BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB II IMPLEMENTASI PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB IV. A. Sanksi hukum terhadap tindak pidana bagi orang tua atau wali dari. pecandu narkotika yang belum cukup umur menurut pasal 86 Undangundang

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

OLEH : Ni Ketut Arie Setiawati. A.A Gde Oka Parwata. Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

PENJATUHAN PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA 1 Oleh : Gabriela Megawaty Runtunuwu 2

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pasal 5: Setiap orang dilarang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MEKANISME PERLINDUNGAN DAN PENANGANAN KEKERASAN TERHADAP ANAK. Grasia Kurniati, S.H, M.H, Wulansari, S.H, M.H. Tim Abdimas Pusat Studi Gender

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab XII : Pemalsuan Surat

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

Transkripsi:

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Ketentuan Hukum dan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Narkotika Hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. 20 Bab I pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang pada intinya menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan istilah hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Beberapa ahli hukum mengemukakan mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana, diantaranya : 1. Sudarto, menyatakan bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. 20 Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, 2003, hal. 35

2. Sedangkan tentang hukum, Simorangkir dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyebutkan bahwa hukum sebagai peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. 21 Pada zaman sekarang ini, tindak pidana semakin meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dari semakin banyaknya kasus-kasus yang dihadapi, khususnya tentang penyalahgunaan narkotika. Dalam melaksanakan putusan, hakim berpedoman kepada Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika sebagai dasar pertimbangannya memberikan sanksi. Masyarakat modern sekarang ini dimana kehidupan itu sudah sangat rumit, maka diperlukan aturan-aturan yang mengatur kehidupan para warga atau masyarakat, apalagi jika diamati bahwa dirasakan adanya perubahan-perubahan kondisi sosial dalam masyarakat begitu cepat. 22 Akan tetapi, jika dilihat secara sosiologis bahwa masyarakat pun harus bertanggung jawab pula atas timbulnya kejahatan tersebut, sebab masyarakat itu juga merupakan korban dari kejahatan, dengan pengertian bahwa tidak mungkin terjadi kejahatan jika tidak menimbulkan korban, meskipun ada beberapa kejahatan yang tidak menimbulkan korban di pihak lain (crime without victim), seperti perjudian, prostitusi dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. 23 21 Ibid, hal. 36 22 Ibid, hal. 26 23 Ibid, hal. 26

Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika disamping mengatur penggunaan narkotika, menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang berhubungan dengan narkotika, yang bilamana dilakukan merupakan perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tergolong tindak kejahatan. Adapun pasal-pasal yang menjadi acuan atau dasar pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi terhadap pelaku adalah sebagai berikut : Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas diterangkan bahwa kegiatan menanam, memiliki sampai dengan menyediakan narkotika golongan I merupakan tindak pidana. Hal tersebut disamakan dengan kegiatan produksi dimana di dalam ketentuan umum Undang-undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan bahwa kegiatan produksi merupakan kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami ataupun sintesis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika. Pasal 112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Penjelasan terhadap pasal di atas, narkotika golongan I yang bukan tanaman memiliki arti bahwa narkotika tersebut dihasilkan melalui proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pasal 113 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan tentang pengetian impor adalah kegiatan memasukkan narkotika dan prekusor narkotika ke dalam daerah pabean sedangkan mengekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekusor narkotika dari daerah pabean. Kegiatan impor dan ekspor narkotika dan prekusor narkotika tersebut dapat di legalkan melalui surat persetujuan impor dan ekspor oleh menteri.

Pasal 114 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan bahwa pasal diatas mengacu pada peredaran narkotika. Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 menjelaskan tentang peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatandan pengemangan ilmu dan teknologi. Dan pasal 38 Undang-undang nomor 38 Tahun 2009 menerangkan bahwa setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Pasal 115 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan. Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menjelaskan, transito narkotika harus dilengkapi dengan dokmen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara yang mengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.

Pasal 116 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal di atas mengacu pada sesorang yang melakukan perbuatan tindak pidana narkotika dengan melibatkan orang lain untuk melakukan kejahatan tersebut, dan yang dimaksud dengan cacat permanen dalam pasal tersebut adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang berifat tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan berdasarkan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Pasal 117 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal di atas tidak jauh berbeda maknanya dengan Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Hanya saja dalam Pasal 117 dimaksudkan kepada narkotika untuk golongan II, sedangkan dalam pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dimaksudkan kepada narkotika golongan I. Pasal 118 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal ini juga tidak jauh berbeda dengan Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Perbedaannya hanya terletak pada penggolongan narkotika. Dalam Pasal 113 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 mengacu pada narkotika golongan I Pasal 119 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal ini mengacu pada peredaran narkotika untuk golongan II, dimana dalam Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 telah dijelaskan terlebih dahulu mengenai peredaran narkotika. Hanya saja dalam Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 mengacu pada narkotika untuk golongan I. Pasal 120 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kegiatan transito harus dilengkapi dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika mendapat izin dari pemerintah yang mengekspor narkotika tersebut dan sebaliknya untuk kegiatan transito impor narkotika, juga harus mendapat izin dari pemerintah pengimpornya.

Pasal 121 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal di atas ditujukan terhadap orang yang mengikutsertakan orang lain untuk secara bersama-sama melakukan tindak pidana narkotika, serta mengakibatkan orang lain tersebut mati atau cacat permanen, cacat fisik, dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat disembuhkan atau dipulihkan. Pasal 122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal di atas tidak jauh berbeda pengertiannya dengan Pasal 112 dan 117 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Hanya saja pada pasal 122 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengacu untuk jenis narkotika golongan III sedangkan Pasal 122 dan 177 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengacu kepada narkotika untuk golongan I dan II. Pasal 123 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal di atas di tujukan terhadap narkotika untuk golongan III. Agar hal diatas dapat dilegalkan, maka stiap kegiatan diatas haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan yang sah dari menteri Pasal 124 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal di atas dikhususkan terhadap peredaran narkotika untuk golongan III saja, berbeda dengan Pasal 133 dan 118 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009. Pasal tersebut mengacu pada penggolongan narkotika untuk golongan I dan II.

Pasal 125 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Kegiatan mentransito dalam pasal diatas ditujukan kepada jenis narkotika untuk golongan III dan menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 agar kegiatan diatas dapat dilegalkan, haruslah setiap kegiatan tersebut mendapatkan izin dari pemerintah yang melakukan kegiatan tersebut. Pasal 126 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal diatas berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 ditujukan kepada seorang yang melakukan tindak pidana narkotika yang melibatkan orang lain dalam kegitannya atau menimbulkan cacat permanen, cacat fisik atau pun cacat mental yang bersifat tetap dan tidak dapat dipulihkan/disembukan. Pasal 127 (1) Setiap Penyalahguna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Jadi dari ketentuan pasal undang-undang narkotika di atas jelas terlihat ada beberapa macam perbuatan yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkotika. Akan tetapi, untuk memperkecil peluang penyalahgunaan narkotika oleh orang atau badan/lembaga, mereka di beri hak oleh undang-undang untuk berurusan dengan pemanfaatan atau penggunaan narkotika, dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 24 tersebut pada : Pasal 13 1. Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu bpengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Disamping pasal-pasal di atas yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam melakukakan putusan terhadap terdakwa yang melakukan penyalahgunaan narkotika, penulis juga ingin sedikit mengutarakan tentang hak kewajiban hakim dalam melaksanakan tugasnya. Di dalam buku Ooemar Seno Adji, faktor peradilan dalam soal rechtsvinding yang merupakan suatu terminologi yang bersumber pada Prof. Paul Scholten, seperti diketahui menggambarkan tentang pembentukan undang-undang dan hakim (pidana) sebagai aplikator atau penerap hukum, 24 Ibid, hal. 33

yang tidak mengecualikan persoalan penghukuman dalam hal ini. Diketahui bahwa hakim sekarang dipandang bukan lagi sebagai des etres ininimees yang prononces les paroles de la loi : loi yang sewaktu masa Montesquieu dipandang lengkap dan sempurna. 25 Lama kelamaan kita terpental jauh dari gambaran montesquiue,dimana hakim itu tugas nya adalah sekedar subsumsi dari fakta, di bawah peraturan perundang-undangan yang hendak diterapkan, sekedar mengadakan suatu syllogisme dengan mayor dan minor conclusionnya, dan dengan demikian sekedar melaksanakan schablonenarbeit. Open system van het recht seperti di introdusir oleh Paul Scholten yang menumbuhkan soal rechtvinding. Ia melebarkan soal-soal metode interprestasi, tidak saja pada metode klasik seperti interprestasi gramatica, historisch systematisch, analogisch (yang tidak diperkenankan dalam hukum pidana). Bahkan Scholten berbicara soal interprestasi sosiologisch, jika ia mencari sesuatu pemecahan yang memuaskan dan menyesuaikan, sedapat mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hukum pidana dihadapkan kepada kita interprestasi metode baru yang kita kenal sebelumnya. Interprestasi merupakan suatu banding terhadap perundang-undangan yang baru yang belum berlaku bagi kasus yang bersangkutan, adalah suatu metode yang kita kenal dalam yurisprudensi pada waktu-waktu ahkir ini. Interprestasi perbandingan hukum khususnya dalam hukum lalu lintas pidana adalah suatu metode yang tidak begitu asing lagi dan yang oleh Mahkamah Agung pernah dipergunakan sebagai landasan kasasi dalam perkara mengenai haatzaai-artikelen. Suatu tujuan restriktif dan bukan extensi 25 Oemar Senoadji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta : Erlangga, 1979, hal. 4

diperkirakan oleh hakim dengan mempergunakan interprestasi creatif, dimana ia membaca dalam suatu peraturan pidana suatu unsur, yang tidak begitu tegas dicantumkan di dalamnya. 26 B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Sanksi Terhadap Terdakwa ke Lembaga Rehabilitasi Setiap perbuatan tindak pidana pada akhirnya bermuara pada sanksi. Sanksi tersebut disusun dan diberikan kepada terdakwa sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi, sebelum sanski tersebut diberikan kepada terdakwa, terlebih dahulu seorang hakim harus melakukan perumusan sanksi mengacu pada undang-undang yang ada sebagai dasar untuk penjatuhan vonis. Dalam hal ini, penulis ingin mengutarakan sedikit tentang penyebab hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika. Penulis juga ingin mengutarakan kapan hakim menjatuhkan sanksi penjara atau rehabilitasi terhadap seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika. Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa : Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 26 Ibid, hal 4

Pasal 55 1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56 1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. 2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Kemudian di dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 dinyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Selanjutnya, didalam Rancangan KUHP Tahun 2008 dalam pasal 110 juga telah mengatur mengenai tindakan rehabilitasi tersebut yaitu : 1. Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang : a. Kecaduan alcohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan/atau; b. Mengidap kelainan seksual atau mengidap kelainan jiwa 2. Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah ataupun swasta. 27 Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam Rancangan Undang-undang KUHP (RUU KUHP) tahun 2008 dengan Undang-undang No. 35 tahun 2009 adalah dimana di dalam RUU KUHP mengatur mengenai sanksi tindakan dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana kecanduan narkotika. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. 27 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 25

Selain hal di atas, hakim juga memberikan sanksi terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika berupa penjara. Disini hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan alat bukti yang ada yang diberikan oleh penyidik kepada jaksa. Dimana terdakwa termasuk dalam golongan pemakai, pecandu, atau pengedar ataupun produsen. Berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2009, dijelaskan bahwa : Pasal 113 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 117 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Dari isi pasal di atas jelas terlihat bahwa pasal tersebut ditujukan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika yang tergolong sebagai pengedar ataupun produsen. Sanksi yang diberikan dari pasal ini jauh lebih berat bila dibandingkan kepada pasal yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap terdakwa yang tergolong pemakai atau pun pecandu. Jadi, secara umum hakim berpedoman terhadap alat bukti yang diberikan penyidik dan tuntutan jaksa melalui surat dakwaan terhadap terdakwa, apakah seorang terdakwa tergolong sebagai pengedar/prosuden atau tergolong pemakai/pecandu. Di dalam bukunya, Oemar Seno Adji menulis tentang kebebasan hakim dalam batas maxima dan minima. Diketahui bahwa dalam hukum pidana positif kita, ada terdapat hukum penitensier yang berlaku bagi mereka yang belum dan sudah dewasa. Disadari pula bahwa dua ploblematik maupun jenis hukuman yang terdapat bagi mereka yang belum dewasa, belum terdapat suatu pembaharuan hukum di dalam KUHP, sedangkan kinder-strafrecht ataupun yang kadang-kadang dinamakan jeugdbescermingsrecht sudah mendapat pemecahan legislatif dalam negara-negara lain seperti di Eropa, Australia, ataupun di negara-negara Asia lain. 28 Stelsel mengenai hukuman-hukuman pokok dan hukuman tambahan dalam KUHP kita tampaknya hidup brlangsung secara tak berubah, bagi pelanggar hukum yang dewasa. Di introdusir hukum pokok baru dalam KUHP, ialah hukuman tutupan, seperti dikemukakan oleh Undang-undang No. 20 Tahaun 1946 dan 28 Oemar Senoadji. Op.Cit, hal. 6

diperlakukan sejak tanggal 31 Oktober 1946. Dinyatakan dengan tegas, bahwa hukuman tutupan adalah hukuman pokok baru, sedangkan hukuman itu dapat dijatuhi oleh hakim dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. 29 Selain rehabilitasi dan hukuman penjara yang diberikan oleh hakim terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika, dikenakan pidana tambahan. 30 Ketentuan ini sesuai menurut ketentuan Pasal 153 undang-undang No. 35 Tahun 2009, pada intinya mengemukakan bahwa masih tetap diberlakukannya undang-undang lama sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu, sehubung dengan sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebutkan dalam Bab XV Undang-undang No. 35 Tahun 2009 yang terdapat pada Pasal 111 sampai Pasal 147 adalah tindak kejahatan,kecuali tersebut dalam Pasal 148 adalah merupakan pelanggaran. Di dalam Pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUHP dan diatur pula secara tegas dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009. Termasuk di dalamnya mengenai hukuman Pidana Mati, yang secara tegas di dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 dalam Pasal 113 dan beberapa pasal kemudian. Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan, bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jejaring pengedarnya. 29 Ibid, hal. 6 30 Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, 2003, hal. 47

Oleh karena akibat perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa. Negara tetanga seperti Singapura, Malaysia, dan Hongkong sudah menerapkan hukuman mati tersebut. Dan Pada akhirnya, sepeti lazimnya berat ringan penjatuhan pidana sangat tergantung kepada proses sidang peradilan dan keyakinan serta penilaian hakim yang melakukan pemeriksaan atas suatu perkara pidana. 31 31 Ibid, hal. 47