Pengaruh Pemberian Antibiotik Terhadap Populasi dan. Tifoid dan Pneumonia serta Hubungannya dengan Gejala Diare

dokumen-dokumen yang mirip
Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Anak Gizi Buruk yang Diberi Modisco Susu Formula dan Modisco Susu Formula Elemental Di RSU dr.

Konstipasi adalah penyakit dengan kelainan. Konstipasi dan Faktor Risikonya pada Sindrom Down. Ina Rosalina, Sjarif Hidayat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, imunologi, dan mikrobiologi RSUP dr.kariadi Semarang

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Resistensi terhadap antimikroba atau. antimicrobial resistance (AMR) adalah fenomena alami

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

Demam Tifoid pada Anak Usia di bawah 5 Tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung

BAB 1 PENDAHULUAN. sehari (Navaneethan et al., 2011). Secara global, terdapat 1,7 miliar kasus diare

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, demam,

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang. Salah satu dari tujuan Millenium Development. Goal(MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medik yang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Penelitian ini berupa deskriptif pemeriksaan laboratoris. Penelitian dilakukan di

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

ARTIKEL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Disusun oleh : Tri Ika Kusuma Ningrum NIM : G2A

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan diagnosa penyakit diare di bangsal rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Clostridium difficile: penyebab diare dan kolitis pseudomembranosa, akibat konsumsi antibiotika yang irasional

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup

Sikni Retno Karminigtyas, Rizka Nafi atuz Zahro, Ita Setya Wahyu Kusuma. with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agung Hospital at Semarang was

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/ tanpa darah dan dengan/ tanpa lendir

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. sayap (terbang) yang berbentuk membran. Hanya sesekali bergerak

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di SMF Ilmu Kesehatan Anak Sub Bagian Perinatologi dan. Nefrologi RSUP dr.kariadi/fk Undip Semarang.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB IV METODE PENELITIAN. Bedah Kepala dan Leher subbagian Neuro-otologi. Perawatan Bayi Resiko Tinggi (PBRT) dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

25 Universitas Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

PHARMACY, Vol.13 No. 02 Desember 2016 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. untuk meningkat setiap tahun (Moehario, 2001). tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Musnelina et al., 2004).

BAB IV METODE PENELITIAN

Bacillius cereus siap meracuni nasi anda

Transkripsi:

Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 6, No. Vol. 2, 6, September No. 2, September 2004: 58-63 2004 Pengaruh Pemberian Antibiotik Terhadap Populasi dan Produksi Toksin Clostridium difficile pada Pasien Demam Tifoid dan Pneumonia serta Hubungannya dengan Gejala Diare Dwi Prasetyo Clostridium difficile merupakan flora normal dalam saluran pencernaan manusia, tetapi dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan penyakit, yaitu menjadi patogen bila ada kesempatan untuk bermultiplikasi dan membentuk toksin. Misalnya pemberian obat anti jasad renik dapat menekan sementara unsur-unsur flora usus yang peka terhadap obat tersebut. Sebaliknya kuman yang resisten tetap hidup, bahkan akan berkembang terus sehingga terjadi pertumbuhan yang berlebih. Di Indonesia Clostridium difficile belum begitu dikenal sebagai penyebab kolitis akibat pemakaian antibiotik. Kemungkinan karena kurangnya kewaspadaan dalam klinik, tidak tersedianya fasilitas laboratorium yang khusus untuk biakan anaerob atau kegagalan dalam melakukan biakan anaerob. Tujuan penelitian untuk mengetahui jumlah kultur Clostridium difficile yang positif pada pemeriksaan hari pertama (maksimum mendapat 3 hari pengobatan antibiotik), peningkatan populasi Clostridium difficile dalam tinja pasien demam tifoid dan pneumonia yang mendapatkan pengobatan antibiotik 8 hari, adanya toksin Clostridium difficile dalam tinja anak penderita demam tifoid dan pneumonia yang mendapat pengobatan antibiotik 8 hari dan mengevaluasi hubungannya dengan gejala diare. Penelitian ini dilakukan terhadap 38 pasien demam tifoid dan 12 pasien pneumonia yang mendapat antibiotik minimal 8 hari dan dirawat di Sub Bagian Infeksi dan Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unpad/Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Sebagai kontrol dilakukan pemeriksaan tinja pada 20 anak sehat. bakteriologik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Dari 50 pasien yang diteliti didapatkan 24 (48,0%) laki-laki dan 26 (52,0%) perempuan. Kelompok umur 1-4, 5-9, dan > 10 tahun berturut-turut didapatkan 26 (52,0%), 13 (26,0%) dan 11 (22,0%). Antibiotik kloramfenikol diberikan pada 38 (76,0%) anak, sedangkan ampisilin pada 12 (24,0%) anak. Hasil kultur Clostridium difficile pertama positif sebanyak 30 (60,0%) dan negatif 20 (40,0%) pasien. Ternyata pada kelompok anak sehat ditemukan 8 anak dengan kultur Clostridium difficile positif (40,0%) dan 12 anak dengan kultur negatif (60,0%). Dari hasil perhitungan statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna jumlah rata-rata koloni Clostridium difficile per gram tinja pada kelompok anak sehat dan pasien infeksi yang diambil pada hari pertama perawatan yang sebelumnya telah mendapat maksimum 3 hari antibiotik. Didapatkan peningkatan jumlah koloni Clostridium difficile secara bermakna pada anak pasien demam tifoid dan pneumonia setelah diberi antibiotik 8 hari. Walaupun toksin Clostridium difficile terdeteksi pada 24,0% pasien, tetapi yang disertai gejala diare hanya pada 2 penderita. Juga didapatkan perbedaan bermakna rata-rata jumlah koloni Clostridium difficile per gram tinja antara pasien dengan toksin positif dan negatif. Pada semua anak yang didapatkan toksin Clostridium difficile ternyata mempunyai jumlah koloni Clostridium difficile melebihi 10 3 koloni per gram tinja. Kata kunci: Clostridium difficile, populasi, toksin, antibiotik, diare 58

Clostridium difficile merupakan kuman flora normal dalam saluran pencernaan manusia, juga dapat ditemukan dalam tanah, rumput kering, pasir, kotoran hewan seperti sapi, kuda, keledai, anjing, kucing dan hewan pengerat.1 Walaupun demikian dalam keadaan-keadaan tertentu kuman flora normal ini dapat menjadi patogen bila ada kesempatan untuk bermultiplikasi, membentuk toksin atau mengadakan invasi ke jaringan lain, misalnya akibat pemberian antibiotik dan sitostatik. 2,3 Obat-obatan anti jasad renik (antibiotik) yang diberikan secara oral atau parenteral pada manusia dapat menekan sementara unsur-unsur flora usus yang peka terhadap obat tersebut. Namun sebaliknya kuman yang resisten tetap hidup, akan tetap berkembang sehingga terjadi pertumbuhan yang berlebih. 2 Di Indonesia, jumlah kasus penyakit infeksi masih tinggi, sehingga penggunaan antibiotik juga cukup tinggi. 4 Hal tersebut juga tampak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung, khususnya di Bagian Anak. Beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan di bangsal anak antara lain ampisilin, amoksisilin, kloramfenikol, kotrimoxazol, golongan sefalosporin dan aminoglikosida. Untuk pengobatan demam tifoid dan pneumonia, lamanya pemberian antibiotik antara 10-14 hari dan diberikan secara oral maupun parenteral. 5,6 Walaupun pemakaian antibiotik telah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian pelbagai penyakit infeksi, namun pemberian jangka panjang dan berspektrum luas dapat menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut dapat merugikan pasien, seperti tumbuhnya bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik dan terganggunya keseimbangan flora normal. 7 Di Indonesia Clostridium difficille belum begitu dikenal sebagai penyebab kolitis akibat pemakaian antibiotik mungkin disebabkan kurangnya kewaspadaan dalam klinik, tidak tersedianya fasilitas laboratorium yang khusus untuk biakan anaerob atau kegagalan dalam melakukan teknik biakan anaerob. Salah satu gejala kolitis paling sering adalah diare, diagnosis pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi dengan endoskopi. Pada penelitian ini kedua pemeriksaan tersebut tidak dilakukan secara rutin, karena bersifat invasif dan mahal, sehingga yang diamati adalah gejala diare. Bahan dan Cara Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Penderita yang ikut dalam penelitian ini adalah pasien demam tifoid dan pneumonia yang dirawat di Sub Bagian Infeksi dan Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Pasien belum mendapat antibiotik atau maksimum mendapat 3 hari pengobatan sebelum dirawat (berdasarkan anamnesis). Menurut Feigin dan Finta (1992) gejala klinis kolitis yang timbul paling cepat 4 hari setelah pengobatan antibiotik dan masih dapat timbul setelah 21 hari antibiotik dihentikan. 8 Pemilihan kasus dilakukan secara urutan pasien datang ke Rumah Sakit (consecutive admission) dan memenuhi kriteria penelitian. Sebagai kontrol adalah anak berumur lebih dari 1 tahun yang beredar di poliklinik Tumbuh Kembang dan keluarga perawat yang bertugas di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin dengan pembagian kelompok umur sesuai dengan subjek penelitian. Kriteria Inklusi adalah anak berumur lebih dari 1 tahun, belum mendapat antibiotik atau yang paling lama mendapat antibiotik selama 3 hari sebelum dirawat, dan tidak menderita diare pada waktu masuk. Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien pulang paksa sebelum mendapat antibiotik 8 hari atau meninggal sebelum mendapat antibiotik 8 hari. Analisis datadilakukan secara deskriptif dengan menghitung besaran frekuensi dan persentase, serta perhitungan analitik dilakukan dengan menggunakan uji statistik Hasil Alamat Korespondensi: Dr. Dwi Prasetyo, Sp.A Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSUP dr. Hasan Sadikin Jl. Pasteur No. 38 Telp./Fax. 2034426-203595 Bandung 40161 Selama periode penelitian didapatkan 38 pasien demam tifoid dan 12 pneumonia yang memenuhi syarat kriteria penelitian yang dirawat di Subbagian Infeksi dan Pulmonologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak 59

FK-Unpad/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan sebagai kontrol didapat 20 anak sehat. Karakteristik Subjek Penelitian Jenis kelamin, umur dan jenis antibiotik yang dipakai pada subjek penelitian tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik n % 1. Jenis kelamin Laki-laki 24 48,0 Perempuan 26 52,0 2. Umur (tahun) 1-4 26 52,0 5-9 13 26,0 ³10 11 22,0 3. Jenis antibiotik Ampisilin 12 24,0 Kloramfenikol 38 76,0 Keterangan: n = jumlah subjek penelitian Dari 50 pasien yang diteliti didapatkan 24 (48,0%) anak laki-laki dan 26 (52,0%) anak perempuan. Berdasarkan kelompok umur didapatkan 26 (52,0%) anak berumur 1-4 tahun, 13 (26,0%) anak berumur 5-9 tahun dan 11 (22,0%) anak berumur 10 tahun atau lebih. Antibiotik kloramfenikol diberikan pada 38 (76,0%) anak, sedangkan yang mendapat ampisilin sebanyak 12 (24,0%) anak. Hasil Biakan Clostridium difficile Hari Pertama Perawatan Pada Tabel 2 terlihat bahwa biakan Clostridium difficile positif pada tinja anak pasien infeksi pada hari pertama perawatan 60,0%. Hasil ini dibandingkan dengan kultur Clostridium difficile yang positif pada anak sehat, dengan tujuan untuk melihat apakah pemeriksaan kultur Clostridium difficile pada hari pertama perawatan (belum diberi antibiotik atau maksimum mendapat 3 hari antibiotik) sama dengan anak sehat. Kelompok kontrol terdiri dari anak sehat, 9 anak laki-laki dan 11 anak perempuan. Berdasarkan kelompok umur didapatkan 10 (50,0%) anak berumur 1-4 tahun, 6 (30,0%) anak berumur 5-9 tahun dan 4 (20,0%) anak berumur 10 tahun atau lebih. Dari kelompok sehat ditemukan 8 anak dengan kultur Clostridium difficile positif (40,0%) dan 12 anak dengan kultur negatif (60,0%). Pada kelompok anak sehat tidak didapatkan toksin Clostridium difficile. Hal ini sesuai dengan laporan Triadafilopoulos dan La Mont (1991) bahwa pada anak sehat yang berumur lebih dari 1 tahun tidak didapatkan toksin Clostridium difficile, sedangkan pada anak sehat kurang dari 1 tahun didapatkan toksin Clostridium difficile sebesar 25-60%. 9 Perbandingan antara jumlah biakan Clostridium difficile pada anak sehat dengan pasien demam tifoid dan pneumonia pada hari pertama perawatan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Jumlah Biakan Clostridium difficile pada Anak Sehat dan Pasien Infeksi pada Hari Pertama Perawatan biakan Anak sehat Pasien infeksi n % n % + 8 40,0 30 60,0-12 60,0 20 40,0 Jumlah 20 100,0 50 100,0 x 2 = 1,56; p= 0,211 Tabel 3. Jumlah koloni Clostridium difficile per gram tinja hari pertama perawatan Kelompok n Rerata SB Median Rentang Sehat 8 400,7 335,9 378 14-950 Pasien 30 578,6 478,9 350 28-2.184 Keterangan: SB = Simpangan baku; ZM-W = 0,467; p = 0,461 Dari Tabel 2 dan 3 tampak tidak ada perbedaan yang bermakna antara baik jumlah biakan positif maupun jumlah rata-rata koloni Clostridium difficile per gram tinja pada kelompok anak sehat dan pasien demam tifoid/pneumonia pada hari pertama perawatan. Dari 8 (40,0%) anak sehat dengan biakan Clostridium difficile positif, jumlah koloni bakteri tidak ada yang melebihi 103 koloni per gram tinja dengan rata-rata 400,7 koloni per gram tinja. 60

Jumlah Biakan dan Toksin Clostridium difficile pada Pasien Demam Tifoid dan Pneumonia (untuk Data Berpasangan) Tabel 5. Jumlah koloni Clostridium difficile per gram tinja pada pemeriksaan I dan II Biakan (+) n Rerata SB Median Rentang I 27 496,7 497,2 280 28-2.184 II 27 1.739,1 1.428,3 1.288 252-4.928 Keterangan: n = Jumlah hasil biakan Clostridium difficile yang positif SB = Simpangan baku ZWilcoxon = 4,457; p < 0,001 Dari Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni Clostridum difficile per gram tinja antara pemeriksaan I dengan pemeriksaan II, terjadi peningkatan jumlah koloni dari 496 menjadi 1.739 (p < 0,001).Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan atau peningkatan koloni Clostridium difficile secara bermakna pada anak yang menderita demam tifoid dan pneumonia setelah diberi antibiotik 8 hari. Tabel 6. toksin Clostridium difficile pasien demam tifoid dan pneumonia pada pemeriksaan I dan II I + - Jumlah + 2 10 12-0 38 38 Jumlah 2 48 50 X 2 M-N = [(b-c)-1]2 = [(10-0)-1]2 = 8,1 p < 0,01 b+c 10 Pada Tabel 6 terlihat bahwa pemeriksaan toksin Clostridium difficile pada hari pertama perawatan (maksimum mendapat 3 hari antibiotik) didapat pada 2 anak (4,0%) dengan toksin positif dan 12 (24,0%) anak toksin positif setelah pemberian antibiotik 8 hari. Terdapat perbedaan yang secara statistik bermakna antara jumlah pemeriksaan toksin Clostridium difficile positif pada pemeriksaan I dan II (p < 0,01). Tabel 7. Toksin Clostridium difficile dan Jumlah Koloni Clostridium difficile per Gram Tinja pada Pasien Demam Tifoid dan Pneumonia Toksin n Rerata SB Median Rentang + 12 2.779,0 1.373,0 2.814,0 1.120-4.928-38 887,2 776,2 644,0 252-3.276 ZM-W = 3,741; p = 0,002 Dari Tabel 7 terlihat bahwa pada pasien demam tifoid dan pneumonia terdapat perbedaan yang sangat bermakna rata-rata jumlah koloni per gram tinja antara pasien dengan toksin positif dan negatif (p = 0,002). Pada semua anak yang didapatkan toksin Clostridium difficile ternyata mempunyai jumlah koloni Clostridium difficile melebihi 103 koloni per gram tinja. Menurut Triadafilopoulos dan La Mont, pada pasien kolitis pseudomembran dengan toksin positif, lebih dari 95% ditemukan jumlah koloni Clostridium difficile 103-107 koloni per gram tinja. 9 Hubungan Hasil Toksin Clostridium difficile Positif dan Diare Dari 12 (24,0%) anak yang mempunyai hasil pemeriksaan toksin positif didapatkan 2 anak dengan gejala diare. Pada penelitian ini ditemukan 2 gejala klinis yang mengarah pada diagnosis kolitis yaitu diare, sedangkan gejala klinis lain seperti kembung, mual, muntah, nyeri perut tidak ditemukan. Dapat disimpulkan bahwa diare yang terjadi kemungkinan salah satu gejala dari kolitis akibat pemakaian antibiotik. Tabel 8. Hubungan pemeriksaan toksin Clostridium difficile positif dan diare Diare + - % (+) Toksin (+) 2 10 16,7 Toksin (-) 0 38 0 p = 0,053 Pada penelitian Bartlett dilaporkan bahwa pada kolitis pseudomembran yang terjadi akibat antibiotik didapatkan hasil pemeriksaan toksin positif sebanyak 95-100%, dengan gejala diare tanpa kolitis pseudomembran 15-25% dan yang tanpa gejala hanya 2-8%. 10 61

Diskusi Pada manusia sebagian besar bakteri yang membentuk flora normal adalah bakteri anaerob, yang paling sering ditemukan dalam saluran pencernaan terutama usus besar adalah Clostridium difficile. 1 Pada orang dewasa didapatkan Clostridium difficile sekitar 3%, pada bayi 20-50% dan sangat tinggi pada neonatus 50-70%.1,8 Sedangkan menurut Bartlett (1989) Clostridium difficile ditemukan 30-70% pada neonatus (<1 bulan), 30-70% pada bayi umur 1 bulan -1 tahun dan 3% pada anak umur >1 tahun. 10 Toksin Clostridium difficile ditemukan 5-63% pada neonatus sehat, tidak didapatkan pada anak berumur lebih dari 1 tahun dewasa. 8,10 Selain sebagai flora normal ternyata Clostridium difficile dapat sebagai penyebab kolitis. Bakteri ini pertama kali berhasil diisolasi pada tahun 1935 oleh Hall dan O'Toole. Mereka menamakan bakteri tersebut difficile oleh karena bakteri ini sangat sulit diisolasi. 1 Umumnya penyakit yang disebabkan Clostridium difficile berhubungan dengan adanya pemberian antibiotik. Rolfe dkk dan Fekety dkk, menyatakan bahwa beberapa antibiotik yang sering berhubungan dengan timbulnya penyakit karena Clostridium difficile antara lain ampisilin, penisilin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin dan, sefaleksin. 2,11 Sedangkan Allen dkk menyatakan bahwa hampir semua antibiotik, kecuali vankomisin, basitrasin dan metronidazol sering berhubungan dengan penyakit karena Clostridium difficile. 1 Demikian juga Triadafilopoulos dan La Mont menyatakan bahwa hampir semua antibiotik dapat menyebabkan kolitis pseudomembran pada anak, tetapi yang paling sering adalah ampisilin. 9 Bartlett melaporkan bahwa didapatkan hasil pemeriksaan toksin Clostridium difficile positif 15-25% pada pasien diare yang berhubungan dengan pemberian antibiotik dan 2-8% pada pasien dengan pemberian antibitik yang tanpa disertai diare. 9 Bagaimana hubungan antara lamanya pemberian, dosis dan rute pemberian antibiotik dengan terjadinya kolitis masih belum jelas.12 Menurut Banno dkk, timbulnya diare sebagai salah satu gejala dari kolitis dapat terjadi setelah 1 minggu pemberian antibiotik. Sedangkan Feigin dkk menyatakan bahwa timbulnya gejala dapat terjadi selama pemberian antibiotik (hari ke 4-8) atau terjadi sangat lambat, yaitu sampai 21 hari setelah antibiotik dihentikan. 8,13 Clostridium difficille dalam bermultiplikasi dan berproliferasi membentuk toksin. Adanya toksin dalam tinja pasien kolitis yang disebabkan oleh Clostridium difficile pertama kali dilaporkan oleh Larson dkk, kemudian George dkk berhasil mengisolasi Clostridium difficile dari tinja pasien kolitis akibat pemakaian klindamisin. 11,14 Selain itu juga dia berpendapat bahwa toksin yang dihasilkan merupakan satu-satunya penyebab terjadinya kolitis. Pada penelitian ini terlihat terjadi peningkatan populasi Clostridium difficile setelah pemberian antibiotik 8 hari, yaitu pada hari ke-1 nilai median adalah 280 meningkat menjadi 1288 dan terbentuknya toksin Clostridium difficile pada 12 dari 50 pasien serta adanya hubungan antara adanya toksin Clostridium difficile dengan gejala klinis diare yaitu 2 dari 12 yang toksin positif (merupakan gejala tersering dari kolitis). Daftar Pustaka 1. Allen SD, Ellen JB. Clostridium. Dalam: Ballows A, William J, Hausler JR, Kenneth LH, Henry DI, Shadoy HJ, penyunting. Manual of clinical microbiology. Edisi ke-5. Washington DC: American Society for Microbiology; 1991. h. 505-21. 2. Rolfe RD, Finegold SM. Purification and characterization of Clostridium difficile toxin. Infect Immun 1979;25:191-202. 3. Schuller I, Saha V, Lin Linm Kingston J, Eden T, Tabaqchali. Investigation and management of Clostridium difficile colonization in a paediatric oncology unit. Arch Dis Child 1995;72:219-22. 4. Supardi I. Pola kepekaan kuman isolat dari bahan klinik di Bandung terhadap berbagai jenis antibiotik. MKB 1988;XXI:41-8. 5. Rosmajudi O, Kartasasmita CB. Pneumonia. Dalam: Garna H, Widjaya J, Rustama DS, Rahman O, Sjahrodji AM, penyunting. Pedoman terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-1. Bandung: Bina Budhaya; 1993. h. 179-83. 6. Azhali MS, Garna H, Chairulfatah A. Penyakit infeksi tropis. Dalam: Garna H, Widjaya J, Rustama DS, Rahman O, Sjahrodji AM, penyunting. Pedoman terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-1. Bandung: Bina Budhaya; 1993. h. 106-7. 7. Jawetz EJL, Melnick, Adelberg EA. Spore-forming gram positive bacilli: bacilllus & clostridium spesies. Dalam: Jawetz EJL, penyunting. Review of medical microbiology. Edisi ke-16. Los Altos: Lange Medical Publication; 1984. h. 180-7. 62

8. Feigin RD, Finta KM. Antibiotic associated colitis, pseudomembranous colitis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WF, Vaughan III VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-14. Philadelphia: WB Saunders Co; 1992. h. 750-2. 9. Triadafilopoulos G, La Mont JT. Pseudomembranous colitis. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease patophysiology, diagnosis, management, vol 1. Philadelphia: BC Decker Inc; 1991. h. 619-29. 10. Bartlett JG. Gastrointestinal disease, patophysiology diagnosis management. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Co; 1989. 11. Fekety R, Kim KH, Bats DH, Browne MA, Silva J Jr, Toshival R. Studies on the epidemiology of antibioticasociated Clostridium difficile colitis. Am J Clin Nutr 1980;33:2527-32. 12. Prince AS, Neu HC. Antibiotic-associated pseudomembranous colitis in children. Ped Clin North Am 1979;26:261-8. 13. Banno Y, Kobayashi T, Kono, Watanabe K, Ueno K, Nozawa Y. Biochemical characterization and biologic action of two toxins (D-1 and D-2) from Clostridium difficile. Rev Infect Dis 1984;6:S11-9. 14. George WL, Goldstein EJC, Finegold SM. Aetiology of antimicrobial agent-associated colitis. Lancet 1978;15:802-3. 63