BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

dokumen-dokumen yang mirip
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemerintahan Kota Surakarta) dalam penelitiannya menyimpulkan sebagai berikut

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. No 23 Tahun 2014 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Akuntansi Sektor Publik Pengertian Akuntansi Sektor Publik Bastian (2006:15) Mardiasmo (2009:2) Abdul Halim (2012:3)

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pembagiaan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan indonesia

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

Transkripsi:

10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua Undang Undang tersebut membawa perubahan fundamental dalam hubungan Tata Pemerintahan dan Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan dasar penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah dapat terselenggara dengan adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom. II. 1. Pembagian Urusan Pemerintahan Dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 pembagian urusan pemerintahan dibedakan menjadi dua, yaitu urusan pemerintah pusat dan urusan concurrent. (Mahsun, dkk 2006:35) Pembagian urusan tersebut, dibedakan menjadi (Nurlan,2006): 1. Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan ini merupakan urusan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama.

11 2. Urusan yang bersifat concurrent. Bersifat concurrent berarti urusan pemerintahan yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Urusan ini dibedakan lagi menjadi urusan pilihan dan urusan wajib. Urusan wajib merupakan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. II. 2. Perangkat Daerah Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari: 1) Lembaga Sekretariat, yaitu unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi. 2) Lembaga Teknis Daerah, yaitu unsur staf yang mendukung tugas kepala daerah yang bersifat spesifik. 3) Dinas Daerah, yaitu unsur staf yang melaksanakan urusan daerah. Dasar utama dalam penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah urusan urusan pemerintahan yang harus segera diselesaikan. Besarnya organisasi yang dibentuk oleh perangkat daerah mempertimbangkan faktor faktor seperti: kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas;

12 luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah kepadatan penduduk; potensi daerah dan sarana penunjang tugas (Nurlan,2006). II. 3. Keuangan Daerah II. 3. 1. Sumber sumber Keuangan Daerah Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999, akan terlaksana bila diikuti dengan pemberian sumber sumber penerimaan yang cukup pada daerah. Besar sumber penerimaan tersebut disesuaikan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah Penerimaan daerah dibagi menjadi dua, yaitu pendapatan dan pembiayaan. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode yang bersangkutan. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, mengatur pendapatan yang bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan untuk melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. b. Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber pada APBN, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),Dana Alokasi Umum

13 (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah untuk menangani urusan yang menjadi kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Ketiga komponen dana perimbangan merupakan sistem transfer dana dari pemerintah pusat sebagai satu kesatuan yang utuh. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penetapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil, akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Daerah yang potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar, akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Kesimpulan dari fungsi DAU adalah sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membiayai kegiatankegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Kegiatan khusus tersebut diutamakan untuk

14 membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu. c. Pendapatan lain-lain yang sah Pendapatan lain-lain meliputi hibah dan pemberian dana darurat yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan menurut pasal 5 ayat 3 dalam UU nomor 33 tahun 2004 bersumber dari: a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah b. Penerimaan pinjaman daerah Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Pinjaman daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat membiayai proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui

15 pemerintah pusat dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan seperti ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh pemerintah. c. Dana cadangan daerah, dan d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. II. 3. 2. Pengelolaan Keuangan Daerah Selain mengacu pada UU Nomor 25 tahun 1999, pengelolaan kuangan daerah juga diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Menurut PP nomor 105 tahun 2000 tersebut, pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara: a) Efisien, maksudnya pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. b) Ekonomis, berarti pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. c) Efektif, berarti pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. d) Transparan, yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi yang seluas-luasnya tentang keuangan daerah.

16 e) Bertanggungjawab, yaitu perwujudan kewajiban satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya. f) Keadilan, berarti keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya. g) Kepatuhan, berarti tindakan atau sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Definisi APBD menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah rencana operasional keuangan pemerintah daerah yang menggambarkan: - Perkiraan pengeluaran yang setinggi-tingginya untuk membiayai kegiatan dan proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran. - Perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutup pengeluaran-pengeluaran daerah. Unsur-unsur yang terdapat dalam APBD, antara lain: 1. Rencana kegiatan suatu daerah beserta uraiannya secara rinci. 2. Sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas pemerintah daerah dan biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan. 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4. Periode anggaran 1 tahun.

17 Pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui APBD, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Pemerintah daerah yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat, wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk menilai keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pemerintah daerah tersebut adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan APBD. Hasil dari analisis rasio pada APBD tersebut, salah satunya dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. Pengukuran efektivitas dan efisiensi tersebut dilakukan untuk mengetahui kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan urusan-urusan wajib maupun pilihan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat. II. 4. Definisi Kinerja dan Pengukuran Kinerja Kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui bila individu atau kelompok individu (organisasi) mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan tersebut berupa

18 target atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan atau target yang hendak dicapai oleh suatu organisasi merupakan tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi. Pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kegiatan suatu organisasi terhadap tujuan, sasaran dan strategi yang telah ditetapkan untuk mengetahui kemajuan organisasi tersebut. Elemen-elemen pokok yang terdapat dalam pengukuran kinerja antara lain: 1. Tujuan, sasaran, dan strategi organisasi Tujuan adalah pernyataan secara umum tentang keinginan organisasi yang dinyatakan secara eksplisit dan disertai batasan waktu melalui sasaran organisasi. Untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi tersebut sehingga dibutuhkan suatu cara atau teknik yang disebut sebagai strategi. 2. Indikator dan ukuran kinerja Indikator dan ukuran kinerja sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat capaian organisasi terhadap tujuan, sasaran dan strategi yang telah ditetapkan. Indikator kinerja dapat dibedakan menjadi indikator kinerja kunci dan faktorfaktor keberhasilan utama. Indikator kinerja kunci merupakan sekumpulan indikator yang bersifat finansial maupun nonfinansial yang dianggap sebagai ukuran kinerja kunci untuk melaksanakan kegiatan organisasi. Pelaksanaan kegiatan organisasi yang dapat mengindikasikan area kesuksesan kinerja disebut sebagai faktor-faktor keberhasilan utama. Faktor-faktor keberhasilan utama tersebut harus secara konsisten mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi.

19 3. Tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi Mengukur tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi merupakan proses perbandingan antara hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan secara jelas dapat diimplementasikan untuk mengukur kinerja organisasi. 4. Evaluasi kinerja Informasi mengenai gambaran penilaian kinerja yang berhasil dicapai oleh organisasi merupakan bagian dari proses evaluasi kinerja. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar peningkatan kualitas pengambilan keputusan, feedback dan reward punishment, serta peningkatan akuntanbilitas organisasi. (Mahsun,2006) Bagi organisasi sektor publik seperti pemerintah daerah, akuntanbilitas sangat dibutuhkan untuk menilai pelayanan publik yang telah diberikan kepada masyarakat. Pentingnya akuntanbilitas tersebut dipengaruhi oleh besarnya tuntutan masyarakat terhadap manfaat pelayanan publik. Jika pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah dirasa kurang bermanfaat maka masyarakat enggan ditarik pungutan yang berupa pajak maupun retribusi secara terus menerus. Masyarakat selama ini menginginkan pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan berkuantitas dengan biaya yang murah. Pemerintah daerah berkewajiban untuk mewujudkan keinginan masyarakat tersebut dengan cara meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Efisiensi dan efektivitas merupakan indikator kinerja yang diperlukan

20 untuk menilai kinerja pemerintah daerah secara objektif. Kegiatan pemerintah daerah yang berhubungan dengan pelayanan publik dapat dikatakan efisien dan efektif bila memanfaatkan sumber daya yang seminimal mungkin untuk mewujudkan keinginan masyarakat. (Mardiasmo,2002) II. 5. Pembangunan kesehatan Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 telah menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa pembangunan kesehatan tidak hanya sebagai urusan teknis. Implikasi yang ditimbulkan dari krisis ekonomi tersebut adalah turunnya derajat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (kesehatan) yang drastis. Untuk mengatasi kondisi tersebut, pembangunan kesehatan tidak hanya menjadi perhatian para dokter atau paramedis lainnya melainkan seluruh masyarakat harus dilibatkan di dalamnya. Praktik penyelenggaraan otonomi luas yang berdasarkan asas desentralisasi merupakan langkah riil untuk mewujudkan pembangunan kesehatan. Desentralisasi kesehatan menjadikan sektor kesehatan sebagai urusan pemerintahan yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, sehingga pembangunan kesehatan menjadi salah satu ukuran untuk menilai kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat.(mardiasmo,2004) Bentuk-bentuk desentralisasi kesehatan, yaitu: a) Struktur otoritas kesehatan Diperlukan wewenang dan pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kesehatan secara jelas, apakah menjadi wewenang pemerintah propinsi

21 atau kabupaten, apakah kepala dinas kesehatan atau kepala departemen kesehatan. b) Jaringan dan fungsi-fungsi penting Berdasarkan PP Nomor 45 tahun 1992, terdapat perbedaan fungsi yang jelas berkenaan dengan fungsi pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. Pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah provinsi untuk urusan-urusan sebagai berikut: - Kepentingan yang melibatkan lebih dari satu kabupaten atau kota. - Pengaruhnya kecil terhadap pembangunan dan pertumbuhan daerah. - Penerapannya akan lebih efisien dan efektif jika dikerjakan oleh pemerintah provinsi. Tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diberikan kepada pemerintah daerah, sehingga pengelolaan urusan-urusan pemerintahan pusat di daerah dipegang oleh Kantor Wilayah. Dalam bidang kesehatan urusan-urusan pemerintah tersebut adalah petunjuk teknis dan pengawasan yang meliputi perencanaan pembangunan kesehatan, standarisasi, perijinan, pengendalian dan evaluasi. Petunjuk teknis dan pengawasan terhadap puskesmas, rumah sakit daerah, akademi kesehatan dan keperawatan diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota. c) Tanggungjawab dan wewenang yang didelegasikan. Berdasarkan PP No 7 1987, urusan-urusan kesehatan dan fasilitasnya yang dilaksanakan dan dimiliki oleh pemerintah daerah akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah tersebut. Dalam pasal 3 dari PP

22 tersebut, disebutkan bahwa pemerintah daerah diberi hak untuk menyediakan pelayanan kesehatan dasar. Urusan-urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut: - Kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana - Perbaikan gizi - Sanitasi dan higienis - Kesehatan lingkungan - Pengawasan dan pencegahan penyakit - Kesehatan sekolah - Perawatan kesehatan umum - Kesehatan mulut dan gigi - Laboratorium sederhana - Penelitian terhadap penyakit - Pengembangan serta peran serta masyarakat - Pemeliharaan kesehatan - Penyembuhan dan pengobatan - Keperawatan - Penyediaan obat-obatan dan pelayanan kesehatanan Selain wewenang di atas, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengatur masalah pegawai kesehatan, pengawasan tarif pelayanan kesehatan, dan pemberian ijin sementara kepada sektor swasta untuk bergerak dalam sektor kesehatan.

23 Peranan pemerintah dalam pembangunan kesehatan pada dasarnya bertanggungjawab kepada perbaikan kesehatan masyarakat, dengan tugastugas sebagai berikut: Menyediakan pelayanan kesehatan yang dapat didistribusikan kepada masyarakat. Mengatur, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan dan membiayai usaha-usaha kesehatan tanpa melupakan fungsi sosial. Pengaturan aset-aset pemerintah yang berhubungan dengan tugas-tugas rutin administrasi pemerintah dan usaha-usaha pembangunan sektor kesehatan. Pengawasan pelaksanaan tugas-tugas rutin administrasi pembangunan dan usaha pembangunan di sektor kesehatan yang berada dibawah kebijakan umum yang digariskan presiden dan peraturan-peraturan yang berlaku. d) Akuntanbilitas Ada beberapa jenis pengawasan yang menjamin akuntanbilitas administrasi pemerintahan secara rutin dan usaha pembangunan, sebagai berikut: 1. Pengawasan internal Pengawasan internal adalah pengawasan yang dijalankan oleh pengawas terhadap bawahannya dalam unit kerjanya.

24 2. Pengawasan fungsional Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang kewajiban utamanya adalah mengawasi seperti Unit Pengawasan Internal, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota, Inspektorat Jendral Pembangunan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan. 3. Pengawasan legislatif Pengawasan yang dijalankan oleh DPR dan DPRD. Berdasarkan UUD 1945, DPR memiliki kewajiban untuk menjalankan pengawasan terhadap pemerintah. 4. Pengawasan masyarakat Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat seperti media massa, LSM, ormas, dan lain-lain. 5. Pengawasan hukum Pengawasan hukum adalah pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). MA memiliki wewenang dan kewajiban untuk menjalankan pengawasan atas pemerintah dalam bidang perunndang-undangan.(mardiasmo,2004)

25 II. 6. Perubahan Sistem Kesehatan Nasional Akibat pelaksanaan desentralisasi kesehatan adalah adanya perubahanperubahan penting dalam sistem kesehatan nasional. Perubahan itu secara garis besar terdiri dari : 1. Perubahan dalam sistem dan proses organisasional Kebijakan desentralisasi mengakibatkan proses pembuatan kebijakan kesehatan didistribusikan sesuai dengan wewenang yang dipegang oleh setiap unit. Kebijakan kesehatan tersebut pada tingkat pemerintah pusat diatur dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, sedangkan pada tingkat pemerintah daerah diatur oleh kantor wilayah departemen kesehatan provinsi. Menteri Kesehatan membuat kebijakan nasional yang berupa: undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan (SK) bersama, SK Menteri dan petunjuk-petunjuk teknis eselon satu. Pemerintah daerah membuat kebijakan operasional yang berhubungan dengan unit-unit kesehatan yang dimiliki untuk mencapai efisiensi dan efektivitas unit kesehatan tersebut. Kebijakan ini dijalankan oleh Rumah Sakit Daerah, Puskesmas, dan lain-lain. Desentralisasi kesehatan bagi pemerintah daerah memerlukan mekanisme penghitungan kebutuhan kesehatan beserta segala informasi pelayanan kesehatan dan kebutuhan kesehatan. Hal ini diperlukan untuk membuat perencanaan pelayanan kesehatan di daerah agar efisien dan efektif. Desentralisasi kesehatan menuntut agar perencanaan dan alokasi sumber daya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah tetapi melalui suatu proses dialog yang sejajar yang terdiri atas BAPPEDA, dinas kesehatan, Lembaga Swadaya Masyarakat

26 (LSM), perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Dampaknya adalah alokasi sumber daya diusahakan tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak. Desentralisasi kesehatan menuntut perbaikan sistem pembiayaan dan manajemen keuangan daerah. Masalah pembiayaan selalu menjadi hambatan utama dalam mewujudkan otonomi daerah termasuk sektor kesehatan. Masalah lainnya adalah pemerintah daerah kabupaten pada umumnya memiliki Pendapatan Asli Daerah yang rendah. Oleh karena itu pemerintah daerah kota atau kabupaten perlu melakukan usaha-usaha: Meninjau peraturan daerah yang berhubungan dengan tarif yang tidak sesuai lagi. Memperbaiki fasilitas-fasilitas pelayanan umum agar menarik masyarakat untuk menggunakannya. Meningkatkan kegiatan komunikasi dan pendidikan, seperti pendidikan kesehatan untuk masyarakat. Memperbaiki pengawasan atas manajemen keuangan daerah. 2. Keadilan, efisiensi, dan kualitas pelayanan Dampak desentralisasi kesehatan tehadap keadilan, efisiensi, dan kualitas pelayanan ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: Sumber daya keuangan sektor publik Pola alokasi sumber daya secara keseluruhan (nasional) Distribusi sumber daya manusia Pemanfaatan pelayanan Jangkauan dan ketersediaan pelayanan

27 Perubahan dalam sistem-sistem pendukung Ketersediaan obat-obatan dasar (Mardiasmo,2004)