BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

DAFTAR PUSTAKA. Hardjasoemantri, Koesnadi.1995.Hukum Perlindungan Lingkungan: Koservasi

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

URGENSI PERLINDUNGAN SPESIES LANGKA BERDASARKAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

BAB I PENDAHULUAN. utama terus mengalami pergeseran dan lebih membuka diri bagi aktor non-state

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni


PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

Persyaratan untuk Cakupan Sertifikat Menurut APS

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

PENDAHULUAN Latar Belakang

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup

BAB I PENDAHULUAN. hewan langka di Indonesia yang masuk dalam daftar merah kelompok critically

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

Perlindungan Terhadap Biodiversitas

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. benua dan dua samudera mendorong terciptanya kekayaan alam yang luar biasa

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

C. Model-model Konseptual

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

RENCANA STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis

BAB 1 PENDAHULUAN. alam, dewasa ini lebih banyak dituangkan dalam program kerja kegiatan

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya.

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem, Komunitas dan Lingkungan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm Remaja Rosdakarya Offset, 1993), hlm. 79.

KEGIATAN MANUSIA YANG MEMPENGARUHI KEANEKARGAMAN HAYATI C. KEGIATAN MANUSIA YANG MEMPENGARUHI KEANEKARGAMAN HAYATI

BAB I PENDAHULUAN. penggurunan, serta kematian bentuk-bentuk kehidupan.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana Lingkungan Hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional. Namun pembahasan mengenai lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan saja. Padahal persoalan lingkungan tidak hanya masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan semata. Masih banyak aspek lain pada lingkungan yang terkait dengan keperluan vital manusia. Adalah suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup, sekalipun menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada di bawah hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup. 1 Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, organisasi-organisasi bisnis publik dan privat, serta negara-negara, belakangan ini menjadi perhatian besar umat manusia dan negara- 1 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2003), h.2

negraa, serta menimbulkan reaksi keras kelompok tertentu, terutama kalangan ekolog. 2 Salah satu masalah lingkungan yang patut mendapat sorotan dewasa ini adalah laju penurunan populasi dan kepunahan beberapa spesies. Kepunahan berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu terakhir spesies tersebut. Suatu spesies dinamakan punah bila anggota terkahir dari spesies ini mati. Kepunahan terjadi bila tidak ada lagi makhluk hidup dari spesies tersebut yang dapat berkembang biak dan membentuk generasi. Suatu spesies juga disebut fungsional punah bila beberapa anggotanya masih hidup tetapi tidak mampu berkembang biak, misalnya karena sudah tua, atau hanya ada satu jenis kelamin. 3 Ada banyak alasan mengapa suatu spesies tertentu dapat menjadi punah. Meskipun faktor-faktor tersebut dapat dianalisis dan dikelompokkan, ada beberapa penyebab kepunahan yang muncul berkali-kali. Di bawah ini adalah beberapa faktor terbesar yang menyebabkan kepunahan: 4 1. Perusakan Habitat Planet kita secara berkesinambungan berubah, mengakibatkan habitat-habitat makhluk hidup juga terus berganti dan berubah. Perubahan-perubahan alami cenderung terjadi secara bertahap, biasanya hanya menyebabkan pengaruh yang sedikit terhadap individu spesies. Bagaimanapun, ketika perubahan- 2 Ibid, h.3 Wikipedia, Kepunahan, diakses dari halaman world wide web: http://id.wikipedia.org/kepunahan.htm pada tanggal 20 Juli 2011 4 Endangeredspecie, Cause of Endangerment, diakses dari halaman world wide web: http://www.endangeredspecie.com/causes_of_endangerment.htm pada tanggal 20 Juli 2011

perubahan terjadi pada tahapan yang cepat, hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada waktu sama sekali bagi individu spesies untuk bereaksi dan menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Hal ini akan menghasilkan bencana, dan untuk alasan ini, hilangnya habitat dengan cepat adalah penyebab utama dari kepunahan spesies. Serangan terkuat dalam mempercepat hilangnya habitat-habitat teresebut adalah campur tangan manusia. Hampir setiap daerah di seluruh dunia telah terpengaruh oleh kegiatan manusia, terlebih selama beberapa abad terkahir ini. Hilangnya mikroba dalam tanah yang dulunya mendukung hutan tropis, punahnya ikan dan spesies air tercemar berbagai habitat, dan perubahan iklim global disebabkan oleh pelepasan gas rumah kaca semua hasil aktivitas manusia. Akan sulit bagi suatu individu untuk menyadari pengaruh yang dimiliki manusia terhadap spesies tertentu. Sulit untuk mengidentifikasi atau memprediksi pengaruh manusia terhadap spesies individu dan habitat, terutama selama seumur hidup manusia. Tetapi sangat jelas bahwa aktivitas manusia telah memberikan kontribusi untuk membahayakan spesies. Sebagai contoh, meskipun hutan tropis mungkin terlihat seolah-olah subur, mereka sebenarnya sangat rentan terhadap kehancuran. Hal ini karena tanah di mana mereka tumbuh kurang nutrisi. Mungkin diperlukan berabad-abad untuk kembali tumbuh bagi sebuah hutan yang ditebang oleh manusia atau dihancurkan oleh api, dan banyak hewan di dunia dan tanaman yang hidup di hutan-hutan sangat terancam. Jika tingkat hilangnya hutan terus berlanjut, sejumlah besar spesies tanaman dan hewan akan hilang.

Sekitar 10 juta spesies hidup di bumi, dan antara 50% hingga 90% dari jumlah tersebut diperkirakan berada di hutan tropis. 5 Sekitar dua kali luas lapangan sepakbola hutan hujan tropis menghilang setiap satu detik. Deforestasi mengakibatkan hilangnya 137 spesies tanaman, hewan dan serangga setiap hari. Sejalan dengan menghilangnya beberapa spesies, maka demikian juga akan menghilang obat-obatan bagi sejumlah penyakit. 25% dari obat-obatan di negara-negara Barat berasal dari spesies tumbuhan di hutan hujan tropis, dimana total baru 5% dari tanaman hutan hujan yang telah dipelajari manusia. 6 2. Pengenalan Spesies Eksotik Spesies asli adalah tanaman dan hewan yang merupakan bagian dari wilayah geografis tertentu, dan biasanya menjadi bagian dari lanskap biologis tertentu untuk periode waktu yang panjang. Mereka juga disesuaikan dengan lingkungan lokal mereka dan terbiasa dengan keberadaan spesies asli lainnya dalam habitat umum yang sama. Spesies eksotik, bagaimanapun, adalah penyusup. Spesies yang diperkenalkan ke lingkungan baru dengan cara aktivitas manusia, baik sengaja atau tanpa sengaja. Interlopers ini dipandang oleh spesies asli sebagai elemen asing. Mereka mungkin tidak menyebabkan masalah yang jelas dan mungkin akhirnya dianggap sebagai alam sebagai setiap spesies asli di habitat tersebut. Namun, spesies eksotis juga dapat serius 5 WRI, IUCN, UNEP, Global Biodiversity Strategy, diterjemahkan oleh WALHI dengan judul Strategi Keanekaragaman Hayati Global (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995) h.7 6 Environment Matters at the World Bank: Environment on Biodiversity, 2009 Annual Review, h.45

mengganggu keseimbangan ekologi halus dan dapat menghasilkan sejumlah konsekuensi yang tidak disengaja berbahaya. Bagian terburuk dari konsekuensi yang tidak disengaja namun yang berbahaya muncul ketika spesies eksotik spesies asli diperkenalkan dimasukkan ke dalam bahaya dengan memangsa mereka. Hal ini dapat mengubah habitat alami dan dapat menyebabkan kompetisi yang lebih besar untuk makanan. Spesies telah biologis diperkenalkan kepada lingkungan di seluruh dunia, dan efek yang paling merusak terjadi di pulau-pulau. Diperkenalkan serangga, tikus, babi, kucing, dan spesies asing lainnya telah benar-benar membahayakan dan menyebabkan kepunahan ratusan spesies selama lima abad terakhir. Spesies eksotik jelas merupakan faktor yang cukup besar dalam kepunahan. 3. Eksploitasi yang Berlebihan Spesies yang menghadapi eksploitasi yang berlebihan adalah salah satu yang dapat menjadi sangat terancam atau bahkan punah berdasarkan tingkat di mana spesies ini sedang digunakan. Terikat perburuan paus selama abad 20 adalah contoh eksploitasi berlebihan, dan industri penangkapan ikan paus membawa banyak spesies ikan paus untuk ukuran populasi yang sangat rendah. Ketika beberapa spesies paus hampir punah, sejumlah negara (termasuk Amerika Serikat) setuju untuk mematuhi moratorium internasional tentang penangkapan ikan paus. Karena moratorium ini, spesies ikan paus beberapa, seperti ikan paus abu-abu, telah membuat comeback yang luar biasa, sementara yang lain tetap terancam atau hampir punah.

Pada suatu waktu, ketika ada orang-orang jauh lebih sedikit di Bumi dan satwa liar yang lebih banyak, eksploitasi seperti itu tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah keseluruhan hewan dan tumbuhan. Dengan lebih dari enam miliar orang di dunia saat ini keadaan sekarang sangat berbeda. Sebagai hasil dari tekanan dari populasi manusia yang terus meningkat, banyak spesies hewan dan tumbuhan telah berkurang dalam jumlah besar dan mereka tidak akan bertahan lebih lama jika manusia terus membunuh mereka. 7 Karena perdagangan hewan, banyak spesies terus menderita tingginya tingkat eksploitasi. Bahkan saat ini, ada permintaan untuk item seperti tanduk badak dan tulang harimau di beberapa daerah di Asia. Hal ini di sini bahwa ada pasar yang kuat untuk obat-obatan tradisional yang terbuat dari bagian-bagian hewan. 4. Faktor Lainnya Penyakit, polusi, dan terbatasnya distribusi merupakan faktor-faktor lain yang mengancam berbagai tanaman dan spesies hewan. Jika suatu spesies tidak memiliki perlindungan alami terhadap patogen genetik tertentu, penyakit diperkenalkan dapat memiliki efek yang parah pada specie itu. Sebagai contoh, virus rabies dan distemper anjing saat ini menghancurkan populasi karnivora di Afrika Timur. Binatang domestik sering mengirimkan penyakit yang mempengaruhi populasi liar, menunjukkan lagi bagaimana aktivitas manusia terletak pada akar penyebab paling membahayakan. Polusi memiliki dampak serius spesies darat dan air ganda, dan distribusi yang terbatas sering 7 YPTE, Trade in Endangered Species, diakses dari halaman world wide web: http://www.ypte.org.uk/environmental/trade-in-endangered-species/25 pada tanggal 22 Juli 2011

konsekuensi dari ancaman lain; populasi terbatas pada daerah kecil karena kehilangan habitat, misalnya, mungkin malapetaka dipengaruhi oleh faktor acak. Demikian beberapa faktor penyebab kepunahan yang utama. Namun di antara beberapa faktor di atas, yang ingin disorot secara khusus faktor penyebab kepunahan spesies pada poin ke-3 alinea dua yaitu tentang perdagangan spesies langka. Perdagangan secara gelap satwa langka dan dilindungi merupakan masalah dunia yang menyangkut aktivitas penanaman investasi yang tidak sedikit. Menurut Sarah Fitzgerald dalam International Wildlife Trade: Whose Business Is It (1989), perdagangan hidupan liar eksotik di dunia mencapai angka minimum 5 miliar dolar AS per tahun atau sekitar 10 triliun rupiah. Di dalamnya termasuk perdagangan 40.000 ekor jenis-jenis primata, gading dari setidaknya 90.000 gajah Afrika, sedikitnya 1 juta anggrek, 4 juta burung hidup, 10 juta kulit hewan melata (reptilia), 15 juta mantel yang berasal dari burung liar, 350 juta ikan tropis, dan berbagai bentuk kerajinan yang terbuat dari kulit kangguru, hingga hiasan dari cangkang penyu. 8 Perdagangan seperti itu jika tidak dikontrol dan dikelola dengan seksama akan mengakibatkan permasalahan yang cukup serius. Yaitu kemusnahan jenis tertentu sehingga mempunyai dampak ekologis terhadap kelestarian dan keseimbangan ekosistem yang ada. 8 Fachruddin M. Mangunjaya, Hidup Harmonis dengan Alam: Esai-Esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h.44

Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang telah dipaparkan di atas, demi meningkatkan perlindungan terhadap spesies langka secara internasional pada umumnya dan nasional khususnya, maka penting untuk diteliti hal-hal yang berkaitan dengan peran CITES dalam perlindungan spesies langka. B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini dirumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tentang perdagangan spesies langka dalam kerangka CITES? 2. Bagaimana peran CITES dalam mencegah kepunahan spesies langka secara global? 3. Bagaimana pengaturan hukum nasional yang berkaitan dengan CITES di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perdagangan spesies langka dalam kerangka CITES. 2. Untuk mengetahui peran CITES dalam mencegah kepunahan spesies langka secara global. 3. Untuk mengetahui pengaturan hukum nasional yang berkaitan dengan CITES di Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang peranan CITES dalam perlindungan spesies langka. b. Secara praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat terutama memberikan informasi ilmiah mengenai pentingnya perlindungan spesies langka. D. Keaslian Penelitian Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan peranan CITES dalam mencegah kepunahan spesies-spesies langka, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak dan elektronik. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, telah dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis sendiri. E. Tinjauan Pustaka 1. CITES

CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah Fauna dan Flora Liar) adalah perjanjian internasional antara pemerintah. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen hewan liar dan tanaman tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. Meluasnya informasi saat ini tentang status terancam punah beberapa spesies, seperti harimau dan gajah, mungkin membuat kebutuhan seperti konvensi tampak jelas. Tetapi pada saat ide-ide untuk pertama kali dibentuk CITES, pada tahun 1960, diskusi internasional dari regulasi perdagangan satwa liar untuk tujuan konservasi adalah sesuatu yang relatif baru. Dengan melihat ke belakang, kebutuhan untuk CITES jelas. Setiap tahun, perdagangan satwa internasional diperkirakan bernilai miliaran dolar dan untuk memasukkan ratusan juta spesimen tumbuhan dan hewan. Perdagangan yang sangat beragam, mulai dari binatang hidup dan tanaman untuk array yang luas dari produk satwa liar yang berasal dari mereka, termasuk produk makanan, barang kulit eksotis, alat musik kayu, kayu, benda antik wisata dan obatobatan. Tingkat eksploitasi dari beberapa hewan dan spesies tanaman yang tinggi dan perdagangan di dalamnya, bersama dengan faktor lain, seperti hilangnya habitat, mampu sangat menguras populasi mereka dan bahkan membawa beberapa spesies hampir punah. Banyak spesies satwa liar dalam perdagangan tidak terancam, tapi keberadaan perjanjian untuk menjamin keberlanjutan perdagangan penting untuk menjaga sumber daya untuk masa depan.

Karena perdagangan satwa dan tumbuhan melintasi perbatasan antar negara, upaya untuk mengatur hal itu membutuhkan kerjasama internasional untuk melindungi spesies tertentu dari eksploitasi berlebihan. CITES dikandung dalam semangat kerja sama tersebut. Hari ini, sesuai berbagai tingkat perlindungan terhadap lebih dari 30.000 spesies hewan dan tanaman, apakah mereka diperdagangkan sebagai spesimen hidup, mantel bulu atau herba kering. CITES dirancang sebagai akibat dari resolusi yang diadopsi pada tahun 1963 pada pertemuan anggota IUCN (Uni Konservasi Dunia). Teks Konvensi itu akhirnya disepakati pada pertemuan perwakilan dari 80 negara di Washington DC, Amerika Serikat., Pada tanggal 3 Maret 1973, dan pada 1 Juli 1975 CITES masuk berlaku. Asli Konvensi diendapkan dengan Pemerintah Penyimpan dalam, bahasa Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol, masing-masing versi yang otentik. CITES adalah perjanjian internasional dimana negara-negara mematuhi secara sukarela. Negara yang telah setuju untuk terikat oleh Konvensi ('bergabung' dengan CITES) dikenal sebagai Pihak. Walaupun CITES mengikat secara hukum pada Pihak - dengan kata lain mereka harus menerapkan Konvensi - tidak mengambil tempat hukum nasional. Melainkan menyediakan kerangka kerja yang harus dihormati oleh setiap Pihak, yang telah mengadopsi undang-undang dalam negeri sendiri untuk memastikan bahwa CITES diimplementasikan di tingkat nasional.

Selama bertahun-tahun CITES telah antara kesepakatan konservasi dengan keanggotaan terbesar, dengan sekarang 175 Pihak. 2. Spesies Langka Spesies langka adalah organisme yang sangat sulit dicari karena jumlahnya yang sedikit. Istilah ini dapat digunakan untuk binatang ataupun tanaman, yang bisa dikategorikan "genting" atau "spesies terancam". Pengkategorian spesies langka bisa dilakukan oleh suatu lembaga seperti pemerintah suatu negara ataupun propinsi. Namun, istilah ini sering digunakan tanpa memiliki batas kriteria yang spesifik. Umumnya hanya digunakan dalam diskusi ilmiah. 9 Konsep kelangkaan dapat terjadi dari sedikitnya jumlah suatu organisme di seluruh dunia, biasanya kurang dari 10.000; namun konsep ini juga dipengaruhi oleh sempitnya area endemik dan/atau habitat yang terfragmentasi. Spesies yang dalam bahaya atau rentan, namun tidak dikategorikan langka, misalnya, memiliki populasi berjumlah besar dan tersebar namun jumlahnya terus berkurang dengan cepat dan diperkirakan akan punah. Spesies langka umumnya dipertimbagkan terancam jika spesies itu memiliki ketidakmampuan dalam jumlah populasi yang kecil untuk mengembalikan populasinya secara alami ke jumlah semula. F. Metode Penelitian 9 Wikipedia Indonesia, Spesies Langka, diakses pada tanggal 30 September 2011 dari world wide web http://id.wikipedia.org/wiki/spesies_langka

1. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan Yuridis Sosiologis dan pendekatan Yuridis Normatif. Pendekatan Yuridis Sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan Yuridis Normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang perlindungan spesies langka dari kepunahan. 2. Sumber Data Sumber data yang saya gunakan adalah data sekunder yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan dan perlindungan spesies langka, termasuk juga konvensi Internasional, dalam hal ini Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, juga peratuan perundang-undangan nasional Indonesia yang berkaitan dengan hal tersebut. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, artikel, jurnal yang berkaitan dengan CITES dan perlindungan spesies langka. c. Bahan Hukum Tertier Bahan Hukum Tertier yang digunakan adalah berupa kamus dan ensiklopedia baik berupa jilidan maupun yang berasal dari media elektronik seperti wikipedia indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). 4. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif sebab menggunakan kalimat-kalimat dalam uraian-uraiannya bukan angkaangka. Selain itu penelitian ini lebih mementingkan dalamnya data bukan banyaknya data. G. Sistematika Penulisan BAB I dalam penelitian ini adalah sebagai Bab Pendahuluan dimana dipaparkan latar belakang penelitian ini diadakan yaitu tingkat kepunahan beberapa spesies yang dapat mengancam stabilitas keberlangsungan hidup makhluk hidup di bumi, sehingga didapat beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan perlindungan spesies-spesies tersebut dalam kaitannya dengan

CITES. Dalam Bab I ini juga dipaparkan mengenai keaslian penulisan dan metode penelitian yang saya gunakan, hingga sistematika penulisan. Selanjutnya dalam BAB II dibahas tentang CITES, dimulai dari latar belakang dan perkembangan CITES, kemudian tentang ratifikasi atas CITES, dan terakhir tentang bagaimana pengaturan CITES tentang perdagangan spesies langka. Dalam BAB III lebih lanjut dibahas mengenai CITES yang diawali dengan pemaparan tentang pentingnya perlindungan spesies langka, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai peranan CITES dalam melindungi spesies langka secara global. Dalam BAB IV akan dibahas mengenai kaitan antara Indonesia dengan CITES, mulai dari ratifikasi CITES oleh Indonesia, perlindungan spesies langka di Indonesia, meningkatkan peran CITES di Indonesia, dan pengaturan hukum nasional Indonesia yang berkaitan dengan CITES. Terakhir pada BAB V, adalah bab yang berisikan kesimpulan dari halhal yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, serta memberikan beberapa saran yang semoga saja bermanfaat demi perlindungan spesies langka secara internasional maupun nasional di Indonesia.