Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001 Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang

dokumen-dokumen yang mirip
PENUNTUN PELAKSANAAN MONITORING TERUMBU KARANG DENGAN METODE MANTA TOW

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, NOMOR : 201 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

BAB III METODE PENELITIAN

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang :

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Tentang : Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

BUPATI BANGKA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 16 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN PASIR, KERIKIL, DAN BATU DI LINGKUNGAN SUNGAI DAN PESISIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

G.2.7. Wilayah Takad Saru. G.2.8. Wilayah Kotal. Fluktuasi anomali dan persentase karang di Takad Saru StatSoft-7 1,4 42,10 1,2 39,43 1,0 36,75 0,8

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN EKOSITEM PERAIRAN

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Kementerian Lingkungan Hidup LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11 /PER-DJPSDKP/2017. TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN. Menimbang

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKANBARU PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG IZIN USAHA PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG IZIN USAHA PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 08 TAHUN 2003 TENTANG PENATAAN LAHAN PERTAMBAKAN DI WILAYAH TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PERMEN-KP/2014 TENTANG JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

3. METODE PENELITIAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1990 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN PEMANFAATAN RUANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG

3 METODOLOGI PENELITIAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

SURAT KEPUTUSAN KEPALA DESA TEJANG PULAU SEBESI NOMOR : 140/ /KD-TPS/16.01/ /2002 TENTANG DAERAH PENGAMANAN LAUT

TENTANG. yang. untuk. dalam. usaha

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 17 TAHUN 1999 SERI D NO. 7

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH UNTUK KEGIATAN INDUSTRI DAN USAHA LAINNYA

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 75 TAHUN 2008 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 47 TAHUN 2001

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2016 T E N T A N G PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 8 TAHUN 2008 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

Transkripsi:

Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001 Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN, Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut; b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya; c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu ukuran untuk menilai kondisi terumbu karang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Nomor 3419) 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 45/MENLH/11/1996 tentang Program Pantai Lestari: 9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP 47/MENLH/11/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Pantai Lestari; 10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang: MEMUTUSKAN : Menetapkan: KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu tempat dan waktu tertentu; 2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitamya; Pasal 2 (1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menyediakan acuan bagi petugas pemantau, pengawas, peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam melakukan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang. (3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang adalah metoda transek garis bentuk pertumbuhan karang. Pasal 3 Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka: 1. Penelitian dan pendidikan; 2. Pemantauan dan pengawasan; 3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang. Pasal 4 (1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki sertifikat selam dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya. (2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan sebagai pengawas atau penyidik. Pasal 5 (1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau diinformaskan kepada pihak lain yang berkepentingan atau publik, harus disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap jenis kegiatan: a. penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian atau pendidikan yang bersangkutan; b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau dan pengawas pada instansi yang bersangkutan, baik di pusat maupun di daerah. (3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran, pengolahan dan penyajian hasil penyidikan harus dituangkan dalam suatu Berita Acara.

Pasal 6 (1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. (2) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 30 April 2001 Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, ttd Dr. A. Sonny Keraf Lampiran Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 47 Tahun 2001 PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN KARANG I. PEMILIHAN TAPAK 1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada lereng terumbu (yaitu : terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk pemilihan tempat (Gambar 1).

GAMBAR 1: Metoda Manta Towing 2. Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurangkurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi. 3. Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih. 4. Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung. II. PEDOMAN UMUM 1. Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek yang masing-masing berukuran panjang 50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang berdekatan minimal adalah 10 meter. 2. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada kira-kira 9-10 meter dibawah tonjolan terumbu karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau 6-8 meter. Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang, maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah.

GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang. 3. Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sama untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan. Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1) di semua tempat selama pengamatan berlangsung yaitu 3 (tiga) orang pada setiap kedalaman. 4. Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggungjawab pada penggunaan alat ukur (roll meter), baik penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir pengamatan. 5. Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna) setiap 50 meter transek yang telah dipasang. 6. Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggungjawab terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan meteran tersebut pada masing-masing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan mengulur meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50 meter. (catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat diperpendek dan perubahan tersebut harus dicatat). 7. Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus selalu berada dekat (0-15 cm) dengan substratum (obyek pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan meteran pada karang, contohnya dengan mendorong meteran antara cabang-cabang karang, tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan. Catatan 1 : apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil pengamatan disebut kategori air; Catatan 2 : bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu) hari,

maka pengamat harus mempertimbangkan faktor keselamatan dalam penyelaman; Catatan 3 : Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter). 8. Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai dengan pelampung dan atau menggunakan GPS. III. PENCATATAN DATA 1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet (Tabel 1) dan ini harus dilakukan bersamaan dengan pengamat yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut. 2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (cm) untuk semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek. GAMBAR 3 : Pencatatan Data TABEL I : Lembar Pengumpulan Data

3. Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus memperhatikan dan mencatat langsung setiap titik dimana tali meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan, harus dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4).

GAMBAR 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih 4. Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c dan Tabel 2

TABEL 2 : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang

5. Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung pada pengetahuan si pengamat (Tabel 1). IV. ANALISA DATA

Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan. - Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan : Panjang Total Setiap Kategori Angka (persentase) = --------------------------------- X 100% tutupan Panjang Total Transek - Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan : Panjang Total Seluruh Kategori Terumbu Karang Hidup Angka (persentase) = --------------------------------- X 100% tutupan Panjang Total Transek Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, ttd. Dr. A. Sonny Keraf