BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual dan romantik terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Homoseksual yang berjenis kelamin wanita disebut lesbian, dan homoseksual yang berjenis kelamin pria disebut gay. Di Indonesia, homoseksualitas telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa Timur, dimana banyak remaja-remaja yang berparas tampan, menjadi pasangan seksual para "Warok" dan mereka disebut "Gemblakan" (Dermatoto, 2010). Saat ini di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas homoseksual, diantaranya seperti Yayasan Pelangi Kasih (YKP), GAYA PRIAngan-Bandung, GAYA Nusantara-Surabaya dan GAYA Dewata-Bali. Banyak homoseksual telah menyadari orientasi seksualnya pada saat remaja yang dimulai dengan ketertarikan pada sesama jenis. Keberadaan homoseksual ditengah-tengah masyarakat dalam interaksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma dan nilai-nilai budaya. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam dari lingkungan disekelilingnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada pula yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan
seperti dikucilkan, disisihkan, dijauhi oleh keluarga, teman, lingkungan kerja dan masyarakat (Dermatoto, 2010). Gambaran diatas adalah risiko-risiko yang sering dihadapi oleh homoseksual yang berada ditengah-tengah masyarakat ketika menjalin interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya seorang homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah atau mengucilkan anaknya (Dermatoto, 2010). Tingginya tingkat penolakan keluarga dan masyarakat secara signifikan berhubungan dengan kesehatan mental yang buruk. Berdasarkan perbandingan rasio, kalangan homoseksual yang melaporkan tingkat penolakan keluarga yang lebih tinggi selama masa remaja berisiko 8,4 kali lebih besar telah melakukan percobaan bunuh diri, 5,9 kali lebih mungkin untuk depresi dan 3,4 kali lebih mungkin untuk terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang, dibandingkan dengan tingkat penolakan keluarga rendah atau tidak ada sama sekali (Haas, 2011). Homoseksual memiliki cara-cara tertentu untuk menanggulangi keadaan stres dan depresi. Cara-cara tersebut misalnya berserah diri pada Tuhan, membuat tempat ibadah sehingga mereka bisa melakukan ibadah secara rutin, mengembangkan suatu penilaian bahwa perilaku seksual mereka sebagai takdir, nasib atau garis hidup dan lain-lain. Religius adalah faktor yang paling penting memberikan makna terhadap nilai-nilai, perilaku dan pengalaman manusia. Praktek religius mungkin bisa
digunakan untuk coping atau adaptasi terhadap situasi kehidupan yang penuh tekanan. Meski ada banyak faktor diantaranya genetik, perkembangan dan lingkungan yang berkontribusi terhadap kemunculan dan perjalanan depresi, kegagalan untuk melakukan coping yang lebih baik, maka religiusitas mungkin bisa membantu mencegah timbulnya depresi atau mempercepat kesembuhan episode depresi (Haas, 2011) Komitmen religius telah dikaitkan dengan penurunan prevalensi depresi. Penelitian menunjukan bahwa selain memberikan perlindungan dari depresi, tingkat komitmen religius yang lebih tinggi mungkin memberikan perlindungan dari bunuh diri, bentuk outcome depresi yang paling berat. Walaupun belum didapatkan angka pasti berapa kasus kejadian bunuh diri pada homoseksual yang mengalami depresi, hal ini memerlukan perhatian yang serius karena banyaknya kasus depresi pada homoseksual (Husain, 2005). Keuntungan dari penilaian tingkat religius pasien dengan depresi dan pemikiran bunuh diri, dokter dapat menggunakan kepercayaan ini dalam implementasi rencana intervensi yang sesuai dengan nilai agama pasien (Husain, 2005). Penelitian-penelitian dan literatur sebelumnya telah menemukan bahwa religius berperan dalam mengatasi depresi karena religius dapat berfungsi sebagai coping dan dukungan sosial pada penderita depresi. Bunuh diri merupakan bentuk outcome depresi yang paling berat. Walaupun belum didapatkan angka pasti berapa kasus kejadian bunuh diri pada homoseksual
yang mengalami depresi, tetapi hal ini memerlukan perhatian yang serius karena banyaknya kasus depresi pada homoseksual. Penulis belum menemukan suatu penelitian yang secara khusus membahas tentang bagaimana hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada homoseksual, sehingga hal ini menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Masalah ini mendorong peneliti untuk meneliti hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada komunitas homoseksual GAYA Dewata Bali. 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada homoseksual di komunitas homoseksual GAYA Dewata Bali. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat religiusitas dengan depresi pada homoseksual di komunitas GAYA Dewata Bali. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak, berupa pengetahuan tentang korelasi antara tingkat religiusitas dengan depresi pada homoseksual di komunitas homoseksual GAYA dewata Bali.
1.4.2 Manfaat praktis Diharapkan dengan penelitian ini, deteksi dini dan perumusan strategi dalam penatalaksanaan depresi pada homoseksual di komunitas homoseksual GAYA Dewata Bali menjadi lebih komprehensif sehingga angka prevalensi depresi pada homoseksual dapat ditekan.