BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KARAKTERISTIK BATUBARA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES PENCAIRAN

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. energi primer yang makin penting dan merupakan komoditas perdagangan di

Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Konversi Pencairan Batubara (Studi kasus batubara Formasi Klasaman Papua Barat dan Formasi Warukin Kalimantan Selatan)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA ISSN: Vol. 6 No. 1 Agustus 2013

BAB I PENDAHULUAN. faktor utama penyebab meningkatnya kebutuhan energi dunia. Berbagai jenis

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi

KORELASI KARAKTER BIOMARKA BATUBARA MEDIUM RANK KALIMANTAN TIMUR DENGAN PRODUK PENCAIRANNYA

IV. GAMBARAN UMUM. panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Mineral. Batubara. Kebutuhan. Berjualan. Harga. Patokan. Pemasokan.

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 38 % dan sisanya tersebar di wilayah lain (Sugiyono Agus).

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU

KAJIAN GEOKIMIA ORGANIK PRODUK PENCAIRAN BATUBARA LOW RANK KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Soal-soal Open Ended Bidang Kimia

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Di era yang serba modern seperti saat ini, energi merupakan salah satu hal penting

KAJIAN ZONASI DAERAH POTENSI BATUBARA UNTUK TAMBANG DALAM PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BAGIAN TENGAH

Sulfur dan Asam Sulfat

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG 4. Indonesia Mt

SUMARY EXECUTIVE OPTIMASI TEKNOLOGI AKTIVASI PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG PENINGKATAN NILAI TAMBAH BATUBARA MELALUI KEGIATAN PENGOLAHAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam diantaranya sumberdaya batubara. Cekungan Barito merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

PROCEEDING PEMAPARAN HASIL-HASIL KEGIATAN LAPANGAN DAN NON LAPANGAN TAHUN 2006, PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI. Eddy R. Sumaatmadja

POTENSI BATUBARA DI SUMATERA SELATAN

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Tenaga Uap (PLTU). Salah satu jenis pembangkit PLTU yang menjadi. pemerintah untuk mengatasi defisit energi listrik khususnya di Sumatera Utara.

UJI SULFIDASI BIJIH BESI KALIMANTAN SELATAN DAN AMPAS PENGOLAHAN TEMBAGA PT. FREEPORT INDONESIA UNTUK KATALIS PENCAIRAN BATUBARA

KAJIAN PENINGKATAN NILAI KALOR BATUBARA KUALITAS RENDAH DENGAN PROSES SOLVENISASI SKRIPSI OLEH : SILFI NURUL HIKMAH NPM :

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

Prarancangan Pabrik Hidrorengkah Aspal Buton dengan Katalisator Ni/Mo dengan Kapasitas 90,000 Ton/Tahun BAB I PENGANTAR

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Katalis CaO Terhadap Kuantitas Bio Oil

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Studi kapasitas..., Prolessara Prasodjo, FT UI, 2010.

KODE : F2.39. Pemanfaatan Batubara Peringkat Rendah Untuk Membuat Semi-Kokas Dengan Penambahan Bahan Hidrokarbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UJI KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET BIO-COAL CAMPURAN BATUBARA DENGAN SERBUK GERGAJI DENGAN KOMPOSISI 100%, 70%, 50%, 30%

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

ANALISIS KONSUMSI HIDROGEN PADA PENCAIRAN BATUBARA BANKO TENGAH DAN RESIDU KILANG MINYAK BALIKPAPAN

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan

PENGARUH TEKANAN HIDROGEN TERHADAP KANDUNGAN KARBON TOTAL, ABU DAN NILAI MUAI BEBAS DALAM PEMBUATAN BAHAN PENGIKAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi

UJICOBA PERALATAN PENYULINGAN MINYAK SEREH WANGI SISTEM UAP PADA IKM I N T I S A R I

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Laporan Praktikum Kimia Fisika. PENENTUAN PERUBAHAN ENTALPI ( Hc) DENGAN MENGGUNAKAN KALORIMETER BOM

Pengolahan Kantong Plastik Jenis Kresek Menjadi Bahan Bakar Menggunakan Proses Pirolisis

BAB 1 PENDAHULUAN. berusaha mendapatkan pemenuhan kebutuhan primer maupun sekundernya. Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Korosi merupakan fenomena kimia yang dapat menurunkan kualitas suatu

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

AQUABAT SEBAGAI BAHAN BAKAR BOILER. Datin Fatia Umar

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumberdaya batubara yang cukup melimpah, yaitu 105.2

BAB I PENDAHULUAN. menipis. Konsumsi energi di Indonesia sangat banyak yang membutuhkan

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

ANALISIS VARIASI NILAI KALOR BATUBARA DI PLTU TANJUNG JATI B TERHADAP ENERGI INPUT SYSTEM

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara merupakan endapan sedimen yang terdiri dari komponen organik dan anorganik, bagian organik disebut maseral sedangkan bagian anorganik disebut mineral. Karakteristik komposisi maseral dan mineral pada batubara akan mempengaruhi kualitas batubara terutama parameter abu, sulfur dan nilai kalori. Di samping itu karakteristik batubara juga dapat membatasi dalam pemanfaatannya (Anggayana, 1999). Batubara secara geokimia terbentuk karena proses pembatubaraan yang terjadi akibat kenaikan temperatur, tekanan dan waktu sehingga persentase unsur karbon dalam bahan asal pembentuk batubara cenderung meningkat. Namun sebaliknya kandungan unsur hidrogen dan oksigen dalam batubara menjadi berkurang. Proses pembatubaraan ini akan menghasilkan batubara dengan berbagai peringkat yang sesuai dengan tingkat kematangan bahan organiknya (Taylor et al., 1998). Pengembangan batubara di Indonesia pada dasarnya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan energi nasional, yaitu menjamin antara penyediaan dan kebutuhan energi yang dapat mendorong pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam perkembangannya batubara diharapkan dapat menjadi energi alternatif yang relatif bersih dan terbarukan (Jauhary, 2007). Perkembangan industri batubara Indonesia selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Di masa mendatang penggunaan batubara sebagai sumber energi akan meningkat pula terutama sebagai bahan bakar langsung misalnya untuk pembangkit listrik, pabrik semen, industri kecil dan rumah tangga maupun sebagai bahan bakar tak langsung yaitu, batubara dikonversi menjadi bentuk lain sebelum digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar tak langsung tersebut misalnya adalah batubara 1

yang diubah menjadi minyak atau batubara dicairkan. Salah satu jenis batubara yang potensial untuk dicairkan adalah batubara peringkat rendah. Batubara peringkat rendah memiliki kalori yang rendah sehingga nilai panasnya menjadi kecil. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, beberapa dari batubara tersebut memiliki keuntungan, yaitu mempunyai sifat yang baik sebagai bahan bakar, seperti kadar sulfur rendah, kadar abu rendah, dan tingginya kandungan zat terbang. Batubara dengan spesifikasi tersebut jika pengolahannya dilakukan secara lebih efektif, maka akan sangat berguna baik untuk keperluan domestik maupun diekspor (Sule et al., 1997). Pada tahap selanjutnya batubara diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar sintesis berupa bahan bakar cair dan gas sintesis hasil proses konversi batubara. Penggunaan batubara yang telah dikonversi menjadi bahan bakar cair dan gas sintesis tersebut akan menjadi lebih efisien dan relatif bersih (Artanto et al., 2000). Potensi sumberdaya batubara peringkat rendah Indonesia berdasarkan World Energy Council sebesar 86 % dari total potensi batubara Indonesia seperti brown coal atau lignit dan batubara subbituminus (Miranti, 2008; Sule dan Matasak, 2014). Salah satu potensi batubara peringkat rendah (low rank coal) tersebut, endapannya banyak tersebar di daerah Kalimantan Selatan terutama di Formasi Warukin (Kusnama, 2008). Proses pencairan batubara telah menunjukkan adanya hubungan antara proses konversi batubara peringkat rendah dengan komposisi maseral dalam batubara. Semakin banyak kandungan persen maseral vitrinit dan liptinit pada batubara, maka semakin banyak juga persen konversi pencairannya. Di samping itu semakin banyak persen kandungan vitrinit dan liptinit pada batubara akan meningkatkan rasio atom H/C (Parkash et al., 1984; Gagarin, 1999; Hartiniati et al., 1995 dan Cebolla et al., 1999). Beberapa variabel yang digunakan untuk proses pencairan antara lain: waktu reaksi, temperatur proses dan pemakaian katalis, telah dikemukakan oleh Artanto et al. (2000), Priyanto et al. (2001), Hirano (2001), Kouzu et al. (2001), Karaca (2006). Kehadiran katalis berbasis besi dalam proses pencairan batubara peringkat rendah telah memberikan hasil konversi pencairan yang tinggi (Priyanto, 2001; Hirano, 2001; Kouzu et al., 2001 dan Karaca, 2006). 2

Pencairan batubara peringkat rendah Indonesia telah banyak dilakukan oleh Artanto et al. (2000), Priyanto et al. (2001), Hirano (2001), Kouzu et al.(2001), Ningrum et al. (2007), Huda et al. (2009) dan Talla (2009), sedangkan penelitian mengenai pengaruh karakteristik maseral, mineralogi dan geokimia untuk batubara peringkat rendah Indonesia terhadap proses pencairannya belum dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap karakteristik batubara peringkat rendah yang berimplikasi terhadap proses pencairan batubara. Pengambilan sampel batubara pada penelitian ini dilakukan di pertambangan batubara PT. Adaro Indonesia yang termasuk dalam wilayah kuasa pertambangan eksploitasi DU.182/Kal-Sel dengan luas 25.549 Ha. Lokasi penambangan berada di daerah Wara, Tutupan dan Paringin. Dipilihnya lokasi penelitian ini karena batubara di daerah pertambangan PT. Adaro Indonesia merupakan salah satu batubara peringkat rendah yang endapannya banyak tersingkap di Formasi Warukin pada Cekungan Barito, Kalimantan Selatan. Penelitian percobaan pencairan batubara dirancang dengan temperatur rendah, yaitu 120 o C dan dengan tekanan 1 atm dalam suatu autoclave. Rancangan percobaan pencairan ini berbeda dengan penelitian-penelitian pencairan sebelumnya yang menggunakan rancangan percobaan pencairan pada temperatur dan tekanan tinggi. Mengacu pada Undang-Undang no.4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara yang di dalamnya antara lain menyebutkan adanya proyek pengembangan batubara melalui coal liquefaction (pencairan batubara), maka dengan melakukan penelitian pencairan batubara ini diharapkan pemanfaatan batubara Indonesia akan menjadi luas serta dapat diperoleh teknologi pencairan batubara yang layak dalam rangka mempersiapkan teknologi pada skala komersial, sehingga sasaran untuk menghemat penggunaan minyak dan mendayagunakan pemanfaatan batubara dapat dicapai sekaligus. 3

1.2. Permasalahan Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh karakter maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah di Formasi Warukin pada Cekungan Barito terhadap hasil pencairan. 2. Bagaimana perilaku pencairan batubara terhadap perubahan variabel reaksi waktu. 3. Berapa besar produk pencairan batubara Formasi Warukin pada Cekungan Barito. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan pada batubara Formasi Warukin ini adalah: 1. Mengetahui tipe maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah (low rank coal). 2. Mengetahui perilaku komposisi maseral, mineral dan geokimia batubara peringkat rendah pada proses pencairannya (liquefaction). 3. Mengetahui produk optimal pada proses pencairan batubara yang didasarkan pada pengaruh komposisi maseral, mineral dan geokimianya serta kondisi operasi pencairannya. 1.4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di pertambangan PT. Adaro Indonesia yang secara administratif berada di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan dan secara geografis terletak pada 115⁰ 40' 30'' 115⁰ 50' 10'' BT dan 2⁰ 10' 30'' 2⁰ 20' 30'' LS (Gambar 1.1). 4

(Kusnama, 2008) ) ( Gambar 1.1 Peta lokasi penelitian (PT. Adaro Indonesia, 1997) 5

1.5. Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai pencairan batubara peringkat rendah antara lain sebagai berikut: 1. Stone and Park (1970), pencairan batubara lignit dan subbituminus pada suhu 100 o C dengan tekanan 1 atm menghasilkan konversi pencairan sampai 50%. 2. Parkash et al.(1984), menunjukkan hubungan antara proses konversi batubara peringkat rendah dengan komposisi petrografi. Hasilnya memperlihatkan bahwa semakin banyak kandungan persen maseral vitrinit dan liptinit pada batubara, maka semakin banyak juga persen konversi pencairannya. Demikian juga semakin banyak persen kandungan vitrinit dan liptinit pada batubara akan meningkatkan rasio atom H/C. 3. Lee et al. (1994), pencairan batubara lignit dan subbituminus Indonesia dengan katalis Ni-Mo memberi peningkatan hasil dengan peningkatan temperatur dari 400 o C ke 430 o C. 4. Artanto et al. (2000), studi pencairan batubara subbituminus Banko Selatan dan batubara low rank coal menunjukkan bahwa dengan meningkatnya rasio H/C pada batubara memberikan hasil konversi pencairan lebih banyak. 5. Priyanto et al. (2001), Pencairan batubara subbituminus Tanito Harum- Indonesia dengan katalis berbasis besi, hasilnya berupa perolehan minyak dapat mencapai 80% dengan pelarut donor-hidrogen pada temperatur pencairan maksimum 400 o C. 6. Hirano (2001), pencairan batubara peringkat rendah Indonesia dengan katalis pirit. Pirit ini berpengaruh baik terhadap proses pencairan batubara karena pirit mempunyai kandungan besi yang tinggi dan sulfur yang dapat membentuk pyrrhotite dan merupakan senyawa aktif dalam reaksi pencairan batubara. 6

7. Kondo et al. (2001), pencairan batubara peringkat rendah Tanito Harum- Indonesia dengan katalis alumina, hasil konversi pencairannya mencapai 49,4% pada temperatur pencairan 425 o C. 8. Kouzu et al. (2001), pencairan batubara peringkat rendah Australia dan Indonesia dengan katalis limonit. Hasilnya adalah perolehan minyak meningkat dengan meningkatnya rasio H 2 O/Fe dalam katalis limonit. 9. Karaca (2006), pencairan batubara lignit dengan menggunakan katalis Fe 2 O 3 dan Mo(CO) 6. Waktu reaksi pencairan dari 30 menit sampai 120 menit akan meningkatkan gugus policyclic aromatic dan ratai alkana. Demikian juga dengan meningkatnya temperatur reaksi pencairan dari 400 o C sampai 425 o C terjadi peningkatan minyak yang dihasilkan. 10. Ningrum (2007), pencairan batubara Misol (Kabupaten Raja Ampat). Hasil konversi pencairan batubara Misol sampai 84,47% dengan temperatur maksimum 400 o C, batubara Misol adalah batubara peringkat rendah dengan nilai kalori 4.660 kal/g. 11. Huda et al. (2009), pencairan batubara peringkat rendah (batubara Pendopo) Sumatera Selatan dengan nilai kalori 4.844 kal/g. Batubara Pendopo menghasilkan konversi pencairan sampai 80% dengan temperatur maksimum pencairan adalah 400 o C. 12. Talla (2009), studi pencairan batubara peringkat rendah Sorong dan Eco-coal. Hasil konversi pencairan batubara Sorong sebesar 89,94% dengan temperatur pencairan 400 o C, sedangkan pada batubara Eco-coal konversi pencairan yang dicapai 87,28% dengan temperatur pencairan 450 o C. 13. Wang et al. (2010), studi pencairan batubara lignit dengan temperatur 200 o C dan dengan hasil pencairan mencapai 50,7%. 14. Shui et al. (2011), pencairan batubara subbituminus dengan katalis besi sulfida yang dilakukan pada maksimum suhu 400 o C dan didapatkan konversi pencairan 70,2%. 7

1.6. Luaran Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan karakteristik batubara yang mencakup tipe maseral, mineral dan geokimia batubara yang dihubungkan dengan hasil proses pencairannya yang antara lain adalah: 1. Hubungan antara tipe maseral batubara dengan proses pencairannya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan banyaknya maseral vitrinit dan liptinit pada batubara terhadap produk atau konversi pencairannya. 2. Hubungan antara mineral-mineral dalam batubara dengan proses pencairannya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan banyaknya mineral pirit dan mineral lain yang ada pada batubara terhadap konversi pencairannya. 3. Formulasi pengaruh maseral, mineral dan geokimia batubara terhadap proses pencairan batubara. 8