II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan memberi dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum. b. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana. Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum

17 pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama. Sementara itu menurut hukum pidana bertujuan untuk: a. Menakut-nakuti setiap orang untuk jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik); b. Mendidik orang yang pernah melakukan kejahatan untuk menjadi orang yang baik dan diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran modern). 19 Adanya tujuan pemidanaan adalah langkah yang baik agar dalam pemidanaan ada arah yang jelas dan terukur dalam pemidanaan. Oleh karena itu, dalam penetapan tujuan pemidanaan sebaiknya mempertimbangkan keadaan nyata yang muncul disebabkan adanya pelanggaran hukum pidana, bukan menekan pada harapan di masa yang akan datang yang abstrak supaya dapat mencegah bentuk pelanggaran yang akan terjadi. 2. Dasar-dasar Pemidanaan a. Ketuhanan Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Tidak boleh ada pemidanaan karena dendam dan pembalasan,melainkan pelaku telah berdosa.hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan,sedangkan negara bertindak sebagai pembuat Undang-undang.Penguasaan adalah abdi Tuhan untuk melindungi yang baik dan menghukum yang jahat. b. Falsafah Berdasarkan ajaran kedaulatan rakyat dari J.J.Roussdau, berarti ada kesepakatsn fiktif antara rakyat dan negara,itu bearti rakyat berdaulat dan menentukan 19 Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Press, 2010., h. 7.

18 pemerintahan.kekuasaan negara adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat,setiap rakyat menyerahkan sebagian hak asasi kepada negara dengan imbalan perlindungan untuk kepentingan hukumnya dari negara. c. Perlindungan Hukum (Yuridis) Dasar dari pemidanaan ini adalah bahwa penerapan hukum pidana adalah untuk menjamin ketertiban hukum. 1. Teori-teori Pemidanaan Teori tentang penegakan hukum pidana, berkaitan dengan istilah dalam teori pemidanaan. Teori pemidanaan dimaksudkan untuk mencari dasar pembenaran dijatuhkannya pidana kepada pelaku tindak pidana serta tujuan yang akan dicapai dengan penjatuhan pidana. Teori-teori pemidanaan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Teori Absolut atau pembalasan (retributive / vergeldingstheorien), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. 2. Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian), memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai

19 tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang 3. Teori Gabungan, teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. 20 20 Diah Gustiniati, Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyrakatan di Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm. 22-26.

20 B. Putusan Pengadilan 1. Pengertian Putusan Pengadilan Putusan atau pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka disebut dengan putusan pengadilan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa: Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang tebuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Adapun dalam persidangan perkara pidana, sesudah pemeriksaan dinyatakan tertutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. Apabila dipandang perlu, maka musyawarah tersebut diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum dan hadirin meninggalkan ruang sidang. Selanjutnya dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan yang dimulai dari hakim termuda sampai hakim yang tertua. Sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis, dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. 21 Pengambilan putusan oleh hakim di pengadilan adalah didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemeriksaan sidang pengadilan itu dilakukan. Suatu 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 182 ayat (2).

21 persidangan di pengadilan seorang hakim tidak dapat menjatuhkan pidana diluar batas-batas dakwaan. 22 Walaupun surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, tetapi hakim tidak terikat pada surat dakwaan tersebut. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 23 2. Pelaksanaan Putusan Pengadilan/Eksekusi Secara umum proses penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan dilaksanakan secara bertahap, yang dimulai dari tahappenyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang pengadilan serta tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirim salinan surat keputusan kepadanya. 24 Pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah jaksa. 25 Ketentuan-ketentuan di atas menunjukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan ditegaskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan menyebut jaksa. Hal ini tentunya berbeda dengan penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang disebut sebagai penuntutan umum. Pelaksanaan putusan pengadilan yang juga disebut eksekusi pada dasarnya hanya bersifat 22 Andi hamzah, Delik-delik Tertentu Dalam KUHP, 1983, hlm. 167. 23 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 183. 24 Ibid., Pasal 270. 25 Ibid., Pasal 1 butir 6 huruf a.

22 administratif, hal ini didasarkan pada surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-120/J.A/12/1992 tentang administratif perkara tindak pidana, dimana juga disbeutkan bahwa eksekusi baru dapat dilaksanakan oleh jaksa apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap. C. Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak kriminal yang menyebabkan orang tersebut menanggung pidana atas perbuatannya, dimana dalam perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat, norma hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 26 Perbuatan korupsi adalah perilaku ingin menguasai atau memiliki uang negara untuk kepentingan sendiri atau kelompok secara tidak sah atau mengalihkan peruntukkan pengguna keuangan negara dari kepentingan umum kepada kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga pembangunan sosial masyarakat terhambat. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang harus dihindari, dan barang siapa melanggarnya akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga wajib dicantumkan dalam Undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 26 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010., hlm. 127.

23 PEPERPU atau Peraturan Pengganti Undang-undang Tahun 1958 telah dapat membedakan dua jenis perbuatan korupsi sebagai berikut: 1. Perbuatan pidana korupsi yang dikaitkan dengan unsur kejahatan atau pelanggaran yang dikenai pidana pokok dan pidana tambahan, dan 2. Perbuatan korupsi lainnya yang dapat dikenai keputusan dirampas (beslag) perdata, tindakan fiskal dan pengembalian hutang-hutang kepada negara secara paksa, serta penyelidikan kekayaan uang di Bank. Undang-undang tindak pidana korupsi merumuskan tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut: Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau pejabat/aparatur negara merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana. Dikatakan demikian karena korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat/aparatur negara sudah tentu akan merugikan keuangan dan perekonomian negara, bahkan merugikan rakyat/masyarakat secara umum dalam suatu negara. Korupsi keuangan negara terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang yaitu perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau menyalahgunakan kekuasaan untuk membuat keputusan. Unsur delik penyalahgunaan wewenang menurut Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi adalah:

24 a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan; c. Yang dapat merugikan keuangan negara. D. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Pertanggungjawaban Pidana Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana, secara hukum ada pertanggungjawaban atas segala perbuatannya pada hukum. Setiap tindak pidana memiliki akibat hukum yang menjadi tanggung jawab bagi pelaku dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh norma-norma hukum yang berlaku, yakni batasan sanksi atau ancaman pidana maupun umur, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b. Di atas umur tertentu maupun bertanggungjawab; c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; d. Tidak adanya alasan pemaaf. 27 Pertanggungjawaban pidana didasari oleh kemampuan menentukan baik buruk atas perbuatannya, merupakan sifat melawan hukum, dan dapat menentukan atas perbuatannya secara sadar dan jiwa yang sehat jasmani dan rohani, dan batasan umur tertentu yang diatur oleh Undang-undang dapat 27 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 164.

25 bertanggung jawab atas kesalahannya baik sengaja atau kealpaan serta tidak ada alasan pemaaf. 2. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana pada umumnya diatur dalam pasal-pasal KUHP, walaupun tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP tetapi karena tindak pidana koruspi merupakan tindak pidana khusus, maka ketentuannya telah diatur pula oleh undang-undang lain secara khusus, dikarenakan pertanggungjawaban pidana korupsi lebih luas lingkupnya dari hukum tindak pidana umum. Hal terebut dinyatakan dalam: a. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat 1-4) UUPTPK. b. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat (5)) bahkan kesempatan banding tidak ada. c. Perumusan delik dan UUPTPK yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b. d. Penafsiran kata penggelapan pada delik penggelapan (Pasal 415 KUHP) oleh Yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat luas. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi yang dimuat pada Pasal 2 ayat (1) dan Ayat (2) terdapat unsur kesalahan (perbuatan orang) secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang timbul akibat perbuatan, negara dalam keadaan tertentu yang dapat dirumuskan ke dalam kondisi negara yang bermacammacam, sehingga perumusan tindak pidana korupsi diperluan yang dapat memudahkan penuntut umum membuktikannya. Dimaksudkan negara dlama keadaan tertentu ian\lah negara sedang mengalami bencana alam, krisis moneter, politik, hukum dan keadaan perang.

26 Percobaan melakukan delik korupsi syaratnya adalah sama dengan ketentuan Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri. Yang menyimpang dari Pasal 53 KUHP ialah pidananya tidak dipotong dengan sepertiganya. Memamng menurut Pasal 103 KUHP berlaku juga ketentuan Pasal 53 KUHP untuk perundang-undangan pidana khusus kecuali kalau undang-undang itu menentukan lain (lex specialis derodate legi generalis). E. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Pengertian APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi massa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 3 Desember. 2. Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah a. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. b. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

27 c. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. d. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah. e. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. f. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. g. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.