BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP STATUS HUKUM ANAK DI LUAR NIKAH. Abdul Halim Musthofa *

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Islam. 1 Sebagai sistem hukum,

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. lainnya dalam satu kesatuan yang utuh (Abdulsyani, 1994:123).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang

BAB III STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN MENURUT HUKUM POSITIF

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

PARENTAL SISTEM WARIS ADAT PARENTAL. Perhitungan sistem Parental 06/10/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. - Putusan perkara perdata Nomor : 216/Pdt.G/1996?PA.YK. Pengadilan Agama Yogyakarta adalah:

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D

BAB V PARA AHLI WARIS

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Volume 1, Tahun 2013

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

PEMBUKTIAN ANAK DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO : 46/PUU-8/2010

BAB I PENDAHULUAN. istiadat yang mempunyai sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Sistem

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

HUKUM KELUARGA ANAK RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok.

HAK MEWARIS ANAK DILUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010. Ismawati Septiningsih,SH,MH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Kedudukan Anak Luar kawin 1. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan, status anak dibedakan menjadi dua yakni anak yang sah dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari rumusan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, bahwa termasuk dalam golongan anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan adalah : 1. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah 2. Anak yang dibenihkan sebelum perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah. 3. Anak yang dibenihkan dalam perkawinan yang sah dan dilahirkan dan dilahirkan setelah perkawinan itu putus. Anak yang lahir diluar perkawinan seringkali disebut dengan istilah anak luar kawin atau anak tidak sah. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa termasuk anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah.

Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam BW. Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah : 1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. 2. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kriteria anak luar kawin adalah : 1 1. Anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah 2. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari laki-laki dan perempuan diluar rahim dimana keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, atau 3. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh wanita bukan istri tersebut. Dikenal juga anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah : anak yang lahir di 1 Christiana Tri Budhayati.2012.Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Merombak Hukum Keluarga di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Hal 235.

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah : 2 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li an (diingkari) oleh suaminya. 4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan. 5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan. Menurut hukum adat anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan bapak ibu yang sah, walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh di dalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut. 3 2 www.kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/, diunduh 6 September 2013 3 Bushar Muhammad (2006), Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita, Hal 5.

Dalam hukum adat tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan pengertian anak sah menurut hukum adat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang termasuk anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah, yakni anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, dimana anak tersebut dilahirkan dari seorang wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. 2. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Kedudukan seorang anak pada umumnya memiliki posisi yang cukup penting dalam tiap kehidupan berkeluarga dan bernegara karena biar bagaimanapun juga seperti yang dikatakan oleh Darwan Prinst, SH bahwa anak adalah merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa. 4 Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting untuk meneruskan garis keturunan, baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti di masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga ) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat : 5 4 Prints, Darwan (2003), Hukum Anak di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 30 5 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 4

a. Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus keatas apabila rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek. b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya. Dalam struktur masyarakat adat menganut adanya tiga (3) macam sistem kekerabatan, yaitu : 6 a. Sistem kekerabatan parental. Sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari keduabelah pihak yaitu ayah dan ibu. Susunan sistem kekerabatan parental berlaku pada masyarakat Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi. b. Sistem kekerabatan patrilineal Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan lakilaki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat Batak dan Bali. c. Sistem kekerabatan Matrilineal 6 Van Dijk(2006), Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hal 40

Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat Minangkabau. 7 Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, Minahasa, dan Ambon, misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Anak yang di lahirkan diluar perkawinan tersebut di Jawa di sebut anak haram jadah, di Astra, Lampung di sebut anak kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan pembayaran ataupun sumbangan adat. Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan, seperti di Minahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur (hadiah) 7 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 5

kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si ibu tidak tinggal satu rumah). 8 Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat adalah anak yang tidak berbapak. Anak luar kawin meskipun didalam masyarakat dianggap rendah tetapi dianggap oleh persekutuan kekerabatannya, misalnya di Jawa tidak ada pembedaan anak luar kawin dengan ayahnya, maka berlaku pula terhadap kekerabatanya. Sedangkan ada daerah lain seperti Lejang yang menganggap anak luar kawin itu dianggap rendah sehingga anak luar kawin tidak mempunyai hubungan dengan kekerabatannya. 9 Hukum Islam telah merumuskan bahwa semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah disebut dengan anak zina. Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari seorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'. Apabila ada seorang perempuan melahirkan anak dalam keadaan pernikahan yang sah dengan seorang laki-laki, akan tetapi jarak waktu antara terjadinya pernikahan dengan saat melahirkan kurang dari 6 (enam) bulan, maka anak yang dilahirkan itu bukanlah anak yang sah bagi suami ibunya. Demikian pula apabila seorang janda yang ditinggalkan mati oleh suaminya kemudian melahirkan anak setelah lebih dari satu tahun dari kematian suaminya, maka anak yang dilahirkan bukanlah anak sah bagi almarhum suami perempuan tersebut. 10 8 Iman Sudiyat (2007), Hukum Adat (sketsa asas), Yogyakarta, Liberty, hal 92 9 Bushar Muhammad (2006), Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Pradnya Paramita,hal 7 10 Citra Putri, Kedudukan Anak Luar Kawin Ditinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam, Yogyakarta, 2012 www.apakabarakta.blogspot.com/2012/06/kedudukan-anak-luar-kawin-ditinjau-dari.html, diunduh 18 Juli 2013

Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak luar kawin, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah biologisnya, yaitu : 11 a. Hubungan Nasab Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah biologisnya, meskipun secara nyata ayah biologisnya tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu. Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah biologis anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencemaran terhadap lembaga perkawinan. b. Nafkah Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya 11 www.kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam/, diunduh 6 September 2013

saja. Sedangkan bagi ayah biologisnya, meskipun anak tersebut secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas, tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut. c. Hak-Hak Waris Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya. Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah biologisnya. d. Hak Perwalian Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah biologisnya tidak berhak atau tidak sah menjadi wali nikahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam : Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.

Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas. Kedudukan anak juga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian, anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya. 12 Dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak tersebut. Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib 12 Darmabrata dan Sjarif, op.cit, hal 131 www. lontar.ui.ac.id/file?file=digital/119718-t%2025316%20peranan%20notaris--literatur.pdf, diunduh 5 Mei 2013

memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anak sendiri. B. Pengakuan Anak Luar Kawin Menurut Erna Sofwan Syukrie, sebagaimana dikutip Abdul Manan, pengakuan anak dalam pengertian formil adalah suatu bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Sedangkan dalam pengertian materiil, pengakuan anak merupakan suatu perbuatan hukum untuk menimbul kan hubungan kekeluargaan antara anak dan orang yang mengakuinya. 13 Jadi, Pengakuan Anak adalah pengakuan yang dilakukan oleh ayah atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun ayah, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang pada intinya menyata kan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. 14 Meski ada ketentuan yang memungkinkan seorang laki-laki atau ayah melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan ibu. Pasal 284 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu pengakuan terhadap anak luar kawin, selama hidup ibunya, tidak akan diterima jika si ibu 13 Abdul Manan(2006), Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Grup, hal 84. 14 LBH Apik(2010), Pengakuan Anak Luar Kawin, Jakarta Timur, hal 2

tidak menyetujui. Pasal 278 KUH Pidanapun mengatur tentang ancaman pidana bagi orang yang mengakui anak luar kawin yang bukan anaknya. Perdata: Ketentuan mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam KUH a. KUHPerdata juga memungkinkan seorang ayah melakukan pengakuan anak pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan. Seperti yang ditetapkan dalam Pasal 273, yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin, selain karena perzinahan atau dosa darah, dianggap sebagai anak sah, apabila bapak dan ibunya itu kemudian menikah, dan sebelum perkawinan diselenggarakan, anak tersebut diakui oleh ayah ibunya. b. Ketentuan lain mengenai pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 286 KUHPerdata. Pengakuan anak ada dua macam, yakni: a. Pengakuan secara sukarela; pengakuan anak secara sukarela dirumuskan sebagai suatu pernyataan yang mengandung pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah ayah dari anak luar kawin yang diakui olehnya. Mengingat ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, bahwa bagi seorang ibu, untuk timbulnya hubungan hukum antara dirinya dan anak yang dilahirkannya tidak lagi dibutuhkan adanya

pengakuan. Maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan anak luar kawin sebagaimana ketentuan Pasal 280 KUHPerdata sekarang hanya dikhususkan bagi ayah si anak. Pengakuan itu cukup dilakukan dengan pernyataan sepihak dari laki-laki yang mengakui, tentunya dengan ijin dari si ibu dari anak tersebut dengan cara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata. Dengan demikian bahwa dalam pengakuan ini tidak diperlukan syaratsyarat lain, kecuali: - Adanya pernyataan sepihak si ayah, - Sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam Pasal 281 KUHPerdata, dan; - Tidak adanya keberatan dari ibu si anak. Hal ini untuk menjamin bahwa ayah itu benar-benar laki-laki yang membenihkan anaknya. 15 Akan tetapi hal itu tidak berarti pengakuan yang sengaja dilakukan berlawanan dengan kenyataan, harus diterima tetap sah saja. Maksudnya tidak berarti bahwa jika laki-laki yang mengakui itu tidak terbukti tahu bahwa ia bukan ayah biologis dari anak tersebut, pengakuan itu, atas tuntutan pihak yang berkepentingan tidak bisa dibatalkan. 16 b. Pengakuan karena terpaksa 15 Ali Afandi (2000), Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Rineka Cipta, hal 146-147 16 J. Satrio(2000), Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Bandung, Citra Aditya, hal 113.

Terjadi jika hakim dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan bahwa seorang laki-laki tertentu adalah ayah dari anak tertentu menetapkan bahwa laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan. Hal ini dikaitkan dengan Pasal 287 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Sementara itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut tersebut dalam pasal 285 sampai dengan 288, 294 atau 332 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap si apa kejahatan itu dilakukan, maka atas tuntutan mereka yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai ayah si anak. Jadi, jika hakim menetapkan bahwa seorang laki-laki adalah ayah dari seorang anak tertentu, maka ketetapan tersebut membawa akibat hukum dari laki-laki yang bersangkutan terhadap seorang anak yang telah ditetapkan sebagai anaknya. Karena merupakan ketetapan dari pengadilan, maka pengakuan semacam ini merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa. yaitu: Ada empat cara pengakuan anak luar kawin menurut hukum Perdata, 1. Di dalam akta kelahiran anak (Pasal 291 ayat 1 KUHPerdata), yaitu ayah atau ibunya menghadap sendiri atau dengan perantara orang lain yang diberi perantaraan khusus, dengan bekal surat kuasa otentik untuk menghadap pejabat catatan sipil dan melaporkan tentang kelahiran anak itu. 2. Di dalam akta perkawinan, yakni pengakuan dengan cara melaksanakan perkawinan yang sah antara wanita yang melahirkan dengan pria yang

membuahinya sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Anak luar kawin yang diakui di sini adalah anak luar kawin yang sudah di lahirkan dan pada waktu melaporkan kelahiran belum diberikan pengakuan oleh ayahnya. 3. Di dalam akta otentik, pengakuan dengan cara menuangkannya dalam akta notaris, kemudian ditindaklanjuti dengan melaporkan pada kantor catatan sipil, di mana anak itu telah didaft arkan dan minta agar pengakuan itu di catat dalam minit akta kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan anak ini harus dilakukan secara tegas dan tidak boleh disimpulkan saja. 4. Di dalam akta otentik yang dibuat oleh pejabat catatan sipil, yaitu pengakuan yang dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan dalam register ke lahiran menurut hari penanggalannya (Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata). 17 Kesimpulannya, pengakuan tersebut dilakukan terhadap anak yang sudah dicatat kelahirannya sebagai anak luar kawin di dalam register kelahiran di Kantor Catatan Sipil. C. Pembuktian Asal-Usul Anak Sebenarnya dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan Lembaga Peradilan Agama. Oleh karena adanya Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Tahun 1977 yang masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu 17 Soetojo Prawirohamidjojo (1986), Hukum Orang dan Keluarga, Bandung, Alumni, hal 187.

masih dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Penentapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipil untuk mengeluarkan akta kelahiran anak bagi yang memerlukannya. Tentang asal usul anak ini telah diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam. Didalam Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan menegaskan: 1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. 2. Bila akta kelahiran tersebut dalam Ayat (1) Pasal ini tidak ada,maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut Ayat (2) Pasal ini,maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. 18 Di dalam Pasal-Pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan: Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah dan Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. 19 18 Pasal 55 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 19 www.scribd.com/doc/58741590/dalam-kompilasi-hukum-islam-asal-usul-anak-diatur-dalam, diunduh 25 Juli 2013

Dengan adanya Akta Lahir atas nama anak yang bersangkutan, dibuktikan bahwa dari hasil pernikahan yang sah tersebut telah lahir anak dari bapak dan ibu yang namanya disebut dalam akta lahir tersebut. Dengan demikian, anak yang disebut dalam akta kelahiran, memiliki hubungan nasab dengan orang tua (ayah dan ibu) yang namanya tercantum dalam akta lahirnya. Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran dan alat bukti lainnya. Akan tetapi Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat) bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul anak dengan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah menurut hukum. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. menyatakan : Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasal 103 KHI yang 1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. 2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam Ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. 3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut Ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama

tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. 20 Akibat hukum dari anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina dalam syariat Islam diatur bahwa si anak tidak mempunyai hubungan keturunan (nasab), waris dan hak untuk menjadi wali nikah (bagi anak perempuan) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman (ta zir) untuk memberikan nafkah atau kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya (hak waris) bila dia meninggal melalui wasiat wajibah. D. Pewarisan Anak Luar kawin Hukum waris adat meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Hukum waris adat merupakan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional Indonesia. Hukum waris adat bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran pikiran-pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka hukum waris adat memperlihatkan perbedaan yang principal dengan hukum waris adat barat. 21 Hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata mengenal hak tiap-tiap waris atas bagian tertentu dari harta peninggalan. Segala barang harta peninggalan itu merupakan suatu kesatuan abstrak, yang dapat dinilai dengan sejumlah uang 20 Pasal 102, Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam 21 Surojo Wignjodipuro(1983), Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, hal 161-163

yang tertentu banyaknya dan yang tiap-tiap waktu dapat dibagi-bagi dalam pecahan berdasar ilmu berhitung menurut perhitungan pada waktu meninggalnya pewaris. Jika mungkin, pembagian harta peninggalan akan dilakukan dengan jalan membagi barang-barang. Akan tetapi jika pembagian demikian tidak dapat dijalankan, maka pembagiannya akan berlaku seperti membagi sejumlah uang, yang akan diterima, apabila barang-barang harta peninggalan itu dijual. Berbeda dengan hukum waris adat, hukum waris adat bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliran pikiran komunal dan konkret dari bangsa Indonesia. Hukum waris adat memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda dari satu generasi manusia kepada keturunannya. 22 Di Indonesia, hukum adat memiliki sistemnya sendiri terutama berkenaan dengan kewarisan. Hukum waris adat memiliki 3 sistem kewarisan, yaitu : a) Sistem kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (parental) Jawa. Di Jawa, setiap anak dapat memperoleh secara individual harta peninggalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sistem pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris secara individual atau perorangan kepada ahli waris seperti di Jawa, Madura, Toraja, Aceh, dan Lombok. 22 Soepomo (2003), Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, hal 83-84

b) Sistem kewarisan kolektif memilki ciri-ciri bahwa semua harta peninggalan terutama harta asal atau harta pusaka diwariskan kepada sekelompok ahli waris yang berasal dari satu ibu asal berdasarkan garis silsilah keibuan seperti di Minangkabau atau pada masyarakat woe-woe Ngadhubhaga di Kabupaten Ngada- Flores yaitu khususnya terhadap ngora ngadhu-bhaga-bhaga dan ngora ana woe yaitu harta pusaka tinggi warisan leluhur. Para ahli waris secara bersama-sama merupakan semacam badan hukum di mana harta tersebut disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagi kepemilikannya diantara para ahli waris yang bersangkutan dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaian atau penggarapannya saja diantara para ahli waris. c) Sistem kewarisan mayorat memiliki ciri-ciri bahwa harta peninggalan yaitu harta warisn terutama harta pusaka seluruh atau sebagian besar diwariskan hanya kepada satu anak saja. Seperti di Bali hanya diwariskan kepada anak laki-laki tertua atau di Tanah Semendo di Sumatra Selatan hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua saja. 23 Seorang anak yang lahir karena hubungan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan waris dengan ibu dan keluarga ibunya. Dalam masyarakat 23 Dominikus Rato (2011), Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya, Laksbang Yustitia, hal 117-118

matrilineal Minangkabau menisbatkan anak kepada keturunan ibu, tetapi tidak dimunculkan pada penyebutan dibelakang nama si anak. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.. Akibat yang ditimbulkan, semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu. Suami atau ayah tidak termasuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam keluarga istri. Contohnya : dalam masyarakat Minagkabau. Di Minangkabau sejak dulu hingga sekarang berlaku sistem keturunan dari pihak ibu (matrilineal), yaitu mereka berasal dari satu ibu asal. Dengan sendirinya, anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki. Dalam waris adat matrilineal, ahli waris tetaplah anak perempuan, dan bagaimananapun kejadian anak tersebut di luar kawin, tidaklah mengubah akses anak tesebut untuk berhubungan secara hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Eksistensi anak perempuan sebagai ahli waris dan kedudukannya dalam klannya tetap diakui oleh masyarakat adat sekalipun anak tersebut diluar kawin atau tidak. Sistem kewarisan menurut hukum adat berbeda dengan hukum islam. Perbedaan ini, walaupun secara teoritis, sebelum adanya KHI, namun secara

umum kiranya dapat dikemukakan bahwa sistem pewarisan islam masih tampak mengandung sisa pengaruh struktur masyarakat yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan darah melalui garis keturunan laki-laki (banu). Sedangkan pola pembagiannya adalah individual bilateral. Dasar berlakunya sistem tersebut ialah Al-Qur an Surat IV An-Nissa yang menyatakan : Bagi orang laki-laki ada hak atau bagian dari harta peninggalan ibu-bapak serta kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak atas bagiannya pula dari harta peninggalan bapak-ibu dan kerabatnya, sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan bila sewaktu pembagian itu hadir warga kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka itu sekedarnya dari harta tersebut dan ucapkanlah kata mereka yang baik kepada mereka. 24 Mengenai besarnya bagian waris anak luar kawin terhadap harta ibunya menurut hukum Islam, bagiannya sama dengan bagian waris anak sah yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, bahkan anak luar kawin juga dapat mewarisi dari keluarga ibunya. Terhadap laki-laki yang menghamili ibunya menurut hukum Islam, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya, walaupun laki-laki yang menghamili ibunya tersebut ingin mengakui anak luar kawinnya, sehingga di antara mereka tidak ada hubungan waris mewaris. Hal ini terlihat sangat berbeda dengan anak angkat, dimana anak angkat adalah anak yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan orang tua angkatnya. Walaupun 24 Ibid., hal 119

demikian, anak angkat tetap berhak untuk memperoleh hibah, wasiat atau wasiat wajibah yang sebesar-besarnya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Pasal 862 KUHPerdata hanya memberikan hak mewaris kepada anak luar kawin yang ada hubungan perdata dengan si pewaris berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata yang menyatakan pengakuan dalam akte kelahiran atau akte otentik yang dicatat dipinggir akte kelahiran. Pasal 862 KUHPerdata mengikatkan hak mewaris anak yang tidak sah pada adanya hubungan perdata antara orang tua dengan anak. Hubungan yang demikian antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran kecuali anak zinah dan sumbang antara ayah dan hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan seperti yang tercantum dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dalam Pasal 863 KUHPerdata : Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka terima, andaikata mereka anak-anak sah. Jadi pada intinya : 1) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan I, bagiannya : 1/3 dari bagiannya seandainya ia anak sah. 2) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya : ½ dari seluruh warisan.

3) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya : ¾ dari seluruh warisan. 25 Ketentuan pembagian warisan untuk anak luar kawin diakui dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata dijelaskan secara jelas dan terperinci dalam Pasal Pasalnya, sehingga jelas jumlah bagian yang akan diterima oleh anak luar kawin diakui apabila dia sebagai pewaris. Pasca Putusan MK No 46/PUU- VIII/2010, karena ada hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah, maka anak luar kawin dapat menjadi pewaris baik dari ibu dan keluarga ibu serta ayah dan keluarga ayah. Sekalipun anak luar kawin sebagai implikasi dari Putusan MK tersebut kemungkinan menjadi ahli waris ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah, tentu saja bagian yang diterima anak luar kawin akan berbeda dengan bagian yang diterima anak anak sah. Ketentuan bagian waris anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata dapat diberlakukan bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata. Sedangkan bagi mereka yang tunduk dalam hukum islam, ketentuan KHI belum mengatur. 26 Berdasarkan KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan, Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Anak Luar Kawin 25 Effendi Perangin (2011), Hukum Waris, Jakarta, PT Rajawali Grafindo Persada, hal 63-66 26 Christiana Tri Budhayati (2010), Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, Merombak Hukum Keluarga di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UKSW, hal 242

dalam KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.