GANGGUAN PENDENGARAN DI KAWASAN KEBISINGAN TINGKAT TINGGI (Suatu Kasus pada Anak SDN 7 Tibawa) Andina Bawelle, Herlina Jusuf, Sri Manovita Pateda 1 Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengalihkan perhatian yang bersumber dari kegiatan atau alat-alat produksi yang mengganggu atau membahayakan kesehatan, khususnya menimbulkan gangguan pendengaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat gangguan pendengaran di kawasan kebisingan tingkat tinggi (suatu kasus pada anak SDN 7 Tibawa). Desain penelitian yang digunakan adalah survey deskriptif. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 163 siswa dan sampel dari penelitian ini yakni 42 siswa, sampel ini dilakukan secara purposive sampling yakni hanya untuk siswa yg berumur 9-14 tahun dan tempat tinggalnya berdekatan dengan landas pacu bandara Djalaluddin Gorontalo. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 42 responden semuanya mengalami gangguan pendengaran (100%), baik untuk telinga kanan maupun telinga kiri. Simpulan dalam penelitian ini adalah terjadinya gangguan pendengaran pada anak SDN 7 Tibawa akibat kebisingan yang dihasilkan dari suara mesin pesawat yang landing maupun yang akan take-off, Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan letak Sekolah Dasar Negeri 7 Tibawa ini perlu ditinjau kembali karena lokasinya sangat berdekatan dengan landasan pacu bandara Djalaludin Gorontalo dan siswasiswinya rata-rata tingkat pendengarannya melampaui nilai ambang batas pendengaran normal (25 Db). Kata Kunci : Gangguan Pendengaran, Kebisingan Tingkat Tinggi 1 Andina Bawelle Mahasiswa Pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Hj. Herlina Jusuf, Dra, M.kes dan dr. Sri Manovita Pateda, M.Kes Dosen Pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Gorontalo
Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1994-1996 menunjukan prevalensi gangguan pendengaran (16,8%) dan paling tinggi pada kelompok usia sekolah. (Supramaniam, 2011) Depkes RI Pusat Kesehatan Kerja (2003) mengemukakan pengaruh kebisingan terhadap kemungkinan timbulnya gangguan terhadap kesehatan sangat dipengarui oleh beberapa faktor yaitu intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, lamanya seseorangberada di tempat bising, sifat bising, umur dan kepekaan seseorang terhadap paparan bising. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 718/Menkes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan, persyaratan untuk wilayah B (wilayah yang diperuntukkan bagi perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya) ditetapkan sebesar 45 Dba (maksimum yang diperbolehkan). SDN 7 Tibawa berada di desa Isimu Selatan Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo dengan koordinat N:00 38 09,6 (Lintang Utara), E:122 52 08,7 (Bujur Timur) lokasi sekolah ini berada di kawasan Approach Area, Take Off and Landing Runway 27 Bandar Udara Djalaludin Gorontalo. Sesuai surat rekomendasi dari Bandar Udara Djalaludin Gorontalo No:AU.001/532/GTO-08, menerangkan bahwa Lokasi Sekolah SDN 4 Isimu Selatan yang sekarang berganti nama menjadi SDN 7 Tibawa tidak layak untuk digunakan sebagai tempat fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan lain-lain, karena lokasi ini merupakan kawasan kebisingan yang sangat tinggi. Berdasarkan data survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan Oktober peneliti menemukan bahwa SDN 7 Tibawa berdekatan dengan landasan pacu pesawat yang jaraknya hanya 980 Meter. Tidak adanya perhatian dari pemerintah tentang letak sekolah SDN 7 Tibawa yang berada di kawasan kebisingan tingkat tinggi, buktinya dari tahun 2008 sampai sekarang sekolah ini tidak direlokasikan ketempat yang lebih layak, padahal sudah ada surat rekomendasi dari Bandar udara Djalaludin Gorontalo. Mantan kepala sekolah SDN 7 Tibawa yang pada waktu itu nama
sekolahnya masih SDN 2 Isimu Selatan sempat mengadukan pada pemerintah dalam hal ini Bupati Gorontalo tentang keberadaan sekolah ini, namun sampai sekarang tidak ada realisasinya malahan kepala sekolahnya dimutasi kesekolah lain. Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan suara ekstra karena biasanya siswa tidak bisa mendengarkan apa yang diajarkan oleh guru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi Gangguan Pendengaran pada anak SDN 7 Tibawa yang merupakan kawasan kebisingan tingkat tinggi. METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini menggunakan desain survei yang dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanakah gangguan pendengaran di kawasan kebisingan tingkat tinggi pada anak SDN 7 Tibawa dengan menggunakan instrumen penelitian sehingga menghasilkan data yang bersifat deskriptif berupa hasil tes pendengaran dengan menggunakan alat ukur pendengaran Sound Level Meter, dan hasil wawancara. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SDN 7 Tibawa yang berjumlah 163 Orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sample yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu yang sebelumnya ditetapkan oleh peneliti. Sampel dalam penelitian ini yaitu 42 orang. Sampel dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan variabel-variabel yang telah diteliti. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi freukensi yang kemudian akan ditampilkan dengan presentase dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Responden yang diteliti seluruhnya berada di kelas IV, V dan VI yang berjumlah 42 orang. Berdasarkan umur, persebaran responden adalah seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 1 Distribusi Responden Ditinjau Dari Umur Umur n % 9-11 12-14 32 10 76,2 23,8 Jumlah 42 100,0 Sumber :Data Primer 2013 Mencermati data pada tabel 1 di atas dapat dikatakan bahwa responden yang berumur 9-11 tahun paling banyak yakni 32 siswa (76,2 %) dibandingkan dengan responden yang berumur 12-14 tahun berjumlah 10 siswa (23,8 %). Berdasarkan kelas persebaran responden dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2 Distribusi Responden Ditinjau Dari Kelas Kelas n % IV V VI 16 12 14 38,1 28,6 33,3 Jumlah 42 100,0 Sumber :Data Primer 2013 Mencermati data pada tabel 2 di atas dapat dikatakan bahwa responden kelas IV sebanyak 16 siswa (38,1 %), kelas V sebanyak 12 siswa (28,6 %), dan kelas VI sebanyak 14 siswa (33,3 %). Berdasarkan Jenis Kelamin persebaran responden dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin n % Laki-laki Perempuan 22 20 52,4 47,6 Jumlah 42 100,0 Sumber :Data Primer 2013
Mencermati data pada tabel 3 di atas dapat dikatakan bahwa responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 siswa (52,4%) dan untuk responden yang memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 20 siswa (47,6%). 1. Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Pendengaran Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Pendengaran Gangguan Pendengaran n % Normal 0 0,0 Tidak Normal 42 100,0 Ringan 23 55,0 Sedang 18 43,0 Sedang Berat 1 2,0 Jumlah 42 100,0 Sumber : Data Primer 2013 2. Distribusi Gangguan Pendengaran Berdasarkan Umur Responden Gangguan pendengaran berdasarkan umur responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini : Tabel 5 Distribusi Gangguan Pendengaran Berdasarkan Umur Responden Kelompok Gangguan Pendengaran Jumlah Umur Normal Tidak Normal n % 9-11 0 34 34 81,0 12-14 0 8 8 19,0 Jumlah 0 42 42 100,0 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa responden yang berumur 9-11 tahun paling banyak mengalami gangguan pendengaran yaitu sebesar 81 %. 2. Distribusi kelas Responden Berdasarkan Derajat Gangguan Pendengaran Distribusi kelas responden berdasarkan derajat gangguan pendengaran dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini :
Tabel 6 Distribusi Gangguan Pendengaran Berdasarkan Kelas Responden Kelas Gangguan Pendengaran Jumlah Normal Tidak Normal n % IV 0 16 16 38,0 V 0 12 12 29,0 VI 0 14 14 33,0 Jumlah 0 42 42 100,0 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa responden paling banyak mengalami gangguan pendengaran yaitu responden yang berada di kelas IV sebesar 38 %. 3. Distribusi Gangguan Pendengaran Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Distribusi derajat gangguan pendengaran Berdasarkan Jenis Kelamin Responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini : Tabel 7 Distribusi Gangguan Pendengaran Berdasarkan Jenis KelaminResponden Jenis Kelamin Gangguan Pendengaran Jumlah Normal Tidak Normal n % Laki-laki 0 22 22 52,0 Perempuan 0 20 20 48,0 Jumlah 0 42 42 100,0 Sumber : Data Primer 2013 Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa jenis kelamin responden yang paling banyak mengalami gangguan pendengaran yaitu laki-laki sebesar 52%. Pembahasan Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengalihkan perhatian yang bersumber dari suara mesin pesawat yang mengganggu atau membahayakan kesehatan, khususnya menimbulkan gangguan pendengaran. Dari hasil pengukuran kebisingan yang dilakukan di SDN 7 Tibawa diketahui bahwa pada saat pesawat Landing sebesar 85 db dan disaat pesawat Take-off sebesar
95 db. Hal ini yang menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran pada anak SDN 7 Tibawa. Bising yang intensitasnya 85 db atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor pendengaran pada telinga dalam. (Soetirto, 2006) Gangguan pendengaran adalah gangguan pajanan bising yang dihasilkan oleh suara mesin pesawat dalam waktu lama sehingga mengakibatkan hilangnya atau menurunnya kemampuan pendengaran pada salah satu atau kedua telinga. Menurut WHO gangguan pendengaran terdiri dari gangguan ringan, gangguan sedang, gangguan sedang berat, gangguan berat, dan gangguan sangat berat. (Supramaniam, 2011). Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan hanya gangguan ringan, gangguan sedang dan gangguan sedang berat, dan yang paling banyak responden mengalami gangguan ringan. Hal ini disebabkan oleh lama tinggal responden paling banyak lebih dari 9 Tahun. Jika seseorang berada di lingkungan bising lebih dari 9 tahun akan meningkatkan gangguan pendengaran. (Dobie, 2010). Jika paparan bising ini terus terjadi pada responden maka lambat laun gangguan pendengarannya akan meningkat dari gangguan ringan menjadi gangguan sedang, gangguan sedang menjadi gangguan sedang berat dan yang mengalami gangguan sedang berat akan menjadi gangguan berat. Apabila bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau paparan yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen. (Arts, 1999). Pemaparan bunyi dengan tingkat yang tinggi secara teratur dapat mengakibatkan ketulian. Semakin lama seseorang berada di kawasan kebisingan maka akan semakin meningkat pula nilai ambang pendengarannya, semakin lama pemaparan dan semakin tinggi tingkat bunyinya akan berakibat semakin tingginya derajat ketuliannya. (Rijanto, 2010) Dari hasil wawancara peneliti dengan responden didapatkan bahwa mereka seakan-akan tidak peduli dengan lingkungan mereka yang bising, mereka tidak merasa terganggu dengan kondisi lingkungannya yang seperti itu, karena mereka telah terbiasa. Hal ini nantinya yang akan memperburuk kualitas pendengaran mereka. Menurut Sukmana (2003) gangguan terhadap kebisingan akan meningkat apabila seseorang memahami kebisingan sebagai hal yang tidak perlu, dan seseorang
yang mendengar bising merasa tidak puas dengan kondisi lingkungannya. Untuk mengurangi angka terjadinya gangguan pendengaran akibat bising, diperlukan usahausaha baik secara promotif, preventif, dan rehabilitatif, dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang baik dari masyarakat dan pemerintah melalui tenaga kesehatan. Pengukuran gangguan pendengaran pada telinga kanan dan kiri responden di temukan tidak adanya perbedaan yang signifikan, karena kedua telinga sama-sama mengalami gangguan pendengaran baik gangguan pendengaran ringan, gangguan sedang, maupun gangguan sedang berat. Hal ini dikarenakan gangguan pada telinga responden diakibatkan oleh kebisingan dan kebisingan ini biasanya disebut gangguan pendengaran jenis sensorineural. Sifat ketulian yang disebabkan oleh bising adalah tuli sensorineural dan pada umumnya pada kedua telinga. (Soepardi dkk, 2007) Jika dilihat dari umur responden, ada perbedaan antara umur 9-11 tahun dan umur 12-14 tahun, dari 42 responden terdapat 32 responden (76,2%) berumur antara 9-11 tahun yang mengalami gangguan pendengaran dan 10 responden (23,8%) pada umur 12-14 tahun yang mengalami gangguan pendengaran. Hal ini karena jumlah responden yang berusia 9-11 tahun lebih banyak dibandingkan responden yang berusia 12-14 tahun. Dari jenis kelamin responden tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, sebab kedua-duanya mengalami gangguan pendengaran dan jumlah responden laki-laki dan perempuan hampir sama jumlahnya yaitu laki-laki berjumlah 22 responden (52%) dan perempuan berjumlah 20 responden (47%). Antara laki-laki dan perempuan, perempuan lebih peka menerima suara bising dari pada laki-laki, sehingga laki-laki cenderung lebih banyak terpapar tuli akibat bising dari perempuan. Perempuan lebih sensitif terhadap rentang frekuensi yang lebih tinggi dari pada laki-laki. (Christian, 2012) Apabila ditinjau dari kelas, responden yang mengalami gangguan pendengaran lebih besar terdapat di kelas IV sebab kelas ini mempunyai responden yang paling banyak dibandingkan dengan kelas yang lain yaitu sebanyak 16
responden (38,1%), namun jika dilihat pada tabel 4.2 tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden di kelas IV, V maupun di kelas VI sebab semuanya mengalami gangguan pendengaran. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa gangguan pendengaran dikawasan kebisingan tingkat tinggi ( suatu kasus pada anak SDN 7 Tibawa) pada tahun 2013, seluruh responden mengalami gangguan pendengaran baik pada telinga kiri maupun pada telinga kanan, dari gangguan ringan, gangguan sedang, bahkan gangguan sedang berat. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Pengukuran kebisingan di SDN 7 Tibawa dengan menggunakan Sound Level Meter ditemukan bahwa pada saat Take-off besarnya 95 db dan pada saat Landing sebesar 85 db. Dari 42 responden terdapat 23 responden yang mengalami gangguan pendengaran ringan, Gangguan pendengaran sedang 18 responden dan 1 responden teridentifikasi sebagai gangguan pendengaran sedang berat. Dengan ditemukannya bahwa seluruh responden mengalami gangguan pendengaran sehingga saran peneliti sebagai berikut : Diharapkan kepada instansi yang terkait untuk lebih memperhatikan letak sekolah ini, jika perlu sekolah ini di pindahkan ke tempat yang lebih aman dan tidak berdekatan dengan landas pacu bandara Djalaludin Gorontalo, hal ini untuk menghindari tingginya angka gangguan pendengaran yang terjadi pada anak SDN 7 Tibawa. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar landas pacu bandara Djalaludin Gorontalo, untuk lebih memperhatikan lingkungan, apabila ada pesawat yang akan melintas, seharusnya memakai alat pelindung telinga sehingga tidak akan terjadi penurunan fungsi pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA Arts, A.H. 1999. Differential Diagnosis Of Sensorineural Hearing Loss. Jurnal. Christian, Fael. 2012. Hearing Loss. Jurnal. Rijanto, B.B. 2010.Pedoman Praktis Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L) Industri Konstruksi. Jakarta : Mitra Wacana Media. Soetirto, Bashirudin. 2006. Tuli akibat bising. Juurnal. Supramaniam, S. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di KotaMedan.Jurnalvol.6, no.5.