BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu: 1

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

Created by : Ratih dheviana puru hitaningtyas

Miftakhul Huda, S.H., M.H

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

1. Pasal 64 s.d Pasal 66 UU No.13 Tahun Permenakertrans RI. No.19 Tahun 2012 tentang Syarat- Syarat Penyerahan Sebagian PeKerjaan Kepada

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

KOMPETENSI dan INDIKATOR

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP HUBUNGAN KERJA ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA YANG DIDASARKAN PADA PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN. Oleh:

Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG

H U B U N G A N K E R J A

Langkah Strategis Pelaksanaan Permenakertrans NO. 19 Tahun 2012 Terkait Outsourcing

BAB II PERJANJIAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING DI INDONESIA. jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

PT PLN (PERSERO) KEPUTUSAN DIREKSI PT PLN (PERSERO) NOMOR : 500.K/DIR/2013 TENTANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 9 (2014) Copyright 2014

BAB V PENUTUP DAFTAR PUSTAKA. Buku

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan outsourcing (= alih daya) di Indonesia. Bahkan aksi ini disambut aksi serupa

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara normatif sebelum diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

BAB I PENDAHULUAN. yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB I PENDAHULUAN. diatur tegas di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun penghidupan yang layak bagi kemanusian.

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA/PERBURUHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penyimpangan Terhadap Ketentuan PKWT Dan Outsourcing Serta Permasalahannya Dan Kiat Penyelesaian

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LEMBAGA PEMERINTAHAN

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN, DAN OUTSOURCING

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEKERJA OUTSOURCING PT. ISS INDONESIA DAN PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING PT.

BAB IV PENUTUP. atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Perlindungan hukum yang diberikan oleh PT. Wahyu Septyan dan PT

Pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

BAB II TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

copyright by Elok Hikmawati 1

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ekonomi global dan perkembangan teknologi yang demikian cepat

A. MAKNA DAN HAKIKAT PENYEDIAAN TENAGA KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga

BAB II STATUS HUKUM TENAGA KERJA OUTSOURCING. A. Latar Belakang dan Pelaksanaan Outsourcing dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA. yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

HUKUM PERJANJIAN. atau. lebih. di antaranya : pembayaran. Naturalia

BAB I PENDAHULUAN. dari berbagai kebutuhan mulai dari kebutuhan utama ( primer), pelengkap

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

BAB I KETENTUAN U M U M

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.102 /MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

Bernat Panjaitan ISSN Nomor

PENGADAAN TENAGA KERJA

Transkripsi:

15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri dimuat dalam perjanjian kerja yang berisikan tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawannya sehingga hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan hukum yang lahir karena perjanjian. Pengertian dari hubungan kerja adalah suatu hubungan yang dilakukan oleh minimal dua subyek hukum mengenai suatu pekerjaan. Subyek hukum yang melakukan hubungan kerja adalah pengusaha/ pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan kerja merupakan inti dari hubungan industrial. Pada pasal 1313 BW menyebutkan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Pengertian dari perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. 9 Menurut Mariam Badrulzama, ada empat rumusan perikatan yaitu, hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak dan 9 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasal, Jakarta, 2004, h. 1.

16 prestasi. 10 Berikut ini skema perjanjian yang obyeknya melakukan pekerjaan menurut BW adalah sebagai berikut: Perjanjian Ps. 1313 (Definisi) Ps. 1352 UNDANG-UNDANG PERIKATAN Ps. 1233 Objeknyae Ps. 1601 UMUM JASA TERTENTU MELAKUKAN PEKERJAAN PEMBORONGAN PEKERJAAN PERJANJIAN PEKERJAAN Ps. 1601b dan Ps. 1604 s.d 161 Ps. 1601b dan Ps. 1604 Ps. 1603 e PKWT Ps. 1603 g PKWTT 10 Mariam Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumi, Bandung, 1994, h. 3.

17 Sedangkan perjanjian yang obyeknya melakukan pekerjaan menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: PERJANJIAN YANG OBYEKNYA MELAKUKAN PEKERJAAN MENURUT UU NO. 13 TAHUN 2003 PEMBORONGAN PEKERJAAN PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH Pasal 65 Ps. 50 s.d Ps. 56 (1) Pasal 66 PERJANJIAN KERJA Ps. 56 (2) s.d PS. 59 PKWT PHL PKWTT Ps.60 s.d Ps. 63 Perjanjian outsourcing merupakan perjanjian obligatoir dan bersifat konsensuil, artinya perjanjian ini lahir sejak detik tercapainya kata sepakat telah lahir hak dan kewajiban diantara para pihak. selain itu, perjanjian ini terbentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW. Berdasarkan asas tersebut para pihak bebas membuat perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

18 umum, dan kesusilaan. 11 Selama ini belum ada peraturan perundanganundangan yang memberikan definisi tentang outsourcing secara tegas dan rinci. Pengertian outsourcing dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang isinya menyatakan adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat antara perusahaan dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksaaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Dalam Pasal 1601 b BW diatur adanya pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Definisi outsourcing dalam pasal tersebut adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikatkan diri untuk suatu kerja tertentu dan pihak lain yang memborongkan mengikatkan dirinya untuk memborongkan pekerjaan dengan bayaran tertentu. 12 sarjana: 13 Berikut ini beberapa pengertian outsourcing yang dikemukakan oleh para 1. Maurice Greaver Outsourcing (alih daya) adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). 2. Muzni Tambusai Outsourcing (alih daya) adalah pemborongan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima kerja. 3. Bambang S. Widagdo Kusumo Outsourcing (alih daya) adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan lain yang berbadan hukum sebagai penerima pekerjaan melalui 11 Fifi Junita, Aspek Hukum Perjanjian Outsourcing, Yuridika, Jakarta, 2004, h. 150. 12 Iftida Yasar, Apakah benar outsourcing Bisa Dihapus, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2013, h.20 13 Ibid. h.19

19 perjanjian tertulis tentang pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh. Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing yaitu terdapat penyerahaan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain yang berbadan hukum, yang diharapkan memberikan hasil berupa peningkatan kinerja agar dapat lebih kompetitif dalam menghadapi perkembangan ekonomi dan teknologi global. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang menyediakan pekerja/buruh yang dibutuhkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam ruang lingkup penyediaan jasa pekerja/buruh, pekerja/buruh dari perusahaan jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk jasa penukang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok suatu perusahaan Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak boleh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi; b. Hanya untuk jasa penunjang;

20 c. Harus ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; d. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis yang didasarkan oleh PKWT atau PKWTT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 59 UUK); e. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus berbadan hukum dan memiliki ijin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan; dan f. Harus ada perjanjian tertulis antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Udang No.13 Tahun 2003 khususnya yang mengatur mengenai penyerahaan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (pasal 64 sampai pasal 66 UUK). Berdasarkan Pasal 17 angka 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan sebagian pelaksanaannya ke perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh antara lain: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service) b. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan) c. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan

21 Pekerja outsourcing hanya mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan penyedia outsourcing bukan perusahaan pemberi kerja. Hubungan tersebut diatur didalam UU Ketenagakerjaan pasal 65 ayat (4),(6), dan (7) dinyatakan sebagai berikut : (4)Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh padaperusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (6)Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7)Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. Yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja reguler sedangkan perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja sementara. Perjanjan kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang berubah-ubah.

22 Agar outsourcing berjalan dengan baik, hubungan antara pemberi pekerjaan (user) dan penerima pekerjaan (vendor) harus berdasarkan pada: 14 Keseimbangan hak dan kewajiban antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan. Hal ini dimaksudkan tidak terjadi keseimbangan atau berat sebelah antara kewajiban dan hak dari kedua belah pihak. selain itu juga untuk menghindari masalah dimasa yang akan datang karena ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Keadilan. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses kerja sama yang dilakukan oleh pihak pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan dilakukan seadil-adilnya, terutama dalam hal memperoleh keuntungan materi dan tidak terlepas keadilan moril dan kesejahteraan kedua belah pihak. Hak Asasi Manusia menjadi azas dalam pelasanaan kegiatan outsourcing ini karena didalamnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan kebebasan manusia sebagai makhluk yang hidup dan memiliki hak-hakyang telah dimiliki sejak lahir Keterbukaan dalam praktek outsourcing hendaknya menanamkan azas keterbukaan, sehingga ketiga pihak (perusahaan pengguna, perusahaan penyedia dan pekerja outsourcing) mengetahui kontrak kejasama yang dilakukan dan masing-masing pihak mengetahui hak dan kewajibannya untuk menghindari kesalah pahaman di masa yang akan datang. Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT sepanjang PKWT memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak pekerja/buruh bahwa hubungan kerja pekerja/buruh yang bersangkutan akan dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek kerjanya tetap ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan perlindungan hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis, syarat PKWT bisa diatur pada bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi sebagai alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT atau PKWTT. 14 Ibid. h.22

23 2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dan Pekerja Outsourcing Syarat sahnya sebuah perjanjian secara umum diatur dalam BW sedangkan syarat sahnya perjanjian terkait dengan perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dan pekerja outsourcing diatur dalam undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sebuah perjanjian yang telah memenuhi syarat dan sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang, harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 BW adalah: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal 2.2.1 Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Diri Kesepakatan adalah salah satu syarat sahnya dari sebuah perjanjian. Saat lahirnya suatu perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidaknya perjanjian adalah dari adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan suatu persesuaian pendapat satu sama lain tentang isi perjanjian dan mencerminkan kehendak untuk mengikatkan diri. Perjanjian terjadi bila ada suatu penawaran yang diikuti dengan penerimaan. Untuk itu diperlukan adanya pihak yang menawarkan dan ada pihak yang menerima penawaran. Penawaran pada dasarnya merupakan pernyataan kehendak. Penawaran adalah suatu usul yang

24 telah dibuat sedemikian rupa dan bila penawaran tersebut diterima, akan melahirkan perjanjian. 15 Jenis-jenis penawaran terdiri dari penawaran umum, penawaran yang tidak mengikat, penawaran yang mengikat dengan jangka waktu tertentu, penawaran yang mengikat dengan jangka waktu tidak tertentu. Penawaran dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Yang terpenting dari penawaran ini adalah bagaimana penawaran tersebut dapat dianggap diterima atau ditolak. Apabila pernyataan penerimaan atas suatu penawaran tidak menyatakan tentang cara atau metode tertentu untuk menerimanya maka penerimaan dapat dilakukan dengan cara yang layak dan sesuai dengan kondisinya. Ada beberapa teori tentang lahirnya kesepakatan yaitu. Teori pernyataan, teori pengiriman, teori pengetahuan, teori penerimaan, teori kepercayaan, dan teori kehendak. 2.2.2 Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan Membuat suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang maupun badan hukum yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut maka badan hukum tersebut dapat melakukan hubungan hukum. Jika pihak yang membuat perjanjian adalah orang makan orang yang dianggap dapat melakukan hubungan hukum adalah orang-orang yang tidak termasuk didalam ketentuan pasal 1330 BW yaitu orang-orang yang belum dewasa,mereka yang berada 15 Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial. Sarana Bhakti Persada,Jakarta, 2005, h. 7.

25 dibawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, orang yang dilarang undang-undang membuat perjanjian. Sesuai dengan ketentuan tersebut mereka yang termasuk dalam kriteria diatas tidak dapat membuat suatu perjanjian. 2.2.3 Suatu Hal Tertentu Yang dimaksud suatu hal tertentu dalam, sebagai salah satu syarat sahnya perjanjiannya adalah sesuatu yang didalam perjanjian tersebut telah ditentukan dan disepakati. 16 Karena sesuatu yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan atau dinikmati. 17 Misalnya dalam melakukan perjanjian kerja, merupakan suatu persetujuan bahwa pekerja mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaga dan pikirannya kepada pengusaha untuk melakukan pekerjaan dengan menerima upah, yang dilakukan selama suatu masa tertentu. 18 2.2.4 Suatu Sebab Yang Halal Sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal maka tidak sah menurut hukum. Dalam isi dari perjanjian tersebut harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka. Sebab dalam membuat perjanjian apabila salah satu pihak dalam membuat perjanjian memiliki pikiran buruk terhadap pihak lain maka isi perjanjian tersebut akan merugikan salah satu pihak. Contoh suatu sebab yang halal 16 Ibid, h. 17. 17 Ibid. 18 Ibid.

26 adalah dalam perjanjian jual beli saham, jual beli mobil dll yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tentang syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 BW dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Dalam syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Namun perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta pembatalan. Sedangkan dalam syarat obyektif apabila dalam perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum, karena tujuan para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena obyek yang diperjanjikan batal, perjanjian secara otomatis batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut dihadapan hakim. Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah orang ataupun badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, barulah badan hukum tersebut dapat melakukan hubungan hukum.

27 Jika yang membuat perjanjian adalah orang, orang yang dianggap sebagai subyek hukum yang dilarang untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang- Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang mengadakan perjanjian. Ketentuan tersebut termasuk didalam pasal 1330 BW. Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut BW adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin. Pengecualiaannya, dalam membuat perjanjian kerja, syarat kecakapan yang menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian, usia dewasa untuk cakap membuat perjanjian kerja berbeda. Seseorang yang sudah dianggap dewasa apabila berumur 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, mengenai cakap dalam membuat perjanjian kerja, untuk pekerja dapat menyimpang dari pasal 1330 BW (Pasal 1320 BW jo Pasal 1 angka 26 UUKK). 19 Orang-orang yang diletakan dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan, boros. Pembentuk Undang-Undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggungjawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seseorang yang berada dibawah 19 Ibid, h. 14.

28 pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya. 20 Pada awalnya seorang perempuan yang bersuami dilarang untuk mengadakan suatu perjanjian karena memerlukan bantuan atau ijin tertulis dari suami namun ketentuan tersebut di Indonesia sudah dihapuskan. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan hak dan kedudukan istri adalah seimbang, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam kasus orang yang tidak diperbolehkan membuat perjanjian menurut Undang-Undang adalah perjanjian yang dibuat antara suami istri. Ketentuan yang menyangkut outsourcing didalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 diatur dalam pasal 64, pasal 65, dan pasal 66. Pasal 64 merupakan dasar diperbolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 ini dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Menurut pasal 65 penyerahaan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Sedangkan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang- Undang No.13 Tahun 2003 menyatakan Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud 20 Ibid, h. 16.

29 dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dengan dijelaskan bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam waktu tertentu dan PKWT yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Pada Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap melainkan untuk pekerjaan yang mempunyai jangka waktu. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Untuk mendapatkan ijin

30 operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, perusahaan menyampaikan permohonan ijin operasional kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan Kepmenakertrans No. Kep 101/Men/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Dalam hal perusahaan jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis hal ini termuat didalam Pasal 4 Kepmenakertrans No. Kep 101/Men/VI/2004 yang sekurang-kurangnya memuat: a. jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa; b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang diperkejakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada diperusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Setelah membuat perjanjian tersebut berdasarkan Pasal 5 Kepmenakertrans No. Kep 101/Men/VI/2004 perjanjian tersebut harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan

31 Kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaannya. Namun didalam praktek pada persyaratan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang harus dipenuhi dari sisi kewajiban perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang harus mendaftarkan perjanjian tersebut ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan. Jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam membuat perjanjian dengan pekerja/buruh adalah 1. perusahaan membayar upah pekerja dibawah UMK setempat; 2. perusahaan membayar upah lembur tidak sesuai dengan ketentuan; 3. perusahaan belum mengikutsertakan keseluruhan tenaga kerjanya pada program Jamsostek; 4. perusahaan tidak memberikan hak cuti tahunan kepada pekerjanya; 5. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh hampir semuanya belum didaftarkan ke Disnaker setempat. Materi dalam perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi Pasal 19 jo Pasal 28 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Jawa Timur No. 9 Tahun 2013 tentang Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada perusahaan lain yaitu memuat dan menegaskan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya, untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian

32 perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan juga perjanjian tersebut harus memuat ketentuan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sesuai ketentuan didalam Undang-Undang. Selain aturan normatif terkait hak-hak pekerja/buruh yang disebutkan diatas. Berdasarkan Pasal 17 sampai pasal 32 Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yaitu: 1. Memiliki ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari Disnakertransduk Prov. Jatim; 2. Mendaftarkan Perjanjian Penyedia jasa pekerja/buruh dengan pemberi kerja ke Disnaker setempat tempat pelaksanaan pekerjaan; 3. Mencatatkan perjanjian kerja waktu tertentu antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/uruh ke Disnaker setempat tempat pelaksanaan pekerjaan. Namun dalam prakteknya banyak perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang tidak mendaftarkan perjanjian yang dibuat dengan pekerja/buruh ke Disnaker setempat tempat pelaksanaan pekerjaan. Pendaftraan ini dimaksudkan bahwa perjanjian tersebut telah legal karena sudah diketahui oleh pemerintah dalam hal ini adalah Disnaker tempat pelaksanaan pekerjaan, sehingga memudahkan pihak pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Selanjutnya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara perusahaan dengan pekerja/buruh hampir semuanya belum dicatatkan ke Disnaker setempat tempat pelaksanaan pekerjaan. Dalam

33 materi perjanjian kerja tersebut memuat hak-hak normatif pekerja/buruh sesuai ketentuan yang harus diberikan oleh pihak pengusaha dan pekerja/buruh harus mengetahui pula hak-hak yang wajib diterimanya sebagai pekerja/buruh yang sudah melaksanakan pekerjaannya dengan baik.