VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO. Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK PERMASALAHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH

IV. METODE PENELITIAN Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

IV. METODE PENELITIAN. Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB V KERAGAAN MODEL MAKROEKONOMETRIKA MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN INDUSTRI TPT INDONESIA. Pada bagian ini akan disajikan dan dibahas nilai-nilai hasil pendugaan

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA. Setelah dilakukan pengolahan data time series bulanan tahun 2005 sampai

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. KERANGKA TEORITIS

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO BAB 1 RUANG LINGKUP ANALISIS MAKROEKONOMI

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. fungsi sebagai penyimpan nilai, unit hitung, dan media pertukaran.

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB 1 PENDAHULUAN. kredit properti (subprime mortgage), yaitu sejenis kredit kepemilikan rumah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. makro adalah pandangan bahwa sistem pasar bebas tidak dapat mewujudkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

DETERMINAN PERMINTAAN EKSPOR UDANG BEKU JAWA TIMUR KE AMERIKA SERIKAT PENDAHULUAN

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Modal, Dinas Penanaman Modal Kota Cimahi, Pemerintah Kota Cimahi, BPS Pusat

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

Antiremed Kelas 10 Ekonomi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

DAFTAR ISI. Hal. i ii iii

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang aktif

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif terapan ( Applied

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. terhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi domestik yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya. Modal dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Katalog BPS :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

Ekonomi. untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1. Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Inung Oni Setiadi Irim Rismi Hastyorini. Dibuat oleh:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. sajikan data-data yang terkait dengan sektor - sektor yang akan di teliti,

PERANAN TENAGA KERJA SEKTOR TERSIER TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PROVINSI DKI JAKARTA

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi dimana persaingan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menopang hampir seluruh program-program pembangunan ekonomi. Peranan

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

VI ANALISIS EKSPOR KEPITING INDONESIA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada yang

Transkripsi:

VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN PEREKONOMIAN MAKRO Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap baik karena telah memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik. 6.1. Keragaan Umum Model Hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS terhadap persamaan struktural menunjukkan indikator statistik yang relatif baik. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) umumnya lebih besar dari 0.70, kecuali persamaan struktural permintaan TK berpendidikan rendah sektor pertanian (DPRJ), pengeluaran pembangunan sektor pertanian (GEP), pengeluaran pembangunan sektor industri (GEI), pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur (GEIS), investasi sektor pertanian (IP) dan investasi sektor jasa (IJ). Sebagian besar persamaan menghasilkan nilai F-hitung lebih besar dari 8.00. Ini mengindikasikan sebahagian besar peubah penjelas memiliki hubungan relatif baik terhadap peubah endogen. Nilai Prob>F pada sebahagian besar persamaan bernilai yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat menjelaskan variabel endogennya secara signifikan. Persamaan struktural nilai produksi sektor jasa (GDPJ) menghasilkan nilai Statistik Durbin-Watson 0.96 yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi banyak dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi disebabkan keterkaitan antar variabel. Mempertimbangkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan

111 ekonomi, penulis memprioritaskan kriteria ekonomi di atas persyaratan statistik dan ekonometrika. 6.2. Kinerja Pasar Tenaga Kerja 6.2.1. Penawaran Tenaga kerja Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawaran TK berdasarkan tingkat pendidikan memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen. Artinya variasi penawaran TK peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah penawaran TK berdasarkan pendidikan. endogen dalam persamaan penawaran TK berpendidikan rendah, menengah dan berpendidikan tinggi dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, penawaran TK secara umum dipengaruhi oleh upah rata-rata (W) dan jumlah populasi penduduk (POP). Seluruh peubah penjelas berpengaruh positif dengan signifikansi yang bervariasi seperti pada Tabel 14. Hasil estimasi pada Tabel 14 memperlihatkan peubah jumlah populasi penduduk berpengaruh positip dan signifikan terhadap penawaran TK berependidikan rendah (SPR). Hal tersebut tercermin dari nilai parameter dugaan sebesar 0.18, artinya peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang akan meningkatkan jumlah SPR sebanyak 180 orang. Pada persamaan penawaran TK berpendidikan menengah (SPM), peubah upah rata-rata (W), Jumlah populasi penduduk (POP) dan lag pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (LGEPK) berpengaruh positip terhadap SPM.

112 Tabel 14. Hasil Persamaan Penawaran TK* Tahun 1980-2004 SPR (penawaran TK berpend rendah) W (perubahan upah rata-rata) PHK (perubahan jumlah PHK) POP (jumlah populasi penduduk) LSPR (lag penawaran TK berpendidikan rendah) 7696.893 0.054218 0.006907 0.183286 0.381599 Prob > T 0.0117 0.3998 0.3106 0.0017 0.0095 0.5151 0.8330 F-Hitung = 97.67 R 2 = 0.95596 DW = 2.059907 SPM (penawaran TK berpend menengah) W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPM (lag penawaran TK berpendidikan menengah) -11854.5 0.149701 0.071511 24.39220 0.670890 0.0450 0.0495 0.0633 0.0887 0.0003 0.1625 1.1831 0.0021 0.4937 3.5949 0.0063 F-Hitung = 487.33 R 2 = 0.99085 DW = 2.468268 SPT (penawaran TK berpend tinggi) W (upah rata-rata) POP (jumlah populasi penduduk) LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan) LSPT (lag penawaran TK berpendidikan tinggi) -3456.16 0.028160 0.019892 6.405164 0.715552 0.0326 0.2056 0.0486 0.1572 0.1411 1.5193 0.0912 0.4961 5.3413 0.3208 F-Hitung = 248.79 R 2 = 0.98223 DW = 2.263288 Catatan: * Penawaran TK menggunakan data angkatan kerja. Apabila terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sebanyak 1000 orang maka SPM berpotensi meningkat 71 orang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap SPM adalah LGPK. Peningkatan LGPK satu milyar rupiah akan meningkatkan SPM sebanyak 24 ribu orang. Sementara pada persamaan penawaran TK berependidikan Tinggi (SPT) menunjukkan peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang maka SPT berpotensi meningkat 20 orang. W berpengaruh positif dan nyata terhadap SPM dengan elastisitas jangka pendek 0.16 persen dan jangka panjang 0.49 persen. Dapat dikatakan respon penawaran TK berpendidikan menengah terhadap perubahan upah rata-rata

113 bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Artinya walaupun SPM Indonesia dipengaruhi oleh peubah upah rata-rata, tetapi pengaruhnya relatif kecil meskipun dalam jangka panjang. 6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja a. Berpendidikan Rendah Hasil pendugaan parameter pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah (DPR) berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) bervariasi seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah Tahun 1980-2004 DPRP (permintaan TK berpend. rend sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKIP (jumlah TK informal sektor pertanian) LDPRP (lag permintaan TK berpend. rendah sekt pertanian) 13996.67-0.68812 0.017205 0.602612 0.175688 Prob > T 0.0151 0.3749 0.0175-0.1186 0.5419-0.1439 0.6574 F-Hitung = 96.59 R 2 = 0.95549 DW = 1.706572 DPRI (permintaan TK berpend. rend sekt industri) WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JP (jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) TKII (jumlah TK informal sektor industri) LDPRI (lag permintaan TK berpend. rendah sekt industri) 1501.583-0.03733 0.007087 0.048144 2.044707 1.126923 0.064549 0.1106 0.2759 0.3137 0.1814 0.0321 0.3456 0.1188 0.0498 0.5555 0.1270 0.0533 0.5938 F-Hitung = 55.34 R 2 = 0.95403 DW = 2.295689 DPRJ (permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) PNSR (jumlah PNS berpendidikan rendah) LDPRJ (lag permintaan TK berpend. rendah sekt jasa) 310.3759-0.01115 0.015119 2.319582 0.478377 0.4325 0.4598 0.2806 0.0514 0.0142 0.3418 0.6553 F-Hitung = 6.51 R 2 = 0.59122 DW = 1.784429

114 Pada persamaan DPRP dan DPRI mencapai 95 persen sementara pada persamaan DPRJ hanya mencapai 59 persen. Secara umum variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan DPR berdasarkan sektor mampu menjelaskan fluktuasi peubah DPR lebih baik (di atas 94 persen). endogen di dalam persaman DPR berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 15 memperlihatkan respon penurunan permintaan TK berpendidikan rendah akibat peningkatan upah rata-rata di masing-masing sektor tidak elastis dan signifikan hanya pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian (DPRP). Artinya peningkatan upah rata-rata sektor pertanian sebesar satu persen akan menurunkan DPRP 0.12 persen. b. Berpendidikan Menengah Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan menengah (DPM) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 95 persen. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPM di setiap sektor. endogen di dalam persaman DPM berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 16 memperlihatkan bahwa DPMI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan menengah untuk sektor pertanian 0.32 persen, industri 0.46 persen dan sektor jasa 0.13 persen. Sebaliknya, permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian (DPMP) lebih responsif terhadap peningkatan GDP sektor pertanian (GDPP). Peningkatan GDP masing-masing

115 sektor sebesar satu persen akan meningkatkan DPM untuk sektor pertanian 1.29 persen, industri 0.37 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Tabel 16. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah Tahun 1980-2004 DPMP (permint TK berpend. men sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKMI (jumlah TK berpend. menengah sekt informal) LDPMP (lag permintaan TK berpend. Menengah sekt pertanian) -790.640-0.06189 0.036499 0.152310 0.271813 Prob > T 0.0391 0.0853 0.0135 0.0037 0.0780-0.3196 1.2927 0.4201-0.4389 1.7753 0.5770 F-Hitung = 220.69 R 2 = 0.98002 DW = 2.470703 DPMI (permint TK berpend. men sektor industri) LWI (lag upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPMI (lag permint. TK berpend. menengah sekt. industri) 491.7278-0.06035 0.010516 0.040753 0.818900 0.0076 0.0018 0.0090 0.4508-0.4618 0.3717-2.5497 2.0523 F-Hitung = 394.76 R 2 = 0.98873 DW = 2.197437 DPMJ (permintaan TK berpend men sektor jasa) WJ (upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) TKFJ (jumlah TK formal sektor jasa) LDPMJ (lag permint. TK berpend. menengah sektor jasa) -75.0290-0.02904 0.022429 0.235430 0.366813 0.4466 0.2129 0.0808 0.0020 0.0081-0.1287 0.2586 0.5333-0.2033 0.4084 0.8422 F-Hitung = 77.45 R 2 = 0.94509 DW = 1.473021 Secara umum dapat dikatakan bahwa elastisitas peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan menengah akibat peningkatan GDP lebih tinggi (dan elastis) pada sektor pertanian. Hasil kajian tentang elastisitas kesempatan kerja akibat perubahan GDP yang telah dilakukan oleh Kalangi (2006) memperlihatkan nilai elastisitas rata-rata kesempatan kerja sektor pertanian (1999-2003) juga elastis, mencapai 1.49 persen.

116 c. Berpendidikan Tinggi Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan tinggi (DPT) berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 95 persen seperti pada Tabel 17. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPT di setiap sektor. endogen di dalam persaman DPT dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 17. Hasil Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi Tahun 1980-2004 DPTP (permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) WP (upah rata-rata sektor pertanian) GDPP (nilai produksi sektor pertanian) TKTI (jumlah TK berpend. tinggi sektor informal) LDPTP (lag permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) -53.4439-0.00364 0.002483 0.016213 0.505083 Prob > T 0.0754 0.1623 0.0286 0.2863 0.0148-0.3390 1.5860-0.6850 3.2047 F-Hitung = 79.58 R 2 = 0.94648 DW = 1.933074 DPTI (permintaan TK berpend tinggi sektor industri) WI (upah rata-rata sektor industri) GDPI (nilai produksi sektor industri) JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial) LDPTI (lag permintaan TK berpend tinggi sektor industri) 39.20398-0.00658 0.001347 0.067873 0.817348 0.2200 0.1029 0.0619 0.2267-0.4241 0.4011 0.0601-2.3220 2.1958 0.3289 F-Hitung = 104.40 R 2 = 0.95868 DW = 2.030049 DPTJ (permintaan TK berpend tinggi sektor jasa) WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) GDPJ (nilai produksi sektor jasa) LDPTJ (lag permintaan TK berpendidikan tinggi sektor jasa) -279.070-0.02304 0.014701 0.838590 0.0627 0.1600 0.0179-0.2614 0.4338-1.6195 2.6875 F-Hitung = 157.86 R 2 = 0.96143 DW = 2.723394 Tabel 17 memperlihatkan bahwa DPTI lebih responsif terhadap peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan menurunkan permintaan TK berpendidikan tinggi untuk sektor pertanian 0.34

117 persen, industri 0.42 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Yudhoyono (2004) juga menyimpulkan kenaikan upah rata-rata sektor pertanian sebesar 1 rupiah per bulan akan menurunkan penyerapan TK sektor pertanian sebanyak 5 ribu orang dan untuk TK non pertanian sebanyak 2 ribu orang. Di antara sektor yang diamati, elastisitas permintaan TK berpendidikan tinggi terhadap peningkatan GDP lebih elastis pada sektor pertanian yaitu 1.59 persen. Artinya peningkatan GDP sektor pertanian sebesar satu persen akan meningkatkan DPTP sebesar 1.59 persen. Hasil analisis ini sejalan dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Kalangi (2006) yang menyimpulkan bahwa respon peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian akibat peningkatan nilai GDP pertanian mencapai 1.49 persen (1999-2003). 6.2.3. Upah Rata-rata Hasil pendugaan parameter persamaan upah rata-rata berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 84 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 84 persen fluktuasi peubah upah rata-rata berdasarkan sektor. endogen dalam persamaan upah rata-rata sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 18 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan persamaan upah ratarata sektoral secara nyata dipengaruhi oleh upah minimum masing-masing sektor. Hal tersebut tercermin pada nilai parameter yang berarti peningkatan upah minimum rata-rata sektoral untuk pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 186 rupiah, industri 180 rupiah dan sektor jasa 261 rupiah.

118 Tabel 18. Hasil Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004 WP (upah rata-rata sektor pertanian) UMP (upah minimum sektor pertanian) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) TKFP (jumlah TK formal sektor pertanian) S (jumlah penawaran TK total) LWP (lag upah rata-rata sektor pertanian) 4351.285 0.186011 0.235748 7.722205 0.026872-0.07680 0.347304 Prob > T 0.0857 0.0888 0.0014 0.4379 0.0131 0.0115 0.3311 0.3383 0.2532-0.9868 0.5074 0.5183 0.3879-1.119 F-Hitung = 32.31 R 2 = 0.92375 DW = 2.147441 WI (upah rata-rata sektor industri) UMI (upah minimum sektor industri) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFI (deflator GDP sektor industri) TKFI (jumlah TK formal sektor industri) S (jumlah penawaran TK total) LWI (lag upah rata-rata sektor industri) 5358.180 0.180116 1.007071 3.237797 2.135565-0.28723 0.502053 0.0414 0.0630 0.0046 0.1847 0.0002 0.0005 0.0003 0.2531 0.7616 0.0502 0.9223-1.9448 0.5084 1.5294 0.1009 1.8523-3.9057 F-Hitung = 22.11 R 2 = 0.89239 DW = 2.354692 WJ (upah rata-rata sektor jasa) UMJ (upah minimum sektor jasa) KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) DEFJ (deflator GDP sektor jasa) LTKF (lag jumlah TK formal) S (jumlah penawaran TK total) LWJ (lag upah rata-rata sektor jasa) 5380.282 0.260546 0.753300 15.60628 0.166095-0.18927 0.454715 0.1585 0.0139 0.0483 0.0129 0.1718 0.0566 0.0084 0.2786 0.4369 0.2015 0.2603-0.9828 0.5109 0.8012 0.3695 0.4774-1.8023 F-Hitung = 13.82 R 2 = 0.83822 DW = 1.583527 W (upah rata-rata) L UMR (lag perubahan upah minimum rata-rata) WP (upah rata-rata sektor pertanian) WI (upah rata-rata sektor industri) WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa) WL (upah rata-rata sektor lainnya) LW (lag upah rata-rata) 847.4541 0.062092 0.358429 0.461737 0.258188 0.059693 0.221975 0.1545 0.3374 0.1767 0.0034 0.0438 0.0548 0.0703 0.1825 0.4461 0.3253 0.0971 0.2345 0.5734 0.4181 0.1248 F-Hitung = 67.97 R 2 = 0.96225 DW = 2.34477

119 Fenomena ini juga ditemui dalam studi terdahulu yang menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum meskipun secara normatif ditargetkan pada buruh tanpa pengalaman, berpendidikan rendah dan mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, namun dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah bagi buruh secara keseluruhan atau dalam kajian ketenagakerjaan disebut upah sundulan (Wirahyoso, 2002). Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap upah rata-rata sektoral adalah KHM. Secara umum terlihat perbaikan pemenuhan upah rata-rata pada sektor industri relatif lebih baik dibandingkan sektor pertanian dan jasa. Artinya peningkatan KHM sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian 236 rupiah, industri 1007 rupiah dan jasa 753 rupiah. Faktor tuntutan serikat pekerja yang diproksi dengan peubah jumlah TK formal di masing-masing sektor juga mempengaruhi nilai upah rata-rata sektoral. Secara umum upah rata-rata sektor industri lebih respon terhadap tuntutan serikat pekerja. Artinya peningkatan tuntutan serikat pekerja sebesar satu persen di masing-masing sektor akan meningkatkan upah rata-rata di sektor pertanian 0.02 persen, industri 0.92 persen dan jasa 0.26 persen. Hasil penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa fenomena upah sundulan merupakan dampak dari kekuatan serikat pekerja untuk menaikkan upah buruh diluar target kebijakan upah minimum (Priyono,2002). 6.3. Kinerja Fiskal Pendugaan parameter penerimaan dan pengeluaran pemerintah berdasarkan sektor pembangunan memberikan koefisien determinasi (R 2 ) bervariasi antara 26 persen sampai 94 persen seperti pada Tabel 19.

120 Tabel 19. Hasil Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Tahun 1980-2004 TAX (penerimaan pajak) AS (penawaran agregat) LTAX (lag penerimaan pajak) -126.326 0.001324 0.197561 Prob > T 0.0029 0.0004 0.1769 1.3413 1.6716 F-Hitung = 163.31 R 2 = 0.94230 DW = 1.488553 GEP (pengeluaran pemb sektor pertanian) GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GDPP/AS (share GDP pertanian thd agregat suplai) 14.98551 0.034337 0.592019 17.57876 0.0058 0.0495 0.2689 0.0173 0.0080 F-Hitung = 12.60 R 2 = 0.66551 DW = 1.738171 GEI (pengeluaran pemb sektor industri) GTR (perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) GRI (pertumbuhan sektor industri) 1.898281 0.007940 0.035231 0.100363 0.0052 0.1521 0.1839 0.0264 0.0207 0.0025 0.0061 F-Hitung = 2.21 R 2 = 0.25908 DW = 2.347546 GEIS (pengeluaran pemb untuk infrastruktur) L GTR (lag perubahan penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEIS (lag pengeluaran pemb untuk infrastruktur) 8.594533 0.053636 0.074659 0.829220 0.1708 0.1700 0.3928 - - - - - 0.0214 0.1254 F-Hitung = 13.70 R 2 = 0.68383 DW = 1.702487 GEPK (pengeluaran pemb pend dan kesehatan) LUT (lag tingkat pengangguran total) GTR (penerimaan pemerintah total) LINF (lag inflasi nasional) LGEPK (lag pengeluaran pemb untuk pendidikan dan kesehatan) -0.48610 1.177960 0.011670 0.286771 0.676046 0.4636 0.1362 0.2659 0.0213 0.1563 0.0885 0.4852 0.2732 F-Hitung = 23.61 R 2 = 0.83993 DW = 1.090124 endogen di dalam persaman TAX, GEP, GEIS dan GEPK dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 sementara pada persamaan GEI nyata pada taraf 0.1.

121 Tabel 19 memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (TAX) dipengaruhi secara postif oleh penawaran agregat (AS). Jika AS meningkat satu milyar rupiah maka TAX akan meningkat sebesar 1.3 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang penerimaan pajak responsif terhadap peubah AS. Faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pembangunan pertanian, industri, infrastruktur serta pendidikan dan kesehatan adalah penerimaan pemerintah. Peningkatan penerimaan pemerintah satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran pembangunan sektor pertanian 34 juta rupiah, sektor industri 7.9 juta rupiah, sektor infrastruktur 53.6 juta rupiah serta sektor pendidikan dan kesehatan 11.7 juta rupiah. Besarnya pengaruh penerimaan pemerintah terhadap pengeluaran infrastruktur bisa dipahami karena merupakan salah satu faktor penting menggerakkan perekonomian. Lag inflasi juga berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian serta pendidikan dan kesehatan. Artinya kenaikan laju inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan meningkatnya nilai peneluaran pembangunan sektor pertanian 590 juta rupiah dan sektor pendidikan dan kesehatan 290 juta rupiah dalam rangka mempertahankan nilai riil pengeluaran pemerintah. 6.4. Kinerja Penawaran Agregat Hasil pendugaan parameter nilai produksi sektoral memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen seperti pada Tabel 20. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah nilai produksi sektor pertanian, industri maupun sektor jasa.

122 Tabel 20. Hasil Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004 GDPP (nilai produksi sektor pertanian) DP (permintaan TK sektor pertanian) DEFP (deflator GDP sektor pertanian) IP (perubahan investasi sektor pertanian) GEP (perubahan pengeluaran pemb sektor pertanian) GEIS (perubahan pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPP (lag nilai produksi sektor pertanian) -1574.86 0.098317 0.323054 0.026704 8.215004 7.864306 0.973710 Prob > T 0.2489 0.0710 0.4287 0.3062 0.3054 0.2746 0.0861 3.2743 F-Hitung = 394.22 R 2 = 0.99328 DW = 2.028915 GDPI (nilai produksi sektor industri) DI (permintaan TK sektor industri) DEFI (deflator GDP sektor industri) II (investasi sektor industri) GEI (perubahan pengeluaran pemb sektor industri) KUK (kredit usaha kecil) GEIS (pengeluaran pemb infrastruktur) LGDPI (lag nilai produksi sektor industri) 464.9194 0.918193 38.69647 0.088450 164.7634 32.56100 15.05642 0.609806 0.4706 0.2613 0.1513 0.2619 0.2949 0.0374 0.3786 0.0053 0.1300 0.0711 0.3331 0.1822 F-Hitung = 222.99 R 2 = 0.99048 DW = 1.275885 GDPJ (nilai produksi sektor jasa) DJ (perubahan permintaan TK sektor jasa) LDEFJ (lag deflator GDP sektor jasa) IJ (investasi sektor jasa) LGEIS (lag pengeluaran pemb sektor pertanian) LGDPJ (lag nilai produksi sektor jasa) 3889.881 0.265636 7.080491 0.142993 28.04410 0.861724 0.0489 0.3275 0.1586 0.3540 0.2373 0.0351 0.7008 0.2542 5.0685 F-Hitung = 83.80 R 2 = 0.96101 DW = 0.96101 endogen dalam persamaan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 20 memperlihatkan permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DP) berpengaruh positip dan nyata terhadap nilai produksi sekroe pertanian (GDPP). Artinya peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 1 orang akan

123 meningkatkan nilai produksi sektor pertanian sebesar 98.3 juta rupiah. Jika dibandingkan dengan sektor industri dan jasa maka sektor pertanian menempati urutan terendah dalam hal produktivitas tenaga kerja sementara sektor industri menempati urutan teratas. Pada persamaan GDPI, kredit usaha kecil (KUK) berpengaruh nyata dalam meningkatkan GDPI. Artinya peningkatan KUK sebesar satu milyar rupiah akan meningkatkan GDPI 32.6 milyar rupiah. 6.5. Kinerja Permintaan Agregat Pendugaan parameter persamaan konsumsi (C), ekspor (X) dan impor (M) memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 88 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah C, 95 persen fluktuasi peubah X dan 88 persen fluktuasi peubah M. endogen di dalam persaman C, X, dan M dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 21 memperlihatkan bahwa faktor penawaran agregat per kapita (AS/POP) berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan AS/POP satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran konsumsi nasional 46 triliun rupiah. Sementara inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan menurunkan pengeluaran konsumsi nasional 225 milyar rupiah. Nilai ekspor dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan meningkatkan nilai ekspor 1.04 milyar rupiah rupiah. Demikian pula penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai ekspor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai ekspor 0.30 milyar rupiah.

124 Tabel 21. Hasil Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun 1980-2004 C (konsumsi) AS/POP (pendapatan per kapita) INF (inflasi nasional) LC (lag konsumsi) -19490.6 45985.72-224.958 0.796406 Prob > T 0.0004 0.0049 0.3854-0.0161 1.8929-0.0791 F-Hitung = 1747.91 R 2 = 0.99639 DW = 1.447554 X (nilai ekspor) ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LX (lag nilai ekspor) -9074.23 1.042679 0.300933 0.039729 0.0578 0.0844 0.4081 0.0547 1.0216 0.0569 1.0639 F-Hitung = 133.87 R 2 = 0.95483 DW = 2.636538 M (nilai impor) ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) AS (penawaran agregat) LM (lag nilai impor) -9694.45-1.24392 0.220442 0.427867 0.1152 0.1093 0.0004 0.0063-0.0695 0.7973-0.1215 1.3936 F-Hitung = 48.29 R 2 = 0.88405 DW = 2.127146 Nilai impor dipengaruhi secara negatif oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan menurunkan nilai impor 1.25 milyar rupiah rupiah. Sebaliknya penawaran agregat (AS) berpengaruh positip terhadap nilai impor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan meningkatkan nilai impor 0.22 milyar rupiah. Tabel 22 memperlihatkan hasil pendugaan parameter pada persamaan nilai investasi berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2) bervariasi yaitu sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan fluktuasi peubah investasi untuk sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen.

125 Tabel 22. Hasil Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 IP (investasi sektor pertanian) SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) LAS (lag penawaran agregat) KP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIP (lag investasi sektor pertanian) 1321.929-49.5038-1.34291 0.025921-5.32200 3653.718 0.614324 Prob > T 0.3778 0.3108 0.0880 0.1918 0.3379 0.1655 0.0029-0.3045 0.9693-0.7895 2.5133 F-Hitung = 3.79 R 2 = 0.58679 DW = 1.562349 II (investasi sektor industri) SB (perubahan suku bunga) UMR (upah minimum rata-rata) AS (penawaran agregat) KP (jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LII (lag investasi sektor industri) -7936.68-82.6170-2.26652 0.246194-23.2645-24116.6 0.139976 0.2417 0.3607 0.1589 0.0095 0.2405 0.0121 0.2821-0.0796 1.4254-0.0899-0.0925 1.6574-0.1045 F-Hitung = 8.58 R 2 = 0.76298 DW = 2.380518 IJ (investasi sektor jasa) SB (suku bunga) LUMR (lag upah minimum rata-rata) AS (lag upah minimum rata-rata) LKP (perubahan jumlah kasus pemogokan) DDF (dummy desentralisasi fiskal) LIJ (lag investasi sektor jasa) -254.735-2.75548-0.35560 0.012588-0.94728 2692.560 0.091524 0.4438 0.4802 0.1294 0.1235 0.4196 0.0614 0.3576-0.2794 1.6311-0.3075 1.7954 F-Hitung = 1.58 R 2 = 0.37198 DW = 1.539115 endogen dalam persamaan nilai investasi sektor pertanian dan industri dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01 kecuali pada sektor jasa hanya 0.2. Persamaan investasi sektoral dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga nominal dan faktor ketidakpastian di pasar TK yaitu upah minimum rata-rata (UMR) dan jumlah kasus pemogokan (KP). Peningkatan suku bunga nominal sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 49.5 milyar

126 rupiah, industri 82.6 milyar rupiah dan jasa 2.8 milyar rupiah. Peningkatan UMR sebesar satu rupiah per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 1.3 milyar rupiah, industri 2.3 milyar rupiah dan jasa 0.4 milyar rupiah. Selanjutnya peningkatan jumlah kasus pemogokan satu kasus per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 5.3 milyar rupiah, industri 23.3 milyar rupiah dan jasa 1.0 milyar rupiah. Pada kenyataannya, sektor pertanian mempunyai rata-rata nilai investasi paling rendah di era otda yang telah lalu, yaitu 3.46 persen dari total investasi dibanding sektor lain tahun 2001-2004. Hasil penelitian Kalangi (2006) juga menyimpulkan hal serupa ( 2.04 persen), karena dianggap sektor pertanian kurang menguntungkan bagi investor asing. Namun, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB relatif besar, rata-rata di era otda yang telah lalu mencapai 15.73 persen tahun 2001-2004. Sumbangan terhadap peningkatan kesempatan kerja pada periode yang sama mencapai 44.42 persen. 6.6. Kinerja Moneter Pendugaan parameter persamaan penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB) memberikan koefisien determinasi (R 2 ) di atas 84 persen seperti pada Tabel 23. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah MS dan MD, dan 84 persen fluktuasi peubah SB. endogen di dalam persaman MS, MD dan SB dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.

127 Tabel 23. Hasil Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta Suku Bunga Tahun 1980-2004 MS (penawaran uang) AD (permintaan agregat) SB (suku bunga) ER (perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika) LMS (lag penawaran uang) -485.902 0.004305 3.060249 0.026827 0.454207 Prob > T 0.0555 0.0208 0.9622 0.0501 0.0926 1.7630 0.0919 0.1697 F-Hitung = 892.35 R 2 = 0.99498 DW = 1.342731 MD (permintaan uang) AD (permintaan agregat) SB (perubahan suku bunga) DKE (dummy krisis ekonomi) LMD (lag permintaan uang) -341.791 0.003544-1.63250 48.77867 0.554641 0.0002 0.1065 0.1525 0.7921-0.0105 1.7786-0.0236 F-Hitung = 774.43 R 2 = 0.99422 DW = 1.192748 SB (suku bunga) MS (perubahan penawaran uang) LAD (lag permintaan agregat) LINF (lag inflasi nasional) LSB (lag suku bunga) 3.015449-0.00527 5.074E-6 0.630957 0.455050 0.1614 0.2581 0.2839 0.0002 0.3829 0.7026 F-Hitung = 23.22 R 2 = 0.83765 DW = 1.403858 Tabel 23 memperlihatkan permintaan agregat (AD) berpengaruh potitif terhadap penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal (SB). Peningkatan AD satu milyar rupiah akan meningkatkan MS 4.3 juta rupiah, MD 3.5 juta rupiah dan suku bunga nominal 0.00001 persen. Peningkatan SB satu persen menyebabkan peningkatan MS 3.1 milyar rupiah, sebaliknya terjadi penurunan MD 1.6 milyar rupiah. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap MS. Peningkatan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun sekarang dan tahun lalu sebesar satu rupiah per dollar akan meningkatkan MS 26.8 juta rupiah.

128 Tingkat suku bunga juga dipengaruhi secara positif oleh lag inflasi. Peningkatan inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan suku bunga nominal 0.63 persen. Respon peningkatan suku bunga akibat peningkatan lag inflasi tidak elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. 6.7. Kinerja Keseimbangan Makro Hasil pendugaan parameter persamaan indeks harga konsumen (CPI) memberikan nilai koefisien determinasi (R 2 ) di atas 96 persen seperti pada Tabel 24. Artinya variasi peubah penjelas dalam persamaan mampu menjelaskan 96 persen fluktuasi peubah CPI. endogen dalam persamaan CPI dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Tabel 24. Hasil Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 1980-2004 CPI (indeks harga konsumen) LSB (lag suku bunga) LW (lag upah rata-rata) LCPI (lag indeks harga konsumen) -55.1704 0.065295 0.006445 0.904354 Prob > T 0.0358 0.4584 0.0067 0.5455 5.7031 F-Hitung = 143.18 R 2 = 0.95764 DW = 2.469837 Tabel 24 memperlihatkan faktor lag upah (LW) berpengaruh positif terhadap peningkatan CPI. Peningkatan LW satu rupian per tahun akan meningkatkan CPI sebesar 0.007. Respon peningkatan CPI akibat peningkatan lag upah tidak elastis dalam jangka pendek tetapi elastis dalam jangka panjang.