MONITORING AKTIVITAS DEFORMASI GUNUN API MENGGUNAKAN GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM)

dokumen-dokumen yang mirip
Determinasi sumber tekanan dan analisis regangan utama di Gunung Api Papandayan untuk mengetahui korelasi dengan kegempaan

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB IV PENGOLAHAN DATA

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

BAB IV PENGOLAHAN DATA

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

STUDI DEFORMASI GUNUNG KELUT DENGAN METODE SURVEI GPS

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

Analisa Pergeseran Titik Pengamatan GPS pada Gunung Merapi Periode Januari-Juli 2015

ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI. PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

STUDI AWAL PEMANFAATAN METODE GPS GEODETIK UNTUK MEMANTAU GROUND DEFORMATION SEBAGAI DAMPAK PENGEMBANGAN LAPANGAN PANAS BUMI

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Cakupan

Reka Geomatika Jurusan Teknik Geodesi Itenas No. 2 Vol. 1 ISSN X Desember 2013 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Peta sebaran gunungapi aktif di Indonesia (dokumen USGS).

MODUL 3 GEODESI SATELIT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BADAN GEOLOGI - ESDM

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH

KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 2009

MONITORING GUNUNG API DENGAN METODE MAGNETIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 3 PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH DENGAN METODE SURVEY GPS

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

ERUPSI G. KARANGETANG 2007 DAN PERKIRAAN KEDALAMAN SUMBER TEKANAN BERDASARKAN DATA ELECTRONIC DISTANCE MEASUREMENT (EDM)

BAB III KARAKTERISTIK DAN PENGOLAHAN DATA GPS GUNUNGAPI PAPANDAYAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen dalam Periode Hasil Estimasi Metode Survei GPS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA PENELITIAN

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

ERUPSI G. SOPUTAN 2007

STUDI KONDISI UDARA DI ATAS GUNUNGAPI BATUR DENGAN MENGGUNAKAN GPS

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENGUKURAN

7.5. G. IBU, Halmahera Maluku Utara

Deformasi Gunung Guntur berdasarkan data GPS

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008

GLOBAL POSITION SYSTEM (GPS)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

MONITORING AKTIVITAS DEFORMASI GUNUN API MENGGUNAKAN GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) 1. Pendahuluan Gunungapi merupakan salah satu bukti bahwa bumi kita hidup. Pertemuan antar lempeng tektonik merupakan salah satu penyebab utama terbentuknya gunungapi. Selain karena pertemuan antar lempeng, terdapatnya titik titik lemah pada permukaan bumi yang dapat diterobos oleh magma juga merupakan salah satu penyebab terbentuknya gunungapi (daerah ini disebut hotspot). Salah satu bentuk adanya aktivitas dinamis di dalam tubuh gunungapi adalah erupsi gunungapi. Erupsi gunungapi biasanya bersifat sangat destruktif. Akibat dari erupsinya suatu gunungapi, selain menyebabkan kerugian harta benda, erupsi gunungapi juga banyak memakan korban jiwa. Masyarakat yang tinggal di sekitaran daerah gunungapi biasanya telat untuk menyelamatkan diri ketika erupsi terjadi. Gunung api merupakan kenampakan alam yang sangat mengagumkan. Namun letusan gunung api sering menghancurkan bahkan memiliki dampak besar bagi lingkungan dan manusia. Dengan semakin padatnya pertumbuhan penduduk di dunia, semakin banyak orangorang yang bertempat tinggal sangat dekat dengan gunung api. Tanah vulkanik memng sangat subur, namun juga memiliki ancaman yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Dampak bencana oleh erupsi Gunung Tambora, Indonesia pada tahun 1815 (92.000 korban jiwa), Krakatau, Indonesia pada tahun 1883 (36.417 korban jiwa), Nevado del Ruiz, Kolombia pada tahun 1985 (25.000 korban jiwa) menekankan bahwa perlu dilakukan tindakan untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh letusan gunung api, salah satunya dengan melakukan monitoring. Oleh karena hal ini, sudah dilakukan suatu kegiatan yang disebut monitoring terhadap gunungapi. Monitoring ini merupakan kegiatan dimana kita melakukan pengamatan terhadap aktifitas suatu gunungapi. Dilihat dari perilakunya, monitoring gunungapi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting untuk mengetahui kapan suatu gunungapi akan meletus. Jika 1

kita bisa memprediksi kapan gunungapi akan meletus, maka kita bisa melakukan kegiatan mitigasi terhadap bencana gunungapi. Untuk dapat mengetahui kapan dan dimana akan terjadi erupsi, maka perlu dilakukan monitoring seakurat mungkin. Beberapa metode yang berbeda seperti seismik, micrograivity, geomagnetic, geodetic, chemical, thermal, hydrologic, remote sensing dan observasi secara visual bisa digunakan untuk mempelajari mengenai gunung api (gambar 1). Gambar 1. berbagai teknik untuk memonitoring aktivitas gunung api (USGS, 2002). Pada bab ini akan dijelaskan apakah dan bagaimanakah peran GPS dalam kegiatan monitoring gunungapi. Didalam materi ini juga akan dijelaskan bagaimana penggunaan GPS dalam kegiatan monitoring. 2. Monitoring Deformasi Gunungapi Deformasi yang disebabkan oleh intrusi magma merupakan awalan dari terjadinya erupsi gunung api. Sebelum terjadi erupsi, permukaan tanah mengembang akibat tekanan yang meningkat di dalam magma chamber dangkal yang disebabkan oleh pergerakan magma yang naik. Magma yang dilepaskan menyebabkan terjadinya deflasi dari lereng gunung api (gambar 2.2). Pola dan tingkat perpindahan permukaan memperlihatkan tingkat dari 2

meningkatnya tekanan di dalam magma chamber (Dvorak & Dzurisin, 1997) sehingga memberikan informasi penting mengenai keadaan gunung api. Karena deformasi tanah cenderung mendahui terjadinya erupsi baik dalam periode jam hingga bulan, maka monitoring geodetic adalah monitoring yang tepat untuk hazard mitigation. Teknik untuk memonitoring deformasi tanah telah dikembangkan dari Precise Spirit Levelling menjadi Electronic Distance Measuring (EDM), dan yang lebih terbaru dengan menggunakan InSAR, dan survey GPS kontinyu (gambar 2). Gambar 2. Deformasi tanah akibat aktivitas gunung api (Abidin, 1998). Prinsip dasar perubahan permukaan tanah adalah ketika gunung api mau meletus akan menunjukkan peningkatan tekanan di dapur magma dan tekanan ini bisa menyebabkan gunung api tersebut mengembang (inflasi) dan apabila tekanan tersebut turun setelah meletus maka gunung api akan menunjukkan gejala mengempis (deflasi). Menggunakan teori elastik, posisi dan kedalaman sumber magma bisa ditentukan berdasarkan pengukuran deformasi tanah dan lokasinya dengan model matematis (Mogi, 1958). Diasumsikan bahwa deformasi disebabkan oleh sebuah sumber yang berbentuk bola (magma chamber) yang terletak di bawah gunung api yang mendesak tekanan hidrostatik naik menuju permukaan tanah. Ibid (1958) mengusulkan kerak bumi berperilaku elastik ketika terjadinya erupsi, sedangkan selama periode yang panjang deformasi setelah letusan, kerak berperilaku sebagai medium viscouselastic. Model yang simpel tersebut sangat efektif dan masih sangat digunakan hingga saat ini untuk mengestimasi lokasi sumber magma. 3

Dari tahun 1960 hingga 1980, digunakan teknik survey secara tradisional untuk memonitoring deformasi permukaan. Umumnya jaringan ini terdiri dari spirit levelling runs untuk mendeteksi pergerakan vertikal dan triangulation network untuk menentukan perpindahan secara horizontal. Electronic Distance Measuring (EDM) merupakan alat yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran jarak jauh dengan mengukur secara cepat dan presisi. Suganda (1993) melaporkan terjadi perpindahan jarak horizontal sejauh 2 meter diantara titik yang mencakup kawah Gunung Merapi dengan menggunakan pengukuran EDM tahun 1988-1992. Sedangkan di Gunung Unzen (Jepang) observasi EDM menunjukkan pertumbuhan lava dome meluas 70-80 cm perjam selama beberapa hari sebelum terjadi erupsi pada tanggal 24 Mei 1991. Dengan kemajuan teknik GPS, pada tahun 1980an GPS dianggap merupakan teknik yang sangat cocok untuk memonitoring deformasi yang disebabkan oleh pergerakan tektonik, ground subsidence dan aktivitas vulkanik. Baru-baru ini, teknik Interferometric Syntethic Aperture Radar (InSAR) semakin digunakan untuk memetakan topografi dari gunung api dan mendeteksi deformasi. Di sekitar vent dari gunung api New Trident di Alaska diobservasi menggunakan InSAR selama dua tahun. Diketahui bahwa telah terjadi pengangkatan sebesar 7-9 cm. Ditinjau berdasarkan waktu sampling, teknik monitoring deformasi bisa diklasifikasikan menjadi episodik dan kontinyu. Teknik episodik mencakup sudut dan jarak pengukuran, levelling, InSAR dan survey GPS. Instrumentasi yang digunakan untuk monitoring secara kontinyu adalah tiltmeter, extensiometer, dilatometer, dan jaringan GPS permanen. 3. Prinsip Pemantauan Deformasi dengan GPS GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit milik Amerika Serikat. Nama formal dari sistem satelit militer ini adalah NAVSTAR GPS, kependekan dari NAVigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System. Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia. 4

Prinsip pemantauan deformasi secara kontinyu yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat beberapa titik yang mewakili sebuah gunungapi dari waktu ke waktu. Metode ini, menggunakan beberapa alat penerima sinyal (reciever) GPS yang ditempatkan pada beberapa titik pantau pada punggung dan puncak gunungapi, serta pada suatu pusat pemantau (stasiun referensi) yang merupakan pusat pemroses data. Pusat pemantau adalah suatu lokasi yang telah diketahui koordinatnya, dan sebaiknya ditempatkan di kota yang terdekat dengan gunungapi yang bersangkutan (misalkan di pos pengamatan gunungapi). Koordinat titik-titik pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap pusat pemantau, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara real-time. Untuk itu data pengamatan GPS dari titik-titik pantau harus dikirimkan secara real-time ke pusat pemantau untuk diproses bersama-sama dengan data pengamatan GPS dari pusat pemantau. Pengiriman data ini dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan satelit komunikasi ataupun telemetri dengan gelombang radio. Dalam proses pemantauan aktivitas (geometrik) gunungapi dengan GPS, sebagai contoh, kalau jarak antara dua titik pantau yang diletakkan sebelah menyebelah sisi gunungapi secara sistematis semakin memanjang dari waktu ke waktu, atau beda tinggi antara titik-titik pantau dengan pusat pemantau makin membesar secara kontinyu, maka kita harus waspada bahwa mungkin gunung yang bersangkutan akan meletus. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang lebih konprehensif tentang aktivitas gunungapi tersebut, informasi geometrik yang diberikan oleh GPS sebaiknya diintegrasikan dengan informasi-informasi vulkanologis. Pemantauan secara episodik yaitu, pemantauan GPS terhadap titik-titik pantau secara berkala, yang membedakannya dengan pemantauan secara kontinyu, adalah disini pemantauan dilakukan pada periode tertentu dengan metode pengukuran secara statik. Prinsip dari metode pemantauan aktivitas gunung berapi dengan metode Survei GPS pada dasarnya relatif mudah, yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat dari beberapa titik yang mewakili gunung tersebut secara periodik. Pada metode ini, beberapa alat penerima sinyal (receiver) GPS ditempatkan pada beberapa titik pantau yang ditempatkan pada punggung dan puncak gunung yang akan dipantau, serta pada suatu stasion referensi yang 5

dianggap sebagai titik stabil. Koordinat dari titik-titik pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap stasion referensi, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial menggunakan data pengamatan fase. Selanjutnya dengan mempelajari perubahan koordinat titik-titik pantau tersebut, baik terhadap stasion referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, maka karakteristik deformasi dan magmatik gunung berapi yang bersangkutan dapat dipelajari dan dianalisa, seperti yang titiktitik pantau tersebut, baik terhadap stasion referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, maka karakteristik deformasi dan magmatik gunung berapi yang bersangkutan dapat dipelajari dan dianalisa, seperti yang diilustrasikan pada gambar 3. Gambar 3. Pemantauan deformasi gunungapi secara episodic dengan menggunakan metode survey GPS. Dalam konteks studi deformasi gunungapi dengan metode survei GPS, ada beberapa keunggulan dan keuntungan dari GPS yang perlu dicatat, yaitu antara lain: 1. GPS dapat mencakup suatu kawasan yang relatif luas tanpa memerlukan saling keterlihatan antar titik-titik pengamatan. Dengan karakteristik seperti ini, GPS dapat memantau sekaligus beberapa gunungapi yang berdekatan. 2. GPS memberikan nilai vektor koordinat serta pergerakan titik (dari minimum dua kala pengamatan) dalam tiga dimensi (dua komponen horisontal dan satu komponen vertikal), sehingga dapat informasi deformasi yang lebih baik dibandingkan metode-metode terestris yang umumnya memberikan informasi deformasi dalam satu atau dua dimensi. 6

3. GPS memberikan nilai vektor pergerakan titik dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal dan stabil baik secara spasial maupun temporal. Dengan itu maka GPS dapat digunakan untuk memantau deformasi gunung atau gunung-gunungapi dalam kawasan yang luas secara konsisten dari waktu ke waktu. 4. GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten ini maka diharapkan besarnya pergerakan titik yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik. 5. GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam), dalam segala kondisi cuaca. Dengan karakteristik semacam ini maka pelaksanaan survei GPS untuk studi deformasi gunungapi dapat dilaksanakan secara efektif dan fleksibel. Pemantauan deformasi gunungapi dengan metode survei GPS ini sudah diterapkan pada banyak gunungapi di luar negeri. Di Indonesia beberapa gunungapi telah dipantau karakteristik deformasinya dengan metode survei GPS, dimana lokasi dari gunung-gunungapi tersebut ditunjukkan pada gambar 4. Pelaksanaan survey-survei GPS di gunung-gunungapi tersebut dilaksanakan bersama-sama oleh Dept. Teknik Geodesi ITB bekerjasama dengan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Beberapa hasil dari studi deformasi gunungapi dengan metode survei GPS tersebut diberikan di Abidin, et, al. Gambar 4. Beberapa gunungapi yang dipantau. 7

4. Jaringan GPS Permanen Skala Besar Jaringan GPS skala besar tidak dapat digunakan untuk memonitor deformasi karena jarak tiap receiver terlalu jauh dan baseline hasil tidak menunjukkan efek diurnal. Namun jaringan ini penting dalam fungsi yang lebih luas. Berikut beberapa contoh jaringan GPS skala besar di dunia. IGS Network IGS (International GPS Service) memiliki 200 receiver aktif yang diporasikan secara kontinus. Jaringan ini digunakan untuk memetakan ITRF (international Terrestrial Refference Frame). GEONET (GPS Earth Observation Network) Jaringan ini merupakan jaringan yang di operasikan oleh Japan s Geographical Survey Institute sejak 1994. Tujuan utamanya adalah memonitor secara kontinus deformasi kerak bumi untuk tujuan penelitian. Jaringan ini memiliki 1000 receiver GPS yang tersebar di seluruh dunia. SCIGN (The Southern California Integrated GPS Network) Jaringan yang dimiliki dan di operasikan di California, Amerika Serikat sejak 1990 dengan tujuan untuk memonitor deformasi kerak bumi di California. Pada Juli 2001 tercatat jaringan ini memiliki receiver GPS sebanyak 250 buah. Jaringan ini di operasikan oleh Southern California Erathquake Center dengan bekerja sama dengan NASA, USGS, dan University of California. 5. Konsep Dasar Secara umum ada tiga segmen dalam sistem GPS yaitu segmen sistem kontrol, segmen satelit, dan segmen pengguna. 1. Segmen Satelit Terdiri dari 24 satelit yang terbagi dalam 6 orbit dengan inklinasi 55 dan ketinggian 20200 km dan periode orbit 11 jam 58 menit. Satelit GPS dapat dianalogikan sebagai stasiun radio angkasa, yang diperlengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyalsinyal gelombang. Sinyal-sinyal ini selanjutnya diterima oleh receiver GPS di/dekat permukaan bumi, dan digunakan untuk menentukan informasi posisi, kecepatan, maupun 8

waktu. Selain itu satelit GPS juga dilengkapi dengan peralatan untuk mengontrol attitude satelit. Satelit-satelit GPS dapat dibagi atas beberapa generasi yaitu ; blok I, blok II, blok IIA, blok IIR dan blok IIF. Hingga april 1999 ada 8 satelit blok II, 18 satelit blok II A dan 1 satelit blok II R yang operasional. 2. Segmen system kontrol Secara umum segmen sistem kontrol berfungsi mengontrol dan memantau operasional satelit dan memastikan bahwa satelit berfungsi sebagaimana mestinya. Mempunyai tanggung jawab untuk memantau satelit GPS supaya satelit GPS dapat tetap berfungsi dengan tepat. Misalnya untuk sinkronisasi waktu, prediksi orbit dan monitoring kesehatan satelit. 3. Segmen Pengguna Segmen pemakai merupakan pengguna, baik di darat, laut maupun udara, yang menggunakan receiver GPS untuk mendapatkan sinyal GPS sehingga dapat menghitung posisi, kecepatan, waktu dan parameter lainnya. Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS di manapun berada. Dalam hal ini alat penerima sinyal GPS ( GPS receiver ) diperlukan untuk menerima dan memproses sinyal-sinyal dari satelit GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan dan waktu. Komponen utama dari suatu receiver GPS secara umum adalah antena dengan pre-amplifier, bagian RF dengan pengidentifikasi sinyal dan pemroses sinyal, pemroses mikro untuk pengontrolan receiver, data sampling dan pemroses data ( solusi navigasi ), osilator presisi, catu daya, unit perintah dan tampilan, dan memori serta perekam data. 5.1. Faktor-faktor penentu akurasi. Ketelitian posisi yang didapat dari pengamatan GPS secara umum bergantung pada 4 faktor: 1. Ketelitian data (tipe data yang digunakan, kualitas receiver GPS, level dari kesalahan dan bias). 2. Geometri satelit (jumlah satelit, lokasi dan distribusi satelit, lama pengamatan). 3. Metode penentuan posisi (absolute dan differensial positioning; static, rapid static, pseudo-kinematic, stop and go, dan kinematic; one dan multi monitor station). 9

4. Strategi pemrosesan data (real-time dan post processing; strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias; metode estimasi yang digunakan; pemrosesan baseline dan perataan jaring) Gambar 5. Metode Penentuan Posisi dengan GPS. Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi 3 dimensi (x,y,z atau j,l,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984, sedangkan inggi yang diperoleh adalah tinggi ellipsoid. 5.2. Kesalahan dan Bias Kesalahan dan bias yang mempengaruhi sinyal GPS dapat dikelompokkan menjadi : 10

1. kesalahan ephemeris (orbit) 6. Cycle slips 2. bias ionosfer 7. Selective availability 3. bias troposfer 8. Anti spoofing 4. multipath 9. Kesalahan jam satelit dan receiver 5. ambiguitas fase (cycle ambiguity) Gambar 6. Lokasi sumber kesalahan penentuan posisi dengan GPS. 6. Peralatan yang digunakan Ada 3 macam tipe alat GPS yang memiliki tingkat ketelitian yang berbeda. Tipe yang pertama adalah Tipe nagivasi harganya cukup murah, sekitar 1-4 juta rupiah, namun ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai 3 sampai 6 meter. Tipe alat yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai dengan beberapa desimeter. Tipe terakhir adalah tipe Geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi, dan geodinamika. Harga receiver tipe geodetik cukup mahal, mencapai ratusan juta rupiah untuk 11

1 unitnya. GPS tipe geodetic dual frekuansi inilah yang biasa digunakan dalam pengukuran deformasi untuk monitoring gunung api. GPS Geodetic ini adalah GPS yang mempunyai kemampuan untuk menangkap signal L1, L2, atau GNSS. GPS Geodetic mempunyai kemampuan untuk merekam Raw data, yang secara umum mempunyai Format RINEX. GPS ini mempunyai ketelitian lebih tinggi dari GPS Navigasi. Ketelitiannya bahkan sampai milimeter. Beda dengan GPS Navigasi, untuk GPS Geodetic minimal untuk mendapatkan ketelitian tinggi harus menggunakan dua alat waktu pengukuran. Jadi satu set GPS Geodetic terdiri dari dua alat, sebagai base station dan sebagai rover. Semakin banyak GPS yang digunakan secara bersamaan, maka akan semakin tinggi ketelitiannya, karena Gambar 7. Contoh receiver GPS tipe geodetic dual frekuensi. Beberapa contoh receiver GPS tipe Geodetik dual frekuensi: 1. Receiver GPS tipe Geodetik dual frekuensi Merk TRIMBLE 400SSI 2. Receiver GPS tipe Geodetik dual frekuensi Merk ASHTECH Z-12, 3. Receiver GPS tipe Geodetik dual frekuensi Merk LEICA SR9500, 12

7. Cara Pengukuran Metode GPS dilakukan dalam monitoring gunungapi dengan tujuan mengetahui pola serta kecepatan dari deformasi permukaan gunungapi dalam arah horizontal maupun vertikal. Umumnya, deformasi tubuh gunungapi dapat berupa inflasi dan deflasi. Inflasi adalah penaikan permukaan tanah karena adanya proses gerakan magma yang menekan permukaan tanah diatasnya, dimana deformasi yang maksimal hanya akan terlihat sesaat sebelum erupsi gunungapi berlangsung. Sedangkan deflasi adalah penurunan permukaan tanah yang terjadi selama atau sesudah erupsi gunungapi berlangsung, dimana tekanan magma dalam gunungapi melemah dan permukaan gunungapi cenderung kembali ke posisi atau bentuk awalnya. Gejala deformasi tersebut menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunungapi, baik posisi horizonntal maupun posisi vertikal. Pengukuran GPS dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan satelit GPS. Satelit tersebut akan mengirim sinyal- sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band yang disebut dengan L1 Dan L2. Sinyal L1 memiliki frekuensi 1.575,42 MHz dan sinyal L2 memiliki frekuensi 1.227,60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner, yaitu kode-p (P-code) yang merupakan Precise atau Private code dan kode-c/a (C/A-code) yang merupakan Clear Acces atau Coarse Acquisation, sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-c/a. Informasi posisi, kecepatan maupun waktu secara tepat dan teliti diperoleh apabila sinyal- sinyal dari satelit diamati dengan GPS receiver dalam jumlah serta waktu yang cukup. Pemantauan deformasi dengan GPS didasari oleh selisih posisi atau koordinat (X, Y, Z atau L, B, H) dari suatu titik pantau (bench mark) pada pengukuran periode satu waktu dengan pengukuran periode selanjutnya. Pemantauan deformasi dengan GPS dapat di bagi dua yaitu pemantauan secara kontinyu yang merupakan pemantauan terhadap perubahan koordinat beberapa titik yang mewakili sebuah gunungapi dari waktu ke waktu (real time) dan pemantauan secara episodik yang merupakan pemantauan terhadap perubahan koordinat beberapa titik yang mewakili sebuah gunungapi secara berkala dengan metode pengukuran statik. Pemantauan metode GPS menggunakan beberapa alat penerima sinyal (receiver) GPS yang diletakkan pada beberapa titik pantau di punggung dan puncak gunungapi, serta pada suatu pusat pemantau 13

atau stasiun referensi yang merupakan pusat pemroses data. Pusat pemantau atau stasiun referensi adalah suatu lokasi yang koordinatnya telah diketahui dan baiknya berada di kota yang terdekat dengan gunungapi yang diamati, misalnya di pos pengamatan gunungapi. Kemudian, koordinat titik pantau ditentukan secara teliti dengan GPS yang relatif terhadap pusat pemantau dan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara real time. Sehingga data pengamatan GPS dari titik- titik pantau harus dikirimkan secara real time ke pusat pematau untuk diproses bersama dengan data pengamat GPS dari pusat pemantau. Pengiriman data dapat dilakukan dengan bantuan satelit komunikasi maupun telemetri yang memakai gelombang radio. Meskipun demikian, kesimpulan dari perubahan letak atau adanya deformasi perlu diintegrasikan dengan informasi-informasi vulkanologis agar memperoleh hasil yang komprehensif. 8. Analisis dengan Model Mogi Lokasi pusat tekanan gempa dapat diketahui dari model umum Mogi yang menggunakan data vektor pergeseran titik- titik pada tubuh gunungapi yang diamati, sehingga diberikan persamaan sebagai berikut : Gambar 8. Penentuan lokasi pusat tekanan model Mogi 14

Persamaan penentuan lokasi tersebut menggunakan pendekatan Nishi yang menggunakan kesesuaian anatara perubahan panjang baseline yang diamati dengan perubahan panjang baseline yang dihitung dengan model Mogi. Perubahan panjang baseline ( L12) antara titik-1 (x1,y1) dengan titik-2 (x2,y2) dihitung dengan persamaan berikut : dimana L12 obs dan L12 calc adalah perubahan panjang baseline yang diamati dan dihitung, serta σi adalah deviasi standar dari perubahan panjang baseline yang diamati. 15

9. Sudi Kasus 1 Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen berdasarkan Metode Survei GPS Gunungapi Ijen merupakan gunungapi strato berdanau kawah yang terletak di Kecamatan Licin dan Kecamatan Sempol, Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur. Survei GPS yang telah dilaksanakan pada Juni 2002, April 2004, Juni 2004 dan Agustus 2005. Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunungapi dapat berupa penaikan permukaan tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi). Prinsip pemantauan deformasi dengan GPS secara umum adalah pengukuran atau pemantauan posisi suatu titik dengan alat penerima sinyal (receiver) GPS ditempatkan pada beberapa titik pantau yang ditempatkan pada punggung dan puncak gunung yang akan dipantau, serta pada suatu stasion referensi yang dianggap sebagai titik stabil, kemudian dipantau secara periodic. Dari nilai koordinat titik-titik pengamatan GPS di Gunung Ijen dari waktu ke waktu, dapat diturunkan beberapa parameter lainnya, seperti vektor pergeseran titik, perubahan jarak horisontal, perubahan beda tinggi, serta lokasi sumber tekanan; yang kesemuanya bermanfaat untuk mempelajari karakteristik deformasi Gunung Ijen. Gambar 1.1. Deviasi standar komponen titik GPS di Gunung Ijen. Aktifitas Gunungapi : - April Mei 2004 : Peningkatan aktivitas - Oktober 2004 : Puncak aktivitas - Februari 2005 : normal Survei 1&4 normal dan Survei 2&3 peningkatan 16

Pada survey 2&3 terlihat bahwa pusat tekanan semakin mendekati permukaan dan menekan titik-titik PALT dan PDBR ke arah yang berlawanan. Kalau melihat arah vektor pergeseran titik-titik PALT dan PDBR yang berlawan ini, kemungkinan pada periode ini lokasi pusat tekanan sudah berada antara ketinggian titik-titik tersebut. Melihat nilai pergeseran titik-titik PDBR dan PALT yang masing-masing sekitar 20,5 cm dan 9,8 cm, kemungkinan pusat tekanan ini berlokasi lebih dekat ke titik PDBR pada periode ini. Gambar 1.2. Vektor pergeseran horizontal periode April Juni 2004 dan perbubahan tinggi titik amat. Karena vektor GPS hanya merepresentasikan pergeseran dari awal sampai akhir pengamatan secara deskrit, maka nilai vektor pergeseran akan hanya menunjukkan resultan dari kedua proses dan terutama menunjukkan proses relaksasi aktivitas dari Juni 2004 sampai Agustus 2005. Titik-titik pengamatan yang sebelumnya bergeser selama proses peningkatan aktivitas gunungapi, tidak kembali ke posisinya semula. Dari Tabel ini terlihat bahwa setelah aktivitas Ijen mereda dan kembali ke status aktif normal, posisi dari titik-titik IJ01, IJ03 dan PALT pada Agustus 2005 masih berbeda sekitar 1-3 cm untuk komponen horisontal serta sekitar 9-14 cm untuk komponen vertikal, dibandingkan posisinya pada Juni 2002 yang notabene pada saat itu aktivitas Ijen juga berada dalam status aktif normal. 17

Gambar 1.3. Vektor pergeseran horizontal periode Juni 2004 Agustus 2005. Gambar 1.4. Jumlah gempa vulkanik gunung Ijen. 18

10. Studi Kasus 2 Determinasi sumber tekanan dan analisis regangan utama di Gunung Api Papandayan untuk mengetahui korelasi dengan kegempaan Gunung Api Papandayan terletak di sebelah selatan kota Garut, sekitar 70 km dari kota Bandung, Jawa Barat. Berbagai metode pengamatan telah dilakukan dalam mengamati aktivitas Gunung Papandayan ini, baik secara periodik ataupun kontinu. Salah satu metode pengamatan yang dilakukan secara periodik adalah survei GPS (Global Positioning System). Pada dasarnya survei ini dilakukan guna mengetahui pola dan kecepatan deformasi yang terjadi pada tubuh Gunung Papandayan, baik secara horizontal maupun vertikal, dan juga unsur-unsur deformasi lainnya, seperti regangan dan vektor pergeseran. Dari hasil analisis unsur-unsur deformasi ini, dapat diketahui karakteristik deformasi yang terjadi pada gunung api tersebut. Selain itu, dibuat juga pemodelan guna menentukan lokasi dan besarnya sumber tekanan yang menjadi penyebab deformasi di gunung api ini berdasarkan model Mogi. Dengan membandingkan aktivitas gempa dangkal dan karakteristik deformasi hasil estimasi pengamatan survei GPS, baik sebelum, selama, ataupun sesudah letusan, dapat diketahui adanya korelasi antara aktivitas kegempaan dengan karakteristik deformasinya. Dari hasil pengamatan selama delapan kali survei GPS, ternyata deformasi Gunung Api Papandayan memiliki laju yang cepat, menurun dan menaiknya gempa dangkal langsung diikuti dengan terjadinya deflasi dan inflasi. Demikian juga sumber tekanannya bergerak naik turun berarah barat daya - timur laut. Gambar 2.1. Peta lokasi dan potret Gunung Api Papandayan (Abidin, 2003). 19

Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunung api dapat berupa penaikan permukaan tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi) (Gambar 2.2). Dengan memahami tingkat korelasi data deformasi hasil observasi GPS (Global Positioning System) dengan data seismisitas (kegempaan), maka dimungkinkan sistem peringatan dini yang andal, serta sistem mitigasi bencana dari fenomena bencana alam gunung api yang tepat, baik dalam bentuk sistem, maupun rekayasa. Gambar 2.2. Gejala deformasi pada gunung api aktif (Abidin 2001). Dalam penelitian ini penyelesaian masalah didekati dengan mengkombinasikan studi kajian, survei lapangan, serta pengolahan data untuk mendapatkan informasi deformasi gunung api. Beberapa aspek yang akan diteliti, yaitu: - Pemantauan deformasi pada tubuh Gunung Papandayan menggunakan metode survei yang berbasiskan pengamatan satelit GPS. - Studi korelasi data hasil observasi GPS dengan data seismisitas Gunung Papandayan. Prosedur dan Metodologi 1. Pemantauan Deformasi Gunung Api dengan Metode GPS Pemantauan deformasi gunung api dengan menggunakan GPS pada prinsipnya dapat dilakukan secara episodik atau kontinu. Dalam pengamatan secara episodik, koordinat beberapa titik GPS yang dipasang di gunung api, ditentukan secara berkala dalam selang waktu 20

tertentu. Dengan menganalisis perbedaan koordinat pada setiap periode, maka karakteristik deformasi gunung api dapat ditentukan dan dianalisis. Beberapa kelebihan GPS dalam konteks pemantauan deformasi, yaitu: 1. GPS memberikan nilai vektor pergeseran tubuh gunung api dalam tiga dimensi (dua komponen horizontal dan satu komponen vertikal). 2. GPS memberikan nilai vektor pergerakan tubuh gunung api dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal. 3. GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa milimeter, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal 4. GPS dapat dimanfaatkan secara kontinu tanpa bergantung pada waktu (siang maupun malam), dalam segala kondisi cuaca. 2. Pemantauan Aktivitas Gunung Api menggunakan Metode Seismik Pemantauan kegempaan gunung api pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui aktivitas gunung api yang selanjutnya diharapkan dapat memprediksi terjadinya erupsi. Untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas gunung api ini, dilakukan beberapa kegiatan, yaitu: 1. Penentuan frekuensi gempa (f), waktu tiba gelombang P (Tp), dan gelombang S (Ts) atau selisih waktu tiba gelombang S dan P (Ts-Tp) 2. Pembacaan amplitudo maksimum (A maks) dan lama gempa 3. Perhitungan magnitudo gempa (M) hasil 4. pembacaan amplitudo maksimum (Amaks) 5. Perhitungan energi gempa vulkanik (E) berdasarkan harga magnitudo (M) 6. Penentuan magnitudo (M), amplitudo (A) dengan frekuensi kejadian gempa N(A) 7. Penentuan aktivitas seismik tahunan (a) untuk pengamatan T tahun 8. Besarnya frekuensi gempa (f) 21

3. Korelasi Karakteristik Deformasi dan Kegempaan Secara teoretis deformasi gunung api akan berkorelasi dengan seismisitasnya. Meskipun deformasi dan seismisitas gunung api akan berkorelasi, tapi karakteristik dan pola korelasinya akan berbeda bergantung pada struktur geologi serta struktur sistem ventilasi magmanya. Atas pertimbangan itu, maka dalam penelitian ini korelasi hasil kedua metode tersebut akan diteliti, diterapkan, diuji, dan dianalisis. 4. Pelaksanaan dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Survei GPS Survei GPS dilakukan pada titik-titik pengamat-an yang lokasi dan distribusinya ditunjukkan pada Gambar 2.3. Sampai saat ini secara keseluruhan sudah delapan kali survei GPS yang dilakukan di kawasan Gunung Papandayan, (Tabel 1). Semua survei dilakukan oleh tim KK Geodesi ITB bekerja sama dengan PVMBG. Pada Survei kedelapan ini dilakukan penambahan dan pemasangan tujuh titik baru, yaitu CLLY, KMA1 (pengganti KMAS), NGL1 (pengganti NGLK), ALUN, CSRN, SEIS (pengikat-an koordinat seismogram), dan WNGR. Adapun tujuan penambahan ini adalah untuk keperluan penggantian titik-titik monitor lama yang hilang saat terjadi letusan serta densifikasi jaring pemantauan Gunung Papandayan. Gambar 2.3. Stasiun-stasiun pengamatan GPS di Gunung Api Papandayan. 22

Semua survei GPS dilaksanakan dengan menggunakan receiver GPS tipe geodetik dua-frekuensi. Pada empat survei yang pertama digunakan tiga receiver Ashtech Z-XII3 dan dua Leica sistem 300. Pada survei yang kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan digunakan tujuh receiver, yaitu dengan menggunakan tambahan dua receiver yaitu Leica sistem 500. Lama sesi pengamatan GPS pada survei tersebut berkisar sekitar 8 sampai 16 jam. 2. Pengolahan data GPS Pengolahan data kedelapan survei GPS dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ilmiah BERNESSE 4.2 (Beutler et al., 2001). Pengolahan dilakukan secara radial dari titik POS1 sebagai titik referensi untuk perhitungan, dan koordinatnya ditentukan dari titik BAKOSURTANAL sebagai titik geodetik orde-0 dari Jaring Kerangka Geodetik Nasional. Untuk seluruh perhitungan digunakan orbit satelit yang teliti (precise ephemeris), dan residu bias troposfir dan ionosfir diestimasi dalam proses penghitungan. Deviasi standar komponen koordinat titik yang diperoleh dari seluruh delapan survei ditunjukkan pada Gambar 2.4. Secara umum terlihat bahwa tingkat presisi komponen horizontal koordinat (Easting dan Northing) mempunyai deviasi standar lebih baik dari 4 mm, dan secara umum sekitar level 1-2 mm. Sedangkan komponen tinggi elipsoid mempunyai deviasi standar lebih baik dari 7 mm, secara umum sekitar 2-5 mm. 23

Gambar 2.4. Deviasi standar koordinat mencakup 8 survei (Abidin, 2003). 3. Perubahan Koordinat dan Panjang Baseline Dari data koordinat yang diperoleh sepanjang delapan pengamatan, perubahan yang sangat signifikan terjadi pada kala 5-6, ketika terjadi letusan 11 November 2002 (Gambar 2.5). Perubahan vertikal secara positif dan sangat signifikan terjadi pada seluruh titik pantau (BM) pada saat terjadi letusan (kala 5-6), terutama pada titik KWAH, KMAS, dan DPN0, yang berlokasi di sekitar kawah. Kemudian kembali ke posisi semula (berubah negatif) secara bertahap kala 6-7 dan 7-8. Secara horizontal juga deformasi terjadi secara mencolok pada kala 5 6, terutama pada baseline yang berhubungan dengan titik KWAH, KMAS, dan DPN0 (Gambar 7). Gambar 2.5. Perubahan koordinat ttik pengamatan GPS pada arah vertikal (survei 1-8), perubahan signifikan terjadi pada kala 5-6, dimana terjadi letusan pada survei ke-6. 24

Gambar 2.6. Perubahan panjang baseline koordinat titik pengamatan GPS (survei 1-8), tanda panah adalah letusan yang terjadi pada survei ke-6. 25

4. Analisis Vektor Pergeseran Salah satu cara mengetahui pola deformasi yang terjadi pada badan gunung api adalah dengan mempelajari pola vektor pergeseran masing-masing koordinat pengamatan GPS. Arah vektor pergerakan masing-masing kala pengamatan dipisahkan dalam komponen horizontal (northing-easting) (Gambar 2.7) dan komponen vertikal (Gambar 2.8). Gambar 2.7. Vektor pergeseran dalam arah horisontal, deformasi yang signifikan diakibatkan oleh letusan yang terjadi pada survei ke-6. Nampak pada kala 5-6 (periode 11-12 Agustus 2002 sampai 13-19 November 2002), vektor pergeseran maksimum terjadi sebesar 2,5 16 cm pada titik KWAH, KMAS, dan DPN0. 26

Gambar 2.8. Vektor pergeseran dalam arah vertikal, deformasi yang signifikan diakibatkan oleh letusan terjadi pada survei ke-6. Nampak pada kala 5-6 (periode 11-12 Agustus 2002 sampai 13-19 November 2002), perubahan vertikal maksimum terjadi sebesar 28-38 cm pada titik KWAH, KMAS, dan DPN0. 27

5. Analisis Regangan Parameter deformasi Gunung Papandayan ditentukan menggunakan model pendekatan dua dimensi (2D) trilaterasi. Pada masing-masing titik dibuat jaring segitiga yang membentuk trilaterasi Gambar 2.9. Model ini menggunakan asumsi bahwa tensor deformasi merupakan fungsi parameter regangan dan rotasi. Regangan utama perhitungan model ini secara keseluruhan memperlihatkan kecenderungan pola arah regangan yang hampir sama. Gambar 2.9. Orientasi, arah dan besaran regangan utama; tampak regangan utama terjadi sangat besar pada saat letusan 11 November 2002, yaitu kala 5-6 pada areal trilaterasi BMNG-PARK-KWAH. 6. Analisis Sumber Tekanan (Mogi Model) Sumber tekanan pada deformasi Gunung Papandayan diestimasi menggunakan pendekatanmodel Mogi (1958), yang mengasumsikan bahwa kerak bumi merupakan medium setengah elastik dan deformasi yang terjadi disebabkan oleh sumber tekanan berupa bola magma yang terletak pada kedalaman tertentu. Apabila terjadi perubahan hidrostatis pada bola tersebut, maka akan terjadi deformasi secara simetris. Hasil penentuan perkiraan sumber tekanan pada deformasi Gunung Papandayan dapat dilihat pada Gambar 2.10. Lokasi pusat tekanan terbaik ditentukan dengan harga RMS terkecil 28

(Tabel 2). Titik yang menjadi pusat salib sumbu koordinat adalah titik PARK, jadi lokasi pusat tekanan ini relatif terhadap titik pantau PARK. Gambar 2.10. Lokasi pusat tekanan berdasarkan data GPS dengan metode model Mogi. Keterangan Gambar: PT1 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Okt 98 Mar 99, kedalaman 3,2 km PT2 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Mar 99 Des 99, kedalaman 3,2 km PT3 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Des 99 Jun 01, kedalaman 3,0 km PT4 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Jun 01 Agu 02, kedalaman 2,8 km PT5 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Agu 02 Nov 02, kedalaman 1,1 km PT6 = Lokasi pusat tekanan pada kala pengamatan Nov 02 Jun 03, kedalaman 2,9 km 29

Dari keterangan gambar di atas terlihat bahwa kedalaman sumber tekanan bergerak naik menjelang letusan 11 November 2002, dari -3,2 km (PT1) menjadi 1,1 km (PT5), dan bergerak menurun kembali setelah letusan, menjadi -2,9 km (PT6). Selain model Mogi (1958), ada beberapa model lainnya dalam menentukan sumber tekanan, yaitu: model Yokoyama (1968) dan model Line Source (Walsh and Decker, 1971 dan Yamashina, 1986), Untuk yang akan datang akan dicoba menentukan sumber tekanan dengan menggunakan ketiga model tersebut, baik di Gunung Papandayan ataupun gunung api lainnya. 7. Analisis Informasi Kegempaan Data informasi seismisitas Gunung Papandayan diperoleh dari PVMBG Bandung. Adapun ketersediaan data detail hanya ada untuk tahun 2000 sampai dengan 2005. Data tahun 1998 dan 1999 hanya ada jumlah gempa vulkaniknya saja. Sebagai akibatnya tidak dapat dilakukan perhitungan akumulasi energi gempa. Analisis hiposenter tidak mungkin dilakukan karena peralatan seismogram yang digunakan hanya satu komponen. Aktivitas gempa vulkanik sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2005 mengalami kenaikan yang tajam, terutama pada tahun 2002 dimana erupsi terjadi. Dari Januari 2000 sampai dengan Agustus 2005, Gunung Papandayan secara statistik didominasi oleh gempa vulkanik tipe B (dangkal). Analisis lanjut dilakukan dalam selang waktu yang sama antar kala pengamatan GPS, sehingga diharapkan dapat diperoleh pola energi gempa bumi vulkanik dengan fenomena deformasi di permukaan badan gunung api yang terdeteksi melalui pengukuran GPS. Akumulasi energi gempa bumi terbesar adalah pada selang pengamatan kala ke 5-6, yaitu terjadi akumulasi energi sebesar 2,51E+15 erg hanya dalam selang waktu 3 bulan, ketika terjadi erupsi (Gambar 2.11). 30

Gambar 2.11. Statistik akumulasi energi gempa vulkanik dari Januari 2000 sampai dengan Agustus 2005. 8. Analisis Deformasi dan Korelasinya dengan Pola kegempaan a. Analisis Deformasi Komponen Horizontal Vektor pergeseran horizontal yang terjadi antara kala 1 2 semua titik bergeser ke arah timur laut dalam fraksi milimeter. Pada kala 2 3 titik pantau cenderung bergeser ke selatan sampai barat daya, kecuali titik Nangklak (NGLK) yang bergeser ke utara, pergeserannya seragam terjadi dalam fraksi milimeter. Pada kala 3 4 pergeseran yang tejadi terhadap titik titik pantau cenderung mengarah ke utara, kecuali titik Parkir (PARK) dengan besar pergeseran dalam milimeter. Pada kala 4 5 semua titik pantau bergeser ke 31

arah barat daya dengan besaran pergeseran yang lebih besar bila dibandingkan dengan pergeseran yang terjadi pada kala 1 sampai 4, tetapi masih tetap berada dalam fraksi milimeter. Dari seragamnya arah, besar, dan pola pergeseran yang terjadi pada kala 1 sampai 4, dapat diasumsikan bahwa gaya endogen diduga berasal dari pengaruh gerakan sumber tekanan yang sama (penelitian ini tidak menyertakan pengukuran gaya berat, sehingga tidak diketahui pasti penyebab tekanan; gas, air atau magma, penyebab tekanan diduga magma). Keda-laman pusat tekanan yang menimbulkan pergeseran titik pantau pada kala tersebut relatif berada pada kedalaman yang sama, yaitu -3,0 sampai -3,2 km (Gambar 11), sedangkan pergeseran yang terjadi pada kala 4 5 yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan kala sebelumnya dapat disimpulkan karena letak sumber tekanan yang berada pada kedalaman yang berbeda, yaitu -2,8 km di bawah titik PARK. Vektor pergeseran yang terjadi pada kala 5 6, titik pantau bergerak menuju arah timur laut dalam fraksi sentimeter - desimeter kecuali titik BMNG, DPN3, dan DPN5 yang bergeser ke barat laut. Hal ini karena pusat tekanan berada dekat dengan permukaan, tepatnya pada kedalaman -1,1 km (Gambar 11). Pada periode ini gunung api mengalami erupsi. Pada kala 6 7, titik pantau seragam bergeser ke arah barat daya dan barat laut, atau menjauhi titik POS1. Besar pergeseran mencapai sentimeter - desimeter dengan arah pergerakan yang secara garis besar berlawanan arah dengan arah pergeseran pada kala sebelumnya. Hal ini terjadi karena berpindahnya pusat tekanan menjadi lebih dalam dengan kedalaman -2,9 km. Sementara pada kala 7 8, titik pantau secara hampir seragam bergeser ke arah selatan dengan besaran dalam milimeter, dan relatif hampir sama. b. Analisis Deformasi Komponen Vertikal Perubahan ketinggian yang terjadi dengan titik referensi adalah titik POS1 pada kala 1-5 yang memperlihatkan bahwa perubahan yang terjadi pada titik titik pantau seragam tidak melebihi 10 cm, namun pada kala 5-6 semua titik mengalami perubahan tinggi positif yang sangat signifikan mencapai perubahan sebesar +38 cm (KMAS), +29 cm (DPN0), +28 cm (KWAH). Lonjakan perubahan tinggi yang cukup besar ini adalah karena keadaan aktivitas 32

vulkanik di Gunung Papandayan pada survei ke-6 sedang aktif, pusat tekanan cukup dekat dengan permukaan (Gambar 11). Perubahan ketinggian yang terjadi dari titik titik pantau relatif terhadap titik DPN3 memperlihatkan bahwa pada kala 5 6 terjadi inflasi/ekstensi (pembubungan) dengan perubahan ketinggian yang mencapai +38 cm, dan setelah kala tersebut deformasi yang terjadi adalah deflasi/kontraksi (pengkerutan) yang ditandai dengan adanya penurunan ketinggian dari titik pantau. Terlihat bahwa adanya kekonsisten-an deformasi yang terjadi. c. Korelasi Deformasi dan Kegempaan Pada kala 1 2, informasi kegempaan kurang, maka korelasinya tidak dapat diketahui secara jelas. Demikian juga kala 2-3, informasi kegempaan kurang, korelasi tidak jelas. Kala 3-4, rata-rata gempa vulkanik sebesar 108 kejadian perbulan dan total energi 1,2E+16 erg. Korelasinya; inflasi di sekitar kawah dengan arah barat laut - tenggara pada trilaterasi NGLK- BMNG-KWAH (Gambar 10) sebesar 45 μstrain. Kegempaan ini memicu inflasi di sekitar kawah. Kala 4 5, akumulasi energi gempa adalah berkisar 1,47E+16 erg dengan rata-rata kerja- dian gempa vulkanik 193 kejadian perbulan dimana sepanjang perioda ini terjadi 1911 gempa vulkanik B (dangkal). Korelasinya, telah terjadi peregangan pada trilaterasi NGLK-BMNG-KWAH, sebesar 10 μstrain dan BMNG-KWAH-PARK sebesar 25 μstrain arah barat laut - tenggara, dan juga terjadi deflasi dengan besaran yang hampir sama, namun dengan arah tegak lurus terhadap arah peregangan (Gambar 10). Kala 5-6, akumulasi energi adalah 2,51E+15 erg dalam kurun waktu 3 bulan dengan jumlah gempa vulkanik B sebesar 279 (total gempa vulkanik 593). Akumulasi energi ini sangat besar sekali, sehingga menyebabkan terjadinya deformasi yang sangat besar berupa inflasi yang terjadi ke segala arah sebesar 100 μstrain pada trilaterasi BMNG-KWAH-PARK. Hal ini menyebabkan runtuhnya titik pantau NGLK, sehingga trilaterasi NGLK-BMNG-KWAH tidak dapat dianalisis. Kala 6 7, aktivitas seismik dalam selang 7 bulan relatif menurun dibandingkan periode sebelumnya, yaitu rata-rata gempa 87 kali perbulan. Pada kala ini terjadi pembalikan deformasi yang berupa deflasi yang terjadi ke segala arah sebesar 50 μstrain. 33

Antara kala 7 8, yaitu pada bulan Oktober 2004 hingga Juni 2005 sebelum survei ke-8 (Agustus 2005) dilakukan, terjadi peningkatan akumulasi energi gempa secara ekstrim. Akan tetapi deformasi hasil survei ke-8 ini memperlihatkan deflasi yang kecil, sebesar 2 5 μstrain. Hal ini disebabkan oleh deformasi yang terjadi di Gunung Papandayan memiliki laju yang cepat. Menurunnya intenstitas kegempaan langsung diikuti dengan deflasi, se-hingga pada saat survei ke-8 dilakukan, kegempaan sudah kembali normal dan posisi titik-titik pantau yang terdeformasi telah kembali ke posisi semula. Hal ini dibuktikan pula oleh kondisi deformasi saat mendekati letusan, tiga bulan menjelang letusan November 2002, yaitu pada bulan Agustus 2002 saat survei ke-5 dilaksanakan. Deformasi yang terjadi tidak signifikan, berbeda dengan saat survei dilakukan pada waktu periode letusan, ketika deformasi yang terjadi sangat signifikan. Hal ini menandakan bahwa laju deformasi yang terjadi di Gunung Papandayan adalah cepat, dan umumnya mempunyai rheologi bersifat elastis, terutama pada bagian tubuh dan kawah, kecuali titik KWAH mempunyai rheologi plastis yang terbukti dengan tidak kembalinya ke posisi awal walaupun gaya penyebabnya telah menurun. Kesimpulan dan Saran Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Metode survei GPS dengan receiver tipe Geodetik dua frekuensi mempunyai ketelitian yang relatif cukup tinggi (level presisi mm), ditunjang dengan perencanaan survei yang cermat, strategi pengamatan yang ketat, strategi pengolahan data yang baik, serta menggunakan perangkat lunak ilmiah untuk pengolahan datanya. 2. Adanya korelasi yang erat antara aspek geodetis dengan aspek geologi/geofisika di Gunung Papandayan 3. Karakteristik deformasi Gunung Papandayan mempunyai laju deformasi yang cepat, terbukti dengan deformasi yang tidak signifikan tiga bulan menjelang letusan (menjelang letusan, Agustus 2002 atau survei ke-5), dan menjadi sangat besar saat terjadi letusan November 2002. Demikian sebaliknya, deformasi tidak signifikan pada kala 34

7 8 (pasca letusan, Juni 2003 Agustus 2005), p adahal pada kurun waktu tersebut terjadi peningkatan akumulasi energi gempa yang ekstrim (Oktober 2004 - Juni 2005) atau dua bulan sebelum survei ke-8 dilak-sanakan. Ini berarti deformasinya berbanding linier dengan intensitas kegempaan, akan tetapi dengan laju yang cepat. 4. Laju deformasi yang cepat ini karena adanya pusat tekanan yang dangkal (1,1 km) dan rheologi tubuh Gunung Papandayan yang lebih bersifat elastis. 5. Deformasi Gunung Papandayan berada pada ambang aktivitas normal jika regangan pada trilaterasi NGLK-BMNG-KWAH dan BMNG-KWAH-PARK sebesar < 50 μstrain. 6. Kala 1-4, sumber tekanan memperlihatkan pergerakan timur - barat (PT1, PT2, dan PT3), sedangkan kala 4-7, arah gerakan timur laut - barat daya (PT4, PT5, dan PT6). Saran yang diusulkan dalam kaitannya dengan analisis deformasi Gunung Papandayan adalah: 1. Pengamatan seismik secara kontinu menggunakan minimal tiga stasiun dalam kaitannya dengan penentuan hiposenter, untuk menduga keber-adaan sumber tekanan atau dapur magma(?). 2. Untuk mengetahui korelasi energi dan de- formasi yang terjadi diperlukan pemantauan geometrik secara kontinu seiring dengan pemantauan kegempaan. 3. Laju deformasi yang cepat menjadikan diper- lukannya pengamatan deformasi episodik dengan lebih sering, terutama saat aktivitas kegempaannya meningkat tajam. 4. Seperti diketahui bahwa proses hidrothermal - mempengaruhi kegiatan Gunung Papandayan. Maka jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pengamat-an gaya berat secara simultan dengan GPS. 35

REFERENSI: A.R Lowry, M.W Hamburgern C.M Meertens, E.G Ramos.2000. GPS Monitorig of Crustal Deformation at Taal Volcano Philippines. Journal of Volcanology and Geothermal Resesarch Hasanuddin dkk.2006. Karakteristik Deformasi Gunungapi dalam Periode 2002-2005 Hasil Estimasi Metode Survei GPS.Bandung.PROC. ITB Sains & Tek, Vol. 39 A, No. 1&2, 2007, 1-22 http://syaefaanjar.blogspot.co.id/2014/03/sekilas-mengenai-gps.html http://dokumen.tips/documents/makalah-55a8248055d7c.html http://yoghaken.blogspot.co.id/2015/05/survey-gps-metode-statik-dengan-gps.html http://volcanoindonesia.blogspot.co.id/2009/03/deformasi-gps-gunungapi_27.html 36