EKONOMI GAHARU Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. Hanya orangorang tertentu saja yang sudah membudidayakannya. Bukan karena tidak adanya penelitian, tetapi akibat lemahnya sosialisasi menyebabkan usaha pengembangannya jauh tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya. Padahal, gaharu bisa dibilang sebagai permata kehutanan yang terpendam. Keuntungan dari bisnis pohon gaharu juga dapat merubah tingkat kesejahteraan hanya dalam waktu beberapa tahun. Lalu, apa sebenarnya gaharu itu? Mengenal Gaharu Gambar 1. Aquilaria filaria Gambar 2. Gyrinops versteegii Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu serta memiliki kandungan kadar damar wangi. Timbulnya gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat menghasilkan substansi aromatik ini. Penyebaran alami pohon gaharu sangat luas mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, sampai Indonesia. Akan tetapi perlu diingat, bahwa tidak semua pohon gaharu akan menghasilkan gaharu, hanya pohon yang terinfeksi cendawan tertentu saja yang dapat menghasilkan gaharu. Oleh karena itu diperlukan campur tangan manusia untuk mempercepat terbentuknya gaharu
Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan masyarakat. Tempat tumbuh yang cocok untuk tanaman penghasil gaharu adalah dataran rendah, sampai lereng-lereng bukit. Lahan tempat tumbuh yang perlu dihindari adalah lahan yang tergenang secara permanen, tanah rawa, lahan dangkal, pasir kuarsa, dan lahan yang mempunyai ph kurang dari empat. Produksi Gaharu Penanaman bibit penghasil gaharu dapat dilakukan secara sistem monokultur ataupun tumpangsari. Akan tetapi lebih disarankan dengan sistem tumpangsari. Pada tahap awal pertumbuhan di lapangan, bibit pohon gaharu memerlukan naungan. Pohon gaharu pada umur 1 s/d 3 tahun perlu dipelihara secara intensif, terutama mengurangi gangguan dari gulma. Pada umur tersebut, tanaman penghasil gaharu telah bermikoriza, sehingga penggunaan pupuk kimia dapat diminimalisir. Gambar 3. Hasil pemanenan Jarak tanam gaharu bersifat fleksibel dengan waktu penanaman diusahakan pada musim hujan. Hal ini agar bibit mendapatkan air yang cukup pada awal pertumbuhannya. Media tanam dapat berupa tanah dan kompos. Pada setiap lubang tanam dianjurkan untuk diberikan pupuk kompos minimum satu kg setiap lubang.
Setelah pohon gaharu berdiameter sepuluh sentimeter atau kira-kira pada umur 5 tahun, proses inokulasi untuk memperoleh gaharu dapat dilakukan dengan cara diantaranya dengan menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium sp. Produksi gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua serta mengeras. Jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu kemudian dapat dipanen 3 s/d 4 tahun kemudian. Jumlah produksi gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Gambar 4. Gubal gaharu Gambar 5. Kemedangan Manfaat Gaharu Hasil turunan produk gaharu pun saat ini semakin hari semakin beragam, diantaranya ialah untuk bahan baku yang sangat mahal dan terkenal pada industri kosmetik seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka, aroma terapi serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, alergi, obat batuk, penenang, sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum. Gaharu juga merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Berdasarkan hal tersebut maka bisa dikatakan bahwa gaharu memiliki banyak manfaat dan kegunaan gaharu sehingga
hampir semua bagian pohon gaharu ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk, sehingga tidak ada bagian yang terbuang sia-sia. Gambar 6. Teh dan parfum dari gaharu Gambar 7. Dupa/Hio dan Tasbih dari Nilai Ekonomi Gaharu Kontribusi gaharu terhadap penerimaan devisa negara menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990 s/d 1998 adalah sebesar US $2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $2,2 juta. Namun sejak tahun 2000 s/d 2002, ekspor gaharu menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $600.000. Penurunan ini disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan. Saat ini, harga gaharu bisa mencapai Rp 5 s/d 20 juta per kg. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk gaharu yang memiliki kualitas rendah atau berwarna kuning laku dijual Rp 5 juta per kg, sedangkan untuk gaharu yang berwarga hitam atau kualitas baik laku dijual Rp 15 s/d 20 juta per kg. Bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna akhir. Di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000 per kg.
Dengan jarak tanam katakanlah sekitar 3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton per ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya kualitas rendah dengan harga Rp 300 ribu per kg, maka akan diperoleh pendapatan Rp 600 juta per ha. Bagaimana jika yang dihasilkan tersebut adalah gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu per kg pada pedagang pengumpul. Maka akan diperoleh pendapatan minimal sekitar 1,2 milyar per ha. Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha kurang dari 10 tahun. Di pasaran dalam negeri, gaharu dikelompokkan menjadi beberapa kelas mutu. Diantaranya yaitu Gaharu Double Super senilai 30 s/d 40 juta per kg, Gaharu Super senilai 15 s/d 30 juta per kg, Gaharu AB senilai 5 s/d 15 juta per kg, Kemedangan sekitar 2 s/d 10 juta per kg, Gaharu Teri 1 s/d 2 juta per kg, dan Bubuk Gaharu 50.000 per Kg. Sedangkan untuk pemasaran tidak perlu khawatir, karena banyak pembeli yang siap mendatangi mereka yang memiliki gaharu. Untuk Negara pemakai atau pengimpor gaharu banyak sekali diantaranya adalah Saudi Arabia, Kuwait, Yaman, United Emirat, Turki, Singapura, Jepang, dan USA. Penutup Berdasarkan hal tersebut, nilai jual dari gaharu yang sangat tinggi ini seharusnya dapat digunakan oleh pihak-pihak terkait untuk mendorong masyarakat agar mau membudidayakannya sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan. Melalui peningkatan kesejahteraan diharapkan ke depannya dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber daya hutan.