Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan Pengawasan Rumahsakit di Era Jaminan Kesehatan Nasional Laksono Trisnantoro

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Laksono Trisnantoro Dwi Handono PKMK FK UGM

Tinjauan akademik perubahan kebijakan kelembagaan RSD terhadap mutu layanan RSD

Kebijakan Desentralisasi Kesehatan dan Governance Sektor Kesehatan. Laksono Trisnantoro Dwi Handono Sulistyo KMPK FK UGM

Hubungan Dinas Kesehatan dan RS Daerah setelah adanya PP 38 dan PP 41 tahun 2007: Memperjelas posisi regulator

Professional Development

Kepemimpinan dan perubahan budaya organisasi menuju budaya keselamatan pasien

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT

Organisasi Sistem Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan PKMK FK UGM. Blended Learning Kebijakan AIDS, Angkatan III, Outline

BLOCK 4 CORPORATE-CLINICAL GOVERNANCE AND BUSINESS ENVIRONMENT. Koordinator: Laksono Trisnantoro

Comparative Health System and Health Finance Change 6/22/2010 1

Good Governance dan Sistem Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

PEMERINTAH. 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.

B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN

Semiloka Revisi PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan dan NSPK:

Kamis, 30 Juni 2011 Sesi Pembukaan. Pengantar semiloka : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD Moderator : dr. Sigit Riyarto, M.

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta

RechtsVinding Online

Sebuah program di ANNUAL SCIENTIFIC MEETING dalam rangka DIES NATALIES FK UGM ke 68 dan ULANG TAHUN RSUP DR. SARDJITO ke 32

LAMPIRAN II PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 B. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KESEHATAN

Diskusi Kebijakan Publik untuk RS swasta di Indonesia: Kontroversi UU RS

PANDANGAN ARSADA tentang Revisi PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007 (Khususnya di Bidang Kesehatan)*

STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN SAM MEDIKO LEGAL

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagaimana Hubungan antara Rumah Sakit dengan Dinas Kesehatan di Era JKN?

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Deskripsi

Kebijakan Desentralisasi untuk pembangunan bangsa di sektor Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengendalian intern merupakan salah satu alat bagi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PANDANGAN ARSADA tentang PENGUATAN PERAN KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA DALAM RANGKA PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BIDANG KESEHATAN

Tujuan Pembangunan Negara RI adalah kesejahteraan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

ADVOKASI DAN SINKRONISASI REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN OLEH KEMENTERIAN KESEHATAN KEPADA PEMERINTAH DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 84 TAHUN 2013 TENTANG

ORGANISASI, TATA HUBUNGAN KERJA, DAN PENGELOLAAN KEUANGAN RSD

BLOCK 4 CORPORATE-CLINICAL GOVERNANCE AND BUSINESS ENVIRONMENT. Koordinator: Laksono Trisnantoro

Kebijakan memperbolehkan Tenaga kesehatan (spesialis) bangsa asing

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN BUPATI MADIUN,

PMPK Fakultas Kedokteran UGM menyelenggarakan seri pertemuan hasil penelitian tentang. Perkembangan RS Swasta Non- Profit dan tantangan masa depannya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

Memperkuat Perlindungan Hukum bagi Residen Senior di RS Jejaring Pendidikan 1 : Sebagai Respon Keputusan MA terhadap Kasus dr.

PEDOMAN DAN TATA TERTIB KERJA DEWAN KOMISARIS PT. BPR KANAYA

Ketepatan identifikasi pasien. Peningkatan komunikasi yang efektif. Pengurangan risiko pasien jatuh.

BAB I PENDAHULUAN. dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG

KONDISI GEOGRAFIS 26% 69% Terdiri dari : - 11 Kecamatan - 9 Kelurahan Desa LUAS WILAYAH : ,96 KM2 JUMLAH PENDUDUK : 497.

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KESEHATAN. Sekretaris Daerah. Dinas Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan

Penilaian tentang pengembangan sistem regulasi pelayanan kesehatan: Studi kasus di DIY, Bali, Riau. Hanevi Djasri

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Desentralisasi dan Otonomi Daerah:

ASPEK STRATEGIS MANAJEMEN RUMAH SAKIT

Nama Mata Kuliah : Manajemen Stratejik dan Kesinambungan Finansial Kode : KUI 6681

Sistem Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud Layanan Kesehatan dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 52 TAHUN 2008 TENTANG KERANGKA KERJA MUTU PELAYANAN KESEHATAN WALIKOTA YOGYAKARTA,

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

dr. H R Dedi Kuswenda, MKes Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan

Visi Pendidikan Spesialis dan Subspesialis: Menjadi bagian integral dalam Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia

BAB II PROFIL DINAS KESEHATAN KOTA MEDAN. Dinas Kesehatan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kota Medan dalam

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata bergerak dari tiga aktor utama, yaitu masyarakat (komunitas

Fraud di Jaminan Kesehatan Nasional

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANYUMAS

RAKONAS PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN TH ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

Pembahasan kasus Dr A dkk dari perspektif manajemen Rumahsakit Pendidikan

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Ernawaty dan Tim AKK FKM UA

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Dewan Komisaris

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS TENAGA KERJA DAN KEPENDUDUKAN PROVINSI PAPUA

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

Diharapkan Laporan Tahunan ini bermanfaat bagi pengembangan Program Obat dan Perbekalan Kesehatan.

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam

PT FIRST MEDIA Tbk Piagam Dewan Komisaris

dr. H R Dedi Kuswenda, MKes Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan

BAB IV VISI MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT

KEBIJAKAN PENGAWASAN ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero)

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS KESEHATAN

Implikasi Regulasi Pendidikan Tinggi. Direktorat Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Mei 2015

KEPUTUSAN DIREKTUR PT.THURSINA NOMOR : /SK/THURSINA/XII/2014 TENTANG KEBIJAKAN PENDELEGASIAN WEWENANG DI RS. THURSINA DIREKTUR RUMAH SAKIT THURSINA

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Bab I Pendahuluan A. LATAR BELAKANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 26 NOMOR 26 TAHUN 2008

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

Harapan dan Kekhawatiran RS Publik swasta. Daniel Budi Wibowo. Kongres XII PERSI Jakarta, 7 November 2012

Sinkronisasi UU Pendidikan Kedokteran dengan Berbagai Peraturan Perundangan Pendidikan Tinggi

Modul. Blok II 1. Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM. Prinsip Ekonomi Manajerial dan Penerapannya Dalam Manajemen Rumah Sakit

Transkripsi:

Perkembangan Kebijakan Otonomi Rumahsakit dan Pengawasan Rumahsakit di Era Jaminan Kesehatan Nasional Laksono Trisnantoro Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-UGM/ Magister Manajemen Rumahsakit UGM/ Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM 1

Isi: Sesi 1. Proses menuju otonomi RS dalam 15 tahun terakhir Sesi 2: Pengawasan RS Bagaimana peran sistem pengawasan mutu pelayanan dan hukum? Bagaimanakah peran Dinas Kesehatan dalam pengawasan? Bagaimanakah Prospek Pengembangan DitJen BUK agar lebih fokus pada fungsi regulator? 2

Sesi 1 Proses menuju otonomi RS dalam 15 tahun terakhir 3

Evolusi perubahan otonomi keuangan di RS pemerintah, selama 15 tahun Kutub Lembaga Birokrasi PNBP Swadana UU dan PP BLU Kutub Lembaga Usaha UU BUMD dan UU BUMN Perum (Persero) Dinas Kesehatan RS non swadana Perjan RS Swadana RS BLU PT Askes Indonesia 4

Perkembangan Kebijakan Otonomi RS Perubahan menjadi BLU merupakan Korporatisasi, bukan privatisasi; Menjadi lembaga pelayanan/usaha tidak mencari untung (nonprofit); Bukan BUMN/BUMD; Tetap mempunyai misi sosial. Perkembangan ini merupakan hal yang jelas maknanya 5

Catatan: RS sebagai BLU sebenarnya bukan Full-Autonomy 6

BLU dan Tingkat Otonomi Tingkat Otonomi Fungsi Manajemen dan Kebijakan Sentralisasi Penuh dengan Otonomi Rendah Otonomi Sebagian A B C Desentralisasi Penuh Otonomi Tinggi Manajemen Stratejik Sudah ada otonomi tinggi Administrasi Sudah ada otonomi tinggi Pembelian Sudah ada otonomi Manajemen Keuangan Otonomi sebagian Manajemen Sumber Daya Otonomi sebagian

RS sebagai Unit Birokrasi di dekade 1980an Makna Perubahan: RS sebagai Lembaga Pelayanan Pemerintah yang berfungsi sosial dan menggunakan BLU Merupakan perubahan yang sarat filosofi RSD mendapatkan pegangan yang dapat dipakai sebagai pedoman sistem manajemen agar mampu memberikan pelayanan yang bermutu, safe, dan efisien 8

PP 38 dan 41/2007, UU Rumahsakit, UU Kesehatan Menegaskan bahwa RSD bukan lembaga birokrasi RSD menjadi sama dengan RS swasta dalam hal perijinan RSD dikelola dengan model business yang mempunyai misi sosial 9

Konsekuensi untuk Rumahsakit Pemerintah Memperkuat kemampuan sebagai operator dengan perbaikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien serta sistem manajemen RS yang efisien; Menggunakan prinsip-prinsip lembaga usaha yang mempunyai misi sosial; Diharapkan menjadi operator yang baik, dan patuh terhadap regulasi/aturan yang ada. 10

Siapa Regulator dan Pengawas RS Seharusnya Kementerian Kesehatan yang didesentralisasikan sebagian wewenangnya ke Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten Dinas Kesehatan menjadi pengawas. 11

Perkembangan terakhir: Mempertanyakan manfaat otonomi RS Berpijak dari pemahaman adanya fenomena matahari kembar di sistem kesehatan kabupaten RS Daerah diusahakan menjadi UPT Dinas Kesehatan kembali RSD akan menjadi lembaga birokrasi Ada kemungkinan Dinas Kesehatan sebagai regulator merangkap sebagai operator 12

RS sebagai Unit Birokrasi di dekade 1980an Penafsiran Situasi saat ini: Ada pendapat yang ingin mengembalikan situasi ke dekade 1980an RS sebagai Lembaga Pelayanan yang berfungsi sosial 13

Sesi 2: Pengawasan RS 14

Apa yang sebenarnya terjadi? 2a. Peran Dinas Kesehatan 2b. Peran Kementerian Kesehatan 15

Sesi 2a: Peran Dinas Kesehatan Pasca Desentralisasi (dengan dilikuidasinya KanWil dan KanDep Kesehatan) Belum mantap sebagai regulator dan penetap kebijakan serta sebagai pengawas untuk RS 16

Apa yang terjadi saat ini? Terjadi proses Revisi PP No.38/2007 dan PP No. 41/2007 Permenkes mengenai fungsi kelembagaan terkait PP 41/2007 juga sedang disusun Isu Penting Saat ini: Peran dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota Adanya Jaminan Kesehatan Nasional di dalam sistem kesehatan nasional dan daerah

Peran Dinas Kesehatan apakah dinas kesehatan akan fokus sebagai regulator, atau akan memiliki fungsi rangkap sebagai regulator sistem kesehatan sekaligus sebagai operator pelayanan kesehatan

Peran Dinas Kesehatan Fungsi rangkap ini menjadi semakin kuat apabila RSD kembali menjadi UPT Dinas Kesehatan. Di sisi lain Adanya BPJS di sistem kesehatan, peran pengawasan seharusnya diperkuat Dinas Kesehatan harus lebih kuat mengawasi RS yang memberikan pelayanan JKN

Catatan mengenai BPJS dan Peran Dinas Kesehatan dalam JKN Berdasarkan UU: BPJS bukan merupakan lembaga kesehatan,. BPJS merupakan lembaga keuangan. Status hukum: sebagai lembaga keuangan non-bank. Diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan oleh Kementerian Kesehatan ataupun Dinas Kesehatan. Berbeda dengan RS yang perijinannya diberikan oleh Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan Dengan demikian Dinas Kesehatan tidak mengawasi BPJS tetapi mengawasi RS yang memberikan pelayanan JKN yang dibayar oleh BPJS (UU RS dan UU desentralisasi)

Pertanyaan Kritis (1) bagaimana seharusnya peran dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dalam sistem kesehatan? (2) mengapa peran rangkap dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai regulator/penyusun kebijakan sekaligus operator pelayanan kesehatan harus dihindari?

Dasar Pemikiran Kebijakan 1. Aspek Filosofi dan Sosiologis 2. Aspek Konsep Universal 3. Aspek Hukum

1. Aspek Filosofi dan Sosiologis Filosofi: Sektor kesehatan membutuhkan penetap kebijakan/regulator yang kuat Mengapa? karena adanya kemungkinan lembaga pelayanan kesehatan (operator) tidak baik mutunya dan tidak safe. Masyarakat harus dilindungi oleh sistem regulasi yang kuat

Aspek Filosofi dan Sosiologis Secara sosiologis: sektor kesehatan mirip dengan sektor penerbangan. Jika sektor kesehatan tidak diawasi dengan baik, akan banyak pelanggaran yang membahayakan kehidupan manusia. Kesalahan dalam penanganan kesehatan akan dapat menimbulkan - kematian ataupun - kecacatan permanen yang tidak dapat dikembalikan seperti semula.

Aspek Filosofi dan Sosiologis Sektor Penerbangan Sektor Kesehatan Sektor Pendidikan Sektor Seni suara, seni lukis, seni lawak Secara sosiologis: sektor kesehatan mirip dengan sektor penerbangan. Jika sektor kesehatan tidak diawasi dengan baik, akan banyak pelanggaran yang membahayakan kehidupan manusia. Kesalahan dalam penanganan kesehatan akan dapat menimbulkan - kematian ataupun - kecacatan permanen yang tidak dapat dikembalikan seperti semula.

Fungsi melindungi masyarakat di sektor kesehatan: Dari apa? Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu rendah; Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak kompeten; Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan; Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud; Bisnis obat yang buruk; Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang tidak jelas manfaatnya Penjualan makanan dan minuman yang buruk;

Dari apa? Fungsi melindungi masyarakat di sektor kesehatan: Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu rendah; Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak kompeten; Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan; Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud; Bisnis obat yang buruk; Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang tidak jelas manfaatnya Penjualan makanan dan minuman yang buruk; Di sebuah Kabupaten padat di Jawa bisa jumlahya 1.3 juta manusia

Fungsi Perlindungan ini secara sosiologis: Sangat strategis Sangat mulia namun juga Sangat sulit sehingga harus fokus Fungsi ini harus ada di pemerintah dan berada di Dinas Kesehatan.

2. Aspek Konsep Universal DASAR: konsep Sistem Kesehatan dari WHO 2000, dan 2007 Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan harus sesuai dengan konsep WHO agar sistem kesehatan berfungsi dengan baik dibutuhkan lembaga yang kuat untuk menjalankan fungsi stewardship/governance/leadership.

(2007)

Aspek Konsep Universal (2) pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, bersifat high risk (seperti sektor perhubungan) harus ada lembaga yang mengatur dan mengawasi termasuk dalam hal perizinannya dengan ketat demi terjaminnya keselamatan pasien. Situasi ini sangat berbeda dengan sektor pendidikan sehingga penataannya tidak bisa dijadikan rujukan atau dianalogikan.

Aspek Konsep Universal (3) Prinsip Good Governance: perlu ada transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas dalam sistem kesehatan yang dapat terjaga kalau ada pemisahan fungsi di dalam unit-unit pemerintah. Dalam situasi saat ini harus ada unit pemerintah yang berada dalam posisi steering, bukan rowing.

Implikasi Aspek Konsep Universal (4) Di sebuah sektor, kalau pemerintah tetap melaksanakan kedua peran tersebut, harus jelas mana lembaga yang berperan sebagai pengarah, dan mana lembaga yang berperan sebagai pelaksana atau sebagai pembayar Tidak hanya pemisahan, tetapi juga jangan sampai ada 2 lembaga yang berperan sebagai regulator.

3. Aspek Hukum Dalam 10 tahun terakhir ini, fungsi regulator dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota telah dinyatakan tegas dalam: UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 37 ayat (1) (terkait Surat Izin Praktik); UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182 ayat (3) (terkait Pengawasan); UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 26 ayat (1), (3), dan (4) (terkait Perizinan Rumah Sakit). Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6. Dalam perubahan PP 38 dan PP 41 serta Permenkes, keberadaan UU tersebut tidak dapat diabaikan

UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 37 ayat (1) Pasal 36 Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Pasal 37 (1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182 ayat (3) Pasal 182 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. (2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya kesehatan. (3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 26 ayat (1), (3), dan (4) Pasal 26 (1) Izin Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi. (3) Izin Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (4) Izin Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6 Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)

Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 khususnya Bidang Kesehatan pada sub bidang 1, 3, 4, dan 6 Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK). Pemberian izin apotik, toko obat Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan

Catatan khusus mengenai aturan hukum SJSN dan BPJS, serta peran Dinas Kesehatan: Dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan SJSN dan BPJS (UU No. 40/2004; UU No. 24/2011; Perpres No. 12/2013; Perpres No. 111/2013), kewenangan dinas kesehatan tidak tidak ada. Pengawas independen BPJS adalah Otoritas Jasa Keuangan (UU BPJS, 2011) Dalam konteksuu BPJS, hasil pengamatan dan diskusi UGM, ada kemungkinan Dinas Kesehatan tidak berperan banyak dalam pelaksanaan JKN. Peran Dinas Kesehatan melalui UU RS dan UU desentralisasi

Rekomendasi: Di masa mendatang diharapkan 1. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan dalam revisi PP 38 dan PP 41 menempatkan dinas kesehatan sebagai regulator/penyusun kebijakan di daerah. 2. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan perlu memisahkan fungsi regulator (steering) dengan fungsi operator (rowing).

Rekomendasi 3. RSD diharapkan mempunyai otonomi pengelolaan, namun bertanggung jawab dalam aspek kesehatan ke dinas kesehatan. RSD merupakan obyek perijinan dalam hal ijin lembaga dan ijin praktek tenaga kesehatannya. Jadi RSD bukan sebagai UPT Dinas Kesehatan.

Rekomendasi 4. Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan harus memberikan kewenangan bagi dinas kesehatan untuk dapat mengawasi pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan di wilayahnya masing-masing, melalui pengawasan RS dan Puskesmas/Layanan Primer pemerintah dan swasta.

Rekomendasi 5. Mengingat fungsi strategis Dinas Kesehatan: Pengorganisasian pelaksanaan urusan kesehatan yang menempatkan dinas kesehatan sebagai regulator/penetap kebijakan, harus didukung dengan remunerasi pimpinan dan staf DinKes yang lebih baik, dan peningkatan kapasitas DinKes agar mampu menjalankan fungsi secara maksimal. Saat ini fungsi ini belum berjalan.

Sesi 2b: Bagaimana Peran Pemerintah Pusat sebagai regulator/penyusun kebijakan dan pengawas RS? 45

Fokus pada Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan DitJen Bina Upaya Kesehatan melakukan fungsi penetapan kebijakan dan pengawasan RS di Indonesia Mengelola 34 RS Vertikal termasuk RS-RS Pendidikan besar Di dalam Ditjen BUK terjadi pencampuran urusan pemerintah sebagai regulator/pengawas dan operator pelayanan kesehatan 46

Apa implikasinya? Secara manajerial kedua fungsi yang berbeda di dalam satu DitJen merupakan hal yang sulit Fungsi Regulasi dan pengawasan berbeda filosofi dan cara bertindaknya dengan fungsi operator DitJen BUK menjadi tidak fokus dan sulit melakukan pengembangan sebagai regulator dan sekaligus sebagai operator Masalah beban kerja, detail kegiatan, dan risiko kegagalan kinerja menjadi besar. Perlu pemisahan 47

Dasar Filosofi pemisahan Sama dengan di Kabupaten/Kota: Perlu ada pemisahan fungsi regulator/penetap kebijakan RS dengan fungsi operator RS Mempunyai dampak lebih besar karena menyangkut 250 juta rakyat yang mendapat pelayanan rumahsakit Mempunyai dampak pada kemampuan persaingan internasional di RS Vertikal. 48

Kemenkes perlu melindungi masyarakat di sektor kesehatan: Dari apa? Lembaga pelayanan kesehatan yang bermutu rendah; Tenaga Kedokteran dan Kesehatan yang tidak kompeten; Pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan; Pelayanan Jaminan kesehatan yang tidak bermutu. membahayakan pasien, dan ada fraud; Bisnis obat yang buruk; Salon kecantikan dan pelangsingan tubuh yang tidak jelas manfaatnya Penjualan makanan dan minuman yang buruk; Plus

Kemenkes menjadi pendorong utama RS-RS di Indonesia agar mampu bersaing dengan RS-RS di luar negeri RS-RS Vertikal perlu dikelola dengan sistem manajemen mirip Holding yang mempunyai detail kegiatan. 50

DI Kemenkes saat ini Ada tim yang menyusun perubahan struktur organisasi Kementerian Kesehatan; Isu pemecahan DitJen BUK tidak ada pada agenda; Indonesia mengalami pergantian anggota DPR dan Kabinet dalam waktu dekat ini. Perlu membahas isu pemecahan DitJen BUK. 51

Rekomendasi Kebijakan Memisahkan urusan operator 34 RS Vertikal dengan urusan penetapan kebijakan dan pengawasan lebih dari 2000 rumahsakit di seluruh Indonesia; Untuk mengelola 34 RS vertikal yang mempunyai sistem manajemen keuangan dibutuhkan model manajemen yang mirip dengan sebuah Holding Company di bawah Menteri Kesehatan; Di beberapa negara sudah terjadi pemisahan seperti di Singapura. 52

Catatan tambahan: Dalam era JKN Sistem pembayaran claim serta sistem rujukan dapat memberikan efek negatif, antara lain berupa: Pelayanan di bawah standard; Fraud/penipuan dalam pemberian pelayanan; Ketidak adilan geografis. Sistem JKN membutuhkan pengawasan RS secara lebih baik dan ketat Sistem pengawasan sekarang tidak cukup kuat untuk menjaga mutu, kendali biaya, dan mencegah fraud Perlu Ditjen BUK yang lebih fokus pada pembinaan, regulator. Bukan sebagai operator. 53

Penutup: Bagaimana masa depan Kebijakan Otonomi RS? RS Daerah: RS Vertikal: Tergantung pada hasil perdebatan cara pandang; Kekuatan pihak-pihak yang mempunyai pendapat berbeda; Keberpihakan pada bukti ilmiah di berbagai negara. 54

Perdebatan tentang otonomi RSDaerah sudah terlihat 55

Ada perbedaan cara pandang Kelompok Penganjur Otonomi RSD VS Penentang (kembali ke birokrasi) 56

Pemetaan Pihak-pihak terkait Pengajur keras kebijakan otonomi RSD Penganjur kebijakan otonomi RSD Tidak berpendapat Penentang kebijakan otonomi RSD Penentang Keras Kebijakan otonomi RSD 57

Mengapa terjadi perdebatan? Perubahan mindset seluruh jajaran dinas kesehatan kesehatan tentang fungsi regulasi belum terjadi. RSD yang BLU belum masuk secara kultural ke sistem pemerintahan Belum ada pemahaman yang benar tentang desentralisasi pengawasan RS dari Kementerian Kesehatan, dan Tidak ada Peningkatan capacity building untuk SDM pengawas RS di Dinas Kesehatan. Belum ada staf fungsional yang dibentuk. Ada keengganan RSD untuk diawasi; Sikap pribadi; Catatan: Masih ada Kepala Dinas Kesehatan yang merasakan bahwa misi sebagai regulator (termasuk ke rumahsakit) yang diamanatkan oleh PP 38/2007 bukanlah urusannya. Ada yang menyatakan hanya menambah beban, dan dinas kesehatan tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya. 58

Akibatnya, ada keluhan antara lain: Matahari Kembar: Persaingan antara Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur RSD Sebenarnya hal ini tidak perlu kalau: Ada pemahaman mengenai peran Kepala Dinas Kesehatan sebagai regulator/pengawas, bukan operator. Kesediaan RSD untuk diawasi 59

Apa yang gagal dilakukan antara tahun 2004 2013 di daerah: Kegagalan penguatan Dinas Kesehatan termasuk tidak adanya pelatihan-pelatihan dan penyusunan peraturan di level daerah Kegagalan pengembangan kepala dinas kesehatan agar mampu memimpin lembaganya memasuki era baru desentralisasi pasca PP 38 dan PP 41/2007; Kegagalan usaha mendorong dinas kesehatan provinsi, kabupaten & kota untuk menyusun Sistem Kesehatan Daerah dan melaksanakannya fungsi sebagai penetap kebijakan dan pengawas. 60

Masa Depan Otonomi RSD tergantung pada pihak-pihak yang bertentangan: Pengajur keras kebijakan otonomi RSD Penganjur kebijakan otonomi RSD Tidak berpendapat Penentang kebijakan otonomi RSD Penentang Keras Kebijakan otonomi RSD 1. Apakah akan ada dialog ilmiah? Apakah akan ada bukti ilmiah sebagai dasar penetapan kebijakan? 2. Ataukah hanya sebuah power-game? 61

Perdebatan tentang otonomi RS dan Pemecahan Belum terlihat DitJen BUK 62

Perdebatan kebijakan di Pemerintah pusat tentang otonomi RS dan Pemecahan BUK Persiapan struktur baru Kemenkes masih dalam proses; Saat ini belum ada perdebatan terbuka mengenai konsep struktur organisasi Kemenkes secara terbuka; Saat ini waktu yang tepat untuk membahas isu Pemecahan DitJen BUK 63

What next? Seminar ini secara terbuka mengemukakan mengapa perlu pemecahan BUK dan mengapa fungsi pengawasan RS semakin dibutuhkan dalam era Jaminan Kesehatan. Seminar ini perlu dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang mendalam mengenai pemecahan DitJen BUK menjadi dua fungsi: Operator Regulator 64

Terimakasih 65