lautan, dasar laut, muara dan wilayah pasang surut pesisir yang termasuk dugong dan kura-kura.

Penerapan karakteristik tradisional ini dalam Torres Strait Treaty 1978 berkaitan dengan latar historis dari masyarakat tradisional Papua Nugini. Dugong, kura-kura dan teripang, merupakan spesies yang secara tradisional telah ditangkap oleh Masyarakat Tradisional Papua Nugini. Masyarakat Tradisional Papua Nugini telah melakukan penangkapan terhadap spesies-spesies tersebut secara turun-temurun. Sementara itu penerapan karakteristik tradisional ini terdapat dalam Paragraf 247 dari Award of Arbitral Tribunal Barbados-Trinidad & Tobago 2006. Paragraf 247 dari Keputusan Majelis Arbitrase tersebut menjadikan jenis spesies ikan flyingfish (ikan terbang) sebagai salah satu karakteristik dari pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional Nelayan Barbados. Berdasarkan elaborasi tersebut, Karakteristik tradisional berdasarkan jenis spesies tangkapan memiliki peran yang dalam pengakuan hak penangkapan ikan secara tradisional. Karena jenis spesies tangkapan yang spesifik merupakan salah satu unsur adanya penangkapan ikan secara tradisional. f. Karakteristik Tradisional Berdasarkan Penggunaan Hasil Tangkapan Penggunaan hasil tangkapan merupakan salah satu karakteristik tradisional dari penangkapan ikan secara tradisional. Karakteristik tradisional ini merupakan salah satu fokus dari tradisionalitas penangkapan ikan. Karakteristik tradisional berdasarkan penggunaan hasil tangkapan ikan diterapkan dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (l) Torres Strait Treaty 1978, Ketentuan Pasal 1 huruf (d) Pacific Island Treaty 1989 dan diakui dalam Fisheries Jurisdiction Case 1973. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (l) dan Pasal 1 huruf (d) dari Torres Strait Treaty 1978 dan Pacific Island Treaty 1989 menerapkan karakteristik tradisional ini secara

identik. Kedua perjanjian bilateral ini memberikan ketentuan bahwa penangkapan ikan secara tradisional yang diakui dari subyek hak penangkapan ikan secara tradisional, adalah penangkapan ikan yang dilakukan guna konsumsi pribadi dan komunitas, dan untuk aktivitas tradisionalnya. Namun lebih jauh lagi, Ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf (k) Torres Strait Treaty 1978 mengakui karakteristik tradisional penggunaan hasil tangkapan ikan untuk kegiatan ekonomi dan perdagangan. Dalam pasal ini, kegiatan ekonomi dan perdagangan didefinisikan sebagai bagian dari aktivitas tradisional dari masyarakat tradisional. Sementara Paragraf 61 dari keputusan pengadilan dalam Fisheries Jurisdiction Case 1973 mengemukakan bahwa aktivitas penangkapan ikan secara tradisional, yang muncul sebagai akibat dari ketergantungan ekonomi dan ketergantungan terhadap suatu lokasi penangkapan ikan tidak dapat dihilangkan. Berdasarkan elaborasi norma-norma tersebut, karakteristik tradisional berdasarkan penggunaan hasil tangkapan terutama digunakan untuk konsumsi dan untuk kegiatan tradisional. Namun tidak terbatas pada peruntukan tersebut karena penggunaan dalam hal perdagangan dapat dijustifikasi berdasarkan ketentuan dalam norma dalam perjanjian bilateral dan diakui dalam keputusan pengadilan. Perlindungan Hukum terhadap Nelayan Tradisional Indonesia dalam pengakuan Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional tersebut diatur dalam beberapa sumber hukum laut internasional diantaranya UNCLOS 1982, Cancun Declaration of the International Conference on Responsible Fishing 1992, Deklarasi Rio 1992 dan FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 dan Agenda 21 Plan of Action. Sedangkan dalam hukum

nasional Indonesia, Nelayan Tradisional Indonesia memiliki perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. 1. Menurut UNCLOS 1982 Perlindungan hukum dalam UNCLOS 1982 adalah berupa pengakuan atas eksistensi penangkapan ikan secara tradisional. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 mengakui eksistensi hak penangkapan ikan secara tradisional yang diterapkan di perairan negara yang berbatasan. Pengakuan terhadap aktivitas penangkapan ikan secara tradisional ini jelas merupakan alas hak dari perlindungan hukum lainnya kepada nelayan tradisional terhadap aktivitas penangkapan ikan secara tradisionalnya. Negara berhak atas segala manfaat ayng dihasilkan dari pengelolaan perikanan di wilayah perairannya tanpa mengabaikan eksistensi dari hak penangkapan ikan secara tradisional dari nelayan tradisional. Paragraf 9 dari Cancun Declaration 1992 memberikan perlindungan terhadap eksistensi dan kepentingan nelayan tradisional yang dibebankan kepada negara-negara. Dimana Paragraf 9 dari Cancun Declaration 1992 berbunyi States should take measures to ensure respect for the interests of small-scale artisanal and indigeneous fishers. 2. Cancun Declaration of the International Conference on Responsible Fishing 1992 Paragraf 9 dari Cancun Declaration 1992 di atas mengandung pengertian bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk mengambil langkah atas penghormatan kepentingan-kepentingan dari nelayan tradisional skala kecil dan nelayan pribumi. Dalam sudut pandang perlindungan hukum terhadap Nelayan Tradisional Indonesia di Laut Timor, Indonesia dan Australia sebagai dua negara yang memiliki kaitan

dengan eksistensi penangkapan ikan secara tradisional di Laut Timor, memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menghormati kepentingan dari Nelayan Tradisional Indonesia di Laut Timor. Kedua negara tersebut bertanggung jawab untuk menerapkan langkah protektif terhadap nelayan 3. Deklarasi Rio 1992 Paragraf 22 dari Deklarasi Rio 1992 memberikan asas perlindungan terhadap peran penting yang dimiliki oleh masyarakat lokal/tradisional dan pribumi. Berdasarkan Paragraf 22 tersebut, Indonesia dan Australia dalam kerangka perlindungan hukum terhadap Nelayan Tradisional Indonesia di Laut Timor memiliki tanggung jawab untuk mengakui segala nilai-nilai dan kepentingan dari Nelayan Tradisional Indonesia di Laut Timor, termasuk nilai-nilai budaya dan kepentingan dari masyarakat nelayan tradisional dari berbagai kelompok yang melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Laut Timor. 4. FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 Paragraf 6.18 dari FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 memberikan ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap hak nelayan tradisional dalam beberapa hal. Paragraf 6.18 dari FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 mengatur bahwa negara harus secara tepat memberikan perlindungan terhadap hakhak dari nelayan dan pekerja maritim, khususnya kepada nelayan tradisional dan nelayan skala-kecil, terhadap penghidupan yang terjamin dan adil dan terhadap akses yang istimewa atas lokasi penangkapan ikan secara tradisional dan sumber daya dalam yurisdiksi nasionalnya.

Sedangkan Paragraf 7.6.6 dari FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 Paragraf 7.6.6 dari FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995 mengatur perlindungan hukum terhadap masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat pribumi atas pengakuan terhadap kebiasaan tradisionalnya, kebutuhan dan kepentingannya dalam hukum dan peraturan nasional terkait manajemen perikanan. Berdasarkan ketentuan ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakomodir eksistensi masyarakat nelayan tradisional melalui pengakuan terhadap kebiasaan tradisional dan kebutuhan juga kepentingan Nelayan Tradisional Indonesia, yang dalam karakteristiknya disusun dari berbagai kelompok masyarakat tradisional, terkait pengaturan masalah manajemen, konservasi dan penggunaan sumber daya perikanan. 5. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Indonesia menjamin akomodasi dari kepentingan Nelayan Tradisional Indonesia dalam pemanfaatan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketentuan ini terdapat dalam Ketentuan Pasal 17 ayat (2) dan Ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf (b) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengandung pengertian bahwa dalam pemberian Izin Lokasi guna pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap, berbagai kepentingan terkait masyarakat, kepentingan nasional dan hak lintas bagi kapal asing harus dipertimbangkan, termasuk kepentingan nelayan tradisional. Sedangkan Ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf (b) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengatur perlindungan hukum terhadap Nelayan Tradisional

Indonesia di Laut Timor atas wilayah penangkapan ikan secara tradisional yang terdapat di Laut Timor bagian Indonesia melalui mekanisme pengusulan wilayah oleh masyarakat kepada Pemerintah Indonesia KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis sampai pada kesimpulan sebagai berikut: Hak Penangkapan Ikan secara Tradisional merupakan hak yang diberikan kepada Nelayan-Nelayan Tradisional negara tetangga untuk melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Pengakuan terhadap hak tersebut diakomodir di dalam Bab IV Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982. Namun demikian, UNCLOS 1982 hanya mengatur secara sekilas mengenai hak ini. Adapun ketentuan yang teknis mengenai hak tersebut, seperti sumberdaya ikan apa saja yang boleh ditangkap, dimana kegiatan penangkapan (fishing ground) harus dilakukan, dan lain sebagainya harus diatur lebih lanjut di dalam perjanjian bilateral kedua negara. Secara Karakteristik, Hak Penangkapan Ikan Tradisional yang dijelaskan dalam Perjanjian Bilateral antara Indonesia dengan Negara-negara yang berbatasan langsung wilayah lautnya, baik yang dituangkan dalam MoU Box Indonesia dengan Australia, perjanjian Indonesia dengan Papua Nugini, serta Perjanjian Bilateral Indonesia dengan Malaysia untuk mengatur hak-hak Nelayan Tradisional belum bias mengakomodir kepentingan mendasar Nelayan Tradisonal Indonesia. Masih begitu banyak multi tafsir dan

batasan-batasan yang dibuat oleh pihak yang berkepetingan dengan tidak melihat realita yang ada sekarang. DAFTAR PUSTAKA Atje Misbach Muchjidin,1993, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Liontas Kapal Asing, Alumni, Bandung Djalal Hasjim, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung Djalal Hasjim, 1995, Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, DKP, Jakarta Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law Of The Sea) Tahun 1982 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil