BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Usia Lanjut (Lansia) 2.1.1 Pengertian usia lanjut Usia yang telah lanjut atau lebih popular dengan istilah lansia, adalah masa transisi kehidupan terakhir yang dijalani manusia. Masa ini sebetulnya adalah masa yang sangat istimewa karena tidak semua manusia mendapatkan kesempatan untuk melewati masa ini (Sutarti, 2014). Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade. Usia lanjut juga dikatakan sebagai fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Pieter, 2012). 2.1.2 Batasan usia lanjut Batasan usia lanjut ini sampai sekarang belum memiliki kepastian referensi, masih banyak yang berpendapat mengenai hal ini, beberapa pendapat mengenai batasan usia lanjut antara lain (Sutarti, 2014): 1. Menurut Undang-Undang no 4 tahun 1965 yang memberikan pengertian bahwa lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, 6
tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. 2. UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, yang menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun. 3. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan dari kemunduran. 4. Definisi Lansia menurut WHO : Bahwa Lansia atau Usia lanjut itu meskipun terkadang memunculkan masalah sosial, tetapi sebetulnya bukanlah merupakan suatu penyakit. Batasan usia lansia adalah kelompok usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan (middle/young elderly),orang dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly), umur 75-90 tahun disebut tua (old), umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old). 5. Definisi Lansia menurut seorang Ahli yaitu Prayitno dalam Aryo (2002) yang menyatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya seharihari. 6. Menurut Departemen Kesehatan, umur lansia digolongkan menjadi kelompok lansia dini (55 64 tahun), kelompok lansia (65 sampai 70 tahun), dan kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan acuan penggolongan umur lansia menurut Departemen Kesehatan yaitu kelompok lansia dini yang berumur 55 tahun sampai dengan 64 tahun, kelompok lansia yang berumur 65 sampai 70 tahun. 7
2.1.3 Proses menua Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Menua bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Artinawati, 2014). 2.1.4 Karakteristik lansia Karakteristik lansia menurut Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan). 2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif. 3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi. 2.1.5 Perubahan yang terjadi pada lansia Dengan bertambahnya usia maka kondisi dan fungsi tubuh pun semakin menurun. Menurut Artinawati (2014), perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial dan psikologis. 8
1. Perubahan fisik Perubahan fisik yang dapat ditemukan pada lansia ada berbagai macam antara lain, perubahan pada sel, kardiovaskuler, respirasi, persyarafan, sistem penglihatan, sistem pendengaran, sistem reproduksi wanita, muskuloskeletal, sistem pencernaan, vesika urinaria, sistem endokrin, belajar dan memori, intelegensia quation (IQ), serta kulit. 2. Perubahan sosial Semua perubahan fisik yang dialami lansia sering menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan menyebabkan lansia semakin depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Adapun perubahan dalam sosial lansia seperti (Artinawati,2014), perubahan dalam peran, keluarga, teman, abuse, masalah hukum, pensiun, ekonomi, rekreasi, keamanan, transportasi, politik, pendidikan, panti jompo. 3. Perubahan psikologis Perubahan psikologi pada lansia meliputi short term memory, frustasi kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. 1.2 Demensia 1.2.1 Pengertian demensia Demensia adalah kondisi yang dikarakteristikkan dengan hilangnya kemampuan intelektual yang cukup menghalangi hubungan sosial dan fungsi kerja dalam kehidupan sehari-hari. Demensia ditandai dengan menurunnya fungsi kognitif 9
seperti melemahnya daya ingat (memory), kesulitan berbahasa (aphasia), gagal melakukan aktifitas yang memiliki tujuan (apraxia), kesulitan mengenal benda-benda atau orang (agnosia), serta pada keadaan lebih lanjut akan terjadi gangguan berhubungan sosial disertai adanya gangguan fungsi eksekutif termasuk kemampuan membuat rencana, mengatur sesuatu, mengurutkan dan daya abstraksi (Asrori, 2014). Demensia merupakan keadaan dimana seseorang mengalami penurunan daya ingat dan daya pikir dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan mood dan tingkah laku seperti mudah tersinggung, curiga, menarik diri, dari aktivitas sosial, tidak peduli dan berulang kali menanyakan hal yang sama sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari penderita (Basuki et al. 2015). 2.2.2 Penyebab demensia Penyebab demensia adalah terganggunya beberapa fungsi otak akibat hilang atau rusaknya sel-sel otak dalam jumlah besar termasuk zat-zat kimia dalam otak. Demensia juga dapat disebabkan oleh penyakit Alzheimer, stroke, tumor otak, depresi, gangguan sistemik (gizi, elektrolit,hormone, virus, alcohol) (Asrori, 2014). 2.2.3 Klasifikasi demensia Menurut Setiawan (2014), demensia dibedakan menjadi 2 yakni dimensia menurut umur dan demensia menurut level kortikal. Demensia menurut umur terbagi atas demensia senilis yakni demensia pada lansia yang berumur >65 tahun dan demensia presenilis yakni demensia pada lansia yang berumur <65 tahun. Sedangkan demensia menurut level kortikal terbagi atas, demensia kortikal yang terjadi karena 10
gangguan fungsi luhur, afasia, agnosia, apraksia dan demensia subkortikal terjadi gangguan seperti apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak. 2.2.4 Gejala demensia Orang dengan demensia akan mulai memiliki masalah dengan angka-angka saat bekerja atau menghitung, sulit mengerti tentang apa yang tertulis dalam majalah/koran, atau sulit mengatur rutinitas. Penurunan daya ingat dan kebingungan ditambah dengan kesulitan dalam menyebut benda-benda seperti sendok, sikat gigi atau buku. Orang dengan demensia juga dapat mengalami perilaku wandering. Wandering adalah sebuah kegagalan memori pasien dan penurunan kemampuan dalam berkomunikasi, mengakibatkan mereka tidak mungkin bisa mengingat atau menjelaskan kenapa mereka terus berjalan (Asrori, 2014). 2.2.5 Faktor risiko demensia Menurut Notoatmodjo (2010), faktor risiko merupakan faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. Ada dua macam faktor risiko yaitu faktor risiko yang berasal dari dalam diri sendiri dan faktor risiko yang berasal dari lingkungan. Faktor risiko yang berasal dari dalam diri sendiri disebut dengan faktor risiko internal/intrinsik dibedakan menjadi jenis kelamin, usia, faktor anatomi, faktor nutrisi, dan genetik. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari lingkungan yang disebut dengan faktor risiko eksternal/ekstrinsik merupakan faktor risiko yang memudahkan seseorang terjangkit suatu penyakit tertentu. Faktor risiko internal dapat berupa keadaan fisik, kimiawi, biologis, psikologis, sosial budaya dan perilaku (Notoatmodjo, 2010). 11
Demensia bukan bagian normal dari proses penuaan dan bukan sesuatu yang pasti terjadi dalam kehidupan mendatang. Pengobatan awal dapat membantu memperpanjang kualitas hidup penderita dan mempersiapkan pengasuh untuk mengatasi masalah yang lebih berat (Asrori, 2014). Adapun faktor risiko yang mempengaruhi demensia seperti usia, jenis kelamin, genetik, tingkat pendidikan, pekerjaan, diabetes melitus, perilaku merokok dan konsumsi minuman beralkohol, hipertensi serta stroke. 1. Usia Semakin bertambahnya usia, maka semakin besar juga kemungkinan seseorang untuk menderita demensia. Hal ini terjadi karena adanya penurunan fungsi sistem kerja tubuh seiring dengan bertambahnya usia (Hermiana, 2012). Menurut Larasati (2013), seiring bertambahnya usia maka sel-sel dalam tubuh manusia juga mengalami proses penuaan, dimana proses penuaan tersebut mengurangi kemampuan memperbarui sel-sel itu sendiri yang juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kognitif. 2. Jenis Kelamin Jenis kelamin perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan oleh karena perempuan memiliki usia harapan hidup yang lebih baik (Hermiana, 2012). Selain itu Larasati (2013), juga mengemukakan bahwa cara wanita menyelesaikan masalah dengan lebih emosional, sensitif, tergantung, pasif, serta tingkatan stres yang lebih tinggi juga mempengaruhi risiko demensia. Namun menurut Mangosidi et.all (2013) menyatakan bahwa rata-rata sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak memiliki persentasi yang tidak normal dibandingkan dengan sampel berjenis kelamin perempuan. 12
3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lansia yang tidak pernah bersekolah kemungkinan untuk mengalami demensia 2 kali lebih besar daripada responden yang berpendidikan tinggi. Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin tinggi risiko terjadinya demensia. Orang yang berpendidikan lebih lanjut, memiliki berat otak yang lebih dan mampu menghadapi perbaikan kognitif serta neurodegenerative dibandingkan orang yang berpendidikan rendah (Larasati, 2013). 4. Pekerjaan Pekerjaan juga menjadi faktor risiko pada demensia. Lansia yang masih bekerja kemampuan kognitifnya akan lebih sering terasah sehingga dapat mempengaruhi terjadinya demensia (Basuki et.all, 2015). Menurut Larasati (2013), seseorang yang berperkerjaan menggunakan pikiran dan tenaga lebih sedikit risiko terkena demensia dari pada mereka yang bekerja hanya mengandalkan tenaga atau pikiran saja, karena seringnya otak bekerja juga melatih untuk dapat mengkompensasi neurodegenerative pada usia lanjut. 5. Genetik Seseorang dengan riwayat keluarga ada anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit demensia (Hermiana, 2012). 6. Gaya Hidup Gaya hidup, gaya hidup seseorang mungkin melibatkan kontak dengan faktor-faktor yang dapat menyebabkan demensia, misalnya penyalahgunaan substansi yang dapat mengakibatkan demensia seperti merokok dan konsumsi 13
minuman beralkohol. Gaya hidup diet, olahraga dan stres mempengaruhi penyakit kardiovaskuler dan dapat menjadi penyebab demensia (Hermiana, 2012). 7. Diabetes Melitus Hubungan antara diabetes dan demensia dapat dijelaskan melalui kerusakankerusakan pembuluh darah dan efek nonvascular dari diabetes itu sendiri. Diabetes terkenal komplikasi dari mikro dan makrovaskularnya, dan juga berhubungan kuat terhadap faktor risiko dari penyakit jantung dan serebrovaskular. Lansia diabetes yang mengkonsumsi obat anti-diabetes oral kemungkinan besar memiliki risiko untuk mengalami demensia. Diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2 mempunyai hubungan terhadap penurunan kognitif. Pada tipe 1 tercermin dari ringan sampai sedang penurunan mental dan berkurangnya fleksibilitas mental. Pada diabetes tipe 2 mempengaruhi perubahan kognitif terutama pada pembelajaran dan memori, fleksibilitas mental, dan kecepatan mental (Larasati, 2013). 8. Hipertensi Peningkatan tekanan darah dihubungkan dengan penurunan kognitif. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pembentukan plak-plak di pembuluh darah, yang nantinya dapat dihantarkan menuju ke otak, sehingga otak mengalami gangguan fungsi normalnya dan juga dapat berakibat terjadinya stroke. Hipertensi juga telah lama diketahui sebagai penyebab penyakit serebrovaskular dan penyakit jantung koroner serta dapat menyebabkan aterosklerosis yang parah dan gangguan autoregulasi serebrovaskular, yang mana diperkirakan adanya korelasi dengan penyebab demensia. Tekanan darah sistolik yang tinggi dari usia pertengahan hingga usia lanjut sangat 14
beresiko terjadi demensia di usia lanjut nanti. Dan kemudian diperkuat dengan ditemukannya demensia pada hipertensi yang tidak diobati. Demikian pula, pengobatan antihipertensi di usia pertengahan akan memiliki resiko demensia lebih kecil dibandingkan pengobatan pada lanjut usia (Larasati, 2013). 9. Stroke Responden stroke iskemik lebih mungkin untuk terkena demensia daripada responden yang tidak ada riwayat stroke. Pada responden rawat inap, stroke iskemik meningkatkan risiko demensia setidaknya lima kali lipat. Ada beberapa mekanisme pokok. Pertama, stroke dapat secara langsung atau penyebab utama dari demensia, dimana hal tersebut diklasifikasikan secara umum sebagai demensia multi-infark atau demensia vaskular. Kedua, adanya stroke mungkin mempercepat serangan demensia atau penyakit Alzheimer. Ketiga, stroke dan demensia dapat berbagai faktor lingkungan umum dan biologis dasar (Larasati, 2013). 2.2.6 Stadium demensia Menurut Setiawan (2014), stadium demensia dibagi menjadi 3 yaitu stadium awal, stadium menengah dan stadium akhir. 1. Stadium awal Gejala stadium awal yang dialami lansia menunjukkan gejala seperti kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi, mengalami kemunduran daya ingat serta disorientasi waktu dan tempat. 2. Stadium menengah 15
Pada stadium menengah, demensia ditandai dengan mulai mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan menunjukkan gejala seperti mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru, lupa nama orang. Tanda lainnya seperti sangat bergantung dengan orang lain dalam melakukan sesuatu misalnya ke toilet, mandi dan berpakaian. 3. Stadium lanjut Pada stadium lanjut, lansia mengalami ketidakmandirian dan in aktif yang total serta tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal). Lansia juga sukar memahami dan menilai peristiwa yang telah dialami. 1.3 Posyandu Lansia Posyandu lansia merupakan suatu wadah pelayanan kepada usia lanjut di masyarakat, dimana proses pembentukaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat, lintas sektor pemerintah dan nonpemerintah, swasta dan organisasi lain dengan menitikberatkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif (Artinawati, 2014). Tujuan dalam pembentukan posyandu lansia yakni meningkatkan derajat kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan usia lanjut di masyarakat, utnuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna bagi keluarga, serta mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut (Artinawati, 2014). Posyandu lansia memiliki dua sasaran yaitu sasaran langsung dan sasaran tidak langsung. Sasaran langsung yaitu kelompok pra usia lanjut (45-59 tahun), kelompok usia lanjut (60-69 tahun) dan kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi 16
(70 tahun keatas). Sedangkan sasaran tidak langsung yaitu keluarga dimana usia lanjut berada, organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut, dan masyarakat luas (Artinawati, 2014). Menurut Artinawati (2014), pelayanan kesehatan di posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan di pantau denga kartu menuju sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Pelayanan ini tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. Sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pada posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Selemadeg Barat, biasanya para lansia akan dilatih senam lansia terlebih dahulu. Senam ini bertujuan untuk melatih otototot lansia agar tidak kaku. Selain senam lansia, terdapat juga senam otak untuk para lansia yang berfungsi untuk menanggulangi demensia pada lansia. Namun senam otak ini belum terlaksana dengan baik di posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Selemadeg Barat. 1.4 Penilaian Demensia Penilaian demensia untuk lansia yang bisa membaca dan menulis menggunakan instrumen Mini-Mental State Examination, sedangkan untuk lansia yang buta huruf (tidak sekolah atau SD tidak tamat) dilakukan dengan Mini-Cog dan Clock Drawing Test (Kemenkes, 2014). Cara pemeriksaan lansia dengan menggunakan instrumen MMSE atau minicog dan CDT menurut Kemenkes (2014), yaitu pada pemeriksaan demensia dengan buta huruf atau dengan pendidikan tidak tamat SD dilakukan dengan instrumen minicog. Dikatakan mengalami demensia apabila lansia tidak dapat mengingat salah satu 17
atau lebih kata yang diberikan sebelumnya. Sedangkan pemeriksaan demensia pada lansia dengan pendidikan minimal SD dilakukan dengan MMSE. Penilaian dilakukan sesuai dengan skor yang didapatkan, dikatakan demensia jika hasilnya kurang dari 24. Kategori hasil skrining : skor 0-10 termasuk demensia berat, skor 11-17 termasuk demensia sedang, skor 18-23 termasuk kategori demensia ringan, dan skor 24-30 adalah normal. Dijelaskan lebih terperinci dalam Setiawan (2014), bahwa MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 point yang dikelompokkan menjadi 7 kategori terdiri dari orientasi terhadap tempat, orientasi terhadap waktu, registrasi (mengulang dengan cepat kata), atensi dan konsentrasi, mengingat kembali bahasa, dan konstruksi visual (menyalin gambar). Skor total berkisar antara 0-30. Untuk skor 27-30 menggambarkan kemampuan kognitif sempurna, skor 22-26 dicurigai mempunyai kerusakan fungsi kognitif ringan, dan skor 21 terdapat kerusakan aspek fungsi kognitif berat dan nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. 18