Kajian Potensi Penerimaan Perpajakan Berdasarkan Pendekatan Makro Ringkasan eksekutif Peran perpajakan sangat penting bagi APBN. Oleh karena itu, perlu diketahui sejauhmana penerimaan perpajakan dapat ditingkatkan secara optimal, dengan mempertimbangkan segala aspek ekonomi maupun kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, perlu diketahui seberapa besar potensi penerimaan perpajakan di Indonesia. Secara sektor yang belum sektoral, perlu juga diketahui sektor-sektor yang telah memberikan kontribusi terhadap penerimaann perpajakan secara optimal (leading sectors) maupun sektor- memberikan kontribusi secara optimal terhadap penerimaan perpajakan dan juga belum optimal dalam pemungutan pajaknya (undertax). Analisis secara sektoral sangat diperlukan sebagai dasar untuk perumusan kebijakan perpajakan dalam upaya meningkatkan penerimaan, dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing sektor. Untuk itu, perlu disusun suatu kajian mengenai potensi penerimaan perpajakan di Indonesia berdasarkan pendekatan makro, dengan ruang lingkup kajian terbatas pada potensi PPh nonmigas dan PPN yang memberikan kontribusi lebih dari 80 persen terhadap total penerimaan perpajakan. Kajian Potensi Penerimaan Perpajakan di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Makro bertujuan untuk: (1) Mengembangkan metode perhitungan estimasi potensi penerimaan PPh non migas dan PPN secara sektoral di Indonesia; (2) Menghitung potensi PPh non migas dan PPN secara sektoral di Indonesia; (3) Menghitung daya pajak di Indonesia dengan membandingkan realisasi penerimaan dengan potensinya untuk mengetahui seberapa besar tax gap yang ada pada masing-masing sektor; dan (4) Menentukan sektor prioritas dalam upaya penggalian potensi penerimaan perpajakan. Data yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan PPh nonmigas pada masing-masingg sektor adalah data rasio surplus usaha dan rasio upah gaji dari Tabel Input Output Tahun 2008, data PDB berdasarkan klasifikasi lapangan usaha (PDB sektoral) periode 2010 s.d. 2012, data komposisi PDB berdasarkan skala usaha tahun 2010, dan realisasi penerimaan PPh nonmigas secara sektoral 1
periode 2010 s.d. 2012. Data rasio upah gaji dan surplus usaha digunakan untuk memecah data PDB sektoral menjadi taxbase PPh orang pribadii (OP) dan taxbase PPh badan. Data komposisi PDB berdasarkan skala usahaa digunakan untuk menghitung sektor informal yang akan dikeluarkan dari perhitungan tax base PPh badan. Dalam hal ini diasumsikan sektor informal diwakili oleh proporsi skala usaha mikro, kecuali untuk sektor keuangan dan jasa perusahaan yang diasumsikan semuanya sektor formal. Data realisasi penerimaan PPh secara sektoral dipakai untuk menghitung daya pajak dari masing-masing sektor yang didapatkan dari perbandingan antara a realisasi dan potensi PPh nonmigas. Sementara itu, data yang dipakai untuk menghitung potensi PPN adalah data konsumsi dan impor yang berasal dari data PDB berdasarkan penggunaan tahun 2010 s..d. 2012, dan data konsumsi pada Tabel IO yang akan dipakai sebagai proxi untuk memecah data konsumsi nasional menjadi data konsumsi sektoral. Secara garis besar, perhitungan potensi PPh badan diawali dengan menghitung taxbase yang berasal dari PDB sektoral yang telah dikeluarkan kontribusi PDB yang berasal dari skala usaha mikro. Kemudian dihitung besaran PDB sektoral yang diasumsikan menjadi bagian dari laba dengan cara mendekomposisinya berdasarkan rasio surplus usaha dan total output sektoral yang berasal dari Tabel IO. Hasil dari dekomposisi dianggap sebagai laba yang kemudian dikalikan dengan tarif tunggal PPh Pasal 25/9 badan sebesar 25 persen untuk mendapatkan hasil perhitungan potensi PPh Badan secaraa sektoral. Sementara itu, perhitungan potensi PPh OP dilakukan dengan cara menghitung taxbase awal yang berasal dari PDB sektoral yang didekomposisi berdasarkan rasio upah gaji terhadap nilai tambah bruto. Besaran taxbase awal ini mencerminkan besaran PDB yang diasumsikan menjadi bagian dari upah dan gaji yang menjadi dasar pengenaan PPh OP dengan tarif progresif. Untuk memecah taxbase awal tersebut ke dalam empat layer pendapatan sesuai dengan UU No 38 Tahun 2008 tentang (SAKERNAS), yang Pajak Penghasilan, maka digunakan hasil survei tenaga kerja setelah diolah dapat ditentukan porsi tenaga kerja yang mempunyai pendapatan di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) maupun di atas PTKPP secara sektoral. Untuk selanjutnya, pendapatan di atas PTKP tersebut diklasifikasikan ke dalam kelompok penghasilan kena pajak (PKP) layer 1 dengan besaran sampai dengan Rp50 juta per tahun, layer 2 untuk PKP di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta per tahun, layer 3 untuk PKP diatas Rp250 juta s.d. Rp500 juta per tahun, dan layer 4 untuk PKP di atas Rp500 juta per tahun. 2
Selanjutnya empat layer pendapatan ini akan menjadi taxbase PPh OP yang kemudian akan dikalikan dengan tarif yang berlaku di masing-masing layer untuk mendapatkan hasil perhitungan potensi PPh OP sektoral. Berdasarkan UU No 36 Tahun 2008, terhadap layer 1 dikenakan tarif sebesar 5%, layer 2 tarif 15%, layer 3 tarif 25% dan layer 4 tarif 30%. Perhitungan potensi PPN dilakukan dengan cara mencari taxbase PPN yang berasal dari nilai konsumsi dan impor yang berasal dari PDB berdasarkan penggunaan. Untuk memecah besaran konsumsi dan impor tersebut ke dalam 9 sektor yang ada, maka dipakai proxy yang berasal dari Tabel IO untuk memperoleh taxbase PPN secaraa sektoral. Mengingat tidak seluruh komoditas terkena PPN, hanya bagain tertentu dari taxbase PPN sektoral tersebut yang menjadi objek kena PPN dengan menggunakan asumsi yang bersumber dari perhitungan di Tabel IO. Selanjutnya potensi PPN dihitung dengan jalan mengalikan taxbase dengan tarif PPN yang berlaku yaitu 10%. Sementara itu, daya pajak dihitung dengan jalan membandingkan realisasi penerimaan pajak secara sektoral dengan hasil perhitungan potensi penerimaan pajak masing-masingg sektor. Dari perhitungan yang dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut: Potensi Penerimaan PPh Nonmigas, Potensi Penerimaan PPN, dan Daya Pajak Tahun 2012 (Trilliun Rupiah) Sektor PPh Badan & OP PPN Potensi Realisasi ITCR Potensi Realisasi ITCR 1 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan. 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri 4 Listrik, Gas, dan Air Minum 5 Konstruksi 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa 0 Unknown 26,26 140,96 120,28 9,13 47,39 50,56 31,33 62,20 50,59 10,10 43,48 56,38 5,55 2,95 16,27 17,91 54,54 19,35 155,08 38,5% 30,8% 46,9% 60,8% 6,2% 32,2% 57,2% 87,7% 38,2% 7,55 9,57 203,22 2,54 52,28 75,33 32,06 16,79 19,55 3,87 4,84 165,26 1,22 26,28 72,62 20,93 10,27 16,14 16,16 51,3% 50,6% 81,3% 47,9% 50,3% 96,4% 65,3% 61,2% 82,6% Total 538,71 381,61 70,8% 418,89 337,59 80,6% Sumber: DJP dan Hasil Perhitungan *Unknown: termasuk didalamnyaa adalah penerimaan yang masuk dalam klasifikasi kegiatan yang tidak jelas batasannya, klasifikasi error dan penerimaan PPh nonmigas lainnya 3
Berdasarkan tabel hasil perhitungan tersebut, secara total, potensi PPh nonmigas di Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan cukup besar, yaitu sekitar Rp538 triliun. Dibandingkan dengan realisasinya yang sebesar Rp381,6 triliun, diketahui daya pajak PPh nonmigas pada tahun 2012 adalah sebesar 70,8 persen. Artinya, realisasi penerimaan PPh nonmigas pada tahun 2012 baru mencakup 70,8 persen dari potensi yang ada, sehingga masih terdapat tax gap sebesar 29,2 persen untuk digali lebih lanjut. Secara sektoral, tiga sektor yang diperkirakan mempunyai potensi terbesar dalam memberikan kontribusi terhadap PPh badan adalah (1) sektor pertambangan dan penggalian, (2) sektor industri pengolahan, dan (3) sektor keuangan dan jasa perusahaan. Sementara itu, tiga sektor yang diperkirakan mempunyai potensi terbesar dalam memberikan kontribusi terhadap PPh OP adalah (1) sektor jasa, (2) sektor industri pengolahan, dan (3) sektor keuangan dan jasa perusahaan. Secara total, tiga sektor yang mempunyai potensi PPh nonmigas terbesar adalah (1) Sektor Industri, (2) Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan (3) Sektor Keuangan dan Jasa Perusahaan. Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajaknya, diketahui bahwa daya pajak Pertambangan dan Sektor Industri hanya sebesar 46,9 persen dan Sektor Penggalian hanya 30 persen. Hal ini berarti realisasi penerimaan PPh nonmigas untuk kedua sektor tersebut masing-masing baru mencakup 46,9 persen dan 30 persen dari potensi yang ada. Dengan demikian masih ada tax gap sebesar 53,1 persen di Sektor Industri, dan tax gap sebesar 70 persen di sektor pertambangan dan penggalian yang masih berpotensi untuk digali. Dengan mempertimbangkan besarnya potensi yang masih ada, dan masih relatif rendahnya daya pajak, maka Sektor Industri dan Sektor Pertambangan dan Penggalian hendaknya menjadi priorotas utama dalam upaya penggalian potensi penerimaan PPh nonmigas. Sementara itu, dari hasil perhitungan diperkirakan potensi PPN pada tahun 2012 adalah sekitar Rp419 triliun, sedangkan realisasi pada tahun itu mencapai Rp337,6 triliun. Dengan demikian, daya pajak PPN pada tahun 2012 adalah sebesar 80,6 persen, yang berarti masih terdapat tax gap sebesar 19,4 persen untuk lebih dioptimalkan. Secara sektoral, tiga sektor yang diperkirakan mempunyai potensi PPN terbesar yaitu (1) sektor industri, (2) sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan (3) sektor konstruksi. Dengan membandingkan dengan realisasinya, 4
masing mempunyai daya pajak 81,3 persen dan 96,4 diketahui bahwa daya pajak sektor konstruksi hanya sebesar 50,3 persen. Sedangkan Sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran masingpersen. Dengan mempertimbangkan potensi pajak yang masih besar dan dayaa pajak yang relatif rendah, sektor konstruksi hendaknya menjadi prioritas utama dalam upaya penggalian potensi penerimaan perpajakan. Namun mengingat potensi sektor industri yang sangat besar, yaitu sekitar Rp200 triliun, menjadikan sektor industri juga layak dijadikan sektor prioritas penggalian potensi meskipun sudah mempunyai daya pajak diatas 80 persen, karena masih terdapat potensi PPN sekitar Rp38 triliun yang masih mungkin didapatkan. Secara umum, hasil dari kajian ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, meskipun hasil perhitungan daya pajak dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih mempunyai potensi untuk meningkatkan penerimaan perpajakannya. Namun demikian, upaya penggalian potensi untuk meningkatkan penerimaan perpajakan tersebut hanya dapat terwujud apabila Pemerintah mampu menghilangkan kendala-kendala yang ada. a. Secara ekonomi, Indonesia tidak mempunyai kendala yang cukup berarti karena Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup stabil dan mempunyai potensi berkambang di masa yang akan datang. Akan tetapi, secara nonekonomis Indonesia masih banyak menghadapi kendala, yaitu: (1) sempitnya basis pajak (narrowed tax base), (2) rendahnya tingkat kepatuhan WP (low tax compliance), (3) terbatasnya kuantitas dan kualitas SDM petugas pajak, (4) terbatasnya biaya pemungutan pajak (cost of tax collection) yang berpengaruh terhadap terbatasnya kapasitas infrastruktur perkantoran dan IT, dan (5) terbatasnya data pendukung yang akan dipakai sebagai bahan pemeriksaan. Dengan mempertimbangkan potensi penerimaan PPh nonmigas dan PPN yang masih mungkin untuk dapat ditingkatkan, serta memperhatikan segala kendala yang ada, rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan untuk dapat melakukan upaya penggalian potensi dalam rangka peningkatan penerimaan perpajakan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas sistem administrasi perpajakan yang mampu mengadministrasikan semua data badan usaha, baik yang skala besar maupun kecil, serta data perorangan. 5
2. Peningkatan koordinasi antar Kementerian dan lembaga terkait atau pemerintah daerah untuk memperoleh data wajib pajak terutama wajib pajak badan. Selain itu, perlu melakukan peningkatan kordinasi dengan BPS untuk melihat potensi- potensi ekonomi khususnya di daerah. 3. Peningkatan kegiatan intensifikasi dan optimalisasi perpajakan terhadap wajib pajak badan skalaa kecil dan menengah disamping tetap meningkatkan perhatian terhadap wajib pajak badan skala besar, terutama di daerah-daerah. Upaya ini harus diiringi dengan peningkatan kemampuan petugas pajak dalam melakukan mapping potensi ekonomi di wilayahnya. 4. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi atau menghilangkan kendala- a. Segera mewujudkan sistem single identity number (SIN) melalui kendala non ekonomis dalam hal pemungutan pajak, antara lain: integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan NPWP sehingga dapat meningkatkann jumlah WP, dan mewujudkan adanya kesepakatan agar SIN dapat dipakai sebagai identitas diri untuk semua aktivitas penduduk. b. Meningkatkann koordinasi antar institusi atau kelembagaan dalam hal tukarmenukar data, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No 28 tahun 2007, tentang Ketentuan Umum Perpajakan, pasal 35A, bahkan apabila dimungkinkann sebaiknya ada pinalti bagi institusi yang tidak bersedia memberikan data-data terkait data perpajakan. c. Mempertegas upaya penegakan hukum baik bagi wajib pajak yang melakukan penghindaran dan petugas pajak yang melakukan pelanggaran (korupsi). d. Memperluas edukasi perpajakan kepada masyarakat e. Meningkatkann kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, khususnya untuk Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. f. Meningkatkann kuantitas dan kualitas infrastruktur dalam pelayanan administrasi perpajakan, terkait dengan kualitas fisik (kantor operasional dan perlengkapann pendukungnya) maupun kualitas IT. 6
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kurang optimalnya suatu sektor, tidak hanyaa dari faktor-faktor yang bersifat ekonomis namun juga nonekonomis. 7