PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung ABSTRACT

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

CONCEPTION RATE PADA SAPI POTONG DI KECAMATAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TAMPILAN BIRAHI KAMBING LOKAL YANG BERBEDA UMUR HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2 DI KABUPATEN BONE BOLANGO

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

LAPORAN PROGRAM PENERAPAN IPTEKS

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

HASIL DAN PEMBAHASAN

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

CONCEPTION RATE PADA SAPI PERAH LAKTASI DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN PURWOKERTO JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

PERBANDINGAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS YANG DIINSEMINASI TAHUN **** DAN TAHUN *** DI KECAMATAN (X) KABUPATEN (Y) PROPINSI (Z)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BEBERAPA FAKTOR YANG MEMENGARUHI SERVICE PER CONCEPTION PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil

HASlL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

Transkripsi:

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α) The Effect Of Parities on The Percentage Of Estrous and Conception Of Ongole Offspring After Estrous Synchronization Using Prostaglandin F2α (PGF2 α) Arni Nadhirah Putri a, Sri Suharyati b, Purnama Edi Santosa b a The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University b The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145 Telp (0721) 701583. e-mail: kajur-jptfp@unila.ac.id. Fax (0721)770347 ABSTRACT The research aimed to determine the effect of parities on the percentage of estrous and conception of Ongole Offspring after estrous synchronization using prostaglandin F2α (PGF2α). The research was held in November2012 until February 2013, located in Punggur District, Central Lampung Regency, Lampung Province. This research used Completely Randomized Design (CRD) with three treatments and four replications. The treatments were Ongole Offspring heifers (P0); Ongole Offspring which have calved once (P1); and Ongole Offspring which have calved twice (P2). Data of percentage of estrous and conception was analyzed by using Chisquare on level of 5%. The result of the Chi-square analysis showed that parity was not significantly different (P>0,05) to the percentage of estrous and conception of Ongole Offspring. The estrous percentage of Ongole Offspring was 100%. The conception percentages of Ongole Offspring on P0, P1, and P2 in a row were 25%, 0%, and 25%. Key words: Ongole Offspring, Parities, PGF2α, Estrous, Conception PENDAHULUAN Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar 1,4 juta ekor baru terisi sebanyak 443.611 ekor (31,69%), sehingga Pemerintah mencanangkan Gerakan Program 2 juta Akseptor IB menuju Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 oleh Bapak Presiden pada acara HPS XXVII tanggal 5 Desember 2007 di Way Halim, Bandar Lampung. Program Peningkatan Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010 diubah menjadi tahun 2014 karena swasembada daging sapi masih sulit dicapai, oleh karenanya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung selalu berupaya meningkatkan populasi ternak, salah satu program yang dilaksanakan adalah mengadakan kegiatan sinkronisasi estrus. Kegiatan sinkronisasi estrus ini bertujuan memanipulasi siklus estrus (siklus birahi) untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada ternak sapi secara bersamaan sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan dan efisiensi deteksi estrus. Preparat yang digunakan dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin F2α (PGF2α). Pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui corpora lutea sehingga terjadi regresi corpus luteum. Dengan dilakukannya sinkronisasi estrus maka inseminasi dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan, memudahkan pemanfaatan teknik transfer embrio, memudahkan dalam mendeteksi estrus, kebutuhan pejantan dapat diperkecil, dan musim beranak dapat dipersingkat. Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi Ongole dari India, dan merupakan salah satu sapi potong lokal yang memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan daging. Sapi PO memiliki adaptasi yang tinggi dan masih bisa berproduksi walaupun dalam kondisi pakan yang terbatas. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak (Pane,1993). Dalam pelaksanaan sinkronisasi estrus perlu diperhatikan pengaruh paritas, yang memiliki pengertian sebagai tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama (P1) adalah ternak betina yang memiliki fase fisiologis pernah melahirkan satu kali, dan begitu pula dengan 31

kelahiran-kelahiran berikutnya disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez,1993). MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi Peranakan Ongole (4 ekor/perlakuan) dengan kondisi tubuh yang baik, sehat, memiliki organ reproduksi yang normal, dan tidak sedang bunting. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Juramate (Cloprostenol 250 μg/ ml dosis 500 μg/ ekor aplikasi 2 ml/ ekor), alkohol 70 %, semen beku straw Brahman, sabun, dan air bersih. Alat yang digunakan adalah pita ukur, spuit 3 cc, sarung tangan plastik kapas, alat inseminasi buatan, kontainer DR-2, gunting stainless, dan pinset stainless. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan yang masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ekor sapi. Penyuntikan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan preparat hormon Cloprostenol (Juramate ). Perlakuan yang diberikan yaitu sapi Peranakan Ongole betina yang memiliki fase fisiologis belum pernah beranak (P0), beranak satu kali (P1), dan beranak dua kali (P2). Data tentang persentase estrus dan persentase kebuntingan dianalisis dengan Khi-kuadrat pada taraf nyata 5% (Sudjana, 1992). Sebelum diberi perlakuan, induk-induk sapi diseleksi untuk memastikan sapi tidak dalam kondisi bunting dengan jalan melakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan palpasi rektal. Penyuntikan sinkronisasi secara intramuskuler dilakukan dua kali dengan selang11 hari menggunakan preparat hormon Cloprostenol (Juramate ) dengan dosis 500 μg/ekor atau (2 ml/ekor). Sapi-sapi yang telah menunjukkan tanda-tanda estrus (24-72 jam) setelah penyuntikan kedua kemudian diinseminasi menggunakan metode rektovaginal. Tanda-tanda estrus dapat dilihat dari keluarnya lendir jernih dari serviks yang mengalir melalui vagina dan vulva, sapi nampak gelisah dan ingin keluar dari kandang, sering melenguh-lenguh, mencoba menunggangi sapi lain, pangkal ekor terangkat sedikit, nafsu makan dan minum berkurang, vulvanya bengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit kemerah-merahan (Partodihardjo, 1980). Sapi-sapi yang tidak menunjukkan tanda-tanda estrus setelah penyuntikan kedua diinseminasi menggunakan metode rektovaginal paling lambat 72 jam setelah penyuntikan kedua. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan 3 bulan setelah inseminasi buatan (IB) dengan cara palpasi rektal untuk memperoleh angka kebuntingan atau persentase kebuntingan (Bearden dan Fuquay, 1980). Variabel atau peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah : 1. Persentase estrus Persentase estrus (%) = Jumlah ternak yang estrus (ekor) Jumlah ternak yang disinkronisasi (ekor) x 100% (Toelihere,1981); 2. Persentase kebuntingan Persentase kebuntingan (%) = Jumlah ternak yang bunting (ekor) Jumlah ternak yang diinseminasi (ekor) x 100% (Partodihardjo,1980). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persentase Estrus Sapi Peranakan Ongole (PO) Persentase estrus sapi PO setelah injeksi PGF2α (Juramate ) menunjukkan hasil semua sapi (100%) mengalami estrus. Persentase estrus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase estrus setelah injeksi PGF2α (Juramate ) Paritas Jumlah sapi Perlakuan (ekor) Jumlah sapi Estrus (ekor) Estrus (%) P0 4 4 100 P1 4 4 100 P2 4 4 100 Hasil uji khi-kuadrat menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) antara P0, P1, dan P2 terhadap persentase estrus sapi PO. Setelah penyuntikan PGF2α semua sapi (100%) menunjukkan gejala estrus. Menurut Mahaputra dan Restiadi (1993), timbulnya estrus akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun, penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH, kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala estrus. Kerja hormon estrogen adalah untuk meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan. Berdasarkan hasil pengamatan gejala estrus, sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian 32

menunjukkan gejala estrus seperti gelisah, sering kencing, mencoba menaiki sapi betina lain, diam bila dinaiki sapi lain, mata berbinar, menggosokgosokkan badan, bersuara khas, vulva bengkak dan mengeluarkan lendir transparan. Hal ini didukung oleh pernyataan Toelihere (1981), bahwa selama estrus sapi betina menjadi tidak tenang, kurang nafsu makan, dan kadang-kadang menguak dan berkelana mencari pejantan. Ternak mencoba menaiki sapi-sapi betina lain dan akan diam berdiri bila dinaiki. Selama estrus ternak akan tetap berdiri bila dinaiki pejantan dan pasrah menerima pejantan untuk berkopulasi. Vulva sapi tersebut dapat membengkak, memerah dan penuh dengan sekresi mukus transparan (terang tembus, seperti kaca) yang menggantung dari vulva atau terlihat di sekeliling pangkal ekor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paritas tidak berpengaruh nyata terhadap persentase estrus sapi PO. Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persentase estrus kemungkinan disebabkan karena pada fase tersebut (P0, P1, dan P2) merupakan masa produktif sapi PO. Menurut Salisbury dan VanDemark (1985), bahwa fertilitas sapi betina dara meningkat secara berkesinambungan sampai umur 4 tahun, mendatar sampai umur 6 tahun, dan akhirnya menurun secara bertahap bila ternak menjadi lebih tua. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bearden dan Fuquay (1984), efisiensi reproduksi mencapai puncaknya pada saat sapi berumur 4 tahun, dan menurun pada umur 5-7 tahun, sedangkan penurunannya nyata terjadi setelah sapi berumur 7 tahun. Rata-rata timbulnya estrus adalah 2 hari setelah penyuntikan. Hal tersebut karena semua sapi berada dalam fase luteal yaitu fase saat korpus luteum berfungsi. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Pursley et.al. (1995); Schmith et.al. (1996) dan Moreira et.al. (2000) dalam Sudarmaji (2004), bahwa sapi yang diinjeksi dengan PGF2α akan estrus dalam waktu 2 hari setelah penyuntikan. Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persentase estrus kemungkinan disebabkan oleh metode penyuntikan PGF2α dua kali dengan interval 11 hari. Diulangnya penyuntikan kedua pada interval 11 hari menyebabkan semua sapi berada pada fase yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mac Millan (1983) dalam Sudarmaji (2004), bahwa penyuntikan PGF2α untuk program penyerentakan estrus dilakukan dua kali masing-masing berjarak 11 hari lebih jauh. Menurut Tomaszewska (1991), senyawa prostaglandin mampu meregresi korpus luteum secara serentak selama masa dari pertengahan sampai akhir dari birahi dan hanya efektif bila terjadi korpus luteum yang sedang aktif. Jadi diperlukan dua kali perlakuan dengan jarak 8-12 hari untuk sinkronisasi sekelompok ternak. Partodihardjo (1980) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan estrus yang 100%, maka perlu dilakukan dua kali penyuntikan dengan interval waktu 11 hari dari penyuntikan yang pertama. Hari ke-11 itu dipilih berdasarkan perhitungan bahwa pada hari tersebut semua sapi, baik yang menjadi estrus atau tidak menjadi estrus akibat dari penyuntikan yang pertama, telah berada pada hari yang ke-6 atau ke-7 setelah estrus, karena pada hari ke-6 korpus luteum telah selesai tumbuh maka PGF2α mempunyai efek yang maksimal. Jadi, pada hari ke-2 sampai ke-5 setelah penyuntikan yang kedua semua sapi menjadi estrus. Sebagai pembanding, menurut Welch, et al. (1975) dalam Setiadi (1996) bahwa sapi-sapi potong laktasi yang diberi PGF2α secara intramaskuler menyebabkan terjadinya estrus sebesar 87%. Menurut Mulyono (1978) dalam Partodihardjo (1980), penyerentakan estrus pada sapi Bali dan PO yang mempunyai bobot badan rata-rata 230,50 kg dengan dosis PGF2α 15,0 mg secara intramusculer menunjukkan 92,4% sapi mengalami estrus. Menurut Sudarmaji (2004), penyerentakan estrus pada sapi Bali dan PO dengan metode penyuntikan PGF2α 2 kali menyebabkan semua sapi mengalami estrus (100%). B. Persentase Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole (PO) Bearden dan Fuquay (1984) mengemukakan bahwa waktu dari terjadinya pembuahan sampai masa kelahiran atau sampai proses kelahiran disebut kebuntingan. Gejala awal terjadinya kebuntingan tidak jelas karena tidak bisa terlihat. Akan tetapi, adanya perubahan mekanis dan perilaku sapi yang mencolok akan dapat dijadikan petunjuk bahwa sapi tersebut bunting. Perubahan mekanis dan perilaku sapi yang mencolok seperti birahi berikutnya tidak muncul, sapi menjadi lebih tenang, nafsu makan meningkat, adanya kecenderungan kenaikan berat badan, ambing membengkak, dan pada pertengahan kebuntingan perut sebelah kanan nampak besar. Menurut Toelihere (1981), kebuntingan pada sapi dapat didiagnosa melalui palpasi rektal. Diagnosa tersebut didasarkan pada asimetri, fluktuasi dan konsistensi, besar dan lokasi kornua uteri di dalam rongga pelvis atau rongga perut, adanya membran fetus, placentom, pembesaran serta fremitus pada arteri uterina media dan adanya gerakan fetus itu sendiri. Adanya korpus luteum dan sedikit pembesaran pada salah satu kornu uteri dibandingkan dengan kornu lain sangat mungkin menandakan kebuntingan muda pada sapi. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan dalam waktu 40-60 hari setelah inseminasi. Hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) secara palpasi rektal setelah 3 bulan pada sapi PO dapat dilihat pada Tabel 2. 33

Tabel 7. Pengaruh paritas terhadap persentase kebuntingan sapi PO Paritas Jumlah sapi (ekor) Kebuntingan Kebuntingan (%) Bunting Tidak Bunting P0 4 1 3 25 P1 4 0 4 0 P2 4 1 3 25 Berdasarkan hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) 3 bulan setelah inseminasi, kebuntingan masing-masing 1 ekor pada P0 dan P2, sedangkan pada P1 tidak terjadi kebuntingan (Tabel 2). Hasil uji khi-kuadrat menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) antara P0, P1,dan P2 terhadap persentase kebuntingan sapi PO.. Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persentase kebuntingan kemungkinan disebabkan karena pada fase tersebut (P0, P1, dan P2) merupakan masa produktif sapi PO. Menurut Salisbury dan VanDemark (1985), bahwa fertilitas sapi betina dara meningkat secara berkesinambungan sampai umur 4 tahun, mendatar sampai umur 6 tahun, dan akhirnya menurun secara bertahap bila ternak menjadi lebih tua. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bearden dan Fuquay (1984), efisiensi reproduksi mencapai puncaknya pada saat sapi berumur 4 tahun, dan menurun pada umur 5-7 tahun, sedangkan penurunannya nyata terjadi setelah sapi berumur 7 tahun. Hasil pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal yang dilakukan 3 bulan setelah inseminasi buatan menunjukkan bahwa total angka kebuntingan yang diperoleh masing-masing 25% pada P0, 0% pada P1, dan 25% pada P2. Hasil ini menunjukkan bahwa laju kebuntingan pada P1 lebih rendah dibandingkan P0 dan P2. Menurut pendapat Sujono (2011), keberhasilan angka konsepsi diatas 50% dari semua induk yang di IB. Dalam satu kali proses IB atau mengawinkan induk-induk yang birahi diharapkan tingkat kebuntingan tinggi. Rendahnya persentase kebunting yang dilakukan terlalu dini atau saat birahi yang terlewatkan (Tabel.3). Berdasarkan Tabel.8, kebuntingan hanya terjadi pada perlakuan P0U4 dan P2U1. Terjadinya kegagalan kebuntingan kemungkinan disebabkan oleh waktu IB yang tidak tepat. Menurut Toelihere (1981), tidak tepatnya waktu inseminasi menyebabkan rendahnya fertilitas karena berkaitan dengan umur hidup sperma, ovum, dan waktu kapasitas sperma dalam saluran reproduksi sapi betina. Pada P0U4 IB dilakukan ± 10 jam setelah terjadinya estrus, sedangkan pada P2U1 IB dilakukan ± 12 jam setelah terjadinya estrus, sehingga dapat diperoleh angka kebuntingan yang tinggi. Hal ini selaras dengan pendapat Bearden dan Fuquay (1984), bahwa untuk mendapatkan angka kebuntingan yang tinggi maka inseminasi dilakukan pada pertengahan masa estrus hingga pada akhir estrus, yaitu 9-18 jam setelah munculnya estrus atau diperkirakan 12-18 jam sebelum waktu ovulasi. Perkawinan pada awal estrus dan 6 jam sebelum ovulasi juga dapat menurunkan angka kebuntingan. Tabel. 3. Waktu timbulnya estrus, inseminasi buatan, dan hasil pemeriksaan kebuntingan Perlakuan Timbul Estrus Waktu IB Lama Estrus Hasil Tanggal Pukul Tanggal Pukul Sebelum IB PKB P0U1 22-11-2012 8.05 22-11-2012 12.45 4 jam 40 menit Tidak bunting P0U2 22-11-2012 10.45 22-11-2012 13.20 2 jam 35 menit Tidak bunting P0U3 22-11-2012 10.50 22-11-2012 13.30 2 jam 40 menit Tidak bunting P0U4 22-11-2012 5.10 22-11-2012 15.05 9 jam 55 menit Bunting P1U1 22-11-2012 5.35 22-11-2012 12.40 7 jam 05 menit Tidak bunting P1U2 22-11-2012 6.35 22-11-2012 12.54 6 jam 19 menit Tidak bunting P1U3 22-11-2012 6.40 22-11-2012 13.05 6 jam 25 menit Tidak bunting P1U4 22-11-2012 10.07 22-11-2012 13.45 3 jam 38 menit Tidak bunting P2U1 22-11-2012 18.40 23-11-2012 06.45 12 jam 05 menit Bunting P2U2 23-11-2012 4.30 23-11-2012 06.55 2 jam 25 menit Tidak bunting P2U3 22-11-2012 13.57 22-11-2012 15.15 1 jam 18 menit Tidak bunting P2U4 22-11-2012 11.07 22-11-2012 13.55 2 jam 48 menit Tidak bunting Rendahnya persentase kebuntingan sapi PO kemungkinan juga disebabkan oleh kegagalan proses ovulasi. Dari hasil PKB, kebuntingan masing-masing hanya 1 ekor pada P0 dan P2, sedangkan pada P1 tidak terjadi kebuntingan. Kegagalan ovulasi sangat jelas berkaitan dengan berkurangnya sekresi hormon GnRH terutama LH. Menurut Partodihardjo (1980), kadar LH yang rendah menyebabkan fase folikuker 34

diperpanjang sehingga yang seharusnya folikel mengalami ovulasi dan memasuki fase luteal tertunda waktunya atau tidak terjadi sama sekali. Folikel de Graaf yang sudah matang gagal pecah karena ada gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH menyebabkan terjadinya kegagalan ovulasi. Rendahnya persentase kebuntingan sapi PO kemungkinan juga disebabkan oleh kematian embrio dini. Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi. Menurut Hafez (1993), faktor yang mendorong kematian embrio dini meliputi faktor hormonal, jumlah embrio pada uterus, suhu, lingkungan, kekebalan, dan kesuburan sperma. Cepat dan lambatnya transport dari ovum dipengaruhi oleh keseimbangan estrogen-progesteron, yang juga akan mempengaruhi kematian embrio preimplantasi. Ketidakseimbangan kedua hormon tersebut akan menyebabkan regresi korpus luteum dan berakhirnya kebuntingan. Banyaknya embrio pada uterus akan berpengaruh pada tersedianya ruang untuk perkembangan embrio, suplai darah. Pada sapi dengan kebuntingan kembar lebih besar kemungkinan terjadi kematian embrio daripada bunting tunggal karena berkurangnya ruang untuk perkembangan embrio dan perebutan nutrisi intrauterin. Kematian embrio terjadi pada3 atau 4 minggu pertama kebuntingan (Hafez,1993). Setelah proses pembuahan, pada tubuh induk terjadi persentuhan dengan antigen berasal dari sperma dan embrio. Jika mekanisme immunosupresi tidak berjalan dengan baik, maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu kehidupan embrio di dalam uterus. Waktu subur (fertile life) dari sperma berkisar antara 18-24 jam. Penyimpanan sperma (baik penyimpanan dingin maupun beku) dapat menurunkan kesuburan sperma. Kesuburan sperma yang menurun karena disimpan, mempunyai peranan dalam mendorong terjadinya kematian embrio dini. Inseminasi buatan yang dilakukan pada induk sapi yang terlalu awal dari masa birahi, dapat menyebabkan sperma menjadi terlalu tua pada saat proses pembuahan. Akibatnya zigot yang terbentuk dalam keadaan lemah, yang dalam perkembangannya akan diikuti oleh kematian embrio dini (Hafez, 1993). Sebagai pembanding, berdasarkan penelitian Sudarmaji (2004), hasil pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal yang dilakukan 3 bulan setelah inseminasi menunjukkan bahwa total angka kebuntingan sapi PO yang diperoleh sebesar 47,37%. Sedangkan berdasarkan penelitian Ihsan (2011) angka kebuntingan sapi potong yang diperoleh sebesar 64%. Menurut Mulyono (1978) dalam Partodihardjo (1980), bahwa pemberian PGF2α dengan dosis 35 mg/ekor pada sapi PO diperoleh angka kebuntingan sebesar 83,3 %. Simpulan SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Paritas (P0, P1, dan P2) tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO. Setelah penyuntikan PGF2α semua sapi (100%) menunjukkan gejala estrus. Persentase kebuntingan rata-rata P0, P1, dan P2 adalah 25%, 0%, dan 25%; 2. Tidak ada paritas yang memberikan pengaruh paling baik terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO. Saran 1. Dalam sinkronisasi estrus menggunakan PGF2α tidak perlu memperhatikan pengaruh paritas; 2. Perlu dilakukan penelitian sinkronisasi estrus lebih lanjut dengan menggunakan dosis PGF2α yang berbeda, dan jenis sapi yang berbeda. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung atas bantuan dan kerja sama selama pelaksanaan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah pada November Desember2012. DAFTAR PUSTAKA Aksi Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta Bearden, H.J. and Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing Company Inc. Reston. Virginia Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Petunjuk Teknis Gangguan Reproduksi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Buku Statistik Peternakan 2012. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Propinsi Lampung Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal.6 th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia Ihsan, M.N., 1997. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang 35

Ihsan, M.N. dan Sri Wahjuningsih., 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang Mahaputra, L. Dan TI. Restiadi. 1993. Profil Progesteron selama Sinkronisasi Birahi dan Ovulasi dalam Upaya EmbrioTransfer. Forum Komunikasi Hasil Penelitian bidang Peternakan. 22-24. Yogyakarta Pane, I., 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985.Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Setiadi. 1996. Pengaruh Dosis Prostaglandin F2α Analog terhadap Respon Birahi dan Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah Friesian Holstein. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Soedarsono, 1982. Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α) Secara Intramuskuler dan Intra Uterin Terhadap Kecepatan Timbulnya Birahi sertapersentase Kebuntingan pada Sapi Peranakan PFH. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sosroamijoyo, M. S. 1991. Ternak Potong dan Kerja. Cetakan Ke-11, CV Yasaguna, Jakarta Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Makalah. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Sudarmaji, A.M. dan A. Gunawan., 2004. Pengaruh Penyuntikan Prostaglandin terhadap Persentase Birahi Dan AngkaKebuntingan Sapi Bali Dan PO Di Kalimantan Selatan. Jurnal. Fakultas Pertanian. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito. Bandung Sujono. 2011. Pengelolaan Reproduksi. http:// sujono. staff. umm. ac.id/files/2011/02 / Kuliahh-Manajemen Ternak Perah-3.ppt. Diakses, 20 Juni 2013 Toelihere, M. 1981. Fisiologi Reproduksi padaternak. Angkasa. Bandung Tomaszewska, M.W. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Alihbahasa oleh Sutama, I.K., I.G. Putu, dan T.D.Chaniago. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 36