LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PELARANGAN, PENGAWASAN, DAN PENGENDALIAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN, PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 01 Tahun : 2009 Seri : E

P E R A T U R A N D A E R A H

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK NO. 6 TH PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGAWASAN, PENGENDALIAN, PEREDARAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2012 NOMOR : 12 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN, PENGEDARAN DAN PENJUALAN, SERTA PERIZINAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PELARANGAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PENGEDARAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 06 TAHUN 2006 T E N T A N G PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN, PENGENDALIAN DAN PELARANGAN MINUMAN BERALKOHOL

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

7. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 25, T

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011 NOMOR 6

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BURU Dan BUPATI BURU MEMUTUSKAN :

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN MINUMAN BERALKOHOL

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 13TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PENGEDARAN, PENJUALAN DAN PENGGUNAAN MINUMAN BERALKOHOL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 3 TAHUN 2010 SERI : E NOMOR : 3

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG MINUMAN KERAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 10 TAHUN 2004 SERI E NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PELARANGAN PRODUKSI, PENGEDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR : 23 TAHUN 2000 TENTANG LARANGAN, PENGAWASAN, PENGENDALIAN PEREDARAN DAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 6 TAHUN 2013

PROVINSI PAPUA BUPATI KEEROM

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 10 TAHUN 2015 RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL DI KABUPATEN KUNINGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL DI KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG MINUMAN KERAS / BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL DI KABUPATEN SIDOARJO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,

Walikota Tasikmalaya

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 02 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN DAN LARANGAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KEBUPATEN TANA TORAJA NOMOR 6 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 12 TAHUN 2008 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

BUPATI PADANG LAWAS PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURANDAERAH KABUPATEN PADANG LAWAS NOMOR 07 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGATURAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 19 TAHUN 2001 T E N T A N G PENGATURAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL KOTA BATAM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 04 TAHUN 2002 SERI C NOMOR 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KAIMANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO MINUMAN KERAS

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN MINUMAN KERAS DAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PEMERINTAH KABUPATEN MALINAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALINAU NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI KABUPATEN MALINAU

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

- 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL

Transkripsi:

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 2 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG ANTI PERBUATAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, ketertiban dan ketentraman masyarakat guna mendukung visi Kabupaten Garut serta terselenggaranya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab di Kabupaten Garut, maka perlu adanya upaya pembangunan kehidupan sosial masyarakat yang bersih dari segala bentuk kemaksiatan; 1

b. bahwa Kabupaten Garut adalah suatu daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan norma-norma kesopanan serta perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga perbuatan maksiat bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini oleh masyarakat Kabupaten Garut perlu dihilangkan; c. bahwa untuk maksud tersebut huruf a dan b di atas, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495); 5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 2

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol; 10. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Inodnesia Nomor 15/M-DAG/PER/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Import, Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol; 3

11. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 5 Tahun 2002 tentang Kewenangan Daerah Kabupaten Garut (Lembaran Daerah Tahun 2002 Nomor 13); 12. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 23); 13. Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2006 Nomor 7). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN GARUT dan B U P A T I G A R U T MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT TENTANG ANTI PERBUATAN MAKSIAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Garut. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4

3. Bupati adalah Bupati Garut. 4. Pejabat yang ditunjuk adalah pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah yang berwenang di bidang tertentu dan mendapat pendelegasian pelimpahan wewenang dari Bupati. 5. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah. 6. Perbuatan Maksiat adalah perbuatan yang melanggar norma-norma agama, kesusilaan serta nilai-nilai luhur masyarakat. 7. Pelacuran adalah tindakan pertukaran hubungan seksual di luar pernikahan antara sesama maupun berbeda jenis kelamin tanpa ikatan pernikahan baik dengan ataupun tanpa imbalan. 8. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi, baik dengan cara memberi perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman dengan ethanol. 9. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana diatur Peraturan Daerah ini. 10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 11. Pembinaan adalah upaya untuk merubah perilaku melalui bimbingan kerohanian, rehabilitasi, pendidikan dan pelatihan atau melalui caracara lain. 12. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 13. Penjual langsung minuman beralkohol adalah setiap orang yang melakukan penjualan minuman beralkohol kepada konsumen akhir untuk diminum langsung di tempat yang telah ditentukan. 5

14. Pengecer minuman beralkohol adalah setiap orang yang melakukan penjualan minuman beralkohol kepada konsumen akhir dalam bentuk kemasan di tempat yang telah ditetapkan. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Maksud Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang terbebas dari segala bentuk kemaksiatan. (2) Tujuan Peraturan Daerah ini adalah meningkatkan ketertiban, keamanan, serta menciptakan kehidupan masyarakat yang selaras, serasi, seimbang sesuai dengan nilai-nilai etika, moral dan agama yang diyakini oleh masyarakat di Daerah, sehingga terwujud kesalehan sosial guna mencapai visi dan misi Daerah. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 (1) Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi perbuatan kemaksiatan yang terdiri dari larangan pelacuran, larangan pelanggaran kesusilaan, dan larangan minuman beralkohol. (2) Pembatasan ruang lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada : a. pelacuran merupakan bentuk perzinaan yang mampu merusak sendi-sendi moral masyarakat, ketahanan keluarga dan berdampak pada kesehatan serta keturunan; b. pelanggaran kesusilaan merupakan tindakan pelanggaran normanorma serta nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat; dan 6

c. minuman beralkohol merupakan sumber munculnya gangguan ketertiban dan keamanan di masyarakat serta berdampak pada kesehatan bagi penggunanya. BAB IV TINDAK PELANGGARAN KEMAKSIATAN Bagian Pertama Larangan Pelacuran dan Kesusilaan Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang menyediakan diri baik sendiri maupun bersamasama secara terbuka maupun tersembunyi melakukan tindakan pelacuran. (2) Setiap orang dilarang mendirikan, mengusahakan, dan/atau menyediakan pelacuran sebagai mata pencaharian. (3) Setiap orang dilarang menyuruh orang lain dan/atau orang yang di bawah kekuasaannya atau perwaliannya, baik dengan paksaan maupun tanpa paksaan untuk menjadi pelacur. (4) Setiap orang dilarang mempermudah dan menyembunyikan terjadinya pelacuran dan/atau membiarkan penggunaan fasilitasnya untuk praktik pelacuran. Pasal 5 (1) Setiap orang yang perilaku dan tindakannya patut diduga sebagai pelaku pelacuran dilarang berada di lapangan, taman kota, rumah penginapan, hotel, losmen, pasar swalayan, warung, salon atau tempat-tempat lain. (2) Setiap orang dilarang membujuk baik dengan perkataan, isyarat, atau dengan cara lain yang mengakibatkan terjadinya praktik pelacuran. Pasal 6 Setiap orang dilarang tinggal bersama tanpa terikat hubungan perkawinan yang sah sebagai suami-istri. 7

Setiap orang dilarang : Bagian Kedua Larangan Minuman Beralkohol Pasal 7 a. menyimpan dan/atau menyajikan minuman beralkohol; b. mengkonsumsi atau menyalahgunakan minuman beralkohol, baik untuk diri sendiri maupun orang lain; c. mabuk yang disebabkan minuman beralkohol; d. meracik, meramu atau perbuatan lain yang menghasilkan minuman beralkohol baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk diperjualbelikan; dan e. menjual minuman beralkohol kepada masyarakat di Daerah yang belum memenuhi batas usia sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 8 (1) Setiap orang di Daerah dilarang memproduksi minuman beralkohol secara tradisional. (2) Setiap orang di Daerah dilarang menyediakan, mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol dan/atau minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan tanpa memiliki izin atau pada tempat-tempat yang dilarang. BAB V PENCEGAHAN Pasal 9 (1) Bupati wajib melaksanakan upaya-upaya pencegahan pelanggaran larangan-larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 melalui : 8

a. operasi penertiban di lapangan, taman kota, rumah penginapan, hotel, losmen, pasar swalayan, warung, salon atau tempat-tempat lain yang patut diduga dijadikan lokasi pelacuran; b. pengawasan terhadap rumah-rumah yang dijadikan usaha kontrakan, indekost, atau sejenisnya; c. pengawasan terhadap peredaran minuman beralkohol; d. operasi penertiban terhadap perdagangan minuman beralkohol yang tidak memiliki izin atau pada tempat-tempat yang dilarang; dan e. sosialisasi ketentuan Peraturan Daerah ini kepada seluruh lapisan masyarakat. (2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Tim Terpadu yang terdiri dari Satuan Kerja Perangkat Daerah serta instansi lain di Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (3) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketuai oleh pejabat yang ditunjuk serta bertanggung jawab kepada Bupati dan melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berkala. BAB VI PEMBATASAN DAN PENGENDALIAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL Bagian Pertama Pembatasan Pasal 10 Minuman beralkohol dikelompokan dalam golongan sebagai berikut : a. minuman beralkohol golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu per seratus) sampai dengan 5% (lima per seratus); 9

b. minuman beralkohol golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 5% (lima per seratus) sampai dengan 20% (duapuluh per seratus); dan c. minuman beralkohol golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 20% (duapuluh per seratus) sampai dengan 55% (limapuluh lima per seratus). Pasal 11 Bupati dapat memberikan izin usaha bagi penjualan langsung untuk diminum di tempat dan pengecer golongan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12 (1) Penjualan secara eceran minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a hanya diizinkan dalam bentuk kemasan pada tempat-tempat tertentu berdasarkan Keputusan Bupati. (2) Penjualan secara eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang pada : a. kaki lima, terminal, stasiun, pasar, kios-kios kecil, dan bumi perkemahan; b. tempat-tempat yang berdekatan dengan masjid atau tempat peribadatan lainnya, gelanggang remaja, gelanggang olah raga, sekolah dan pondok pesantren, rumah sakit, puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, lingkungan perumahan dan lingkungan perkantoran ; dan c. tempat-tempat lain berdasarkan Keputusan Bupati. Pasal 13 (1) Penjualan langsung golongan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dan huruf c secara eceran untuk diminum di tempat, hanya diizinkan di : a. Hotel berbintang 3, 4 dan 5; dan b. Restoran dengan Tanda Talam Kencana dan Talam Seloka. 10

(2) Penjualan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diizinkan untuk diminum di kamar hotel dengan kemasan berisi tidak lebih besar dari 187 ml (seratus delapan puluh tujuh mililiter). Pasal 14 (1) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Bupati dapat memberikan izin usaha untuk tempat-tempat tertentu bagi penjual langsung untuk diminum di tempat dan/atau pengecer minuman beralkohol yang mengandung rempah-rempah, jamu, dan sejenisnya untuk tujuan kesehatan. (2) Pengecer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diizinkan menjual minuman beralkohol dalam kemasan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) berlaku bagi penjual langsung untuk diminum ditempat dan/atau pengecer minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 15 Pengecer minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), penjual langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dan penjual langsung untuk diminum di tempat dan/atau pengecer minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilarang menjual minuman beralkohol kepada masyarakat di Daerah yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Bagian Kedua Pengendalian Pasal 16 (1) Pengecer minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), penjual langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dan penjual langsung untuk diminum di tempat dan/atau pengecer minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus terdaftar secara nyata dalam daftar jaringan distribusi sebagai penjual langsung atau pengecer minuman beralkohol, penjual langsung dan/atau pengecer minuman beralkohol pada Sub Distributor resmi minuman beralkohol dan/atau Sub Distributor resmi minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan yang wilayah kerjanya ada di Daerah. 11

(2) Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang resmi dan asli dikeluarkan oleh Sub Distributor minuman beralkohol dan/atau Sub Distributor minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan harus ditempelkan atau ditempatkan pada tempat-tempat yang dapat dilihat di tempat kegiatan usaha. Pasal 17 (1) Setiap pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) cukup memiliki SIUP dan tidak wajib memiliki SIUP-MB. (2) Setiap penjual langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan penjual langsung dan/atau pengecer minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib memiliki SIUP-MB. (3) Apabila pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang mengalami perubahan data SIUP menjadi penjual langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau penjual langsung dan/atau pengecer minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib mengganti izin usahanya dengan SIUP-MB. (4) Bupati mengatur tata cara pengajuan SIUP dan SIUP-MB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 18 (1) Bupati menetapkan kuota jumlah peredaran minuman beralkohol di Daerah dengan memperhatikan kepentingan kegiatan wisata dan kondisi masyarakat. (2) Kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (3) Setiap penjual langsung minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan penjual langsung dan/atau pengecer minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib melaporkan realisasi penjualan minuman beralkohol atau minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan kepada Bupati melalui pejabat yang ditunjuk secara periodik. 12

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 19 Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya penegakan Peraturan Daerah ini melalui kegiatan : a. melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya praktik pelacuran dan pelanggaran kesusilaan; b. memberikan informasi adanya penyalahgunaan, penyimpanan, penggunaan minuman beralkohol kepada instansi yang berwenang; dan c. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kasus yang terjadi yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan minuman beralkohol. Pasal 20 Penyidik setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a wajib menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada pelapor. BAB VIII PEMBINAAN Pasal 21 (1) Bupati bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap : a. setiap orang yang melakukan atau terlibat praktik pelacuran dan pelanggaran kesusilaan; dan b. setiap orang yang memiliki izin usaha penjualan minuman beralkohol dan/atau minuman beralkohol untuk tujuan kesehatan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait. 13

BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 22 (1) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Selain ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap korporasi yang mempermudah dan menyembunyikan terjadinya pelacuran dan/atau membiarkan penggunaan fasilitasnya untuk praktik pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dikenakan pembebanan biaya paksaan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 23 (1) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a sampai dengan huruf d diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Selain ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap korporasi dikenakan pembebanan biaya paksaan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 24 (1) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 14

(2) Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Selain ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terhadap pelanggar dikenakan pembebanan biaya paksaan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 25 (1) Tindak pidana pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini dianggap dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. BAB X SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 26 (1) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24, terhadap korporasi dijatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. (2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk didasarkan pada keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 15

Pasal 27 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (3) dikenakan sanksi penutupan sementara kegiatan usaha paling lama 6 (enam) bulan dengan terlebih dahulu diberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan. (2) Pemberian izin kembali bagi korporasi yang dijatuhi sanksi penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan apabila pengurus korporasi telah mengindahkan peringatan dan membuat perjanjian tertulis untuk melakukan perbaikan serta melaksanakan kewajibannya yang ditujukan kepada Bupati melalui pejabat yang ditunjuk. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi korporasi yang tidak mengindahkan peringatan tertulis, maka terhadap korporasi tersebut dikenakan sanksi pencabutan izin usaha. Pasal 28 (1) Penutupan sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang memiliki tugas di bidang perizinan usaha, bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah yang memiliki tugas di bidang keamanan dan ketertiban. (2) Guna menjamin kelancaran pelaksanaan penutupan sementara kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unsur gabungan yang terdiri dari unsur TNI dan unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 29 Penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan/atau penyidik Polisi Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. 16

Pasal 30 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana pelanggaran; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran dan memeriksa tanda pengenal diri pelanggar; d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan antara lain menahan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau kartu identitas kependudukan lainnya, dan menahan izin lainnya. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 17

BAB XII PEMBIAYAAN Pasal 31 Biaya pelaksanaan pencegahan, penyidikan, pengawasan dan pembinaan serta penindakan ketentuan Peraturan Daerah ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka seluruh perizinan usaha minuman beralkohol yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa perizinan, serta dapat diperpanjang kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku. BAB XIV KETENTUAN LAIN DAN PENUTUP Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pelanggaran Kesusilaan (Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 14), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. 18

Pasal 35 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Garut. Disahkan di Garut pada tanggal 14 Januari 2008 B U P A T I G A R U T, A G U S S U P R I A D I Diundangkan di Garut pada tanggal 14 Januari 2008 Plt. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN GARUT, t t d B U D I M A N PERATURAN DAERAH INI DINYATAKAN SAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN 2008 NOMOR 2 19