HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Unit Percobaan

dokumen-dokumen yang mirip
ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya patah tulang. Selama ini osteoporosis indentik dengan orang tua tapi

METODE PENELITIAN. Desain Penelitian

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi dapat digolongkan sebagai minuman

LATIHAN, NUTRISI DAN TULANG SEHAT

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan pembentukan tulang. Salah satu penyakit yang

Calcium Softgel Cegah Osteoporosis

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsumsi kalsium..., Endang Mulyani, FKM UI, 2009

METABOLISME KALSIUM DAN TULANG Diposkan oleh -UkhtiLina- on Selasa, 03 Maret 2009

BAB I PENDAHULUAN. Kalsium adalah mineral yang paling banyak kadarnya dalam tubuh manusia

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density.

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada masa remaja puncak pertumbuhan masa tulang (Peak Bone Massa/PBM)

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak di dalam tubuh, sekitar 99%

BAB I PEN DAHULUAN. prasarana pendidikan yang dirasakan masih kurang khususnya didaerah pedesaan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tulang dan osteoporosis di kehidupan selanjutnya (Greer et al,2006)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ini adalah dengan cara mengumpulkan massa tulang secara maksimal selama masa

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK DENGAN KESEGARAN JASMANI ANAK SEKOLAH DASAR DI SD N KARTASURA I SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan urine merupakan pemeriksaan yang sering diminati dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perlu

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 1, April 2012 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.

GIZI WANITA HAMIL SEMESTER VI - 6 DAN 7

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN. zat seng / zinc. Padahal zinc merupakan co-faktor hampir 100 enzim yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pencegahannya. Osteoporosis merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kopi merupakan sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan biji

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas hidup manusia, baik kemajuan dalam bidang sosioekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GIZI SEIMBANG BAGI ANAK REMAJA. CICA YULIA, S.Pd, M.Si

PENDAHULUAN. pangan nasional. Komoditas ini memiliki keragaman yang luas dan berperan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan

GIZI. Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

Nutrisi untuk Mendukung Tenaga Kerja yang Sehat dan Produktif. dr. Yulia Megawati

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang

BAB II KEROPOS TULANG (OSTEOPOROSIS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan sebelum mengisi aktivitas yang lain setiap hari. Sarapan dibutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mampu

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan LAKI-LAKI PEREMPUAN

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG NUTRISI BAGI KESEHATAN DI SMA KEMALA BHAYANGKARI 1 MEDAN TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian R. Mia Ersa Puspa Endah, 2015

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini masalah pangan dan gizi menjadi permasalahan serius di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB V PEMBAHASAN. jam yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari latihan dan hari tidak

I PENDAHULUAN. perubahan pola makan yang ternyata berdampak negatif pada meningkatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

Osteoporosis. Anita's Personal Blog Osteoporosis Copyright anita handayani

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh

OBAT YANG MEMPENGARUHI HOMEOSTASIS MINERAL TULANG

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur. telur dihasilkan bobot telur berkisar antara 55,73-62,58 gram.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan kota metropolitan yang terbagi. Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Kep.Seribu (Riskesdas 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

Mitos dan Fakta Kolesterol

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur. diperkirakan akan meningkat pada tahun 2025 yaitu 73,7 tahun.

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa remaja memberikan dampak pada masalah kesehatan. Salah satu

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Unit Percobaan Karakteristik unit percobaan yang diambil dalam penelitian ini meliputi usia saat mengikuti penelitian, daerah asal dan rata-rata jumlah kiriman uang dari orang tua setiap bulan. Jumlah unit percobaan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 55 orang. Data-data dari hasil penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel. 7 Karakteristik unit percobaan Karakteristik n % Usia : 17 tahun 18 tahun 19 tahun Daerah asal : Jawa Sumatera Rata-rata jumlah kiriman uang dari orangtua/bulan : < Rp. 300.000,- Rp. 300.000,- s.d. Rp. 450.000,- > Rp. 500.000,- 1 17 37 45 10 35 13 7 1,8 30,9 67,3 81,8 18,2 63,6 23,7 12,7 Usia Unit percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa putra Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor yang pada saat penelitian dilakukan bertempat tinggal di Asrama Putra TPB IPB. Kisaran usia unit percobaan adalah berkisar antara 17 19 tahun. Berdasarkan kisaran tersebut, kelompok usia yang terbanyak adalah kelompok 19 tahun, diikuti selanjutnya kelompok 18 tahun dan yang terkecil adalah kelompok usia 17 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok usia remaja. Menurut WHO (1989), dalam Wall, (1998), remaja adalah mereka yang berusia antara 10 hingga 24 tahun. Daerah Asal

Unit percobaan yang terpilih berasal dari pulau Jawa dan Sumatera. Jumlah terbanyak berasal dari pulau Jawa (Jabodetabek, Banten, Jabar, Jateng, Jatim), sedangkan lainnya dari pulau Sumatera (Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Lampung). Pemilihan unit percobaan ini didasarkan atas beberapa kriteria yang telah ditentukan (seperti yang tertulis pada metode penelitian). Dengan demikian terpilihnya unit percobaan dari daerah-daerah tersebut terjadi hanya secara kebetulan saja. Walaupun unit percobaan berasal dari beberapa daerah yang berbeda, akan tetapi secara umum mereka tidak dapat mewakili etnis tertentu. Hal ini karena sebagian dari mereka hanya merupakan perantau atau ikut orang tua yang pindah tempat tugas atau karena hal-hal lainnya. Jumlah Uang Kiriman Orang Tua Uang kiriman orang tua merupakan tumpuan utama unit percobaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari data yang dikumpulkan, rata-rata uang kiriman yang diterima setiap bulannya adalah sebesar Rp. 298.545,- dengan kisaran antara Rp. 100.000,- hingga Rp. 450.000,-. Sebagian besar unit percobaan hanya menerima uang kiriman < Rp. 300.000,-. (63,6 %). Hanya sebagian kecil yang menerima kiriman sebesar > Rp. 500.000,-. Dengan uang kiriman dari orang tua tersebut (pada F dan H), mereka harus benarbenar hemat dalam pengeluarannya agar uang yang ada cukup hingga kiriman berikutnya datang. Dari wawancara yang dilakukan secara acak, mereka sering membatasi porsi makan setiap harinya, khususnya pada pagi hari. Bagi mereka hal ini tidak menjadi masalah karena sudah terbiasa sejak di rumah orang tua mereka. Akibat dari pola makan tersebut, apabila dilihat dari Indek Massa Tubuh (IMT) pada saat sebelum penelitian dilaksanakan, mereka sudah termasuk kategori kurus (IMT<18,5) karena kurangnya asupan gizi yang mereka terima (Lampiran 10). Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Konsumsi Zat Gizi Zat gizi dan energi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Kartasapoetra dan Marsetyo 2002). Selain itu, konsumsi zat gizi juga berdampak lebih luas pada kehidupan manusia. Menurut Taniguchi dan Wang (2003), selain terhadap kesehatan, konsumsi zat gizi akan berpengaruh juga pada produktivitas, penampilan akademis dan pendapatan seseorang. Zat gizi Tabel 8 Rata- rata konsumsi zat gizi setiap kelompok unit percobaan Perlakuan H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi (kkal) Pra penelitian 1269 1447 1349 1374 1308 1332 Saat penelitian 1842 1688 2012 1795 1819 1924 Protein (g) Pra penelitian 39,9 43,1 39,8 39,3 38,8 38,2 Saat penelitian 58,3 57,8 69,2 50,5 57,5 63,8 Kalsium (mg) Pra penelitian 166,8 151,3 165,0 166,2 167,3 163,8 Saat penelitian 558,0 885,4 1191,1 497,9 759,3 1051,5 Fosfor (mg) Pra penelitian 528,7 553,2 546,1 528,1 538,5 523,4 Saat penelitian 814,0 1032,5 1271,5 785,0 1024,8 1273,7 Vitamin D (ug) Pra penelitian 1,0 0,8 1,1 0,9 1,1 1,0 Saat penelitian 5,9 8,7 11,5 5,9 8,8 11,5 Vitamin C (mg) Pra penelitian 16,4 15,7 18,1 17,6 16,3 20,5 Saat penelitian 27,6 35,7 45,5 29,2 37,2 47,0 Besi (mg) Pra penelitian 5,4 5,7 6,3 7,1 6,6 5,6 Saat penelitian 7,7 8,5 8,8 7,9 8,3 8,8 H1 = Pemberian susu berkalsium tinggi 250 ml (diminum 1 X sehari @ 250 ml) H2 = Pemberian susu berkalsium tinggi 500 ml (diminum 2 X sehari @ 250 ml) H3 = Pemberian susu berkalsium tinggi 750 ml (diminum 3 X sehari @ 250 ml) F1 = Pemberian susu segar 250 ml (diminum 1 X sehari @ 250 ml) F2 = Pemberian susu segar 500 ml (diminum 2 X sehari @ 250 ml) F3 = Pemberian susu segar 750 ml (diminum 3 X sehari @ 250 ml) Dari Tabel 8 terlihat bahwa pada saat penelitian jumlah konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan pra penelitian (sebelum penelitian). Hal ini karena selain dari

kontribusi susu perlakuan, asupan gizi juga berasal dari adanya kegiatan pemberian makanan tambahan (feeding program) serta adanya penyuluhan gizi. Imbangan zat gizi yang perlu diperhatikan adalah imbangan antara zat kalsium dengan fosfor (Ca/P). Pada AKG 2004, imbangan yang dianjurkan antara kalsium dengan fosfor untuk remaja adalah 1 : 1 (usia 16 18 tahun) dan 1 : 0,75 (usia 19 29 tahun). Menurut Eastwood (2003), fosfor merupakan komponen penting dalam pembentukan struktur kristal tulang bersama kalsium. Kebutuhan fosfor yang dianjurkan diperkirakan adalah seimbang dengan kalsium. Metz et al (1993), menyatakan bahwa dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa imbangan kalsium yang lebih rendah dari fosfor menyebabkan terjadi hiperparatiroidisme ringan, akan tetapi hasil-hasil penelitian ini masih belum konsisten. Dari hasil penelitian ini imbangan konsumsi fosfor lebih tinggi daripada kalsium pada pra penelitian, akan tetapi saat penelitian, imbangan antara kalsium dengan fosfor menjadi lebih baik. Pada perlakuan H1, imbangan kalsium dan fosfor adalah 1 : 3,2 pada awal penelitian, akan tetapi setelah penelitian imbangan kalsium dan fosfor menjadi 1 : 1,5. Selanjutnya imbangan kalsium dan fosfor dari kelompok penelitian lainnya yaitu 1 : 3,7 (H2 awal), 1 : 1,7 (H2 akhir) ; 1 : 3,3 (H3 awal), 1 : 1,1 ( H3 akhir) ; 1 : 3,2 (F1 awal), 1 : 1,6 (F1 akhir) ; 1 : 3,2 (F2 awal), 1 : 1,3 (F2 akhir) dan 1 : 3,2 (F3 awal), 1 : 1,2 (F3 akhir). Dari data tersebut, terlihat bahwa konsumsi fosfor pada umumnya selalu lebih tinggi daripada konsumsi kalsium. Hal ini antara lain karena bahan pangan yang dikonsumsi banyak yang mengandung fosfor daripada kalsium. Menurut Eastwood (2003), fosfor banyak tersedia pada seluruh bahan pangan alami. Fosfor pada umumnya terdapat pada semua sel, sehingga hampir semua bahan pangan mengandung fosfor. Imbangan (rasio) antara kalsium dengan fosfor yang disarankan masih belum konsisten. Pada orang dewasa, rasio kalsium dan fosfor yang berkisar antara 0,1 : 1 hingga 2,4 : 1 tidak berpengaruh terhadap keseimbangan maupun penyerapan kalsium (IOM 1997). Kelebihan fosfat dapat mempengaruhi penyerapan besi, tembaga dan seng. Kelebihan fosfat jarang terjadi karena kelebihan fosfor dikeluarkan melalui urine secara efisien (Soekatri dan Kartono, 2004). Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Tingkat konsumsi gizi adalah adalah perbandingan antara jumlah zat gizi atau energi yang dikonsumsi terhadap angka kecukupan gizi atau energi yang dianjurkan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa tingkat konsumsi gizi unit percobaan pra penelitian masih di bawah tingkat konsumsi zat gizi normal (< 70 %). Tabel 9 Rata- rata tingkat konsumsi zat gizi kelompok unit percobaan (% AKG) Zat gizi Perlakuan H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi Pra penelitian 49,3 56,2 52,4 53,4 50,8 51,7 Saat penelitian 71,5 65,5 78,1 69,7 70,6 74,7 Protein Pra penelitian 63,9 69,0 63,7 62,9 62,1 61,2 Saat penelitian 93,3 92,4 110,7 80,8 92,0 102,1 Kalsium Pra penelitian 18,5 16,9 18,3 18,5 18,6 18,2 Saat penelitian 62,0 98,4 132,3 55,3 84,4 116,8 Fosfor Pra penelitian 66,1 69,1 68,3 66,0 67,3 65,4 Saat penelitian 101,7 129,1 158,9 98,1 128,1 159,2 Vitamin D Pra penelitian 19,8 15,9 22,1 17,9 22,0 19,9 Saat penelitian 118,8 174,9 229,7 118,9 176,3 230,8 Vitamin C Pra penelitian 27,4 26,1 30,2 29,3 27,1 34,1 Saat penelitian 46,1 59,4 75,9 48,7 62,0 78,3 Besi Pra penelitian 38,3 40,8 44,8 51,0 47,2 40,3 Saat penelitian 54,9 61,0 63,1 56,1 59,4 62,6 Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa ternyata sebagian besar tingkat konsumsi zat gizi unit percobaan pra penelitian termasuk dalam kategori defisiensi yaitu berada di bawah 70% (Depkes 1996). Defisiensi zat gizi merupakan masalah yang harus diberi perhatian khusus pada remaja, mengingat pada masa ini sedang terjadi masa pertumbuhan optimal. Saat penelitian, tingkat konsumsi zat gizi secara umum meningkat sehingga mencapai kondisi gizi yang baik (>70%) khususnya pada tingkat konsumsi energi, protein, kalsium, fosfor dan vitamin D. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan yang diberikan pada unit percobaan memberikan kontribusi yang menguntungkan. Terjadinya

peningkatan ini, seperti halnya pada jumlah konsumsi, bukan hanya berasal dari kontribusi zat gizi susu yang diberikan, akan tetapi juga berasal dari adanya pemberian makanan tambahan lain selama penelitian berlangsung (feeding program). Akan tetapi, pada kelompok tingkat konsumsi vitamin C secara umum masih di bawah normal dan pada tingkat konsumsi zat besi pada seluruh kelompok juga masih di bawah normal (<70%). Hal ini terjadi karena susu yang diberikan bukan merupakan sumber utama vitamin C dan zat besi yang dapat dilihat dari kontribusi vitamin C dan zat besi yang lebih rendah daripada kontribusi pada zat gizi lainnya (Tabel 10 ). Tabel 10 Kontribusi zat gizi susu perlakuan pada unit percobaan (% AKG) Zat Gizi Kontribusi (% AKG) H1 H2 H3 F1 F2 F3 Energi 5,1 10,1 15,2 6,9 13,8 20,8 Protein 15,7 31,3 47,0 14,2 28,3 42,5 Kalsium 36,4 72,8 109,2 30,0 60,0 90,0 Fosfor 27,8 55,6 83,4 27,0 54,1 81,1 Vitamin D 53,0 106,0 159,0 34,0 68,0 102,0 Vitamin C 9,5 19,0 28,5 10,0 20,0 30,0 Besi 3,7 7,3 11,0 3,6 7,1 10,7 Energi dan protein. Energi dan protein merupakan dua faktor penentu kesehatan yang penting. Energi digunakan oleh seluruh tubuh sebagai bahan bakar untuk kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan. Protein berfungsi utama sebagai zat gizi yang bertugas untuk membentuk dan memperbaiki jaringan tubuh. Di samping fungsi utamanya, protein juga membantu sebagai sumber energi. Setiap gram protein menghasilkan rata-rata 4 kilo kalori. Energi dari protein dibutuhkan terutama apabila tubuh memerlukan energi lebih banyak serta apabila kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak dalam makanan belum mencukupi. Dari Tabel 9 terlihat bahwa tingkat konsumsi energi dan protein meningkat setelah diberi perlakuan (F dan H). Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok tanpa perlakuan (TP) yaitu terjadi penurunan tingkat konsumsi gizi (Lampiran 7). Kondisi ini wajar terjadi karena pada kelompok ini tidak diberikan perlakuan, sehingga tingkat konsumsi zat gizi mereka juga rendah.

Kalsium, fosfor dan besi. Mineral-mineral ini termasuk zat gizi yang penting dalam pembentukan tulang. Dalam matriks tulang, kalsium merupakan komponen yang terbesar. Untuk membentuk struktur tulang dan metabolisme kalsium, mineral-mineral lain juga diperlukan seperti halnya fosfor dan zat besi (Tucker 2003). Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium yang terdapat dalam tubuh dan bersama-sama dengan kalsium terikat dalam kerangka tulang (Ilich dan Kerstetter 2000). Pada kelompok mineral (kalsium, fosfor dan besi) juga terlihat bahwa kelompok yang mendapat perlakuan (F dan H) mengalami peningkatan dalam tingkat konsumsi zat gizi. Sebaliknya pada kelompok tanpa perlakuan (TP) tingkat konsumsi zat gizi mengalami penurunan (Lampiran 8). Kondisi ini terjadi karena zat gizi pada kelompok perlakuan, selain diperoleh dari makanan sehari-hari, zat gizi juga diperoleh dari kontribusi susu perlakuan. Vitamin D dan Vitamin C. Merupakan dua vitamin yang dikenal berperan dalam proses pembentukan tulang. Pada umumnya yang menjadi perhatian utama adalah vitamin D dan hubungannya dengan penyakit osteoporosis. Vitamin C juga dikenal berperan dalam pembentukan tulang dan kolagen (Tucker 2003). Sebagaimana dengan zat gizi yang disebutkan sebelumnya, tingkat konsumsi gizi vitamin D dan C pada kelompok perlakuan (F dan H) juga memperlihatkan peningkatan, sedangkan pada kelompok tanpa perlakuan (TP) pada tingkat konusmsi vitamin C mengalami penurunan (Lampiran 9). Peningkatan tingkat konsumsi vitamin D terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin C. Tingginya peningkatan ini antara lain karena kontribusi vitamin D dari susu perlakuan yang cukup tinggi (Tabel 10). Kadar Kalsium Darah Kalsium dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan normal dan pembentukan kerangka (Nordin 1997). Hasil dari penelitian-penelitian intervensi dan cross sectional study melaporkan adanya pengaruh positif kalsium pada kepadatan tulang anak-anak dan remaja (Dawson-Hughes 1996). Tabel 11 Rata-rata kadar kalsium darah awal dan akhir penelitian Perlakuan Kadar kalsium darah (mg/dl)

Awal Akhir Selisih H1 9,18 9,74 0,56 H2 9,39 9,87 0,48 H3 9,83 9,91 0,08 F1 9,26 9,59 0,33 F2 9,52 9,58 0,05 F3 9,63 9,79 0,16 Rata-rata kadar kalsium darah dari setiap perlakuan berkisar dari 9,18 mg/dl hingga 9,91 mg/dl (Tabel 11). Konsentrasi ini masih berada dalam kisaran normal kadar kalsium darah. Kadar kalsium darah normal adalah berkisar antara 9,50 mg/dl hingga 10,4 mg/dl. Kekurangan kalsium (hipokalsemia) apabila kadar kalsium darah <8,5 mg/dl dan kelebihan kalsium (hiperkalsemia) apabila mempunyai kadar >10,5 mg/dl (Sauberlich 1999). Kadar kalsium darah pada akhir penelitian terlihat lebih tinggi daripada saat awal penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian ini kadar kalsium darah unit percobaan dapat terjaga dengan baik, sehingga tidak terjadi hipokalsemia. Pada kelompok tanpa perlakuan (TP), tidak terjadi peningkatan kadar kalsium darah (Lampiran 11), kondisi seperti ini apabila terus berlangsung akan rawan terhadap resiko terjadinya hipokalsemia. Kadar kalsium darah seperti yang terdapat pada Tabel 11 hanya merupakan nilai dari hasil analisis yang diperoleh berdasarkan kelompok perlakuan dan bukan menggambarkan nilai kadar kalsium darah akibat pengaruh dari setiap perlakuan yang diberikan. Nilai kadar kalsium darah tersebut merupakan hasil yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Untuk mengetahui faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh terhadap kadar kalsium darah tersebut dapat dilihat dari hasil analisis statistika yang dilakukan (ANCOVA dan model linier). Tabel 12 Sidik peragam kadar kalsium darah Sumber Keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F hitung Peluang >F

Model S V(S) X 8 X 13 X 17 X 27 Galat 9 (4) 38 2,24638744 0,43510208 0,38771458 0,04342403 0,09452717 0,81878596 0,46683361 6,22366048 0,24959860 0,43510208 0,09692865 0,04342403 0,09452717 0,81878596 0,46683361 0,16378054 1,52 2,66 0,59 0,27 0,58 2,70 2,85 0,1748 tn 0,1114 tn 0,6706 tn 0,6096 tn 0,4521 tn 0,0813 tn 0,0995 tn Total 47 8,47004792 S = Jenis susu V(S) = Volume susu tersarang dalam jenis susu X 8 = Kadar kalsium darah awal X 13 = Tingkat konsumsi kalsium total (%AKG) X 17 = Tingkat konsumsi vitamin D total (%AKG) X 27 = Tingkat konsumsi kalsium non-susu (%AKG) tn = Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) Berdasarkan hasil analisis kovarian (ANCOVA) kadar kalsium darah pada penelitian ini tidak dipengaruhi nyata (p>0,05) oleh jenis dan volume susu yang diberikan maupun faktor-faktor pengaruh lain yang dianalisis (Tabel 12). Akan tetapi dari hasil ini belum dapat diketahui jenis dan volume susu maupun faktor lain yang sebenarnya berpengaruh terhadap kadar kalsium darah unit percobaan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut maka analisis dilanjutkan melalui pendekatan model linier. Melalui analisis model linier akan dapat dilihat hubungan matematis antara pemberian susu dengan kepadatan tulang pinggang akhir, kontribusi susu perlakuan terhadap kepadatan tulang pinggang akhir serta melalui analisis ini juga dapat dibandingkan pengaruh dari setiap taraf pemberian susu terhadap kepadatan tulang pinggang akhir. Dari hasil analisis model linier baik pada kelompok pemberian susu berkalsium tinggi maupun pemberian susu segar, pada penelitian ini juga tidak terdapat pengaruh nyata (p>0,05) pemberian susu perlakuan maupun peubah independen lainnya terhadap kadar kalsium darah. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak terdapat faktor yang berpengaruh menonjol terhadap kadar kalsium darah unit percobaan. Kadar kalsium darah pada kondisi normal selalu dipelihara oleh berbagai faktor sehingga tetap dalam jumlah yang diperlukan tubuh, hal ini bertujuan agar tubuh tidak mengalami kekurangan kalsium (hipokalsemia) ataupun kelebihan kalsium (hiperkalsemia).

Menurut Sauberlich (1999), kadar kalsium serum dikontrol secara ketat oleh berbagai asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh dan dipertahankan dalam batasan yang sempit. Kontrol dilakukan oleh berbagai faktor yang antara lain termasuk 1,25- dihidroksikolkalsiferol, hormon paratiroid, kalsitonin, fosfor, protein dan estrogen. Faktor-faktor yang berperan dalam pengaturan kalsium dalam darah antara lain adalah vitamin D dan hormon paratiroid. Vitamin D yang paling penting adalah vitamin D 3 yaitu kolekalsiferol. Sebagian besar bahan ini dibentuk di dalam kulit akibat dari radiasi sinar ultraviolet matahari pada 7-dehidrokolesterol. Vitamin D 3 kemudian menjadi 25- hidroksikolekalsiferol melalui proses dalam hati. Apabila asupan vitamin D 3 berlebihan, maka 25-hidroksikolekalsiferol akan melakukan efek hambatan ke hati. Selanjutnya 25- hidroksikolekalsiferol melalui suatu proses dalam ginjal menjadi bentuk 1,25- dihidroksikolekalsiferol yang dibantu oleh aktifasi dari hormon paratiroid. 1,25- dihidroksikolekalsiferol mempunyai efek meningkatkan penyerapan kalsium dari usus melalui epitel usus yang ditransfer ke plasma darah. Apabila konsentrasi kalsium dalam plasma berlebih, maka akan menimbulkan efek hambatan pada hormon paratiroid dalam mengaktivasi ginjal dalam pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol. Proses ini terus berlangsung sehingga dalam kondisi normal kadar kalsium darah akan tetap stabil. Kepadatan Tulang Tulang merupakan suatu jaringan yang dinamis yang melakukan pembentukan dan pembongkaran (penyerapan) setiap saat melalui suatu proses yang disebut dengan remodelling tulang. Aktivitas pembentukan tulang dilakukan oleh sel yang disebut dengan osteoblas dan pembongkaran tulang dilakukan oleh osteoklas. Peningkatan atau pengurangan kepadatan tulang tergantung pada perbedaan keseimbangan sel-sel tersebut. Kepadatan tulang juga tergantung dari asupan gizi dari makanan, hormon dan aktivitas fisik (Eastwood 2003). Komposisi tulang terdiri dari 35% garam-garam mineral (terutama kalsium dan fosfor), 20% bahan organik (terutama kolagen) dan 45% air (Eastwood 2003). Menurut Broto (2004), kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi mineral (70%). Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas serta matriks tulang (98%) yang

terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein non-kolagen (5%) seperti osteokalsin, osteoniktin, proteoglikan tulang, protein morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang. Substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) yang terdiri dari Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Pada tahap awal produksi tulang, osteoblas akan mensekresi molekul-molekul kolagen (kolagen monomer) dan substrat dasar (terdiri dari cairan ekstraseluler dan proteoglikan). Molekul-molekul kolagen dengan cepat berpolimerisasi untuk membentuk serat-serat kolagen dan jaringan akhir yang terbentuk adalah osteoid (bahan seperti tulang rawan). Saat osteoid terbentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid yang selanjutnya disebut sebagai osteosit. Dalam waktu beberapa hari sesudah osteosid terbentuk, garam-garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat-serat kolagen. Pengendapan pada awalnya terbentuk pada interval di sepanjang setiap serat kolagen, membentuk sarang-sarang kecil yang dengan cepat memperbanyak diri dan tumbuh dalam beberapa hari, dan beberapa minggu kemudian terbentuk hasil akhir yaitu kristal hidroksiapatit yang terutama terdiri dari kalsium dan fosfor. Dalam proses ini, garam kalsium yang pertama diendapkan bukan kristal hidroksiapatit, akan tetapi adalah senyawa amorf (bukan kristal) yang diduga campuran dari beberapa garam. Selanjutnya melalui proses substitusi dan penambahan atom-atom, atau melalui proses reabsorpsi dan pengendapan kembali, garam-garam ini diubah menjadi kristal hidroksiapatit dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian garam-garam ini masih berada dalam bentuk amorf. Kondisi ini penting karena dengan demikian garam-garam ini dapat dengan cepat diabsorpsi sewaktu diperlukan tambahan kalsium dalam cairan ekstraseluler. Garam kristal hidroksiapatit merupakan garam kristal utama yang terdapat pada tulang. Proses pengendapan tulang dilakukan oleh osteoblas secara terus menerus dan diabsorbsi oleh osteoklas juga secara terus menerus (proses remodelling tulang ). Osteoblas ditemukan pada permukaan luar dan pada bagian dalam rongga tulang. Aktivitas osteoblastik dalam jumlah kecil terjadi secara terus menerus pada semua tulang hidup (sekitar 4% dari seluruh permukaan tulang orang dewasa pada setiap waktu) sehingga secara konstan sedikitnya akan terbentuk beberapa tulang baru. Selanjutnya

tulang diabsorbsi secara terus menerus oleh osteoklas. Osteoklas biasanya beraktivitas kurang dari 1% permukaan tulang orang dewasa. Absorpsi tulang segera terjadi sewaktu berdekatan dengan osteoklas. Osteoklas mengeluarkan suatu penonjolan seperti vilus membentuk batas yang berkerut berdekatan dengan tulang. Vili tersebut mengeluarkan dua substansi yaitu enzim proteolitik dan beberapa macam asam (asam sitrat, asam laktat). Enzim mencernakan atau melarutkan matrik organik tulang, sedangkan asam melarutkan garam-garam tulang. Sel-sel osteoklastik juga menangkap partikel-partikel matrik tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya juga melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah (Guyton dan Hall 1997). Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai umur 40 tahun pada pria dan umur 30-35 tahun pada wanita. Walaupun demikian, tulang yang hidup akan selalu mengadakan remodelling dan selalu memperbaharui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu dalam keadaan seimbang dan disebut dengan coupling. Proses ini memungkinkan aktivitas formasi tulang sebanding dengan resorpsi tulang. Proses ini berlangsung selama 12 minggu pada usia muda dan 16 20 minggu pada usia menengah atau lanjut. Laju remodelling adalah 2 10% massa tulang per tahun (Broto 2004). Dalam keadaan normal, kecepatan pengendapan dan absorpsi (penyerapan) tulang tidak berbeda satu dengan lainnya, sehingga massa tulang tetap konstan. Pada umumnya, massa osteoklas dalam jumlah sedikit akan tetapi pekat. Osteoklas akan menyerap tulang dalam waktu sekitar 3 minggu dengan membentuk suatu terowongan berdiameter 0,2 mm hingga 1 mm dengan panjang beberapa milimeter. Setelah 3 minggu, osteoklas menghilang dan selanjutnya terowongan tadi diisi oleh osteoblas dan dimulai pembentukan tulang baru. Pengendapan tulang berlangsung selama beberapa bulan dan setiap tulang yang baru diletakkan pada lapisan berikutnya dari lingkaran konsentris (lamella) pada permukaan dalam rongga tersebut hingga akhirnya rongga tersebut terisi semua (Guyton dan Hall 1997). Selanjutnya menurut Guyton dan Hall (1999) bahwa pengendapan dan absorpsi tulang berhubungan dengan pengaruh konsentrasi kalsium pada pengaturan pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol. Konsentrasi 1,25-dihidroksikolekalsiferol dipengaruhi

secara terbalik oleh konsentrasi kalsium plasma. Apabila konsentrasi kalsium plasma tinggi akan menekan pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol sehingga menurunkan absorpsi kalsium dari usus, tulang dan ginjal, sehingga konsentrasi ion kalsium menjadi normal kembali. Sebaliknya apabila konsentrasi kalsium dalam darah menurun, antara lain akibat kurang asupan kalsium, maka akan meningkatkan pembentukan 1,25- dihidroksikolekalsiferol yang selanjutnya dapat meningkatkan absorpsi kalsium dari tulang. Apabila hal ini terus berlangsung, maka tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah (osteoporosis). Kepadatan tulang pada saat remaja merupakan salah satu faktor penting pada kesehatan tulang di usia lanjut. Menurut Whiting et al. (2002), tidak tercapainya kepadatan tulang yang optimal pada saat remaja akan berkontribusi pada rendahnya kepadatan tulang dan menyebabkan terjadinya osteoporosis di usia lanjut. Pada penelitian ini diamati kepadatan tulang bagian pinggang, punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul, dan bagian kaki. Kepadatan tulang normal adalah > 0,833 g/cm 2, penderita osteopenia mempunyai kepadatan tulang antara 0,833 0,648 g/cm 2 dan disebut osteoporosis apabila kepadatan tulang mempunyai nilai < 0,648 g/cm 2 (WHO 1994 dalam Anonim 2003). Kepadatan Tulang Pinggang Kepadatan tulang pinggang mendapat perhatian khusus pada pengukuran kepadatan tulang untuk anak-anak dan remaja (hingga 20 tahun). Hal ini terutama karena dihubungkan dengan kejadian kerapuhan tulang pada tulang pinggang sehingga mudah bengkok dan akhirnya tubuh menjadi cenderung bongkok pada saat usia lanjut. Dengan demikian, diperlukan pemeliharaan kesehatan tulang sejak usia dini agar proses kerapuhan tulang tidak cepat terjadi sehingga akan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis. Berdasarkan kriteria terjadinya kerapuhan tulang, kepadatan tulang pinggang unit percobaan baik sebelum maupun sesudah penelitian dari rata-rata kelompok perlakuan (Tabel 13) belum terdapat yang menderita penyakit tulang (osteopenia, osteoporosis). Secara keseluruhan terdapat 3 orang (5,45%) yang menderita osteopenia (0,648 g/cm 2 0,833 g/cm 2 ), semuanya terdapat pada kelompok H 2. Apabila dibandingkan dengan kelompok H 2 sendiri maka besaran penderita osteopenia tersebut adalah sebesar 37,5%,

setelah penelitian terjadi kenaikan sebanyak 25% (2 orang) dari osteopenia menjadi normal (>0,833 g/cm 2 ) sehingga dari kelompok ini hanya tinggal 1 orang yang masih menderita osteopenia. Tabel 13 Rata-rata kepadatan tulang pinggang awal dan akhir penelitian Perlakuan Kepadatan tulang pinggang (g/cm 2 ) Awal Akhir Selisih H1 0,990 0,996 0,007 H2 0,918 0,926 0,008 H3 0,986 1,020 0,034 F1 0,948 0,950 0,002 F2 0,949 0,973 0,024 F3 1,009 1,024 0,015 Rata-rata peningkatan kepadatan tulang pinggang dari setiap perlakuan yang diperoleh adalah 0,015 g/cm 2. Peningkatan kepadatan tulang pinggang hasil penelitian ini lebih rendah dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Volek et al. (2003). Penelitian Volek et al. (2003) dilakukan pada remaja pria yang sedang mengikuti pelatihan olahraga selama 16 minggu (4 bulan) diperoleh peningkatan kepadatan tulang pinggang dari kelompok yang diberikan susu adalah sekitar 0,023 g/cm 2. Peningkatan kepadatan tulang pinggang dengan pemberian susu berkalsium tinggi sebanyak 750 ml (H3) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya (Tabel 13). Nilai kepadatan tulang ini belum dapat diartikan sebagai akibat pengaruh dari perlakuan yang diberikan, karena nilai yang diperoleh tersebut merupakan akibat pengaruh dari berbagai faktor. Untuk mengetahui faktor yang sebenarnya berpengaruh terhadap kepadatan tulang pinggang akhir, dapat dilihat dari hasil analisis kovarian dan analisis model linier. Tabel 14 Sidik peragam kepadatan tulang pinggang Sumber Keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F hitung Peluang >F

Model S V(S) X 1 X 9 X 10 X 11 X 12 X 13 X 14 X 15 X 16 X 17 X 25 X 27 X 28 X 29 X 30 Galat 20 (4) 27 0,36405669 0,00016875 0,06028050 0,29867991 0,00023138 0,00065288 0,00000003 0,00160403 0,00011311 0,00008317 0,00031682 0,00027984 0,00106052 0.00005297 0.00007342 0,00008949 0,00006331 0,00030656 0,01227831 0,01820283 0,00016875 0,01507013 0,29867991 0,00023138 0,00065288 0,00000003 0,00160403 0,00011311 0,00008317 0,00031682 0,00027984 0,00106052 0,00005297 0,00007342 0,00008949 0,00006331 0,00030656 0,00045475 40,03 0,37 33,14 656,80 0,51 1,44 0,01 3,53 0,25 0,18 0,70 0,62 2,33 0,12 0,16 0,20 0,14 0,67 0,5475 tn 0,4818 tn 0,2413 tn 0,9931 tn 0,0712 tn 0,6220 tn 0,6723 tn 0,4112 tn 0,4396 tn 0,1384 tn 0,7355 tn 0,6910 tn 0,6609 tn 0,7120 tn 0,4188 tn Total 47 0,37633500 S = Jenis susu V(S) = Volume susu tersarang dalam jenis susu X 1 = Kepadatan tulang pinggang awal X 9 = IMT awal X 10 = Aktivitas olahraga X 11 = Tingkat konsumsi energi total (%AKG) X 12 = Tingkat konsumsi protein total (%AKG) X 13 = Tingkat konsumsi kalsium total (%AKG) X 14 = Tingkat konsumsi fosfor total (%AKG) X 15 = Tingkat konsumsi besi total (%AKG) X 16 = Tingkat konsumsi vitamin C total (%AKG) X 17 = Tingkat konsumsi vitamin D total (%AKG) X 25 = Tingkat konsumsi energi non-susu (%AKG) X 27 = Tingkat konsumsi kalsium non-susul (%AKG) X 28 = Tingkat konsumsi fosfor non-susu (%AKG) X 29 = Tingkat konsumsi besi non-susu (%AKG) X 30 = Tingkat konsumsi vitamin C non-susu (%AKG) ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) tn = Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) perlakuan Dari hasil analisis kovarian seperti pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa susu dan kepadatan tulang pinggang awal memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kepadatan tulang pinggang akhir, sedangkan pengaruh peubah lainnya berpengaruh tidak nyata ( p>0,05). Akan tetapi melalui analisis kovarian ini belum dapat diketahui lebih jauh tentang jenis susu perlakuan mana yang sebenarnya berpengaruh terhadap kepadatan tulang pinggang awal. Karena hal tersebut, dengan berdasarkan hasil

analisi kovarian, maka dilakukan analisis lanjut dengan menggunakan analisis model linier. Hasil analisis model linier menunjukkan adanya pengaruh positif sangat nyata (p<0,01) antara konsumsi susu berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang pinggang akhir dengan kontribusi sebesar 1,79%. (Tabel 15). Kondisi ini membuktikan bahwa susu berkalsium tinggi yang diberikan mampu meningkatkan kepadatan tulang pinggang unit percobaan. Hasil ini dapat diartikan bahwa terjadinya peningkatan ini karena tulang pinggang lebih respon terhadap asupan zat kalsium khususnya dari susu berkalsium tinggi perlakuan. Kondisi ini dapat terjadi diduga karena terjadi defisit zat kalsium pada tulang pinggang unit percobaan, sehingga asupan zat kalsium lebih cepat direspon oleh bagian tulang pinggang. Tabel 15 Model linier kepadatan tulang pinggang dengan susu berkalsium tinggi Peubah Intersep X 1 H 3 Koefisien Model 0,15178313 0,95591512 0,10291255 X 1 = Kepadatan tulang pinggang awal H 3 = Susu berkalsium tinggi ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) Persamaan model linier : Parsial 0,9433 0,0179 Y = 0, 15178313 + 0, 95591512 X 1 + 0, 10291255 H 3 Model 0,9433 0,9612 Peluang > F 0,0019** 0,0012** Tulang pinggang sebagai bagian dari tulang belakang (vertebral), mempunyai peran penting dalam menyangga tubuh dan tempat perlekatan otot serta pergerakan (aktivitas) tubuh. Dengan demikian bagian tulang ini secara normal harus selalu kokoh dan untuk itu selalu diperlukan zat kalsium sebagai zat utama dalam pembentukan tulang. Apabila asupan kalsium tidak cukup tersedia, maka tubuh akan mengambil zat kalsium yang terutama yang berasal dari tulang pinggang, sehingga bagian tulang ini menjadi lebih mudah terkena resiko osteoporosis. Menurut Campion dan Maricic (2003), bagian tulang yang mudah terkena risiko osteoporosis pada pria antara lain adalah pada bagian tulang belakang (vertebral).

Hubungan model linier antara konsumsi susu berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang pinggang dapat dilihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa makin tinggi konsumsi susu berkalsium tinggi, maka makin tinggi kepadatan tulang pinggang. Akan tetapi, dari gambar tersebut juga terlihat bahwa puncak optimum volume konsumsi susu belum tercapai. Dari hasil penelitian ini belum ditemukan sampai berapa banyak volume susu berkalsium tinggi yang harus dikonsumsi dengan tetap menghasilkan kepadatan tulang pinggang yang baik ( >0,833 g/cm 2 ). Kepadatan tulang pinggang (g/cm 2 ) 1,4 1,3 1,2 1,1 1 0,9 0,8 1,323 1,280 1,281 1,293 1,069 1,071 1,082 1,113 0,969 0,926 0,928 0,939 0 0,25 0,5 0,75 Volume susu berkalsium tinggi (liter) Rata-rata Minimum Maksimum Gambar 5 Hubungan model linier volume susu berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang pinggang Persamaan model linier pada saat X rata-rata : Y = 1,069461645 + 0, 10291255 H 3 Persamaan model linier pada saat X minimum : Y = 0,926074377 + 0, 10291255 H 3 Persamaan model linier pada saat X maksimum : Y = 1,279762972 + 0, 10291255 H 3 Terdapatnya pengaruh sangat nyata (p<0,01) pemberian susu berkalsium tinggi terhadap kepadatan tulang pinggang akhir menunjukkan terjadinya perbedaan dari setiap kelompok perlakuan. Berdasarkan selang kepercayaan 95%, perbedaan antara kelompok perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa unit percobaan yang diberikan susu berkalsium tinggi sebanyak 0,75 liter/750 ml (H3), mempunyai kepadatan tulang pinggang akhir yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan yang diberikan susu berkalsium tinggi sebanyak 0,5 liter/500 ml (H2) mempunyai kepadatan tulang pinggang akhir yang tidak berbeda nyata dengan yang diberiikan susu berkalsium tinggi 0,25 liter (250 ml). Kondisi ini dapat terjadi karena kontribusi kalsium dan zat gizi lainnya pendukung pembentukan tulang dari susu berkalsium tinggi sebanyak

750 ml lebih tinggi daripada lainnya sehingga dapat meningkatkan kepadatan tulang yang lebih tinggi pula. Kontribusi zat gizi susu untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10. 1.02 Kepadatan Tulang Pinggang (g/cm2) 1.01 1.00.99.98.97.96.95 TP H1 H2 H3 Batas Bawah.94.00.25.50.75 Batas Atas Volume Susu Kalsium Tinggi (Liter) Gambar 6 Batas bawah dan batas atas kepadatan tulang pinggang dengan volume susu berkalsium tinggi yang diteliti (selang kepercayaan 95%). H3 (0,75 liter) >< H2 (0,50 liter) = tidak berbeda nyata H3 (0,75 liter) >< H1 (0,25 liter) = berbeda nyata H3 (0,75 liter) >< TP (0 liter) = berbeda nyata H2 (0,50liter) >< H1 (0,25 liter) = tidak berbeda nyata H2 (0,75 liter) >< TP (0 liter) = tidak berbeda nyata H1 (0,25 liter) >< TP (0 liter) = tidak berbeda nyata Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepadatan adalah faktor zat gizi. Zat gizi merupakan faktor penentu yang penting untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan zat gizi tersebut antara lain adalah kalsium (Ilich dan Kerstetter 2000). Susu merupakan bahan pangan yang dikenal selain sebagai sumber kalsium, juga sebagai sumber zat gizi lain yang berpengaruh positif pada pertumbuhan tulang seperti vitamin D, vitamin C, fosfor, dan zat besi. Secara bersama-sama zat gizi yang terdapat dalam susu ini akan lebih baik pengaruhnya dalam pembentukan dan pemeliharaan tulang. Menurut Heaney (2000), pengaruh zat- zat gizi dalam susu secara bersama-sama lebih baik daripada pengaruh zat gizi secara tersendiri ataupun total zat gizi tersebut yang bukan dari susu. Proses pembentukan dan pembongkaran tulang antara lain tergantung pada ketersediaan kalsium dalam plasma darah yang diserap dari ketersediaan kalsium dalam usus. Apabila ketersediaan kalsium dalam usus cukup, karena asupan yang cukup,

kalsium yang dibutuhkan untuk pembentukan tulang dapat diambil dari usus sehingga osteoblas beraktivitas untuk membentuk tulang. Akan tetapi apabila ketersediaan kalsium dalam usus tidak cukup, maka kekurangan kebutuhan kalsium akan diambil dari tulang melalui aktivitas pembongkaran tulang. Secara normal, proses pembongkaran berjalan selam 3 minggu dan dilanjutkan dengan proses pengendapan kalsium atau pembentukan tulang yang berlangsung selama beberapa bulan. Apabila ketersediaan kalsium tidak cukup, maka proses pembongkaran tulang oleh osteoklas akan berlangsung lebih lama sehingga tulang lebih cepat menjadi keropos dan mudah patah (osteoporosis).walaupun susu merupakan sumber kalsium yang terbaik, akan tetapi kalsium dapat juga diperoleh dari sumber lain selain susu seperti dari sayuran hijau dan ikan laut. Peubah Intersep X 1 Tabel 16 Model linier kepadatan tulang pinggang dengan susu segar Koefisien Model X 1 = Kepadatan tulang pinggang awal ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) Persamaan model linier : Y = -0,04328411 + 1,01894490X 1. Parsial Model -0,04328411 1,01894490 0,9596 0,9596 Peluang > F 0,2663 Pemberian susu segar (F) pada penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap kepadatan tulang pinggang akhir. Kepadatan tulang pinggang akhir unit percobaan dari hasil penelitian ini dipengaruhi oleh kepadatan tulang pinggang awal (p<0,01) dengan kontribusi sebesar 95,96% (Tabel 16). Kondisi ini juga sama dengan kepadatan tulang bagian tubuh lainnya yang diukur dalam penelitian ini (punggung, kepala, lengan, rusuk, panggul, kaki). Kepadatan Tulang Punggung. Tulang pinggang dan tulang punggung adalah tulang-tulang yang membentuk tulang belakang tubuh manusia (vertebral). Bagian tulang ini mempunyai fungsi yang penting yaitu sebagai penyangga utama tubuh sehingga kepadatan tulang pada bagian ini penting untuk diperhatikan.

Berdasarkan kriteria tingkat kerapuhan tulang, pada pengukuran awal kepadatan tulang punggung unit percobaan terdapat sebanyak 45 orang (81,8%) sudah termasuk dalam kategori osteopenia (0,648 g/cm 2-0,833 g/cm 2 ). Akan tetapi pada akhir penelitian terjadi peningkatan kepadatan tulang punggung menjadi normal (>0,833 g/cm 2 ). Pada kelompok F3 terjadi peningkatan sebesar 25% (2 orang), sedangkan pada kelompok H3 terjadi peningkatan tertinggi yaitu sebesar 50% (4 orang) dari osteopenia menjadi normal (Lampiran 12). Rata-rata kepadatan tulang punggung yang diperoleh dari penelitian ini adalah 0,012 g/cm 2 (Tabel 17). Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Volek et al. (2003) yang mendapatkan rata-rata kepadatan tulang punggung sebesar 0,031 g/cm 2. Perbedaan ini diduga akibat adanya perbedaan genetis, komposisi susu dan perlakuan yang diberikan. Tabel 17 Rata-rata kepadatan tulang punggung awal dan akhir penelitian Perlakuan Kepadatan tulang punggung (g/cm 2 ) Awal Akhir Selisih H1 0,796 0,800 0,004 H2 0,772 0,783 0,011 H3 0,796 0,818 0,022 F1 0,774 0,780 0,006 F2 0,766 0,779 0,013 F3 0,800 0,815 0,015 Penelitian Volek et al. (2003) dilakukan dengan menggunakan unit percobaan remaja pria Amerika (ras kaukasia) yang pada umumya mempunyai ukuran tulang yang lebih besar (pada usia yang sama) dan mempunyai kepadatan tulang punggung yang lebih tinggi (0,917 g/cm 2 ). Selain itu, menu makanan utama mereka juga terbuat dari susu (keju), sehingga asupan kalsium mereka lebih tinggi yang mengakibatkan kepadatan tulang mereka juga lebih tinggi. Selanjutnya dari jenis susu yang diberikan mempunyai kandungan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan susu yang diberikan pada penelitian ini. Susu yang diberikan setiap harinya pada penelitian Volek et al. (2003) mempunyai kandungan kalsium sebanyak 1723 mg, sedangkan pada penelitian ini dengan porsi yang tertinggi yaitu 750 ml pada susu berkalsium tinggi hanya mengandung 982,5 mg kalsium. Pada penelitian

tersebut juga diberikan pelatihan olahraga khusus yang dapat meningkatkan kepadatan tulang, sedangkan pada penelitian ini tidak dilakukan pelatihan olahraga. Faktor makanan, gaya hidup dan genetik dapat mempengaruhi perkembangan tulang saat muda. Zat gizi dari makanan yang berpengaruh pada kepadatan tulang antara lain adalah kalsium dan vitamin D. Kalsium merupakan zat gizi penting untuk perkembangan tulang yang sehat. Peningkatan asupan kalsium saat anak-anak dan remaja akan meningkatkan pembentukan tulang. Tulang lebih responsif pada penambahan kalsium pada saat remaja apabila dibandingkan pada saat setelah remaja (dewasa). Vitamin D penting untuk pembentukan tulang karena membantu dalam menyerap kalsium yang tercerna dan untuk menyimpan kalsium bersama fosfat di dalam kerangka tubuh. Selain dari makanan, vitamin D juga dapat diperoleh dari pemaparan kulit terhadap sinar matahari yamg mengubah vitamin D3 yang ada pada kulit menjadi 1,25- dehidrokolekalsiferol sehingga dapat meningkatkan penyerapan kalsium dari usus. Pengaruh faktor genetis pada kepadatan tulang adalah sekitar 60% hingga 80% dari massa tulang puncak setiap orang. Pengaruh turun-temurun kepadatan tulang sangat tergantung pada beberapa gen yang hingga kini belum diketahui. Dari faktor aktivitas fisik, termasuk olahraga, tulang akan menjadi lebih kuat akibat aktivitas fisik yang dilakukan, khususnya apabila dilakukan olahraga secara teratur (Bonjour 2001). Menurut Guyton dan Hall (1997), pada bagian tulang yang mendapat tekanan (stres), seperti akibat olahraga, akan meningkatkan aktivitas pembentukan tulangnya yaitu melalui peningkatan pengendapan tulang dan akibatnya tulang menjadi semakin padat. Hasil analisis kovarian menunjukkan bahwa kepadatan tulang punggung akhir, juga dipengaruhi sangat nyata (p<0,01) oleh volume susu perlakuan dan kepadatan tulang punggung awal, sedangkan pengaruh peubah lainnya juga berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap kepadatan tulang pinggang akhir (Tabel 18). Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh tentang pengaruh susu perlakuan terhadap kepadatan tulang punggung akhir dilakukan analisis model linier. Tabel 18 Sidik peragam kepadatan tulang punggung Sumber Keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F hitung Peluang >F

Model S V(S) X 5 X 9 X 10 X 11 X 12 X 13 X 14 X 15 X 16 X 17 X 25 X 27 X 28 X 29 X 30 Galat 20 (4) 27 0,10620300 0,00091875 0,01138067 0,09212805 0,00000064 0,00020850 0,00006311 0,00003289 0,00000004 0,00019445 0,00006244 0,00013105 0,00022572 0,00034127 0,00035364 0,00011958 0,00001668 0,00002552 0,00516692 0,00531015 0,00091875 0,00284517 0,09212805 0,00000064 0,00020850 0,00006311 0,00003289 0,00000004 0,00019445 0,00006244 0,00013105 0,00022572 0,00034127 0,00035364 0,00011958 0,00001668 0,00002552 0,00019137 27,75 4,80 14,87 481,42 0,00 1,09 0,33 0,17 0,00 1,02 0,33 0,68 1,18 1,78 1,85 0,62 0,09 0,13 0,0001 0,0373 tn 0,9543 tn 0,3058 tn 0,5705 tn 0,6817 tn 0,9892 tn 0,3224 tn 0,5726 tn 0,4152 tn 0,2871 tn 0,1929 tn 0,1853 tn 0,4361 tn 0,7701 tn 0,7178 tn Total 47 0,11136992 S = Jenis susu V(S) = Volume susu tersarang dalam jenis susu X 5 = Kepadatan tulang punggung awal X 9 = IMT awal X 10 = Aktivitas olahraga X 11 = Tingkat konsumsi energi total (%AKG) X 12 = Tingkat konsumsi protein total (%AKG) X 13 = Tingkat konsumsi kalsium total (%AKG) X 14 = Tingkat konsumsi fosfor total (%AKG) X 15 = Tingkat konsumsi besi total (%AKG) X 16 = Tingkat konsumsi vitamin C total (%AKG) X 17 = Tingkat konsumsi vitamin D total (%AKG) X 25 = Tingkat konsumsi energi non-susu (%AKG) X 27 = Tingkat konsumsi kalsium non-susul (%AKG) X 28 = Tingkat konsumsi fosfor non-susu (%AKG) X 29 = Tingkat konsumsi besi non-susu (%AKG) X 30 = Tingkat konsumsi vitamin C non-susu (%AKG) ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) tn = Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) Dari hasil analisis model linier diketahui bahwa kepadatan tulang punggung unit percobaan pada akhir penelitian dipengaruhi sangat nyata (p<0,01) oleh pemberian susu berkalsium tinggi dengan kontribusi sebesar 2,29% (Tabel 19). Hasil ini membuktikan bahwa konsumsi susu berkalsium tinggi dapat meningkatkan kepadatan tulang punggung, sebagaimana halnya pada kepadatan tulang pinggang. Kondisi ini sama halnya pada

kepadatan tulang pinggang, yaitu karena tulang punggung juga sebagai bagian tulang belakang (vertebral) yang juga mempunyai peran dan fungsi yang sama dengan tulang pinggang, sehingga bagian tulang ini lebih responsif terhadap asupan zat kalsium dari susu berkalsium tinggi yang diberikan dalam penelitian ini. Tabel 19 Model linier kepadatan tulang punggung dengan susu berkalsium tinggi Peubah Intersep X 5 H 2 Koefisien Model 0,00029830 1,00200023 0,03603788 X 5 = Kepadatan tulang punggung awal H 2 = Susu berkalsium tinggi ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) Persamaan model linier : Parsial 0,9208 0,0229 Y = 0,00029830 + 1,00200023 X 5 + 0,03603788 H 2 Model 0,9208 0,9437 Peluang > F 0,9937 0,0022** Tulang punggung, seperti halnya tulang pinggang, merupakan penyusun dari tulang belakang (vertebral). Bagian tulang ini sangat rentan terhadap terjadinya osteoporosis. Menurut Campion dan Maricic (2003), kerapuhan tulang belakang dapat menyebabkan terjadinya penurunan tinggi lebih dari 1,5 inchi (3,81 cm). Kondisi ini diduga karena bagian tulang belakang sangat berperan dalam menyangga organ tubuh, apabila bagian tulang ini lemah maka akan terjadi pemendekan (pemampatan) sehingga tulang mejadi lebih pendek. Berdasarkan hubungan model linier (Gambar 7) dapat dilihat bahwa makin tinggi konsumsi susu berkalsium tinggi, maka makin tinggi pula kepadatan tulang punggung akhir unit percobaan. Seperti halnya pada tulang pinggang, pada hubungan konsumsi susu berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang punggung juga belum ditemukan titik optimum konsumsi susu, sehingga belum diketahui titik puncak volume susu yang harus dikonsumsi dengan kepadatan tulang yang tetap baik atau normal (> 833 g/cm 2 ).

0,95 Kepadatan tulang punggung (g/cm 2 ) 0,9 0,85 0,8 0,75 0,7 0,65 0,862 0,,864 0,871 0,782 0,784 0,791 0,692 0,694 0,701 0,882 0,802 0,712 0,6 0 0,25 0,5 0,75 Volume susu berkalsium tinggi (liter) Rata-rata Minimum Maksimum Gambar 7 Hubungan model linier susu berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang punggung Persamaan model linier pada saat X rata-rata : Y = 0,781858 + 0,03603788 H 2 Persamaan model linier pada saat X minimum : Y = 0,691678 + 0,03603788 H 2 Persamaan model linier pada saat X maksimum : Y = 0,862018 + 0,03603788 H 2 Seperti halnya pada kepadatan tulang pinggang, dari hasil uji beda dari setiap perlakuan dengan selang kepercayaan 95% juga diperoleh bahwa unit percobaan yang diberikan susu berkalsium tinggi sebanyak 0,75 liter (750 ml), mempunyai kepadatan tulang punggung akhir yang nyata lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Kepadatan tulang punggung akhir unit percobaan yang diberikan susu berkalsium tinggi sebanyak 0,50 liter (500 ml) tidak berbeda nyata dengan kepadatan tulang punggung akhir perlakuan lainnya (Gambar 8). Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa unit percobaan yang mengonsumsi susu berkalsium tinggi sebanyak 750 ml/hari, mempunyai kepadatan tulang punggung akhir lebih tinggi daripada yang mengonsumsi kurang dari 750 ml/ hari (< 3 porsi). Dengan demikian dari penelitian selama 4 bulan ini, pengaruh terbaik dari konsumsi susu berkalsium tinggi terhadap kepadatan tulang punggung (dan pinggang), didapatkan dari konsumsi sebanyak 3 porsi (1 porsi = 250 ml) setiap hari. Menurut Heaney dan Whiting (2004), bahwa dengan mengonsumsi susu sebanyak 3 atau 4 porsi per hari akan dapat mengurangi risiko osteoporosis minimal sebesar 20%. Osteoporosis merupakan penyakit yang biasanya timbul pada saat usia lanjut. Penyakit ini akan lebih parah terjadi apabila pada masa pertumbuhan, tidak dapat tercapai massa puncak tulang akibat kurangnya asupan kalsium.

.82 Kepadatan Tulang Punggung (g/cm2).81.80.79.78.77 TP.00 H1.25 H2.50 H3.75 Batas Atas Batas Bawah Volume Susu Kalsium Tinggi (liter) Gambar 8 Batas bawah dan batas atas kepadatan tulang punggung dengan volume susu berkalsium tinggi yang diteliti (selang kepercayaan 95%). H3 (0,75 liter) >< H2 (0,50 liter) = tidak berbeda nyata H3 (0,75 liter) >< H1 (0,25 liter) = tidak berbeda nyata H3 (0,75 liter) >< TP (0 liter) = berbeda nyata H2 (0,50liter) >< H1 (0,25 liter) = tidak berbeda nyata H2 (0,75 liter) >< TP (0 liter) = tidak berbeda nyata H1 (0,25 liter) >< TP (0 liter) = tidak berbeda nyata Perlakuan pemberian susu segar pada penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh nyata (p>0,05) terhadap kepadatan tulang punggung akhir penelitian (Tabel 20). Kepadatan tulang punggung akhir dipengaruhi oleh kepadatan tulang punggung awal (93,42%). Tabel 20 Model linier kepadatan tulang punggung dengan susu segar Peubah Koefisien Model Parsial Model Peluang > F Intersep X 5-0,04829678 1,01863859 0,9342 0,9342 0,1698 X 5 = Kepadatan tulang punggung awal ** = Berpengaruh sangat nyata (p<0,01) Persamaan model linier : Y = -0,04829678 + 1,01863859X 5 Kepadatan Tulang Kepala. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kepadatan tulang kepala (Tabel 21), lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kepadatan tulang bagian tubuh lainnya. Secara

ilmiah, belum ditemukan jawaban terjadinya kondisi seperti ini. Akan tetapi, terbentuknya kepadatan tulang yang tinggi diduga dihubungkan dengan fungsinya sebagai pelindung organ yang sangat penting yaitu otak. Dengan kepadatan tulang yang tinggi, tulang kepala menjadi lebih kuat untuk melindungi organ tubuh yang sangat penting dan lunak ini terutama dari gangguan yang berasal dari luar tubuh.. Tabel 21 Rata-rata kepadatan tulang kepala awal dan akhir penelitian Perlakuan Kepadatan tulang kepala (g/cm 2 ) Awal Akhir Selisih H1 1,662 1,671 0,009 H2 1,550 1,637 0,087 H3 1,622 1,668 0,046 F1 1,580 1,587 0,007 F2 1,600 1,615 0,015 F3 1,590 1,602 0,012 Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa rata-rata peningkatan kepadatan tulang kepala pada unit percobaan yang diberikan susu berkalsium tinggi dengan 500 ml (H2) dan 750 ml (H3) lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Seperti halnya pada kepadatan tulang pinggang dan punggung, bahwa kondisi ini belum dapat dinyatakan sebagai hasil akibat pengaruh pemberian perlakuan, karena nilai kepadatan tulang kepala pada akhir penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari hasil analisis kovarian dan model linier dapat dilihat faktor-faktor yang sebenarnya berpengaruh terhadap kepadatan tulang kepala akhir. Berdasarkan hasil analisis kovarian (Tabel 22), terlihat bahwa kepadatan tulang kepala pada akhir penelitian sangat nyata dipengaruhi oleh kepadatan tulang kepala awal /sebelum penelitian (p<0,01), sedangkan volume susu yang diberikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan tulang kepala pada akhir penelitian dilakukan analisis model linier. Dari hasil analisis model linier, pada penelitian ini tidak terdapat pengaruh yang nyata (p>0,05) dari susu berkalsium tinggi terhadap kepadatan tulang kepala. Peningkatan kepadatan tulang yang terjadi dipengaruhi oleh kepadatan tulang kepala awal penelitian dengan kontribusi 77,85% (Tabel 23).