BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM

BAB 3 METODOLOGI. melakukan pengamatan dan analisis dari gambar yang didapat. Untuk bisa mendapatkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. B fch a. d b

BAB III METODE PENELITIAN. tangan dengan menggunakan metode Support Vector Machine (SVM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tahun 1970an penelitian awal image retrieval dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penglihatan manusia memiliki akurasi yang besar dalam mengenali

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGENALAN CITRA TULISAN TANGAN DOKTER DENGAN MENGGUNAKAN SVM DAN FILTER GABOR

BAB I PENDAHULUAN. semakin tinggi jumlah citra dijital yang dapat diakses oleh pengguna. Basis data citra

IMAGE COLOR FEATURE. Achmad Basuki Politeknik Elektronika Negeri Surabaya

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab III ANALISIS&PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

Seminar Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di Industri 2017 ISSN ITN Malang, 4 Pebruari 2017

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. perhitungan LSI dan juga interface yang akan dibuat oleh penulis.

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data.

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR...


BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III ANALISIS MASALAH DAN RANCANGAN PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Identifikasi Tanda Tangan Menggunakan Transformasi Gabor Wavelet dan Jarak Minskowski

BAB III PROSEDUR DAN METODOLOGI. Pada bab ini kita akan melihat masalah apa yang masih menjadi kendala

PENCARIAN CITRA BERDASARKAN BENTUK DASAR TEPI OBJEK DAN KONTEN HISTOGRAM WARNA LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk identitas citra adalah nama file, tanggal pengambilan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODOLOGI. seseorang. Hal inilah yang mendorong adanya perkembangan teknologi

Ekstraksi Fitur Warna, Tekstur dan Bentuk untuk Clustered- Based Retrieval of Images (CLUE)

APLIKASI CONTENT BASED IMAGE RETRIEVAL DENGAN ALGORITMA SOBEL S EDGE DETECTION Arwin Halim 1, Hernawati Gohzali 2, In Sin 3, Kelvin Wijaya 4

Implementasi Content Based Image Retrieval Untuk Menganalisa Kemiripan Bakteri Yoghurt Menggunakan Metode Latent Semantic Indexing

BAB 3 PENGENALAN KARAKTER DENGAN GABUNGAN METODE STATISTIK DAN FCM

BAB III ANALISIS DAN PENYELESAIAN MASALAH

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. a. Spesifikasi komputer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan proses pengolahan citra digital (digital image processing), dimana data berupa

APLIKASI DETEKSI MIKROKALSIFIKASI DAN KLASIFIKASI CITRA MAMMOGRAM BERBASIS TEKSTUR SEBAGAI PENDUKUNG DIAGNOSIS KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN

PENCARIAN CITRA VISUAL BERBASIS ISI CITRA MENGGUNAKAN FITUR WARNA CITRA. Abstract

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB 3 METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pikir

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SISTEM

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

PENGELOMPOKAN GAMBAR BERDASARKAN FITUR WARNA DAN TEKSTUR DENGAN FGKA CLUSTERING (FAST GENETICS K-MEANS ALGORITHM) UNTUK PENCOCOKAN GAMBAR

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PENGUJIAN. Perancangan perangkat lunak terdiri dari beberapa bagian, yaitu perangkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEGMENTASI CITRA MENGGUNAKAN PENGHAPUSAN TEKSTUR DAN K-MEANS DENGAN BATASAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini bagi sebagian masyarakat kendaraan bermotor

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengembangan Sistem Pengenalan Wajah 2D

PENGEMBANGAN SISTEM PEROLEHAN CITRA BERBASIS ISI PADA CITRA BATIK MENGGUNAKAN METODE INTEGRATED COLOR AND INTENSITY CO-OCCURRENCE MATRIX (ICICM)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Identifikasi Masalah

PENGENALAN KUALITAS BUAH JERUK KINTAMANI MENGGUNAKAN METODE SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM) KOMPETENSI KOMPUTASI SKRIPSI KOMANG SONIYA GUNAWAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Metodologi penelitian.

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KLASIFIKASI CITRA FORMULIR MENGGUNAKAN METODE SUPPORT VECTOR MACHINE (SVM) PADA PROSES DIGITALISASI FORMULIR

V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. Bab pertama ini terbagi menjadi enam bagian yang masing-masing akan

Fourier Descriptor Based Image Alignment (FDBIA) (1)

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PERBANDINGAN METODE PREWITT DAN CANNY UNTUK IDENTIFIKASI IKAN AIR TAWAR

BAB III METODE PENELITIAN. menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan PCA, kemudian penelitian yang menggunakan algoritma Fuzzy C-

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

FERY ANDRIYANTO

BAB II DASAR TEORI. Pada bab ini akan dibahas teori-teori pendukung yang digunakan sebagai acuan dalam merancang algoritma.

DETEKSI GERAK BANYAK OBJEK MENGGUNAKAN BACKGROUND SUBSTRACTION DAN DETEKSI TEPI SOBEL

BAB IV ANALISA DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tidak ada tepat satu teori untuk menyelesaikan problem pengenalan pola Terdapat model standar yang dapat dijadikan teori acuan

Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Minor Component Analysis pada Sistem Temu Kembali Citra

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. fold Cross Validation, metode Convolutional neural network dari deep learning

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. Warna merupakan ciri dominan yang bisa dibedakan secara visual untuk

Transkripsi:

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI 3.1 Permasalahan CBIR ( Content Based Image Retrieval) akhir-akhir ini merupakan salah satu bidang riset yang sedang berkembang pesat (Carneiro, 2005, p1). CBIR ini menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat pada sebuah citra. Menurut Liu et al.(2008, p1), ada dua kelemahan utama yang didapat ketika menggunakan sistem CBIR. Yang pertama dalam penggunaan informasi yang bersifat low level untuk ekstraksi fitur, indexing, dan kueri dalam sistem CBIR. Masalah terjadi ketika pengguna melakukan kueri dalam sistem pencarian. Akan terjadi kesenjangan semantik pada saat pencarian dilakukan, dimana pengguna akan melakukan pencarian dalam bentuk kata-kunci (fitur high level) dan dibandingkan dengan fitur low level hasil proses dari sebuah citra. Kesenjangan semantik adalah perbedaan intepretasi sebuah citra dari sudut pandang pengguna (bersifat high level) dengan sudut pandang sistem (bersifat low level, karena diperoleh langsung dari citra yang bersangkutan) dimana hasil pemrosesan merupakan hasil pengolahan citra piksel demi piksel. Sehingga hasil pencarian kurang mewakili maksud dari pengguna. Yang kedua ada pada teknik pencarian yang dilakukan, CBIR pada umumnya menggunakan sistem kueri-dengan-contoh dimana pengguna perlu memasukkan parameter-parameter yang dibutuhkan sistem untuk melakukan proses pencarian (biasanya berupa citra yang mirip dengan citra yang dikehendaki). Bandingkan dengan sistem kueri-dengan-kata-kunci, dimana 53

54 pengguna hanya perlu memasukkan kata-kunci yang diharapkan muncul sebagai konten di dalam citra yang dikehendaki. Dari sisi kemudahan, kueri-dengan-katakunci menawarkan cara yang lebih alami untuk melakukan pencarian dibandingkan kueri-dengan-contoh yang membutuhkan citra lain sebagai bahan pembandin g untuk pencarian. Dari sisi kecepatan, kueri-dengan-kata-kunci hanya membutuhkan pengguna memasukkan kata-kunci yang diharapkan muncul sebagai konten dari citra yang dinginkan, sedangkan kueri-dengan-contoh membutuhkan pengguna memasukkan citra pembanding untuk melakukan pencarian, tentu saja hal ini menyulitkan karena tidak setiap saat pengguna selalu memiliki citra untuk melakukan pencarian sesuai yang dinginkan. (Zhang, 2003, p4) menyatakan dari karya ilmiah akhir-akhir ini ada perubahan kecenderungan sistem dari kueridengan-contoh menjadi kueri-dengan-kata-kunci. Teknik lainnya yang pernah diajukan dalam pencarian citra adalah pencarian citra berdasarkan anotasi. Citra-citra tersebut akan di tag dengan keyword / kata kunci secara manual oleh manusia berdasarkan pada pengertian manusia terhadap konten yang ada pada citra. Memang dengan teknik ini akan membantu meningkatkan akurasi pencarian citra. Namun melakukan tag atau memberi kata kunci pada citra membutuhkan waktu yang panjang dan membutuhkan campur tangan manusia untuk melakukannya. Teknik tersebut lebih dikenal dengan nama Manual Image Annotation ( Zhang, 2003, p9). Penelitian kembali dilanjutkan dan menghasilkan teknik pencarian citra dengan mengesktrak fitur yang ada pada citra. Pengembangan teknik ini dilakukan secara semi automatic. Dengan teknik ini, pengguna dapat mencari citra dengan

55 mudah, dimana sistem pencari citra tersebut akan menampilkan citra dengan fitur yang telah dilatih sebelumnya ke sistem sehingga menghasilkan tag yang secara otomatis telah ada. Selain itu, jika terdapat kesalahan tagging, sistem akan meminta feedback dari pengguna untuk mengoreksi tag yang telah ada. Teknik seperti ini akan meningkatkan efisiensi waktu menjadi lebih baik dibanding teknik sebelumnya, namun tetap membutuhkan peran pengguna dan menghabiskan waktu yang lama. Sistem tag pun akan menjadi rentan terhadap perubahan dan kebenaran tagging diragukan karena pengguna diberi hak untuk mengubah tag yang telah ada sebelumnya. Teknik tersebut dikenal sebagai teknik Semi-Automatic Image Annotation (Varytimidis, 2008, pp1-8). Teknik tersebut memerlukan fitur yang tepat untuk mendeskripsikan citra yang ada. Fitur-fitur yang dapat digunakan dapat berupa warna, citra, dan tekstur. Untuk memperoleh informasi data fitur yang lebih lengkap tentu dibutuhkan fitur fitur yang tepat yang semuanya digabungkan. Namun masalah kembali muncul jika fitur citra yang diambil terlalu besar sehingga memperlambat proses pencarian citra. Oleh karena itu, perlu adanya reduksi dimensi fitur guna mempercepat proses pencarian citra. Teknik anotasi citra otomatis akan membantu proses pencarian citra menjadi lebih cepat karena teknik ini tidak memerlukan keterlibatan pengguna dalam tag citra. Sehingga fitur akan diekstraksi secara otomatis, yang kemudian dilatih ke dalam sistem. Tentu dibutuhkan fitur yang tepat guna mendeskripsi informasi pada citra, yaitu salah satunya fitur warna. Fitur warna dapat direpresentasikan dalam histogram warna. Keuntungan dari fitur ini adalah dapat diaplikasikan pada semua citra berwarna. Untuk otomatisasi, digunakan machine learning salah satunya

56 dengan SVM (Support Vector Machine). SVM ini yang nantinya akan dilatih agar menghasilkan klasifikasi objek-objek di dalam citra kedalam label-label tertentu. Hasil klasifikasi akan disimpan kedalam metadata untuk sebuah citra. Ketika proses pencarian dilakukan, maka sistem akan mecari kedalam metadata untuk menemukan kata yang dimaksud, jika ditemukan maka sistem akan menampilkan citra yang memiliki metadata tersebut.

57 3.2 Metodologi Gambar 3.1 Metodologi Sistem

58 Disini dibagi kerja sistem menjadi 3 bagian yaitu, Pelatihan, Klasifikasi, dan Pencarian. Pada sistem ini juga terdapat bagian offline (tidak melibatkan pengguna) dan bagian online (melibatkan pengguna). Pelatihan dilakukan secara offline dan klasifikasi serta pencarian dilakukan secara online. Pada bagian Pelatihan, sejumlah citra akan digunakan sebagai masukan dasar untuk sistem agar membentuk model pengetahuan yang nantinya akan digunakan dalam mengklasifikasikan objek di dalam citra pada bagian Klasifikasi. Sedangkan pada bagian Klasifikasi, sejumlah citra akan digunakan untuk menghasilkan anotasi atau label setiap objek yang ada di dalam citra-citra tersebut. Anotasi ini akan disimpan kedalam file jenis xml yang akan digunakan sebagai metadata dari basis data. Metadata ini akan digunakan untuk melakukan proses Pencarian. Pada bagian Pencarian, pengguna akan memasukkan kata-kunci yang mewakili konten yang dikehendaki ada pada sebuah citra, sistem kemudian akan menampilkan hasil-hasil yang mengandung kata-kunci yang dimasukkan oleh pengguna. 3.2.1 Pelatihan Citra (Image Training) Tujuan dari tahap pelatihan ini adalah agar terbentuk model pengetahuan yang nantinya dijadikan kemampuan berpikir dari sistem anotasi ini. Pada tahap pelatihan, sejumlah citra yang mewakili sebuah objek dengan labelnya akan dimasukkan ke dalam SVM sehingga terbentuk pola pengetahuannya untuk objek tersebut. Disini dimasukkan sejumlah kelas label dengan tujuan nantinya sistem klasifikasi dapat mengenali beberapa jenis kelas sesuai jumlah kelas yang dilatih kedalam sistem.

59 Urutan dari proses pelatihan ini adalah mula-mula citra yang akan digunakan sebagai materi pelatihan dimasukkan ke dalam sistem. Sistem kemudian memproses citra yang dimasukkan ini dengan me-resize ukuran citra sehingga diperoleh ukuran citra yang sama selama proses dilakukan. Tujuan resize ini adalah agar diperoleh hasil yang lebih optimal dan konsisten. Optimal berarti memungkinkan sistem untuk berkerja lebih cepat. Kemudian sistem akan melanjutkan proses ke tahap ekstraksi fitur. Disini sidik jari dari citra akan direkam dan disimpan dalam fitur vektor. Fitur vektor merupakan kumpulan fitur-fitur yang telah diindeks dengan urutan tertentu sehingga setiap citra akan memiliki nilai fitur vektor yang relatif berbeda satu sama lainnya pada indeksindeks yang ada. Kemudian untuk setiap kelas label, digunakan sejumlah citra yang berbeda, tujuannya agar sistem bersifat fleksibel terhadap perbedaan kecil yang terjadi sehingga lebih toleran terhadap perbedaan atau perubahan. Sekumpulan fitur vektor untuk sebuah kelas label kemudian dimasukkan kedalam SVM sehingga SVM membentuk pola khusus untuk label tersebut. Proses ini diulang sejumlah label yang ingin diajarkan kepada sistem. Hasil akhirnya berupa model pengetahuan untuk berbagai label dengan karakteristiknya ( kumpulan fitur vektor) masing-masing.

60 3.2.1.1 Sebelum Pengolahan (Preprocessing) Input : Gambar 3.2 Citra dengan Resolusi 1024 x 769 Proses : Tahap ini memegang peranan penting dalam keberhasilan sistem mengenali ciri dari sebuah objek. Sebelum melakukan ekstraksi fitur, dilakukan preprocessing berupa resize. Pengubahan ukuran citra bertujuan agar citracitra yang nantinya akan diambil fiturnya lebih konstan dalam ukuran, sehingga tidak terdapat error dari perbedaan ukuran citra, sekaligus memudahkan dalam mengindeksan fitur vektornya. Selain itu pengubahan ukuran citra akan mempercepat pemrosesan citra. Disini citra di-resize menjadi ukuran 250 piksel x 250 piksel ( berbentuk bujur sangkar). Resize dengan ukuran 250 piksel x 250 piksel bertujuan untuk menyeragamkan ukuran citra yang berbeda-beda serta untuk menghemat ruang penyimpanan, biaya komputasi menjadi lebih kecil

61 (sistem dapat bekerja lebih cepat) dibandingkan jika tidak di-resize,dan tingkat error dalam pengindeksan menjadi lebih rendah, karena ukuran citra satu dengan yang lainnya sama (Ghandi, 2009, p188). Output : Gambar 3.3 Citra keluaran dengan Resolusi 250 x 250 3.2.1.2 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction) Input : Gambar 3.4 Citra masukan dengan Resolusi 250 x 250

62 Proses : Fitur yang digunakan adalah warna, yang direpresentasikan dengan histogram warna dan color moment. Warna merupakan fitur yang umum digunakan sebagai fitur vektor dari sebuah citra (Huang, 1997, p1). Histogram warna dari sebuah citra hampir merupakan sebuah sidik jari dari citra dan perbedaan histogram antar citra dapat digunakan untuk pencarian citra dalam basis data (Duckley, 2003, p40). Keuntungan histogram warna adalah mudah untuk dihitung dan tidak rentan terhadap perubahan orientasi sudut pandang. Peggunaan fitur sendiri merupakan salah satu variabel penelitian, dimana nantinya akan terlihat fitur yang paling optimal untuk digunakan di dalam sistem ini. Adapun beberapa fitur warna yang digunakan antara lain, ruang warna (color space) digunakan HSV, RGB, dan RGBL dikombinasikan dengan fitur momen warna (color moment). Dimana dengan kombinasi ini, diharapkan keakuratan sistem dalan hal pengenalan warna menjadi lebih baik dibandingkan hanya menggunakan RGB saja tanpa melakukan perhitungan empiris untuk ruang warna yang lainnya dan menjadi lebih toleran terhadap noise yang ada pada sebuah citra yang akan di proses. Citra setelah melalui tahap preprocessing maka akan dilakukan ekstraksi fitur berupa histogram warna sebesar 32 bins dengan atau tanpa color moment dan diindeks kedalam file khusus yang digunakan sejumlah 96 dimensi untuk ruang warna HSV, 96 dimensi untuk ruang warna RGB, 128 dimensi untuk ruang warna RGBL. Untuk color moment terdiri dari 12 dimensi untuk RGBL( 4 dimensi untuk mean, 4 dimensi untuk variance, dan 4 dimensi untuk

63 gradient) dan 9 dimensi untuk HSV atau RGB (3 dimensi untuk mean, 3 dimensi untuk variance, dan 3 dimensi untuk gradient). Nilai histogram diderivasi hanya dari jumlah piksel-piksel yang berwarna selain hitam pekat (intensitas piksel bernilai 0 di dalam sebuah citra. Hal ini dilakukan karena selama proses pelatihan, kumpulan citra-citra merupakan hasil segmentasi dari sebuah citra yang utuh. Misalnya jika mau melatih label gunung maka kumpulan citra-citra yang akan digunakan dalam proses pelatihan hanya merupakan citra-citra hanya diambil segmen gunungnya saja, sedangkan area sisa disekitarnya diubah nilainya menjadi 0. Ini bertujuan agar proses pengenalan menjadi lebih akurat. Pada bagian normalisasi, proses perhitungan nilai histogram hanya memperhitungkan intensitas piksel selain nilai 0, ini bertujuan agar setiap citra dapat dihitung dengan adil. Jika memperhitungkan nilai 0, maka nilai histogram akan menjadi tidak akurat, sebab setiap segmen citra yang akan digunakan dalam tahap pengenalan, memiliki area sisa (yang tidak diproses) yang berbeda-beda. Contohnya : segmen gunung dari satu citra dengan citra yang lainnya tentu berbeda-beda ukurannya, sehingga area sisa untuk setiap citra juga berbeda-beda, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Dengan menghilangkan piksel dengan nilai 0 di setiap citra, maka hasil perhitungan nilai histogram akan menjadi lebih akurat.

64 Output : Gambar 3.5 Fitur vektor HSV yang akan di training 3.2.1.3 Pelatihan SVM (SVM Training) Input : Gambar 3.6 Kumpulan Fitur Vektor HSV yang telah terindeks Proses : Machine learning yang digunakan disini adalah berjenis supervised machine learning, yaitu SVM (Support Vector Machine). Adapun tujuan digunakannya machine learning disini adalah untuk mengotomatisasi pengklasifikasian jenis objek yang disimbolkan dengan sekumpulan kata. Selama ini SVM dikenal sebagai binerize machine learning, yakni machine learning yang hanya dapat membagi kelasnya menjadi 2 kelas ( kelas positif

65 dan kelas negatif). Dengan mengikuti perkembangan terkini dalam SVM, akhirnya digunakan multi-class SVM. Dengan multi-class SVM ini, dapat digunakan untuk membentuk lebih dari 2 kelas yang merupakan model pengetahuan dalam menentukan label yang cocok untuk suatu objek. Sebelum kumpulan fitur vektor dari sebuah objek di citra di latih ke dalam SVM, fitur vektor tersebut di scale terlebih dahulu. Keuntungan mengscale nilai-nilai tersebut untuk menghindari atribut dalam rentang nilai yang lebih besar mendominasi atribut dengan rentang nilai yang lebih kecil, juga untuk menghindari kesulitan numerik pada saat kalkulasi. Karena nilai kernel biasanya tergantung pada inner product dari fitur vektor. Kemudian kumpulan fitur vektor dari setiap label di-map kedalam ruang k-dimensi. K merupakan jumlah fitur vektor yang digunakan pada sebuah objek. Sebagai ilustrasi, jika fitur vektor yang digunakan sebanyak 3 buah, maka dapat digambarkan dengan meletakkan salah satu objek ke dalam ruang 3 dimensi. Nantinya setiap objek akan memiliki koordinat masing-masing sesuai fitur vektornya. Pemilihan kernel juga merupakan salah satu faktor yang penting, kernel digunakan untuk membuat hyperplane pada SVM sebagai classifier. Dalam kasus ini digunakan kernel RBF (Radial Basis Function) yang tergolong kernel non-linear. Tujuan digunakannya kernel non-linear adalah agar nantinya hasil pengklasifikasiannya dapat lebih akurat, karena tidak terhambat oleh kekurangan dari kernel linear. Kernel linear hanya dapat membentuk hyperplane yang berbentuk garis lurus saja, sehingga memungkinkan terjadi

66 kesalahan dalam pengklasifikasian objek. Dengan kernel non-linear akan didapat hyperplane yang tidak berupa garis lurus, sehingga tingkat kesalahan yang mungkin terjadi akan lebih kecil dibandingkan dengan kernel linear. Output : Gambar 3.7 Image Model berupa informasi Support Vector 3.2.2 Klasifikasi Citra (Image Classification) Pengguna memberikan inputan citra dengan tujuan mendapat label dari objek-objek yang ada di dalam citra sesuai dengan jenis kelas yang terdapat dalam mesin pembelajaran. Adapun urutan prosesnya berupa preprocessing dari citra inputan dengan tujuan agar hasilnya lebih optimal dan konsisten. Dari tahap preprocessing, citra kemudian disegmentasi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, bagian-bagian ini dimaksudkan dengan pemisahan objek-objek yang ada di dalam citra agar berdiri sendiri dan dapat di proses masing-masing. Setelah itu, masing-masin g

67 objek ini akan diambil fiturnya dan disimpan ke dalam fitur vektor. Fitur vektor inilah yang nantinya digunakan dalam tahap klasifikasi untuk mengklasifikasikan label dari objek, label didapat dengan membandingkan fitur vektor dari citra yang diberikan oleh pengguna dengan model pengetahuan yang telah terbentuk dari proses pelatihan sebelumnya. 3.2.2.1 Sebelum Pengolahan (Preprocessing) Input : Gambar 3.8 Citra dengan Resolusi 1024 x 768 Proses : Tahap ini memegang peranan penting dalam keberhasilan sistem mengenali ciri dari sebuah objek. Sebelum melakukan ekstraksi fitur, dilakukan preprocessing berupa resize. Pengubahan ukuran citra bertujuan agar citracitra yang nantinya akan diambil fiturnya lebih konstan dalam ukuran, sehingga

68 tidak terdapat error dari perbedaan ukuran citra, sekaligus memudahkan dalam mengindeksan fitur faktornya. Disini citra di-resize menjadi ukuran 250 piksel x 250 piksel (berbentuk bujur sangkar). Resize dengan ukuran 250 piksel x 250 piksel bertujuan untuk menyeragamkan ukuran citra yang berbeda-beda serta untuk menghemat ruang penyimpanan, biaya komputasi menjadi lebih kecil (sistem dapat bekerja lebih cepat) dibandingkan jika tidak di-resize, dan tingkat error dalam pengindeksan menjadi lebih rendah, karena ukuran citra satu dengan yang lainnya sama (Ghandi, 2009, p188). Perbedaan tahap preprocessing pada pelatihan citra dengan preprocessing pada klasifikasi citra adalah pada citra yang menjadi masukkan pada masing-masing tahap. Output : Gambar 3.9 Citra Keluaran yang Resolusi 250 x 250

69 3.2.2.2 Segmentasi (Segmentation) Input : Gambar 3.10 Citra Masukkan yang Resolusi 250 x 250 Proses : Di tahap ini segementasi dilakukan dengan algoritma k-means. Adapun segmentasi k-means merupakan region based segmentation, dimana hasil segmentasi nantinya berupa region dengan bentuk ataupun batasan yang bersifat acak atau random, tergantung dari bentuk penyebaran warna pada sebuah citra. Proses pada segmentasi dengan algoritma k-means sendiri disini dibatasi dengan menentukan k (jumlah kelas) sebesar 3. Proses segmentasi berulang maksimal hingga ditemukan posisi sentroid lama dan sentroid baru yang tidak berbeda jauh dan terbentuk 3 kelas, maka proses segmentasi telah selesai. Urutan proses dalam segmentasi dengan k-means clustering berbasis warna adalah sebagai berikut: Klasifikasikan warna dalam ruang warna RGB atau hsv (hasil yang paling optimal didapatkan setelah dilakukan penelitian lebih lanjut) dilakukan

70 dengan 3-means clustering. Disini digunakan 3-means clustering karena pertimbangan bahwa didalam suatu citra landscape terdiri dari rata-rata 3 objek dan penentuan jumlah k yang terlalu banyak atau tidak sesuai dapat mengakibatkan akurasi menjadi menurun (Pham, 2006, p41). Setelah didapatkan klaster-klaster, selanjutnya untuk setiap objek di dalam citra inputan dan setiap piksel di dalam citra dilabel dengan index klaster. Sehingga secara tidak langsung terbentuk kelas-kelas yang berkorespondensi dengan objek-objek yang ada di dalam citra yang berupa matriks citra yang berisi indeks klaster. Gambar 3.11 Matriks Citra yang berisi Indeks Klaster Untuk ilustrasi, proses masking sebelum citra dipecah berdasarkan jumlah objek yang ditemukan di dalam citra berupa:

71 Gambar 3.12 Visualisasi Citra yang berisi Indeks Klaster Setelah masking, maka akan dibentuk citra-citra baru sejumlah objek yang berhasil ditemukan di dalam citra awal. Untuk kasus disini, menjadi 3 kelas citra baru. Output: Gambar 3.13 Citra- Citra Hasil Segmentasi

72 3.2.2.3 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction) Input : Gambar 3.14 Citra Citra Hasil Segmentasi Proses : Fitur yang digunakan adalah warna, yang direpresentasikan dengan histogram warna dan color moment. Warna merupakan fitur yang umum digunakan sebagai fitur vektor dari sebuah citra ( Huang, 1997, p1). Histogram warna dari sebuah citra hampir merupakan sebuah sidik jari dari citra dan perbedaan histogram antar citra dapat digunakan untuk pencarian citra dalam basis data (Duckley, 2003, p40). Keuntungan histogram warna adalah mudah untuk dihitung dan tidak rentan terhadap perubahan orientasi sudut pandang.

73 Peggunaan fitur sendiri merupakan salah satu variabel penelitian, dimana nantinya akan terlihat fitur yang paling optimal untuk digunakan di dalam sistem ini. Adapun beberapa fitur warna yang digunakan antara lain, ruang warna (color space) digunakan HSV, RGB, dan RGBL dikombinasikan dengan fitur momen warna (color moment). Dimana dengan kombinasi ini, diharapkan keakuratan sistem dalan hal pengenalan warna menjadi lebih baik dibandingkan hanya menggunakan RGB saja tanpa melakukan perhitungan empiris untuk ruang warna yang lainnya dan menjadi lebih toleran terhadap noise yang ada pada sebuah citra yang akan di proses. Citra setelah melalui tahap preprocessing maka akan dilakukan ekstraksi fitur berupa histogram warna sebesar 32 bins dengan atau tanpa color moment dan diindeks kedalam file khusus yang digunakan sejumlah 96 dimensi untuk ruang warna HSV, 96 dimensi untuk ruang warna RGB, 128 dimensi untuk ruang warna RGBL. Untuk color moment terdiri dari 12 dimensi untuk RGBL ( 4 dimensi untuk mean, 4 dimensi untuk variance, dan 4 dimensi untuk gradient) dan 9 dimensi untuk HSV atau RGB (3 dimensi untuk mean, 3 dimensi untuk variance, dan 3 dimensi untuk gradient). 32 dimensi ini berarti rentang nilai warna yang bernilai 0 sampai dengan 255 disimpan kedalam 32 bin (kelompok nilai) dengan nilai 0-7,8-15,16-31, dst sebanyak 32 kelompok nilai. Semakin banyak bin yang digunakan sebagai fitur vektor, semakin unik pula polanya, tetapi memiliki kompensasi semakin besar pula nilai yang akan diindeks ke dalam fitur vektor yang mengakibatkan ruang penyimpanan yang bertambah. Dengan digunakan 32 bin diharapkan kinerja

74 sistem menjadi lebih baik dalam hal diferensiasi pola warna dan ruang penyimpanan yang tidak terlalu besar. Bayangkan jika menggunakan 256 bin (1 rentang warna disimpan sebagai 1 bin) yang berarti dimensi fitur vektor menjadi 256 X 4 = 1024. Tentu akan sangat menyita kapasitas ruang penyimpanan, belum lagi waktu komputasi yang dibutuhkan untuk sebuah citra menjadi berlipat ganda. Nilai histogram diderivasi hanya dari jumlah piksel-piksel yang berwarna selain hitam pekat (intensitas piksel bernilai 0 di dalam sebuah citra. Hal ini dilakukan karena selama proses pelatihan, kumpulan citra-citra merupakan hasil segmentasi dari sebuah citra yang utuh. Misalnya jika mau melatih label gunung maka kumpulan citra-citra yang akan digunakan dalam proses pelatihan hanya merupakan citra-citra hanya diambil segmen gunungnya saja, sedangkan area sisa disekitarnya diubah nilainya menjadi 0. Ini bertujuan agar proses pengenalan menjadi lebih akurat. Pada bagian normalisasi, proses perhitungan nilai histogram hanya memperhitungkan intensitas piksel selain nilai 0, ini bertujuan agar setiap citra dapat dihitung dengan adil. Jika memperhitungkan nilai 0, maka nilai histogram akan menjadi tidak akurat, sebab setiap segmen citra yang akan digunakan dalam tahap pengenalan, memiliki area sisa (yang tidak diproses) yang berbeda-beda. Contohnya : segmen gunung dari satu citra dengan citra yang lainnya tentu berbeda-beda ukurannya, sehingga area sisa untuk setiap citra juga berbeda-beda, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Dengan menghilangkan piksel dengan nilai 0 di setiap citra, maka hasil perhitungan nilai histogram akan menjadi lebih akurat.

75 Output : Gambar 3.15 Hasil Ekstraksi Fitur HSV dari 3 citra inputan 3.2.2.4 Klasifikasi (Classification) Input : Gambar 3.16 Hasil Ekstraksi Fitur HSV dari 3 citra inputan Proses : Pada tahap klasifikasi, fitur vektor yang didapat untuk setiap objek didalam citra diurutkan dan dibandingkan dengan model pengetahuan yang

76 telah terbentuk sebelumnya. Sama seperti pada tahap pelatihan, fitur vektor yang ada harus di scale terlebih dahulu, baru kemudian dimasukkan kedalam SVM untuk diklasifikasi. Disinilah terjadi proses otomatisasi pemberian label untuk objek-objek tersebut. Label untuk masing-masing objek ini nantinya akan dimasukkan atau disertakan kedalam citra dan menjadi lapisan informasi baru untuk sebuah citra. Selanjutnya tahap penyimpanan label untuk setiap objek yang ada di dalam sebuah citra sehingga menjadi lapisan informasi yang baru untuk citra tersebut. Pada sistem ini, anotasi dilakukan dengan menyimpan hasil peng-labelan objek ke dalam file dengan format xml. File xml ini nantinya akan menyertai citra tersebut sebagai metadatanya. Berikut contoh citra yang telah dianotasi : Gambar 3.17 Hasil Anotasi pada Citra inputan

77 Output : Gambar 3.18 Hasil Anotasi di dalam file xml 3.2.3 Temu kembali Citra (Image Retrieval) Pengguna melakukan pencarian dengan mengetikkan kata-kata yang mewakili konten dari citra yang hendak ditemukannya. Proses yang terjadi ketika user memasukkan kata-kunci untuk citra yang dimaksud adalah sistem kemudian mencari kata-kunci yang dimaksud di dalam metadata dari citra-citra tersebut. Jika ditemukan, maka sistem akan mencari lokasi dari citra yang dimaksud melalui nama file citra yang ada di dalam metadata yang berupa file xml. Kemudian sistem menampilkan citra yang dimaksud. Dalam contoh disini, pengguna memasukkan kata rock dan melakukan pencarian yang dimaksud. Hasilnya berupa sejumlah citra yang memiliki kata-kata yang dimaksudkan oleh pengguna.

Gambar 3.19 Pencarian Citra dengan keyword rock 78